Kamis, 18 Februari 2010

PERBANDINGAN SISTEM EKONOMI INDONESIA DAN SISTEM EKONOMI ISLAM HIZBUT TAHRIR

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab


SISTEM EKONOMI

No
Sistem Ekonomi
Indonesia
Sistem Ekonomi Islam
Hizbut tahrir
1.

Pilar-Pilar Sistem Ekonomi
a.

Sistem Produksi

Sistem Produksi

Kepemilikan Negara
Apapun yang bisa dimiliki negara dan dimiliki individu
Kepemilikan Negara
Apapun yang bisa dimiliki negara dan dimiliki individu

Kepemilikan Individu
Apapun yang bisa dimiliki individu dan dimiliki negara
Kepemilikan Individu
Apapun yang boleh dimiliki individu



Kepemilikan Umum
Tidak boleh dimiliki negara maupun individu
b.

Sistem Distribusi

Sistem Distribusi

Lahan
Pembolehan Sewa
Ekonomi
Lahan
Larangan Sewa dan Pembatasan Menganggurkan Lahan

Modal
Bunga
Modal
Bagi Hasil/Pinjaman

Tenaga Kerja
Upah (UMR)
Tenaga Kerja
Upah
(Kontrak)

Sistem Perseroan (Manajemen)
Perseoan Terbatas, CV., Firma, Yayasan, dan Koprasi
Sistem Perseroan (Manajemen)
Mudharabah, Inan, Abdan, Wujuh dan Mufawadhah



Non Ekonomi
Zakat
c.

Sistem Konsumsi

Sistem Konsumsi

Perundang-undangan konsumsi berdasarkan asas manfaat (Pragmatisme)
Perundang-undangan konsumsi berdasarkan asas halal-haram (Hukum Islam)
2.

Sistem Moneter
a.
Mata Uang
Rupiah (Fiat Standard atau  standard Kepercayaan)
Mata Uang
Dinar dan Dirham (Standar barang/Emas dan Perak
b.
Pasar Uang
Kurs Mengambang
Pasar Uang
Kurs Mengambang


Pertukaran dengan Tempo

Pertukaran secara Kontan


Asas Pertukaran dan Spekulasi

Asas Pertukaran


STRUKTUR APBN

No
Sistem Ekonomi Indonesia
Sistem Ekonomi Islam Hizbut Tahrir
1.
Pendapatan Negara

a.
Pendapatan Pajak
Pendapatan Tetap

Pajak dalam negeri
PPN
PPh
PBB
BPHTB
Cukai
Hibah, dll.
Kharaj
Kharaj ‘Unwah
Kharaj Sulhi
Zakat
Zakat Ternak
Zakat Perdagangan
Zakat Uang (Emas dan Perak)
Zakat Pertanian
Pajak Perdagangan Internasional
Bea Masuk dan Tarif Ekspor
Jizyah

Laba BUMN

b.
Pendapatan Bukan Pajak
Pendapatan Tidak Tetap

Penerimaan SDA
Fa’i dan 1/5 Ghanimah

Laba BUMN
Bagian Kep. Rakyat (Migas dan Non Migas)

dan lain-lain
Pajak dalam Negeri, dll.

2.
Belanja Negara

a.
Belanja Pemerintah Pusat
Belanja Tetap

Belanja Pegawai
Belanja Barang
Pembiayaan Bunga Utang
Subsidi BBM dan Non BBM
Belanja Sosial
Belanja Modal
dll.
Belanja Umum
Belanja Pegawai, Belanja Tentara, Santunan Penguasa,
Pendirian Sekolah, Rumah Sakit,
Masjid, , dll.


Belanja Khusus
8 Ashnaf Mustahiq

b.
Belanja Daerah
Belanja Tidak Tetap

Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Khusus, Dana Otonomi Khusus

Dakwah, Jihad dan ekspansi wilayah, Penanggulangan Bencana, dll.

TINJAUAN

Pada tahun 2008 total pendapatan negara Indonesia sebesar Rp. 781,35 triliun, dan pendapatan dari sektor pajak sebesar Rp. 591,98 triliun, atau sebesar 75,76 % dari total penerimaannya. Sedangkan tahun 2009 total pendapatan negara sebesar Rp. 976,45 triliun dan pendapatan pada sektor pajak sebanyak Rp. 744,30 triliun atau sebesar 76,22% dari total penerimaannya.[1] Artinya, sektor pajak selalu memberikan pemasukan negara Indonesia yang paling besar dari sektor pemasukan lainnya seperti penerimaan SDA yang terdiri dari hasil hutan, barang tambang migas dan non migas dan lain sebagainya, maupun pemasukan dari BUMN.

Pajak perspektif ekonomi Islam Hizbut Tahrir berbeda dengan pajak yang selama ini diterapkan di Indonesia. Menurut Hizbut Tahrir, sistem perpajakan di Indonesia adalah batil. Sebab pajak dalam Islam hanya diberlakukan kepada warga negaranya yang muslim secara temporal, sekedar untuk memenuhi kewajiban yang tidak mampu dipenuhi oleh Negara saat mengurus ketatanegaraan, sehingga kewajiban tersebut kembali pada warga negaranya yang muslim. Tentu saja ini berkaitan dengan sistem politik yang dianut oleh suatu negara, dan dalam pandangan Hizbut Tahrir, sistem politik yang sah menurut Islam adalah Khilafah Islamiyah. Pengalokasian pajak dalam ekonomi Islam Hizbut Tahrir adalah untuk membiayai kebutuhan yang diwajibkan kepada warga negaranya yang muslim, yaitu untuk membiayai sekolah-sekolah, jembatan, jalan-jalan dan lain sebagainya, sehingga tidak akan dipungut bea apapun untuk keperluan mahkamah, intansi-instansi serta keperluan-keperluan lainnya.

Menurut Ekonomi Islam Hizbut Tahrir, perpajakan dalam sistem ekonomi Indonesia seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak kendaraan bermotor, pajak bumi dan bangunan, dan lain sebagainya, bahwa negara tidak memiliki hak untuk memungutnya dari warga negaranya baik muslim maupun kafir dzimmi, sebab perpajakan tersebut menyalahi ketentuan dalil-dalil syara’ dalam pandangan sistem ekonomi Islam perspektif Hizbut Tahrir.

Pendapatan negara indonesia dari sektor non-pajak di era reformasi ini berkisar sebesar 25% dari total pendapatan negara. Pendapatan sektor non-pajak adalah berasal dari SDA dan BUMN. Sedangkan kekayaan alam Indonesia yang berasal dari barang tambang begitu melimpah. Bahkan di era orde baru sekitar tahun 1970-an, penerimaan negara yang berasal dari royalti dan ekspor barang tambang seperti minyak mentah melebihi proporsi dari penerimaan negara yang berasal dari sektor pajak. Berbeda pandangan dengan rezim orde baru, rezim era orde lama memandang bahwa kekayaan barang tambang yang ada di perut bumi harus tetap berada di perut bumi Indonesia sampai negara ini memiliki insinyur-insinyurnya sendiri yang mengeksploitasinya dari perut bumi. Sehingga penerimaan negara era orde lama dari sektor barang tambang memang tidak sebesar penerimaan negara dari sektor barang tambang di era orde baru.

Menurut sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, perubahan yang terjadi dalam proporsi pendapatan negara Indonesia antara rezim orde lama, orde baru dan era reformasi adalah hal yang wajar, sebab Indonesia memandang kekayaan alam yang berasal dari barang tambang merupakan milik negara dan dikuasai oleh negara, sehingga menjadi hak negara bagaimanapun caranya dalam memanfaatkannya, yaitu tergantung oleh pandangan rezim penguasanya, dan pandangan era orde lama dan era pasca orde lama (orde baru dan era reformasi) bertolak belakang. Seharusnya menurut ekonomi Islam Hizbut Tahrir, kekayaan barang tambang adalah harta yang berjenis kepemilikan umum. Arti dari jenis kepemilikan umum adalah, bahwa harta tersebut bukanlah harta milik negara yang dengan harta tersebut negara memiliki hak untuk memanfaatkannya berdasarkan pandangannya. Melainkan harta tersebut adalah milik segenap rakyat yang negara hanya berstatus sebagai wakil yang mengelola harta tersebut, dan bukan memiliknya.
Pendapatan negara menurut ekonomi Islam Hizbut Tahrir dalam kerangka negara Khilafah Islamiyah yang penerimaannya bersifat tetap hanyalah berasal dari jizyah, kharaj, dan BUMN perspektif Hizbut Tahrir. Adapun pendapatan negara yang bersifat tidak tetap adalah dari ghanimah, fa’i dan pajak perspektif ekonomi Islam Hizbut Tahrir. Maka dari sumber pendapatan tersebut seperti adanya ghanimah, fa’i, kharaj, dan jizyah, maka terlihat bahwa ketatanegaraan sistem politik menurut Hizbut Tahrir bukanlah ketatanegaraan nation state seperti ketatanegaraan Indonesia. Artinya, wilayah kekuasaan negara Khilafah Islamiyah yang diusung Hizbut Tahrir tidak akan stagnan, akan tetapi cenderung meluas dan meluaskan diri dan merambah ke penjuru dunia, yang tujuan utamanya adalah menyebarkan Islam.



[1] Kanwil DJP Sulselbaltra Genjot Sektor Pajak, http://vibiznews.com/ journal. Php ?id= 434&page=tax, diakses Tanggal 16 Februari 2010.







PENINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP SISTEM DISTRIBUSI, SISTEM KONSUMSI DAN SISTEM MONETER EKONOMI INDONESIA

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab


Sistem Distribusi

Tehadap faktor-faktor produksi yang berimplikasi pada sistem distribusi, seperti tanah yang menghasilkan jasa sewa, modal yang mengasilkan bunga dan tenaga kerja yang menghasilkan upah, Hizbut Tahrir memiliki pandangannya sendiri. Terhadap tanah (lahan), Hizbut Tahrir memandang bahwa tanah tidak memiliki sifat seperti uang yang dapat disimpan tanpa memiliki tujuan. Tanah dalam pandangan Islam adalah pemaksaan terhadap pemiliknya untuk mengelolanya, sehingga Islam memiliki batasan waktu bagi pemiliknya ketika ia tidak mengelolanya, yaitu selama jangka waktu tiga tahun berturut-turut. Apabila bila jangka waktu tersebut telah lewat, maka orang lain atas izin negara berhak mengambil hak kepemilikan dari pemilik asalnya. Dengan demikian aturan Islam yang seperti ini akan menjamin sebuah dan semua tanah di suatu negeri untuk tetap produktif.

Pertanahan yang dipraktekkan di Indonesia menurut Hizbut Tahrir telah menyalahi ketentuan sistem ekonomi Islam, sebab kepemilikan tanah oleh warga Indonesia dijamin oleh sertifikat sebagai bukti kepemilikan yang tidak memiliki jangka waktu saat tanah tersebut tidak dikelola. Sehingga ketika ada pihak lain yang mengolahnya baik dengan maupun tanpa izinnya (baik untuk pertanian maupun membangun bangunan), saat tanah tersebut tidak diolah pemiliknya selama lebih dari tiga tahun berturut-turut, maka ketika pemilik asal ingin mengambil alih tanah tersebut maka orang yang memanfaatkan tanah tersebut tidak dapat berbuat apa-apa kecuali hanya pasrah dan merelakannya ketika saat dieksekusi. Sebab tanah tersebut sudah disertifikasi, sehingga membuat hukum yang ada di Indonesia berpihak kepadanya, sebagaimana persengketaan tanah yang sering terjadi saat ini.

Sebagaimana lahan, praktek permodalan di Indonesia juga menurut Hizbut Tahrir telah menyalahi ketentuan syara’, sebab perbankan nasional menetapkan suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman saat dananya digunakan nasabahnya baik untuk kegiatan produktif maupun konsumtif. Pada kegiatan produktif, selain hal tersebut bersifat riba yang diharamkan, suku bunga juga tidak berprinsip keadilan dan akan merugikan produsen, sebab saat hasil keadaan usaha bisnis sedang merugi maka peminjam tetap dikenakan kewajiban mengembalikan modal beserta bunganya. Dilain pihak perbankan mendapatkan dana tersebut juga memiliki kewajiban pengembaliannya beserta bunganya kepada pemilik dana tersebut. Sehingga hal inilah yang sering mengakibatkan keruntuhan perbankan di Indonesia oleh sebab kredit macet, sebab kredit macet timbul adalah akibat diterapkannya suku bunga, yang memiliki slogan “berani untung dan tidak mau rugi”. Faktor inilah yang membuat APBN Indonesia harus selalu menyisihkan sebagian hartanya untuk dialokasikan pada BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Namun apabila permodalan usaha bisnis menggunakan kontrak kerjasama bagi hasil, maka kredit macetpun dapat dihindari, sebab kegiatan kontrak kerjasama bagi hasil (mudharabah) adalah suatu kegiatan usaha bisnis yang mengedepankan slogan “berani untung dan berani rugi”.

Adapun terkait tenaga kerja, maka hal ini sangat erat kaitannya dengan sistem perseroan (syirkah) yang semua dari faktor-faktor produksi tersebut terkumpul didalamnya. Menurut Hizbut Tahrir, Islam mengharamkan perseroan saham (Perseroan Terbatas) dan mengharamkan berkumpulnya beberapa perseroan saham dalam satu perseroan, seperti perserikatan perusahaan (trust) dan kartel. Sebab syirkah (perseroan) dalam Islam termasuk kategori aqad, seperti penjualan dan sewa. Syirkah tidak seperti wakaf dan wasiat yang dilakukan melalui kehendak sendiri. Oleh karena itu tidak ada perseroan kecuali perseroan-perseroan yang mereka sendiri secara langsung mengelola perseroan itu, atau dengan harta mereka bersama-sama sekutunya mengelola perseroan secara langsung.[1]

Sistem perseroan di Indonesia yang banyak dipakai dalam BUMN maupun BUMS adalah PT (Perseroan Terbatas). PT menyalahi ketentuan ekonomi Islam sebab bertentangan dengan perseroan dalam Islam, yaitu mudharabah. Mudharabah memiliki ketentuan bagi pengelola (direktur) mendapat bagi hasil bersama pemodal (pemilik saham), dan bukan diberi gaji (aqad ajiratul ajiir). Setiap pemilik saham dalam perseroan mudharabah juga tidak sebagaimana pemilik saham dalam perseroan terbatas, pemilik saham dalam mudharabah memiliki hak suara dalam menentukan kebijakan perusahaan baik penyertaan modalnya sedikit maupun banyak.

Perseroan mudharabah tersebut secara alami tidak akan bisa mengumpulkan modal dalam jumlah besar. Dengan demikian tidak mungkin menurut hukum-hukum perseroan dalam Islam membangun sebuah perseroan (usaha bisnis) yang memiliki modal besar, sehingga mampu membangun perusahaan-perusahaan perdagangan dan industri-industri besar dan dengan mudahnya mengalahkan pesaing-pesaing bisnisnya yang masih dalam skala menengah kebawah, sehingga membuat jumlah perusahaan menjadi lebih sedikit dibanding jumlah tenaga kerja. Dengan demikian tidak akan ada monopoli industri dan produksi pabrik sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme.[2]

Menurut Hizbut Tahrir apabila sistem perseroan Islam yang diterapkan, maka BUMN yang selama ini mengelola faktor-faktor produksi dari jenis kepemilikan yang boleh dimiliki individu tentu hanya dapat dikelola oleh negara, sehingga masyarakat tidak mungkin mampu bersaing dengan usaha milik negara. Sebab usaha dalam skala besar tersebut jelas membutuhkan modal besar yang tidak mungkin dicapai oleh perseroan model mudharabah dan perseroan Islam lainnya. Dengan demikian, usaha dalam faktor-faktor produksi dari jenis kepemilikan individu yang memerlukan modal besar seperti industri alat, industri mobil, industri kapal dan pesawat, jasa transportasi darat, laut dan udara, dan lain sebagainya hanya akan dapat dimiliki negara, walaupun tetap ada kemungkinan swasta untuk bersaing dengan negara, walaupun kemungkinan itu kecil.[3]

Perusahaan dalam siklus ekonomi berperan sebagai pencipta demand tenaga kerja, dan rumah tangga berperan sebagai supplier tenaga kerja. Jumlah perusahaan sebagai penampung tenaga kerja semakin sedikit disebabkan persaingan usaha antar Perseroan Terbatas (PT.), dimana pemenangnya selalu berpihak pada perusahaan yang memiliki modal besar, sedangkan disisi lain pertumbuhan tenaga kerja terus meningkat. Sebagaimana hukum dalam kurva permintaan dan penawaran, tingkat penawaran tenaga kerja yang terus menerus meningkat yang tidak diikuti dengan pertumbuhan jumlah perusahaan sebagai penampung tenaga kerja, akan mengakibatkan tingkat harga tenaga kerja menjadi turun. Demikianlah yang terjadi di Indonesia dan banyak negara lain di dunia, dan ketetapan UMR di Indonesia adalah sebagai bentuk usaha pemerintah untuk menjaga tingkat upah, melindungi tenaga kerja agar pendapatan tenaga kerja tidak turun sampai pada titik yang sama sekali tidak mampu menutupi kebutuhan primer tenaga kerja.

Namun, dikeluarkannya UU No. 13 Tahun 2003 sebagai legalisasi bisnis jasa Outsourcing, membuat kaum pekerja menjadi hanya berstatus sebagai pekerja kontrak yang tidak ada jaminan dalam keberlangsungan pekerjaannya (status pekerja tetap),[4] disaat kesempatan kerja menjadi kecil dan disaat 10% penduduk Indonesia berstatus sebagai pengangguran terbuka, yang berarti bahwa banyaknya jumlah orang yang siap menggantikannya sebagai pekerja. Maka menjadi hal yang lumrah apabila di Indonesia sering terjadi demonstrasi kaum buruh.

Berbeda dengan sistem pengupahan sistem ekonomi Indonesia, sistem pengupahan ekonomi Islam Hizbut Tahrir tidak mengenal dan apalagi sampai mematok Upah Minimum Regional (UMR), akan tetapi menggunakan asas kontrak kerja, baik dari sisi statusnya sebagai pekerja kontrak ataukah pekerja tetap maupun dari sisi besaran tingkat upahnya. Namun hal penting yang ditekankan dalam masalah ini adalah sistem perseroan, bahwa turunnya harga tenaga kerja di Indonesia adalah sebab turunnya jumlah supply/penyedia lapangan kerja (perusahaan) akibat menerapkan sistem perseroan yang menyalahi hukum Islam, sedangkan apabila suatu negara menerapkan sistem perseroan dalam Islam, menurut Hizbut Tahrir jumlah penyedia lapangan kerja dan jumlah penyedia tenaga kerja akan stabil, sehingga tingkat harga tenaga kerja akan mencapai tingkat equilibrium.

Adapun UMR menurut Hizbut Tahrir adalah bentuk pelimpahan tanggung jawab kesejahteraan masyarakat, yang dilimpahkan negara kepada perusahaan sebagai tempat seorang pekerja bekerja, yaitu agar pendapatan pekerja tidak sampai mencapai titik yang membuatnya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup layak. Tingkat upah dalam sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir tidak ada batas minimal sebagaimana UMR, sehingga tampak bahwa besaran upah dimungkinkan bisa akan berada dibawah garis sebagaimana yang ditetapkan UMR. Namun demikian, tingkat equilirium yang dicapai atas supply dan demand tenaga kerja diprediksi tidak akan sampai berada dibawah kebutuhan hidup layak seorang pekerja. Sehingga tanggung jawab negara atas kesejahteraan para pekerja bukan ditentukan dengan menetapkan tingkat pengupahan, melainkan dengan cara yang menunjukkan bahwa negara adalah pelayan dari rakyatnya. Misalnya seperti apabila ada seorang tua yang tidak sanggup lagi bekerja dan dia diabaikan oleh keluarganya, maka negara akan memaksa kerabat terdekatnya tersebut untuk menyantuninya, dan bukan hanya sekedar himbauan sosial belaka kepada kerabatnya tersebut, melainkan pemaksaan agar kubutuhan ekonominya tercukupi.

Menetapkan batas upah sebagaimana UMR dan penetapan-penetapan harga lainnya seperti harga barang, menurut Hizbut Tahrir adalah bentuk kezaliman. Sebab penetapan upah menjadikan salah satu biaya produksi menjadi tetap, padahal hasil produksi belum tentu laku dipasaran, sedangkan perusahaan harus menetapkan upah sebagaimana yang ditetapkan pemerintah, maka dari sini terlihat bahwa tingkat upah terjadi bukan dari kontrak kesepakatan antara pekerja dan perusahaan, melainkan dengan apa yang ditetapkan negara, dan ini adalah bentuk kezaliman bagi perusahaan. Sebab perusahaan memiliki hak untuk menurunkan biaya produksinya.

Pendapatan nasional yang dijadikan negara Indonesia sebagai tolak ukur kemajuan ekonomi, menurut sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir hal tersebut tidak mampu mencerminkan kemakmuran ekonomi bangsa ini. Sebab perekonomiannya sudah menciptakan ketimpangan diantara masyarakatnya. Pendapatan nasional hanya menunjukkan kekayaan yang dimiliki oleh segelintir orang saja, tanpa melihat kekayaan tersebut merata atau tidak.

Sistem Konsumsi
Sistem konsumsi merupakan permasalahan yang menyangkut apakah benda pemuas kebutuhan yang diproduksi memang benda yang layak dan dapat dimiliki oleh konsumen atau tidak. Sistem konsumsi dalam sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir adalah berlandaskan hukum syara’, yaitu halal-haram. Sehingga barang halal adalah barang yang dapat dimiliki konsumen tertentu, dan barang haram adalah barang yang tidak boleh diproduksi, didistribusi dan dikonsumsi oleh konsumen tertentu. Sedangkan sistem ekonomi Indonesia dalam pandangan Hizbut Tahrir tidak menjadikan halal-haram sebagai asasnya. Sebab tidak ada sebuah undang-undang yang menetapkan sangsi bagi warganya yang muslim saat mengkonsumsi barang haram.

Adapun fatwa MUI pada hal-hal yang berkaitan dengan barang-barang konsumsi, menurut Hizbut Tahrir hal tersebut hanyalah berstatus sebagai fatwa atau opini bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, namun fatwa tetap bukan sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat setiap warga negaranya dengan sanksi hukum tertentu bagi pelanggarnya. Dengan demikian wajar apabila minuman beralkohol dalam sistem konsumsi ekonomi Indonesia yang telah dipaparkan sebelumnya dalam bab V, menjadi barang yang tergolong makanan yang dikonsumsi baik pada mayarakat perkotaan maupun pedesaan di Indonesia.

Berkaitan dengan sertifikasi halal, sistem ekonomi Islam memandang bahwa sertifikasi tersebut hanya ada ditengah-tengah sistem konsumsi yang memang tidak menjadikan halal-haram sebagai peraturannya. Adapun dalam sistem konsumsi ekonomi Islam, kemungkinan yang terjadi adalah sertifikasi haram yang berlanjut pada tulisan khusus bagi agama-agama tertentu saja selain Islam, karena negara Khilafah tidak akan melarang agama lain mengkonsumsi barang yang halal menurut mereka namun haram menurut Islam. Adapun kebijakan tata cara teknisnya akan menjadi kewengan penuh Khalifah saat barang-barang konsumsi yang haram dalam pandangan Islam tersebut didistribusikan ditengah-tengah masyarakat.


Sistem Moneter
a.      Mata Uang
Mata uang Indonesia adalah Rupiah, dan Rupiah di Indonesia secara fisik bukanlah emas maupun perak, melainkan kertas, Rupiah juga tidak berstandar atau dijamin oleh logam mulia seperti emas maupun perak. Dengan demikian menurut sistem ekonomi yang diadopsi Hizbut Tahrir mata uang yang dipakai dalam sistem ekonomi Indonesia telah menyalahi ketentuan dalil-dalil syara’ dalam pandangan sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, sebab tuntutan dalam Islam bagi sebuah negara seharusnya menggunakan mata uang emas maupun perak dalam pertukarannya secara fisik, maupun mata uang substitusi yang dijamin oleh emas maupun perak.

b.      Pasar Uang
Kurs pertukaran mata uang dalam sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir menggunakan kurs mengambang, sebab hal ini dianalogikan (qiyash) dengan larangan menetapkan harga barang oleh negara (ta’sir). Sebagaimana dalam sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, Indonesia juga membiarkan kurs pertukaran mata uangnya bebas mengambang terhadap mata uang lainnya.[5]

Mata uang emas dan perak memiliki nilai intrinsik didalamnya, yaitu emas dan perak, sehingga mata uang emas dan perak bernilai disebabkan zatnya dan kemampuan daya tukarnya dimunculkan oleh sebab zat fisiknya. Jadi tidak memerlukan jaminan negara agar mata uang tersebut bisa berlaku ditengah-tengah perekonomian masyarakat suatu negara. Adapun Rupiah berbeda dengan mata uang emas dan perak, sebab Rupiah secara fisik adalah kertas tak bernilai, dan kertas tersebut (Rupiah) tidak dijamin oleh emas dan perak yang secara fisik mempunyai nilai tukar, sehingga Rupiah memerlukan jaminan negara agar memiliki daya tukar didalam perekonomian suatu negara. Hal inilah yang membuat kurs pertukaran mata uang Rupiah terhadap mata uang lain, selain ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi juga bisa ditentukan oleh faktor-faktor non ekonomi seperti kondisi sosial dan politik negara Indonesia, sehingga Rupiah bisa devaluasi saat kondisi politik sedang tidak stabil atau seringnya terjadi huru-hara ditengah-tengah masyarakat. Tingginya angka import barang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga berperan penting untuk kestabilan perekonomian Indonesia, sebab Indonesia akan membutuhkan mata uang negara asal pengekspor untuk pembayaran, yang masing-masing negara tersebut mata uangnya bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor selain ekonomi.

Spot, forward, Option dan Swap adalah jenis-jenis transaksi pertukaran mata uang yang lazim dalam perekonomian Indonesia.[6] Keempat jenis transaksi tersebut memiliki persamaan, yaitu sama-sama penyerahan hasil transaksinya tidak memenuhi syarat kontan dalam pertukaran mata uang menurut ekonomi Islam. Adapun jenis spot yang penyerahannya paling cepat daripada jenis transaksi lainnya, namun tetap dalam penyerahannya paling cepat adalah dua hari, padahal perubahan kurs mata uang di Indonesia terhadap mata uang lainnya selalu berubah setiap harinya. Dengan demikian kesemuanya adalah batil menurut pertukaran mata uang dalam Islam, karena semuanya menimbulkan selisih nilai saat transaksi berlangsung dan saat penyerahan barangnya. Selain itu, negara Indonesia juga membiarkan warga negaranya untuk berspekulasi dalam pertukaran mata uang sebagai ajang bisnis. Dengan demikian sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir memandang sistem moneter yang diterapkan Indonesia menyalahi ketentuan dasar-dasar hukum Islam.

Oleh sebab belum adanya negara yang menerapkan sistem moneter Islam perspektif Hizbut Tahrir, maka jumlah hari penyerahan hasil pertukaran mata uang agar memenuhi syarat kontan tersebut dapat ditentukan saat sudah adanya negara yang menerapkan sistem moneter menurut Hizbut Tahrir, sehingga jumlah hari yang riil yang dapat ditetapkan dapat terlihat melalui jumlah hari terjadinya perubahan kurs mata uang luar negeri terhadap mata uang dalam negeri.



[1] Ibid., hal 97.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Dhaniswara K. Harjono, Aspek Hukum dalam Outsourcing, http:// www.majalahpengusaha.com/ content/view/868/93/, diakses Tanggal 16 Februari 2010.
[5] Ibid., hal. 130-133.
[6] Pengenalan Bertransaksi, http://www.forex.co.id/ forex-trading-pengenalan-bertraksaksi.htm, diakses tanggal 28 Januari 2010.

PENINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP SISTEM PRODUKSI EKONOMI INDONESIA

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab

Masalah pokok sistem ekonomi adalah sebagaimana yang telah disinggung pada bab-bab sebelum ini, sehingga peninjauan yang dibahas pada pilar-pilar sistem ekonomi indonesia adalah pada pilar-pilarnya, yaitu sistem produksi, sistem distribusi dan sistem konsumsi.

Sistem Produksi

Faktor-faktor produksi dalam sistem ekonomi Indonesia hanya terbagi menjadi dua, yaitu jenis faktor-faktor produksi yang dimiliki negara dan faktor-faktor produksi yang dimiliki individu. Tanah (SDA), modal, mesin dan SDM adalah faktor-faktor produksi yang dimaksud. Sebagaimana dalam sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, tidak ada batasan khusus yang menetapkan perbedaan kedua jenis kepemilikan tersebut (kepemilikan negara dan kepemilikan privat). Semua pembedaaanya terletak pada kebijakan negara. Sebab harta kekayaan yang dimiliki negara, akan menjadi hak negara untuk memberikan atau menjualnya kepada individu atau kelompok masyarakatnya, sehingga ketika negara sudah memberikan maupun menjualnya kepada warganya baik individu maupun kelompok, maka kepemilikan tersebut berubah menjadi kepemilikan individu, bukan kepemilikan negara lagi. Satu-satunya pembeda antara sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir dengan sistem ekonomi Indonesia dari jenis kepemilikan negara dan kepemilikan privatnya adalah dari sumber pendapatannya. Bahwa dalam sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, sebagian sumber pendapatan negaranya adalah sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh dalil-dalil syara’, sedangkan dalam sistem ekonomi Indonesia sama sekali tidak ada batasan tetapnya, yaitu batasan yang membuat jenis kepemilikan bersifat saklek, baik melalui UUD apalagi melalui dalil-dalil syara’, sebab Indonesia tidak mengadopsi dalil-dalil syara’. Saat kekayaan alam atau faktor-faktor produksi tersebut masih menjadi milik negara Indonesia, maka pendapatannya akan masuk dalam kas negara/APBN, namun saat faktor-faktor produksi tersebut sudah berubah menjadi status kepemilikan individu/kelompok maka negara hanya akan mendapat pemasukan negaranya melalui jalur yang lain, yaitu pajak dan atau bagi hasil atas pengelolaannya.

Sistem produksi dalam sistem ekonomi Indonesia tidak mengenal jenis kepemilikan umum atau kepemilikan masyarakat. Berbeda dengan sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir yang memiliki jenis kepemilikan umum/masyarakat dalam faktor-faktor produksinya.

Ketiadaan jenis kepemilikan umum dalam sistem produksi pada sistem ekonomi Indonesia, membuat kekayaan alam yang menurut sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir adalah termasuk jenis kepemilikan umum, menjadi mudah berubah status kepemilikannya dalam sistem ekonomi Indonesia, yaitu dari jenis kepemilikan negara menjadi kepemilikan privat. Perubahan status kepemilikan tersebut dalam sistem ekonomi Indonesia dapat melalui privatisasi (penjualan). Ketiadaan jenis kepemilikan umum inilah yang membuat slogan “demi kepentingan rakyat” bisa digunakan oleh siapa saja walaupun sebenarnya justru malah membuat rakyat semakin menderita, termasuk pemakai slogan tersebut adalah pemerintah.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah fakta usaha negara yang menunjukkan tidak adanya pembedaan secara jelas antara faktor-faktor produksi dari jenis kepemilikan individu/privat, kepemilikan umum dan kepemilikan negara menurut sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, dan melalui proses kebijakan privatisasi Indonesia tidak mempertahankan antara yang termasuk kepemilikan negara dan kepemilikan pribadi. BUMN di Indonesia adalah badan usaha yang faktor-faktor produksi pembentuknya adalah milik negara. Berdasarkan status jenis kepemilikan negara tersebutlah maka negara Indonesia memiliki hak, dan memilih kebijakan privatisasi dengan segala pertimbangannya, yaitu pertimbangan efisiensi dan lain sebagainya, sehingga di mata warga negaranya hal tersebut menjadi sah. Sebab negara berdasarkan ayat ke-4 dalam pasal 33 UUD 45 menyatakan bahwa bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sehingga privatisasi dengan dalih efisiensi dapat dibenarkan.

Faktor-faktor produksi dalam BUMN negara Indonesia yang menurut sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir termasuk dalam jenis kepemilikan umum/masyarakat, adalah seperti minyak bumi (PT. Pertamina), gas (PT. Perusahaan Gas Negara), barang tambang non migas (PT. Tambang Batubara Bukit Asam Tbk, PT. Timah, PT. Antam Tbk, PT. Krakatau Steel), energi (PT. PLN) dan lain sebagainya[1] sebagaimana kriteria yang terkategori dalam jenis kepemilikan umum dalam sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir. Adapun yang bukan dalam kekuasaan BUMN namun tetap tergolong dalam jenis kepemilikan umum adalah seperti jalan kecil maupun jalan raya, pulau, pantai, danau dan lain sebagainya. Adapun faktor-faktor produksi kekayaan alam Indonesia yang juga termasuk dalam jenis kepemilikan umum/rakyat yang berada dibawah kendali perusahaan swasta nasional maupun swasta asing adalah seperti Blok Cepu yang pengelolaannya dibawah ExxonMobil,[2] Minyak dan gas bumi di Sidoarjo dibawah pengelolaan PT. Lapindo Brantas,[3] minyak dan gas bumi di Aceh sebagian dibawah kendali Gulf Resources Aceh, Mobil Oil-B, Mobil Oil-NSO, dan Mobil Oil-Pase, barang pertambangan logam mulia di Papua dikelola oleh PT. Freeport, dan lain sebagainya, yang kesemua dari perusahaan swasta nasional maupun asing tersebut melakukan kontrak kerjasama dengan pemerintah RI yang memiliki faktor-faktor produksi tersebut.[4]

Menurut sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, kekayaan faktor-faktor produksi yang tergolong dalam jenis kepemilikan umum adalah milik rakyat secara keseluruhan, walaupun negara yang dilimpahi tanggung jawab dalam pengeksplorasiannya, namun tetap bukan milik negara, sehingga negara tidak berhak untuk memberikan dan menjualnya (memprivatisasi) kepada individu dan kelompok dari warga negaranya maupun kepada swasta asing, yang hal itu membuat negara hanya dapat menarik pajak dan royalti dari pengolahan faktor-faktor produksi tersebut. Negara juga tidak memiliki hak ketika mengelola faktor-faktor produksi tersebut menggunakan metode penjualan (saham) sebagian hak kepemilikannya, sehingga membuat hasil dari pengekplorasian tersebut harus dibagihasilkan dengan pemilik saham lainnya. Cara-cara demikian menurut sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir menyalahi ketentuan ekonomi yang berlandaskan hukum Islam dan juga mengabaikan kepentingan rakyat. Sebab, Indonesia telah menjadikan kekayaan alam yang menurut ketentuan dalil-dalil syara’ adalah milik umum/masyarakat, menjadi berstatus kepemilikan negara. Dengan demikian pasal 33 UUD 45 yang dijadikan sebagai dasar bagi perekonomian Indonesia adalah batal menurut dalil-dalil syara’ perspektif Hizbut Tahrir.

Indonesia juga pernah memberikan sesuatu (kekayaan alam) yang belum menjadi miliknya menurut UUD 45 kepada perusahaan asing. Yaitu konsesi pertambangan emas di Papua telah diberikan Indonesia kepada PT. Freeport McMoran, sebuah perusahaan pertambangan milik Amerika pada tahun 1967, padahal penentuan kehendak rakyat Papua baru dilakukan pada tahun 1969, dengan demikian Indonesia telah menyalahi perundang-undangannya sendiri. [5]

Perundang-undangan mengenai penanaman modal asing (PMA) juga terus mengalami perubahan dari awal dikeluarkannya pada tahun 1967, yang pada awalnya memiliki persyaratan maksimal saham yang bisa dikuasai oleh asing pada BUMN sebesar 49 % pada tahun 1968, pada tahun 1994 meningkat menjadi 95 %.[6] Demikianlah apabila faktor-faktor produksi dari kekayaan alam yang seharusnya berstatus kepemilikan umum, menjadi kepemilikan negara, maka negara memiliki hak penuh bagaimanapun cara pemanfaatannya dan memiliki dalih apapun dalam kebijakannya dan semuanya akan tetap legal di mata hukum, walaupun bertentangan dengan dalil hukum Islam dan kepentingan rakyat.

Hizbut Tahrir dalam sistem ekonominya memisahkan antara faktor-faktor produksi yang menjadi kepemilikan umum dan kepemilikan negara. BUMN dalam perekonomian negara dalam pandangan Hizbut Tahrir hanya khusus untuk faktor-faktor produksi yang tergolong dalam jenis kepemilikan negara saja, dan bukan untuk faktor-faktor produksi yang tergolong dalam jenis kepemilikan umum/masyarakat, seperti yang telah diuraikan diatas. Sebab, pengalokasian hasil usaha milik umum adalah untuk masyarakat, sedangkan pengalokasian hasil usaha milik negara adalah untuk negara. Menurut Hizbut Tahrir apabila negara belum mampu secara mandiri untuk mengeksplorasi dan mengksploitasi kekayaan alamnya yang menjadi kepemilikan umum, maka negara bisa menyewa tenaga kerja dari luar negeri yang ahli dalam bidang tersebut dengan kontrak sewa-menyewa (ijaratu ajiir), bukan kontrak kerjasama yang hasilnya harus dibagi bersama (mudharabah). Kedua jenis kontrak inilah yang secara gamblang dan tegas menunjukkan siapa pemilik dari barang faktor-faktor produksi tersebut.

BUMN dalam pandangan Hizbut Tahrir adalah badan usaha yang mengolah faktor-faktor produksi dari jenis kepemilikan negara,  bukan dari jenis kepemilikan umum, sedangkan harta kepemilikan negara adalah sebagaimana kepemilikan individu. Badan usaha yang dapat didirikan oleh negara antara lain dalam bidang transportasi darat, laut dan udara, bidang jasa konstruksi perumahan, pertanian, pupuk, telekomunikasi, industri alat-alat, industri teknologi, industri farmasi, pariwisata, dan lain sebagainya, sehingga tidak menutup kemungkinan individu rakyat akan bersaing dengan negara dalam kegiatan bisnis. Sebab bidang-bidang tersebut juga termasuk dalam jenis kepemilikan individu yang membolehkan individu untuk memiliki usaha bisnis.

Adapun pertambangan migas dan non migas, jalan raya, energi, mineral, kehutanan, pelabuhan, dan lain sebagainya yang tergolong pada jenis kepemilikan umum, maka negara tidak boleh memiliki badan bisnis usaha produksi dalam bidang-bidang tersebut, demikian juga dalam hal pelayanan yang menjadi tanggung jawab negara seperti pendidikan dan kesehatan, negara juga tidak boleh berbisnis dalam bidang-bidang tersebut. Negara hanya boleh berbisnis mengelola faktor-faktor produksi dari jenis kepemilikan umum hanya dalam statusnya sebagai wakil dari yang memilikinya, yaitu rakyat.

Demikianlah negara mengelola barang-barang yang termasuk kepemilikan umum. Begitu pula negara seharusnya memiliki usaha bisnis pada setiap barang faktor produksi yang termasuk kepemilikan individu, dengan tujuan untuk menambah pendapatan negaranya. Hanya saja barang yang dimiliki negara diantara barang yang termasuk kepemilikan individu tidak berubah menjadi kepemilikan umum, dengan sebab dimiliki negara. Barang yang termasuk kepemilikan umum ditentukan dengan sifat dan karakteristiknya oleh syara’, dan bukan sebab kepemilikan negara. Tetapi ia menjadi kepemilikan negara seperti harta benda lain yang dimiliki negara, misalnya pajak, kharaj, jizyah dan sebagainya. Terhadap harta kepemilikan negara ini, negara boleh menjualnya, menghibahkannya atau memberikan kelebihannya kepada individu-individu, berbeda dengan barang yang termasuk kepemilikan umum seperti yang tersebut diatas, ia adalah kepemilikan seluruh rakyat, maka negara tidak boleh menjualnya, menghibahkannya atau memberikan kelebihannya kepada siapapun juga.[7]



[1] http://id.wikipedia.org/ wiki/ Daftar_badan_usaha_milik_negara_Indonesia#Energi.
[2] Deddy Novrandianto, Exxon Kuasai Blok Cepu, http://www.bojonegoro.com/ 2006/03/14/ exxon-kuasai-blok-cepu/, diakses tanggal 21 Januari 2010.
[3] id.wikipedia.org/wiki/Lapindo_Brantas_Inc.
[4] Sumber Daya Alam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, http://www.indonesia.go.id/ id/ index.php?option=com_content&task=view&id=3524&Itemid=1948, diakses tanggal 21 Januari 2010.
[5] Dandhy Dwi Laksono, Indonesia For Sale, Pedati, Surabaya, 2009, hal. 217-218.
[6] Ibid.
[7] Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, al-Izzah, Jawa Timur, 2001, hal. 97-98.