Sabtu, 06 Maret 2010

REALITAS KEMAKMURAN DI INDONESIA

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab

Tingkat Kemakmuran di Indonesia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, makmur adalah banyaknya hasil, atau banyaknya penduduk dan sejahtera, dan atau serba kecukupan, tidak kekurangan, sedangkan kemakmuran berarti keadaan makmur. Kondisi suatu negara bisa dikatakan makmur apabila tidak ada atau jarangnya permasalahan secara kolektif muncul bergejolak, baik pada ekonominya, kondisi sosial dan politiknya, dan lain sebagainya, bahkan kondisi prestasi pada bidang-bidang tersebut justru cenderung meningkat, maka negara yang mengalami kondisi tersebut dapat dikatakan makmur.

Indonesia sebagai sebuah negara dapat terlihat tingkat kemakmuran ekonominya, setidaknya dengan melihat pertumbuhan dan pemerataan kekayaan perekonomian rakyatnya.

1.      Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2009 mencapai 4,5 %, membuat pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2009 naik menjadi Rp 24,3 juta (US$ 2.590,1) dibandingkan dengan tahun 2008 yang hanya sebesar Rp 21,7 juta, demikian pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun tersebut menurut Deputi Neraca dan Bidang Analisis Statistik.[1]

Pada era orde baru, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada tahun 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, Rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah juga menerapkan sistem anggaran berimbang. Namun banyak dari anggaran pembangunan justru dibiayai melalui bantuan asing/hutang. Pada pertengahan tahu 1980-an pemerintah mengambil langkah yang ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. Sehingga GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.[2]

Berbeda dengan pertumbuhan ekonomi orde baru dan era reformasi, pertumbuhan ekonomi di era orde lama tidak sempat diperhatikan oleh sebab bangsa Indonesia menghadapi gejolak sosial, politik dan keamanan yang cukup signifikan. Pada periode tahun 1950-an Indonesia menerapkan model guidance development dalam pengelolaan ekonomi, dengan pola dasar Growth with Distribution of Wealth di mana peran pemerintah pusat sangat dominan dalam mengatur pertumbuhan ekonomi (pembangunan semesta berencana). Model ini tidak berhasil, karena begitu kompleknya permasalahan ekonomi, sosial, politik dan keamanan yang dihadapi pemerintah dan ingin diselesaikan secara bersama-sama dan simultan. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde lama adalah terjadinya hiper inflasi yang mencapai lebih dari 500% pada akhir tahun 1965.[3]




2.      Kemerataan Distribusi Pendapatan
Koefisien gini adalah salah satu alat untuk melihat kemerataan distribusi ekonomi suatu negara, suatu distribusi pendapatan dikatakan semakin merata jika nilai koefisien gini mendekati nol (0). Sebaliknya, suatu distribusi pendapatan dikatakan makin tidak merata jika nilai koefisien gininya makin mendekati satu.[4]

Dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), memperlihatkan bahwa pada tahun 1965–1970 menunjukkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia rata-rata 2,7% dengan koefisien gini sebesar 0,35. Berikutnya pada tahun 1971–1980 pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% dengan koefisien gini sebesar 0,4; pada tahun 1981–1990 pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,4% dengan koefisien gini sebesar 0,3. Adapun koefisien gini tahun 1998 sebesar 0,32; tahun 1999 sebesar 0,33; pada tahun 2002 sebesar 0,33, tahun 2004 sebesar 0,32; tahun 2006 sebesar 0,36; serta tahun 2007 sebesar 0,37. [5]

Selain itu, penelitian di beberapa provinsi di Indonesia tahun 1990-2005 yang menggunakan metode Data Panel yaitu secara Cross Section dan Time Series, serta dengan menggunakan analisis FEM (Fixed Effect Method), menunjukkan hasil bahwa memang terjadi ketimpangan distribusi pendapatan pada tingkat antar provinsi-provinsi di Indonesia, yang meningkat seiring dengan naiknya pertumbuhan ekonomi. Sehingga, pada awal tahun 1990 bentuk kurva U-inverted Kuznet terjadi di Indonesia.[6]

Memperhatikan data di atas, maka pembangunan ekonomi nasional untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih tetap harus lebih fokus untuk mengurangi rasa ketidakadilan dan kecemburuan sosial akibat ketidakmerataan distribusi pendapatan/kekayaan tersebut, dengan demikian, Indonesia dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas demi mayoritas bangsa Indonesia, yaitu yang menitikberatkan pada pemerataan distribusi, bukan hanya peningkatan kesejahteraan pada segelintir orang dan atau pada tingkat provinsi tertentu saja.

3.      Tingkat Pengangguran
Badan Pusat Statistik mengatakan bahwa semakin tinggi angka pengangguran terbuka maka semakin besar potensi kerawanan sosial yang ditimbulkannya, contohnya kriminalitas. Sebaliknya semakin rendah angka pengangguran terbuka maka semakin stabil kondisi sosial dalam masyarakat. Sehingga angka pengangguran juga berperan besar dalam kemakmuran ekonomi di wilayah suatu negara, dan tingkat kemakmuran ekonomi suatu negara mempengaruhi kemakmuran sosial suatu masyarakat di suatu negara.[7]

Angka pengangguran di Indonesia pada 2010 diperkirakan masih akan berada di kisaran 10%, dengan target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya sebesar 5,5% tentu tidak akan cukup untuk menyerap tenaga kerja di usia produktif. Sebab, menurut Direktur Keuangan dan PSDM PPM Manajemen bahwa anggaran belanja negara yang kurang dalam peningkatan infrastruktur jelas tidak bisa menekan angka pengangguran. Apalagi dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 5%.[8]

Tingginya angka putus sekolah,[9] tingginya tingkat pelacuran,[10] besarnya prosentase perceraian,[11] dan segudang problema sosial lainnya yang terjadi di Indonesia, semuanya didominasi oleh alasan sebab faktor ekonomi, sedangkan faktor ekonomi tersebut timbul oleh karena sumber pendapatan rumah tangga yang mengecil atau bahkan terhenti, dan sekali lagi angka pengangguran sebagai hulu dari beranekagamnya problema sosial ini muncul.



[1] Ramdhania el-Hida, Pendapatan Per Kapita RI Naik Jadi Rp 24,3 juta di 2009, http://www.detikfinance.com/read/2010/02/10/131037/1296658/4/pendapatan-per-kapita-ri-naik-jadi-rp-243-juta-di-2009, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[2] Ekonomi Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_Indonesia, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[3] Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, http://one.indoskripsi.com/node/9788, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[4] Distribusi Pendapatan Nasional, http://www.e-dukasi.net/ mol/mo_full.php?moid=6& fname=eko202_07.htm, diakses tanggal 15 Februari 2010.
[5] Firmanzah, Paradigma Pembangunan Ekonomi, http://economy.okezone.com/read/ 2010/01/13/279/293529/ paradigma-pembangunan-ekonomi, diakses tanggal 15 Februari 2010.
[6] Angela Ratih P., Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Indonesia tahun 1990-2005, http://www.adln.lib.unair.ac.id/ go.php?id= gdlhub-gdl-s1-2009- angelarati-10219& PHP SESSID=caf180ece5b04a7bb38bead18988c5d8, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[7] Pengangguran Terbuka (Interpretasi), http://www.datastatistik-indonesia.com/ content/ view/ 803/803/1/4/, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[8] 2010 Pengangguran di Indonesia Masih 10 Persen, http://www.surya.co.id/ 2009/11/12/2010-pengangguran-di-indonesia-masih-10-persen.html, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[9] Faktor Ekonomi Masih Menjadi Alasan Putus Sekolah, http://www.banjarnegarakab.go.id/ menu.php?name=Berita&file=article&sid=956, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[10] Jumlah Pelacuran Anak di Indonesia Capai 45 Ribu, http://www.waspada.co.id/ index.php?option=com_content&view=article&id=68867:jumlah-pelacuran-anak-di-indonesia-capai-45-ribu&catid=77&Itemid=131, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[11] Faktor Ekonomi Penyebab Terbesar Perceraian, http://www.radarbanten.com/ mod.php? mod=publisher&op=viewarticle&artid=3880, diakses Tanggal 15 Februari 2010.