Minggu, 01 November 2009

STRUKTUR APBN (Komparasi Sistem Ekonomi Indonesia dan Sistem Ekonomi Islam Versi Hizbut Tahrir)

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab

SISTEM EKONOMI INDONESIA


Definisi APBN

Dalam ekonomi negara kesatuan republik Indonesia, APBN diartikan sebagai rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.[1]


Struktur APBN

  1. Pendapatan Negara

1) Penerimaan dalam negeri

a) Penerimaan perpajakan terdiri atas:

1. Pajak Dalam Negeri terdiri atas Pajak Penghasilan (PPh)[2], Pajak Pertambahan Nilai (PPN)[3], Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)[4], Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)[5], Cukai[6] dan Pajak lainnya.

2. Pajak Perdagangan Internasional, terdiri atas Bea Masuk dan Tarif Ekspor.

b) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)[7], terdiri atas:

1. Penerimaan SDA[8] (Migas dan Non Migas).

2. Bagian Laba BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

3. PNBP lainnya.

2) Hibah

Hibah,[9] mempunyai pengertian bantuan yang berasal dari swasta, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan pemerintah luar negeri.

  1. Belanja Negara

1) Belanja Pemerintah Pusat, adalah belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan Pemerintah Pusat, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di daerah (dekonsentrasi dan tugas pembantuan). Belanja Pemerintah Pusat dapat dikelompokkan menjadi: Belanja Pegawai, Belanja Barang[10] [11], Belanja Modal, Pembiayaan Bunga Utang, Subsidi BBM dan Subsidi Non-BBM, Belanja Hibah, Belanja Sosial (termasuk Penanggulangan Bencana)[12], dan Belanja Lainnya.

2) Belanja Daerah adalah belanja yang dibagi-bagi ke Pemerintah Daerah, untuk kemudian masuk dalam pendapatan APBD daerah yang bersangkutan. Belanja Daerah meliputi:

a) Dana Bagi Hasil

b) Dana Alokasi Umum

c) Dana Alokasi Khusus

d) Dana Otonomi Khusus



SISTEM EKONOMI ISLAM HIZBUT TAHRIR


Definisi APBN

Berbeda halnya dengan APBN sistem ekonomi Indonesia, menurut Hizbut Tahrir dan sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, APBN tidak dibentuk dalam anggaran tahunan, dan juga tidak memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau bahkan Majlis Ummat untuk dilaksanakan. Meskipun demikian, Negara Islam mempunyai anggaran pendapatan dan belanja Negara yang bab-babnya telah ditetapkan oleh syara’ mengikuti pendapatan dan pengeluarannya. Kemudian Khalifah (kepala Negara Islam) diberi wewenang untuk menetapkan pasal-pasalnya, istilah-istilahnya, serta dana-dana yang dibutuhkan oleh semuanya ketika nampak ada kepentingan, tanpa memperhatikan waktu-waktu tertentu.[13] Dengan demikian struktur APBN-nya disusun berdasarkan pendapatan dan belanja negara yang tetap dan tidak tetap.


Struktur APBN

  1. Pendapatan Negara[14] [15]

1) Penerimaan Tetap Negara

a) Zakat, yang berisi Zakat Harta yang meliputi: Zakat Ternak (ZT), Zakat Tanaman dan Buah-buahan (ZTB), Zakat Emas dan Perak/Uang (ZU), dan Zakat Perdagangan (ZPd).

b) Pajak Tanah Taklukan (Kharaj).

c) Jaminan Keamanan Warga Negara Non Muslim (Jizyah).

d) Laba BUMN.

2) Penerimaan Tidak Tetap Negara, terdiri dari:

a) Rampasan Perang, terdiri dari Fa’i dan 1/5 Ghanimah.

b) Pajak, terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional (Bea Masuk).

c) Bagian Kepemilikan Rakyat (Migas dan Non Migas).

  1. Belanja Negara

1) Belanja Tetap Negara, yang terdiri dari:

a) Belanja Umum, yang meliputi belanja pegawai negeri, belanja militer, belanja penyediaan barang, dan belanja umum lainnya.

b) Belanja Khusus, yang meliputi 8 ashnaf yang hartanya berasal dari zakat.

2) Belanja Tidak Tetap Negara, meliputi biaya dakwah dan jihad atau perluasan kekuasaan wilayah, penanggulangan bencana, dan belanja tidak tetap lainnya..



[1] www.wikipedia.com/apbn.

[2] Amandemen Undang-undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Tr3nity, 2009.

[3] Peraturan Menteri Keuangan dan dirjen Pajak tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2009, dilengkapi peraturan menteri keuangan RI No. 104 tahun 2008 tentang standar biaya tahun anggaran 2009.

[4] UU Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); UU No. 12 tahun 1984 dan UU No. 12 tahun 1994

[5] UU Bea Perolehan Hak atasTanah dan Bangunan (BPHTB); UU No. 21 tahun 1997 dan UU No. 20 tahun 2000.

[6] Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI CUKAI UU RI No. 11, 39 tentang Cukai No. 26 tahun 2009 tentang tata cara Pengenaan sangsi administrasi berupa denda di bidang Cukai, Nuansa Mulia.

[7] Muhammad Djafar Saidi dan Rohana Huseng, Hukum Penerimaan Negara Bukan Pajak, PT. RajaGrafindo Persada.

[8] UU RI No. 7 tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan UU RI No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Citra Umbara, Bandung. Lihat juga Himpunan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kehutanan, Harvarindo, 2009. lihat juga Undang-Undang MINERBA (Mineral dan Batu Bara) UU RI No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Pustaka Yustisia. Lihat juga Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi dilengkapi Peraturan Pelaksanaannya, Harvarindo, 2008

[9] Pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah dan Hibah dan Bantuan Daerah, Bp. Cipta Jaya, Jakarta

[10] Peraturan Pemerintah RI No. 38 tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah tahun 2009 (dilengkapi Peraturan Presiden tentang tata cara pengadaan dan penerusan dalam negeri oleh pemerintah)

[11] Peraturan Presiden No. 95 tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perubahan ke Tujuh).

[12] UU dan PP. RI tentang Penanggulangan Bencana meliputi: UU RI No. 24 tahun 2007, PP RI No. 21 tahun 2008 tentang penyelenggaraan Penanggulangan Bencana tahun 2008, PP RI No. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Negara.

[13] Taqyuddin An Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 2002, hal. 268-269

[14] Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2002.

[15] Ibid. Lihat juga Taqyuddin an-Nabhani, Ibid.


Tidak ada komentar: