Rabu, 08 April 2009

KOREKSI TERHADAP BUKU KONFLIK DALAM YURISPRUDENSI ISLAM; Karya Noel J Coulson

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab


IDEALISME DAN REALISME
Sebagaimana pada bab-bab sebelumnya, Noel J. Coulson dalam bukunya ’Konflik dalam Yurisprudensi Islam’ memberikan komentarnya tentang dunia Islam, dan entah apa maksud dari seorang yang tidak memiliki aqidah dan loyalitas terhadap Islam, namun memang tampak dari pendapat-pendapatnya, Noel seakan ingin mencari kelemahan-kelemahan yang dimiliki Islam dengan membenturkannya dengan fakta dengan sesuatu yang disebut oleh Noel sebagai doktrin Islam.

Sedikit berbeda dengan bab-bab sebelumnya yang membenturkan ”doktrin” Islam dengan fakta kontemporer, yaitu dengan maksud agar doktrin Islam tersebut berubah dan menyesuaikan diri dengan keadaan masa sekarang, pada bab ini (Idealisme dan Realisme) Noel berusaha membenturkan doktrin Islam dengan gejolak penerimaan hukum masa sekarang yang tidak lagi menerapkan hukum Islam, yang menurut Noel hukum non Islam tersebut ternyata memberikan kontribusi positif bagi realitas kehidupan dan juga mendapat sambutan dari segi manfaat.

Sebagai contoh, walaupun banyak kasus yang Noel tuturkan dalam bab ini, namun dalam tulisan ini hanya sedikit yang diungkap yaitu yang hanya dianggap sebagai kasus yang cukup merepresentasikan kasus-kasus tersebut. Noel menuturkan dalam masalah riba dan sistem sangsi dalam Islam, sebagai contoh rajam dan potong tangan.

Dalam hal riba, Noel menuturkan bahwa terkait riba para fuqaha telah memperluasnya secara sistematik untuk menghindari bentuk bunga apapun yang berkaitan dengan pinjaman dan penananaman modal. Namun disisi lain Noel juga mengungkap ulama-ulama lain yang berpandangan bertolak belakang dengan sebelumnya, yang dianggap oleh Noel sebagai ulama yang realistis dan mampu menolak sikap picik dari doktrin syari’ah. Disini terlihat ketidakberpihakan Noel terhadap Islam. Noel juga menambahkan tentang riba, dengan mendiskreditkan fuqaha yang menganggap khamisa sebagai riba, dengan menyanjung fuqaha yang yang tidak menyamakan khamisa dengan riba. Yaitu dengan menyandingkannya dengan realitas sebagai sesuatu kebutuhan ekonomi dalam masyarakat yang mempunyai fluktuasi dan kecil. Maka dari itu layak untuk diterima sebagai suatu sistem pidana untuk masyarakat moderen.

Sedangkan dalam masalah sistem sangsi seperti rajam dan potong tangan, Noel mengungkap bahwa sangsi semacam itu adalah sistem kuno, usang dan tidak layak pakai lagi. Noel juga menambahkan pendapatnya tentang fakta bahwa sebenarnya ketiadaan sistem sangsi Islam yang saklek tersebut di negeri-negeri Islam, yang kemudian berubah menjadi sangsi pidana yang lain, sebenarnya, kesemuanya itu mengikuti sistem-sistem sangsi yang sudah lebih dulu/sedang diterapkan di negara-negara eropa, artinya perpindahan sistem sangsi Islam yang diterapkan negeri muslim ke sistem sangsi eropa, sebenarnya negara-negara eropa lebih maju, moderen, dan layak dijadikan rujukan negeri-negeri muslim.

Sebenarnya, apa yang oleh Noel ungkap tentang berbagai kasus dalam bab idealisme dan realisme, tak ayal merupakan suatu opini untuk menunjukkan bahwa hukum Islam tradisional tak layak lagi diterapkan di masa sekarang, sedangkan yang layak untuk eksis adalah hukum-hukum yang lahir atas dasar kompromi atau sesuai kesepakatan mayoritas, yang sebetulnya suatu kondisi mayoritas masyarakat dapat dikendalikan oleh negara adidaya yang sekarang sedang dipegang oleh kaum imperialis kafir penjajah.

HUKUM DAN MORLITAS
Dalam bab ini, yaitu hukum dan moralitas, Noel mengangkat tema tentang kekaburan pemisah antara praktek hukum Islam dan moralitasnya, yang sebenarnya setiap pendapat Noel dalam bab ini apabila ditelaah lebih jauh, sebenarnya berangkat dari aqidah yang dianut olehnya, yaitu bahwa tidak ada siksa akhirat atau bahkan mungkin lebih jauh, bahwa tidak ada yang namanya akhirat itu. Yang berbeda sama sekali dengan pembahasan yang menjadi objek pembahasan Noel, yaitu Islam. Dalam aqidah Islam menerangkan bahwa akhirat dan setiap pembalasannya adalah sesuatu yang pasti, sebagaimana kepastian bahwa sebuah kendaraan bermotor pasti ada yang membuatnya, maka demikian juga akhirat itu. Maka setiap peraturan perundang-undangan yang lahir dari aqidah Islam yang dilaksanakan di muka bumi akan memiliki konsekuensi pasti terhadap akhiratnya. Bahwasanya setiap peraturan Islam yang terlaksana di muka bumi memiliki dua fungsi, yaitu sebagai jawazir dan juga jawabir, yang tentu saja kedua fungsi tersebut tidak terdapat dalam aqidah selain aqidah Islam sebagaimana aqidah yang dianut oleh Noel.

Keberadaan dua fungsi dalam peraturan perundang-undangan Islam ini sebenarnya telah mampu menggoyahkan, kalau tidak dapat dikatakan menghancurkan, setiap pendapat Noel dalam bab ini. Karena hubungan fungsi jawabir dan jawazir dengan peraturan yang terlaksana, akan membuat antara hukum dan moralitas tampak menyatu dan memiliki hubungan yang sinergis dan masuk akal, dan bukannya memiliki kekaburan pemisah. Sedangkan pandangan Noel terhadap perundang-undangan barat yang dijadikan sebagai contoh baik bagi peraturan Islam, merupakan peraturan yang lahir dari aqidah sekularisme yang menafikkan adanya pembalasan di akhirat. dikarenakan lahirnya aqidah sekularisme itu banyak dilatarbelakangi dengan agama nasrani yang sebagaimana diketahui, bahwa dalam agama nasrani tetap ada kepercayaan adanya kehidupan akhirat, namun, setiap dosa umatnya telah ditebus oleh sang juru selamat domba-domba tersesat pada saat penyiksaan diakhir kehidupannya. Selain itu agama nasrani tidak melahirkan peraturan-peraturan pengatur kehidupan, melainkan peraturan tersebut lahir dari aqidah sekularisme yang merupakan hasil kompromi antara kaum intelektual dan kalangan gerejawan di masa renaissan. Artinya, tidak pernah ada orang selain muslim mengenal adanya peraturan yang memiliki fungsi jawabir (pengganti siksaan di akhirat) juga jawazir (menakut-nakuti untuk mencegah kriminal), sehingga merupakan sesuatu yang lumrah apabila peraturan Islam yang diterapkan dianggap memiliki kekaburan antara hukum dan moralitasnya. Yang menurut Noel tidak sebagaimana peraturan yang diterapkan di barat, yang memiliki garis pemisah yang jelas antara hukum dan moralitas.

Adapun contoh yang diangkat Noel dalam bab ini adalah tentang perkawinan diantara dua mazhab, meskipun ada kesempatan untuk bercerai, semua mazhab sunni sepakat bahwa akad perkawinan, pada hakekatnya adalah perjanjian untuk bersatu secara abadi, dan karena itu akad perkawinan yang berisikan dengan sengaja untuk suatu masa waktu yang terbatas adalah sama sekali bukan perkawinan dan batal menurut hukum. Menurut fiqh Hanbali akad perkawinan yang mengandung makna tertentu juga batal, meskipun tidak ada syarat batas waktu yang nyata, ada bukti bahwa yang berakad itu sebenarnya bermaksud untuk kawin sementara. Tetapi menurut fiqh Hanafi, bukti dari maksud fikiran atau hati pihak-pihak yang berakad adalah tidak relevan. Jika akad eksternal dan formal, lisan atau tulisan, adalah sesuai dengan syarat-syarat hukum, perkawinan itu adalah sah. Para pengikut Hanafi puas dengan pernyataan bahwa maksud yang tidak benar apapun dari pihak-pihak yang berakad boleh jadi masalahnya diserahkan antara mereka sendiri dan Allah.

Dari pernyataan Noel tersebut mengindikasikan bahwa masalah hati harus tetap diperhitungkan dalam hukum, sedangkan Islam karena memiliki aqidah yang jauh berbeda dengan yang lainnya, maka masalah niat di hati diserahkan pada Allah, dan ini benar karena dalam islam memberitahukan bahwa sesuatu itu tidak diperhitungkan sebagai dosa selama berada dalam niat dan belum sempat dilaksanakan oleh pelakunya. Kalaupun hal itu dia lakukan seperti dalam masalah perkawinan tadi, maka pertanggungjawabannya tentu saja langsung pada Allah. Dan sebenarnya perbedaan pendapat antara fuqaha dan Noel adlah beasal dari paradigma yang melatarbelakanginya, bahwa Islam mempercayai adanya balasan baik bauruk di akhirat, sedangkan Noel tidak.

OTORITAS DAN KEBEBASAN
Dalam bab otoritas dan kebebasan yang ditulis Noel J. Coulson ini, dia bermaksud memperbandingkan fakta dengan otoritas dalil-dalil syar’I, atau bisa dikatakan dengan membenturkan fakta yang berlawanan arah dengan yang menjadi otoritas dalil syar’I, sehingga dia bemaksud untuk menggoyang kemapanan dalil syar’i.

Apa saja fakta yang diungkap oleh Noel dalam bukunya di bab ini, seperti banyak kasus persengketaan dalam rumah tangga, sebenarnya adalah kasus-kasus yang bermunculan ketika sistem kehidupan Islam yang kompleks tidak lagi diterapkan, sehingga kasus-kasus tersebut menuntut adanya solusi yang perlu dipecahkan dengan bukan solusi yang berasal dari sistem Islam. Namun sebenarnya solusi yang bukan berasal dari Islam tersebut hanya akan terus menimbulkan permasalahan baru dari segi dunia, dan kemurkaan Allah diakhirat kelak. Solusi Islam memang akan menimbulkan kemudharatan yang besar apabila diterapkan pada suatu masalah yang muncul akibat dari tidak diterapkannya kehidupan Islam yang kompleks, namun akan memberikan dampak yang luar biasa apabila diterapkan pada masalah yang muncul ditengah-tengah penerapan sistem kehidupan Islam. Seperti kasus potong tangan dan rajam, tentu saja akan menjadi bencana apabila diterapkan sistem sosial ekonomi kapitalis yang membuat banyak orang mencuri dan berzina karena faktor ekonomi, namun akan berdampak positif apabila diterapkan saat sistem sosial ekonomi Islam diterapkan.

Sebagaimana pada bab-bab pembahasan sebelumnya, Noel selalu mengangkat kasus rusaknya kehidupan dunia Islam yang mengguncang otoritas hukum Islam, namun semua kejadian itu lebih banyak bermunculan setelah kekuasaan pemerintahan Islam tumbang oleh konspirasi jahat kaum kuffar bersama anteknya Mustafa Kemal at-Tatruk. Dan bisa dikatakan tidak ada kasus yang muncul disaat sebelum tumbangnya kekuasaan Islam disuatu wilayah tertentu yang dahulunya dibawah kekuasaannya.

Pernyataan diatas sesuai dengan ungkapan Noel pada halaman 54, ia mengatakan “tetapi ketika keadaan masyarakat telah berkembang dan berubah, maka hukum yang sudah tetap itu mulai dipertanyakan dan otoritasnya menjadi hancur. Hukum Islam ternyata tidak lebih immun dari proses umum ini dari pada sistem hukum yang lain”. Jelas ia ingin menggoyahkan otoritas hukum Islam dengan fakta-fakta yang berlawan.

DEMOKRASI SISTEM KUFUR


Karya: Abdul Qodim Zallum. Penerbit: Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2003 bedah buku
Oleh: M Shiddiq al-Jawi

Pendahuluan
                Dalam pandangan masyarakat saat ini, sistem pemerintahan demokrasi merupakan satu sistem pemerintahan tanpa alternatif yang ideal dalam pengaturan urusan masyarakat. Kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berprilaku dan kebebasan kepemilikan merupakan sesuatu yang inheren dengan sistem pemerintahan ini, yang itu dipandang positif dan sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini yang plural. Hak Asasi Manusia (HAM) juga tak luput dari paradigma dasar adanya sistem pemerintahan ini. MPR-DPR merupakan lembaga legislatif yang bertugas merancang dan mengesahkan Undang-Undang yang akan berlaku bagi masyarakat suatu negara.
                Fakta menunjukkan, sering kali terjadi penistaan agama dengan mengatasnamakan HAM dan kebebasan, pakaian yang seronok yang mengumbar syahwat juga demikian, pengeksplorasian besar-besaran kekayaan alam bangsa ini oleh asing juga berkat adanya empat kebebasan yang melekat pada sistem pemerintahan ini, seperti adanya PT. Freeport di Papua, Blok Cepu dan lain sebagainya. Bangsa asing juga demikian ketika melakukan agresi militernya, membodohi bangsa lain dengan bantuan hutangnya, memaksakan agar suatu Undang-Undang yang memihak kepadanya untuk segera terealisasi, seperti UU SDA, UU Penanaman Modal, BHP dan lain sebagainya, juga karena sistem pemerintahan demokrasi yang sebelumya mereka opinikan untuk diterapkan diseluruh bangsa di dunia. Sistem pendidikan dengan mata pelajaran agama yang hanya dua jam perminggu, tentu saja tidak ada imbangnya dengan mata pelajaran lainnya, padahal yang dapat membuat generasi bangsa ini baik adalah agama.
                Oleh karena itu buku Abdul Qodim Zallum yang memiliki (terrjemahan) tebal 90 halaman ini dipilih untuk menjadi pembahasan dalam tugas ”book revieuw” kali ini sebagai pembahasan yang mengungkapkan apa dan bagaimana penerapan demokrasi, dan juga hubungan kesesuaiannya dengan hukum islam.

Pembahasan
                
Dengan menelaah buku Demokrasi Sistem Kufur (DSK) secara cermat, setidaknya ada 5 (lima) ide pokok (pikiran utama) yang hendak disampaikan oleh penulisnya, yaitu :
Ide pokok pertama, menjelaskan tentang demokrasi dari segi pengertiannya, sumbernya, latar belakangnya, aqidah yang melahirkannya, asas-asas yang melandasinya, serta hal-hal yang harus diwujudkannya agar rakyat dapat melaksanakan demokrasi.
                Ide pokok kedua, menerangkan bagaimana demokrasi yang sebenarnya ide khayal itu dipraktekkan dalam kenyataan. Dijelaskan pula paradoks yang terjadi di negara-negara Barat dan negeri-negeri Islam dalam penerapan demokrasi.
                 Ide pokok ketiga, menerangkan 2 (dua) sebab utama mengapa umat mengambil demokrasi, yakni serangan pemikiran yang dilancarkan Barat, dan kelemahan pemahaman di kalangan kaum muslimin.
                 Ide pokok keempat, menerangkan tentang hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh diambil kaum muslimin dari umat dan bangsa lain, serta tentang hal-hal yang haram diambil oleh kaum muslimin.
                 Ide pokok kelima, menerangkan pertentangan total antara demokrasi dengan Islam dari segi sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta ide dan peraturan yang dibawanya.
Ide Pertama : Deskripsi Ringkas Demokrasi
                Pada bagian awal buku Demokrasi Sistem Kufur (DSK), Syekh Abdul Qadim Zallum berusaha menguraikan demokrasi secara ringkas. Satu hal yang beliau tekankan, bahwa demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan peran agama dalam kehidupan manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti idenya tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba mengingatkan mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar belakang dan situasi sejarah yang melingkupi kelahirannya.
Penjelasan ringkas ini meliputi 5 (lima) aspek utama yang berkaitan dengan demokrasi, yaitu :
a). Asal-usul demokrasi
b). Aqidah demokrasi
c). Ide dasar demokrasi
d). Standar demokrasi (yaitu mayoritas)
e). Kebebasan dalam demokrasi, sebagai prasyarat agar rakyat dapat mengekspresikan kehendak dan kedaulatannya tanpa paksaan dan tekanan
Berdasarkan kelima aspek ini, penjelasan ringkas tentang demokrasi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
Demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT.
Demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara.
Demokrasi berlandaskan dua ide : Kedaulatan di tangan rakyat dan Rakyat sebagai sumber kekuasaan.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan, serta pengambilan keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas.
Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebebasan, yaitu : Kebebasan beragama (freedom of religion), Kebebasan berpendapat (fredom of speech), Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership) dan Kebebasan bertingkah laku (personal freedom).

Ide Kedua : Praktik dan Pertentangan Demokrasi
                Demokrasi adalah ide khayal (utopia), tidak sesuai dengan realitas dan penuh dengan paradoks, dan telah melahirkan dampak-dampak yang sangat buruk dan mengerikan terhadap umat manusia. Inilah yang hendak diuraikan oleh buku DSK pada ide pokok keduanya.
                Demokrasi dalam pengertiannya yang asli adalah khayal, sedang setelah dilakukan takwil padanya, tetap tidak sesuai dengan fakta yang ada. Misalnya ide bahwa pemerintahan adalah dari, oleh, dan untuk rakyat dan bahwa kepala negara dan anggota parlemen merupakan wakil dari kehendak rakyat dan mayoritas rakyat. Faktanya, tidak seperti itu. Mustahil seluruh rakyat menjalankan pemerintahan. Karena itu, penggagas demokrasi membuat sistem perwakilan, sehingga katanya, rakyat harus diwakili oleh wakil-wakilnya di parlemen. Benarkah para anggota parlemen betul-betul mewakili rakyat dan membawa aspirasi mereka? Benarkah kepala negara yang dipilih oleh parlemen juga menyuarakan hati nurani rakyatnya? Ah, ternyata tidak juga. Bohong itu semua. Di negara-negara kapitalis, seperti Amerika dan Inggris, anggota parlemen sebenarnya mewakili para kapitalis, bukan mewakili rakyat. Di Amerika, proses pencalonan dan pemilihan wakil rakyat selalu dibiayai oleh para kapitalis, demikian uraian Syekh Abdul Qadim Zallum.
               Apakah seorang kepala negara yang dipilih parlemen benar-benar menyuarakan atau memperhatikan aspirasi rakyat? Ternyata juga tidak. Dalam buku DSK diuraikan contoh-contoh yang pernah ada dalam sejarah mengenai penguasa yang bertindak sendiri, tanpa persetujuan mayoritas parlemen, seperti Sir Anthony Eden (Inggris), John Foster Dulles (AS), Charles De Gaule (Perancis), dan Raja Hussein (Yordania).
                Di samping menyoroti paradoks-paradoks demokrasi seperti itu, buku DSK juga menyinggung dampak-dampak buruk penerapan demokrasi. Kebebasan hak milik (sebagai prasyarat demokrasi), telah melahirkan kapitalisme yang akhirnya menjadi sarana negara-negara Barat untuk menjajah dan mengeksplotir berbagai bangsa di dunia. Akibat kapitalisme itu terutama adalah semakin memiskinkan negara-negara terjajah dan semakin membuat kaya negara-negara penjajah yang kafir. Banyak data kuantitatif yang membeberkan kenyataan ini. Negara-negara industri yang kaya (seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang) yang hanya mempunyai 26 % penduduk dunia, ternyata menguasai lebih dari 78 % produksi barang dan jasa, 81 % penggunaan energi, 70 % pupuk, dan 87 % persenjataan dunia. (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, hal. 8-9).
                Kebebasan bertingkah laku yang dijajakan Barat, ternyata menimbulkan kebejatan moral yang mengerikan di Barat dan juga di negeri-negeri Islam yang mengekor Barat. Mayoritas rakyat AS (sebanyak 93 %) mengakui tidak mempunyai pedoman moral dalam hidupnya. Sekitar 31 % orang masyarakat AS yang telah berumah tangga pernah melakukan hubungan seks dengan pasangan lain. (Jumlah ini kira-kira setara dengan 80 juta orang). Mayoritas orang AS (62 %) menganggap hubungan seks dengan pasangan lain adalah sesuatu yang normal dan tidak bertentangan dengan tradisi atau moral. (Lihat Muhammad bin Saud Al-Basyr, Amerika di Ambang Keruntuhan, h. 13-32).

Ide Ketiga : Sebab Diambilnya Demokrasi oleh Umat Islam
                DSK pada bagian ini menerangkan mengapa demokrasi yang jelek itu tetap saja laku di kalangan umat Islam. Secara global, Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan ada 2 (dua) sebab, yaitu : Pertama, serangan kebudayaan (al-ghazwu ats-tsaqofi) yang dilancarkan Barat terhadap negeri-negeri Islam, yang dilancarkan sejak lama bahkan sebelum runtuhnya Khilafah Islamiyah, dan memuncak pada pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah (pada paruh kedua abad XIX M). Kedua, kelemahan dan kemerosotan taraf berpikir umat yang sangat parah. Kedua faktor ini saling bersinergi secara negatif, sehingga akhirnya umat terpikat dan terkecoh untuk mengambil peradaban Barat.
                Dalam serangan kebudayaan, Barat antara lain menempuh cara menjelek-jelekkan Islam dan menerangkan bahwa biang kerok kemerosotan umat Islam adalah hukum-hukum Islam itu sendiri. Selain itu, Barat juga melakukan manipulasi pemikiran dengan menyatakan bahwa demokrasi tidaklah bertentangan dengan Islam dan bahwa justru Barat mengambil demokrasi dari Islam.
                Sementara itu, pada saat yang sama kaum muslimin tengah anjlok taraf berpikirnya. Khususnya mengenai sikap yang harus diambil terhadap ide-ide yang berasal dari bangsa dan umat lain. Umat masih bingung dan belum mempunyai standar yang jelas mengenai apa yang boleh diambil dan tidak boleh diambil dari bangsa dan umat yang lain.
                Adanya serangan Barat dan kemerosotan taraf berpikir umat inilah yang akhirnya menjerumuskan umat untuk mengambil ide demokrasi Barat yang kafir.

Ide Keempat : Kaidah Pengambilan Ide dari Umat dan Bangsa Lain
                Pada bagian ini, dengan berlandaskan kajian yang komprehensif terhadap nash-nash syara’, penulis buku DSK menerangkan mana saja hal-hal yang boleh diambil kaum muslimin – dari apa yang dimiliki oleh umat dan bangsa lain– dan mana saja yang tidak boleh mereka ambil.
               Standar atau kriterianya adalah sebagai berikut. Seluruh ide yang berhubungan dengan sains, teknologi, penemuan-penemuan ilmiah, dan yang semisalnya, serta segala macam bentuk benda/alat/bangunan yang terlahir dari kemajuan sains dan teknologi (madaniyah), boleh diambil oleh kaum muslimin. Kecuali jika terdapat aspek-aspek tertentu yang menyalahi ajaran Islam, maka kaum muslimin haram untuk mengambilnya, seperti Teori Darwin.
                Ini dikarenakan semua pemikiran yang berkaitan dengan sains dan teknologi tidaklah berhubungan dengan Aqidah Islamiyah dan hukum-hukum syara’ yang berkedudukan sebagai solusi terhadap problematika manusia dalam kehidupan, melainkan dapat dikategorikan ke dalam sesuatu yang mubah, yang dapat dimanfaatkan manusia dalam berbagai urusan hidupnya. Dalam hal ini Rasullah SAW bersabda : “Kalian lebih mengetahui urusan-urusan dunia kalian.” (HR. Muslim).
                Adapun ide-ide yang berkaitan dengan aqidah dan hukum-hukum syara’, serta ide-ide yang yang berhubungan dengan peradaban/kultur Islam (hadlarah), pandangan hidup Islam, dan hukum- hukum yang menjadi solusi bagi seluruh problema manusia, maka semua ide ini wajib disesuaikan dengan ketentuan syara’, dan tidak boleh diambil dari mana pun kecuali hanya dari Syari’at Islam saja. Artinya, hanya diambil dari wahyu yang terkandung dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma’ Shahabat dan Qiyas, serta sama sekali tidak boleh diambil dari selain sumber-sumber tersebut. Sebab dalam hal ini Allah SWT telah memerintahkan kita untuk mengambil apa saja yang dibawa oleh Rasul SAW kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarang oleh beliau. Allah SWT berfirman : “Apa yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian maka terimalah/laksanakanlah dia, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7).
                 Karena itu, kaum muslimin tidak boleh mengambil peradaban/kultur Barat, beserta segala peraturan dan undang-undang yang terlahir darinya, termasuk demokrasi. Sebab peradaban tersebut bertentangan dengan peradaban Islam.

Ide Kelima : Kontradiksi Demokrasi dengan Islam
                Pada ide pokok kelima ini, Syekh Abdul Qadim Zallum menguraikan 5 (lima) segi kontradiksi Islam dengan demokrasi, yaitu :
1). Sumber Kemunculan
                 Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia, dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.
                Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah SAW. Dalam hal ini Allah SWT berfirman : “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm : 3-4)

2). Aqidah
                Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen –yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan perisai untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama– dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.
Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri.
                Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah –yakni hukum-hukum syara’ yang lahir dari Aqidah Islamiyah– dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.

3). Pandangan Tentang Kedaulatan dan Kekuasaan
                Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat. Kekuasaan juga bersumber dari rakyat, baik kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
                Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman : “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’aam: 57).
Dalam hal kekuasaan, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.
               Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim).

4). Prinsip Mayoritas
                Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinsiannya adalah sebagai berikut :
                Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah.
                Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.
               Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.

5). Kebebasan
                Dalam demokrasi dikenal ada empat kebebasan, yaitu: Kebebasan beragama (freedom of religion), Kebebasan berpendapat (fredom of speech), Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership) dan Kebebasan bertingkah laku (personal freedom).
               Ini bertentangan dengan Islam, sebab dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya. Tidak bisa bebas dan seenaknya. Terikat dengan hukum syara’ bagi seorang muslim adalah wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya iman padanya. Allah SWT berfirman : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muham- mad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An Nisaa’: 65).

Minggu, 05 April 2009

PANDANGAN ISLAM TENTANG KLONING MANUSIA

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab


Pendahuluan
               Berawal dari keberhasilan kloning seekor domba benama Dolly, fakta yang menunjukkan bahwa keturunan dapat dihasilkan tanpa adanya pertemuan sel dari dua jenis kelamin yang berbeda, membuat para ilmuan mencoba mempraktikkannya lebih jauh lagi, yaitu pada manusia. Walaupun belum membuahkan hasil, adanya fakta dari kloning seekor domba menurut para ilmuan merupakan awal dari keberhasilan dalam mengkloning manusia, dan apabila ini sampai terjadi dan berhasil, maka babak baru peradaban manusia akan mulai bergulir, yaitu tanpa adanya laki-laki kehidupan akan terus berjalan, kelahiran juru selamat domba-domba tersesatpun akan terungkap dan banyak lagi rahasia ilmu pengetahuan lainnya akan terungkap, walaupun juga dapat dipastikan permasalahan serius dan besar akan segera datang sejalan dengan datangnya keberhasilan kloning manusia.
             Islam yang merupakan agama sempurna tentu saja selayaknya mampu untuk menjawab permasalahan diatas, walaupun didalam teks-teks nashnya tidak kita jumpai kata kloning, dan bahkan faktanya sekalipun.

Metode Pembahasan
                Untuk mengambil sebuah kesimpulan yang benar dalam pembahasan ini, penulis menggunakan metode deduktif. Yaitu suatu metode ushul fiqh yang membenturkan fakta dengan dalil-dalil syara’ yang terkait dengan permasalan tersebut, yaitu kloning manusia. Adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut:
                Pertama, memahami fakta (fahmu al-waqi’), yaitu menggali setiap detil persoalan teknis dari kloning sehingga didapati apa yang sebenarnya terjadi, dan berbagai macamnya dari fakta kloning manusia. Kedua, memahami nash/dalil (fahmu an-nushush), yaitu menghimpun setiap dalil-dalil Qur’an maupun sunnah dan dalil-dalil lainnya yang itu memiliki keterkaitan dengan segala praktek yang ada pada praktek kloning. Dan yang terakhir, ketiga, menarik kesimpulan hukum (Istinbathil ahkam) yaitu membenturkan antara fakta dengan dalil-dalil syara’ yang sudah terhimpun, sehingga dapat ditarik kesimpulan hukum dari fakta kloning tersebut apakah halal, haram, sunah, wajib ataukah makruh.
               Adapun dalam menarik kesimpulan hukum tersebut, penulis berpegang pada tahapan berikut: yaitu mendahulukan dalil Qur’an kemudian Hadits Rasul kemudian Ijma’ Shahabat, dan baru kemudian mempertimbangkan dalil-dalil syara’ yang lain, yang sebenarnya dalil-dalil tersebut tidak disepakati oleh para Imam mazhab fiqh. Yaitu mashalih murshalah, istihsan, ’urf, istihshab dan syar’u man qablana.


Fakta Kloning (Fahmu al-Waaqi’)
               Pada pembuahan yang alami pada manusia, yang terjadi adalah bertemunya sel kelamin laki-laki berupa sel sperma yang berjumlah 23 kromosom, dengan sel telur perempuan yang juga berjumlah 23 kromosom, jadi saat bertemunya kedua sel kelamin tersebut berjumlah 46 kromosom, dan sifat-sifat keturunan yang dihasilkannyapun berasal dari kedua induknya baik dari laki-laki maupun perempuan, yang diantara keturunan-keturunannya tidak akan memiliki corak fisik yang sama, misalkan tinggi, berat dan lebar badan. Begitu pula mereka akan berbeda-beda dari segi potensi akal dan kejiwaan yang sifatnya asli.
                 Berbeda dengan pembuahan yang menggunakan sistem kloning, kloning manusia adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya yang berupa manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengambil sel tubuh (bukan sel kelamin dari buah zakar) dari tubuh manusia, kemudian diambil inti selnya (nukleusnya) dan selanjutnya ditanamkan pada sel telur wanita yang telah dihilangkan inti selnya dengan suatu metode yang mirip dengan proses pembuahan atau inseminasi buatan. Dengan metode itu, kloning manusia dilaksanakan dengan cara mengambil inti sel dari tubuh seseorang, lalu dimasukkan kedalam sel telur yang diambil dari seorang perempuan. Lalu dengan bantuan cairan kimiawi khusus dan kejutan arus listrik, inti sel digabungkan dengan sel telur. Setelah keduanya bercampur kemudian ditransfer kedalam rahim seorang perempuan, agar dapat memperbanyak diri, berkembang, dan berubah menjadi janin sempurna. Setelah itu keturunan yang dihasilkan dapat dilahirkan secara alami. Keturunan ini akan berkode genetik yang sama dengan induknya, yakni orang yang yang menjadi sumber inti sel tubuh yang telah ditanamkan pada sel telur perempuan.
                Berbeda dengan sel kelamin, sel tubuh yang digunakan untuk pengkloningan manusia sudah memiliki jumlah dua kali lipat dari sel kelamin yang hanya 23 kromosom, yaitu 46 kromosom. Jadi, proses kloning manusia dapat terjadi baik dengan adanya laki-laki maupun tanpa adanya laki-laki. Proses ini terlaksana dengan cara mengambil sel tubuh seorang perempuan saja misalnya, tanpa ada laki-laki, kemudian diambil inti selnya yang mengandung 46 kromosom, atau dengan kata lain diambil seluruh sifat yang akan diwariskan, dan kemudian ditanam pada sel telurnya sendiri juga bisa dengan sel telur orang lain yang telah dibuang inti selnya. Selanjutnya, setelah terjadi penggabungan antara inti sel tubuh dengan sel telur yang telah dibuang inti selnya tadi, kemudian ditransfer kedalam rahimnya sendiri dan juga bisa kedalam rahim orang lain.
Sampai pada tataran ini, maka inti sel tubuh manusia maupun hewan tak ubahnya seperti sel sperma laki-laki yang memiliki potensi benih dan mampu menggantikan posisinya dalam membuahi ovum pada proses pembuahan alami.
                Pewarisan sifat dalam proses kloning, sifat-sifat yang diturunkan hanya berasal dari orang yang menjadi sumber pengambilan sel tubuh, baik laki-laki maupun perempuan. Dan anak yang dihasilkan akan memiliki ciri yang sama dengan induknya dalam hal penampilan fisiknya, dengan kata lain anak tersebut akan mewarisi seluruh ciri-ciri yang bersifat asli dari induknya. Sedangkan ciri-ciri yang diperoleh melalui hasil usaha, tidaklah dapat diwariskan. Jika misalnya sel diambil seorang ulama yang faqih, atau mujtahid besar, atau dokter ahli, maka tidak berarti si anak akan mewarisi ciri-ciri tersebut, sebab ciri-ciri ini merupakan hasil usaha, bukan sifat asli.
                 Ada jenis lain dari kloning manusia ini, yaitu kloning embrio. Kloning embrio ini didefinisikan sebagai teknik pembuatan duplikat embrio yang sama persis dengan embrio yang terbentuk dalam rahim seorang ibu. Seeorang dokter akan membagi embrio ini menjadi dua sel dan seterusnya, yang selanjutnya akan menghasilkan lebih dari satu sel embrio yang sama dengan embrio yang sudah ada. Lalu akan terlahir anak kembar yang terjadi melalui proses kloning embrio ini dengan kode genetik yang sama dengan embrio pertama.



Dalil Syara’ (Fahmu an-Nushush)
1. Nash Qur’an
Surat an-Najm ayat 45-46
“Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, dari air mani apabila dipancarkan.”
Surat al-Qiyaamah ayat 37-38
“Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (kedalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya. Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan.”
Surat al-Hujurat ayat 13
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.”
Surat al-Ahzaab ayat 5
”Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka.”

2. Nash Hadits
Riwayat Ibnu Majah
”Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.”
Riwayat Ibnu Majah
Diriwayatkan dari Abu ’Utsman An Nahri RA, yang berkata, ”Aku mendengar Sa’ad dan Abu Bakrah masing-masing berkata, ’kedua telingaku telah mendengar dan hatiku telah menghayati sabda Muhammad SAW: ”Siapa saja mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga baginya haram.”
Riwayat ad-Darimi
”Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apapun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya kedalam surga. Dan siapa saja laki-laki mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu dihadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada hari kiamat nanti).”

Hukum Kloning (Istinbathi al-Ahkam)
               Kloning embrio terjadi pada sel embrio yang berasal dari rahim istri, yang terbentuk dari pertemuan antara sel sperma suaminya dengan sel telurnya. Kemudian sel-sel embrio itu dipisahkan agar masing-masing menjadi embrio tersendiri yang persis sama dengan sel embrio pertama yang menjadi sumber pengambilan sel. Hukum kloning embrio ini akan menjadi terbagi dua apabila:
a. Sel-sel embrio tadi ditanamkan kedalam rahim bukan pemilik sel telur, yaitu ditanam pada rahim bukan istrinya ataupun ditanam pada rahim istrinya namun bukan pemilik sel telur, yaitu istri kedua. Maka hukum dari kesemuanya itu adalah haram, sebab terjadi percampuradukkan dan penghilangan nasab (garis keturunan).
b. Sel-sel embrio tersebut ditanamkan kedalam rahim istri pemilik sel telur itu, maka kloning semacam ini mubah hukumnya menurut syara’, sebab kloning seperti ini adalah upaya memperbanyak embrio yang sudah ada dalam rahim perempuan itu sendiri untuk menghasilkan anak kembar.
                Adapun hukum Kloning manusia, baik yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas keturunan dengan menghasilkan keturunan yang lebih cerdas, lebih kuat dan lebih rupawan, maupun yang bertujuan untuk memperbanyak keturunan guna meningkatkan jumlah penduduk suatu bangsa agar lebih kuat, maka sungguh akan menjadi bencana dan biang kerusakan bagi dunia. Kloning ini haram menurut hukum Islam dan tidak boleh dilakukan. Adapun sebabnya adalahnya:
a. Anak-anak produk proses kloning tersebut dihasilkan melalui cara yang tidak alami. Padahal cara alami itulah yang telah ditetapkan oleh Allah untuk manusia dan dijadikanNya sebagai sunnatullah untuk menghasilkan anak-anak dan keturunan.
b. Anak-anak produk kloning dari perempuan saja (tanpa adanya laki-laki), tidak akan mempunyai ayah. Dan anak produk kloning tersebut jika dihasilkan dari proses pemindahan sel telur kedalam rahim perempuan yang bukan pemilik sel telur, tidak pula akan mempunyai ibu. Sebab rahim perempuan yang menjadi tempat pemindahan sel telur tersebut hanya menjadi penampung, tidak lebih. Dalam kondisi semacam ini anak tersebut tidak memiliki ayah maupun ibu.
c. Kloning manusia akan menghilangkan nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah mewajibkan pemeliharaan nasab, karena proses kloning hanya akan diambil dari sel tubuh laki-laki yang memiliki keunggulan dan sel tubuh perempuan-perempuan pilihan yang memiliki keunggulan saja, tanpa memperhatikan apakah keduanya sudah diikat tali pernikahan atau belum. Ini akan menghilangkan nasab dan mempercampur-adukkan nasab.
d. Memperoduksi anak melalui proses kloning akan mencegah pelaksanaan banyak hukum-hukum syara’, seperti hukum tentang perkawinan, nasab, nafkah, hak dan kewajiban antara bapak dan anak, waris, perawatan anak, hubungan kemahraman, hubungan ’ashabah, dan lain-lain.
Allah SWT berfirman mengenai perkataan Iblis terkutuk, yang mengatakan: ”...dan akan aku (Iblis) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.” (QS. An-Nisa’: 119)

Daftar Pustaka
Ma’ruf, Farid, www.konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/hukum-kloning
Mizarwati, S.Si.,. Makalah ”Penerapan Teknik-teknik Kloning Gen Dalam Kehidupan Manusia”. Universitas Sumatera Utara.
www.vaonews.com/indonesia/archive/2003-01/a-2003-01/22-13-1.cfm. kloning manusia di Amerika Serikat.
www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=112/kloning.
www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=3/. kelahiran manusia kloning diragukan. Sumber: Kompas, 29 Desember 2002.
www.id.wikipedia.org/wiki/kloning.
Zallum, Abdul Qadim, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam, terj. Al-Izzah, Jawa Timur, 1998.



BENANG MERAH FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab

Pendahuluan
                Banyak yang berpendapat bahwa filsafat dan ilmu merupakan sesuatu yang menjadi satu, bahkan dikatakan bahwa filsafat adalah induk dari ilmu pengetahuan. Padahal selama ini, yang dikatakan dengan filsafat dan yang terkenal dengan itu adalah sebagaimana dalam teks-teks filsafat Yunani, Persia dan India. Dan sebagaimana yang menjadi simbol tokoh dari filsafat tersebut adalah tokoh-tokoh pada periode tahun 600-500 SM, yaitu Socrates, Plato dan yang paling dikenal adalah Aristoteles. Sedangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, sebagaimana yang diketahui bahwa iptek tingkat tinggi mulai dikenal saat dunia Barat mulai menemukan dan memproduksi mesin uap, kereta tak berkuda (mobil), tropong bintang, pesawat terbang, penemuan listrik, hukum gravitasi dan lain sebagainya. Adapun tokoh-tokoh penemu iptek tersebut ternyata dilahirkan dan hidup didunia yang sebelumnya mengalami masa jahiliyah (Dark Ages), dan sama sekali tidak dilahirkan dan besar di negeri tempat filsafat tersebut tumbuh berkembang, yaitu Yunani, Persia dan India. Sebaliknya, negeri tempat tumbuh dan berkembangnya filsafat, tidak melahirkan tokoh-tokoh jenius yang menemukan iptek, yang iptek tersebut dikenal sepanjang masa dan memiliki sisi manfaat luar biasa bagi umat manusia sepanjang masa, secara keseluruhan.

                Nampak jelas bahwa ada hal-hal yang berbeda dan memiliki garis merah antara filsafat dan Ilmu. Disinilah pemakalah mencoba menghadirkan suatu rumusan yang membedakan antara filsafat dan ilmu, serta dampak dari keduanya.

                Sebagaimana dalam daftar isi, pemakalah mencoba menghadirkan alur pembahasan yang mudah dicerna. Pada bagian awal (ilmu dan tsaqafah), adalah bagian yang secara konsep membedakan karakter dari keduanya. Ilmu dan filsafat. Apakah ilmu merupakan bagian dari filsafat, ataukah filsafat memiliki bidang tersendiri yang membedakannya dengan ilmu. Kemudian pada bagian selanjutnya untuk mempertegas penyimpulan di bagian pertama, dengan menghadirkan sejarah perkembangan dari keduanya, yang pada awal mulanya dianggap sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan apa-apa yang menjadi objek kajian filsafat. Selanjutnya, dari permasalahan tersebut pemakalah mencoba menguraikan dampak dari filsafat, dan arti sebuah idiologi bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada bagian terakhir adalah kesimpulan dari kesemuanya.

A. Ilmu dan Tsaqafah
                  Ilmu adalah pengetahuan yang diambil melalui cara penelaahan, eksperimen dan kesimpulan. Misalnya ilmu fisika, ilmu kimia, dan berbagai ilmu ekperimental lainnya. Sedangkan Tsaqafah adalah pengetahuan yang diambil melalui berita-berita, talaqqiy (pertemuan secara langsung) dan istinbath (penggalian/penarikan kesimpulan). Misalnya sejarah, bahasa, fiqh, filsafat dan seluruh pengetahuan non eksperimental.

                 Ada juga pengetahuan-pengetahuan yang non eksperimental yang dimasukkan dengan ilmu, sekalipun pengetahuan-pengetahuan tersebut termasuk dalam tsaqafah. Misalnya matematika, teknik dan industri. Pengetahuan-pengetahuan ini kendati tergolong tsaqafah, akan tetapi dapat dianggap sebagai ilmu dari segi keberadaannya yang bersifat umum (universal) untuk seluruh manusia, bukan khusus untuk satu umat saja. Demikian juga yang menyerupai industri tetapi tergolong dalam tsaqafah, yaitu yang berhubungan dengan al-hiraf (kerajinan/keterampilan), seperti perdagangan dan pelayaran. Ini juga dianggap sebagai ilmu dan sifatnya umum. Adapun kesenian, seperti lukisan, pahat dan musik, termasuk kedalam tsaqafah karena mengikuti persepsi (cara pandang) tertentu, dan ia merupakan tsaqafah yang bersifat khusus.

                Perbedaan antara tsaqafah dan ilmu adalah bahwa ilmu bersifat universal untuk seluruh umat, tidak dikhususkan pada satu umat saja lalu umat lain tidak berhak; sedangkan tsaqafah sifatnya khusus dan dinishbahkan pada umat yang memunculkan, yang memiliki ciri khas dan berbeda dengan yang lain. Misalnya sastra, sejarah para pahlawan, dan filsafat tentang kehidupan. Kadangkala tsaqafah bersifat umum, seperti perdagangan, pelayaran dan yang semisalnya. Karena itu ilmu diambil secara universal. Artinya diambil dari umat mana saja, karena ilmu bersifat universal tidak dikhususkan untuk satu umat saja. Sedangkan tsaqafah, maka umat harus mulai mempelajari tsaqafahnya sendiri dan jika telah dipelajari, difahami dan telah mengakar dalam benaknya, barulah dia (boleh) mempelajari tsaqafah-tsaqafah lainnya.

                 Kaum muslimin membedakan antara ilmu-ilmu yang diperoleh melalui dirinya sendiri dengan ilmu-ilmu yang diperoleh dari orang lain secara talaqqiy. Ibnu Khaldun dalam kitabnya al-Muqaddimah mengatakan, bahwa ilmu ada dua macam. Pertama, ilmu thabi’i (natural) dimana manusia mendapatkannya melalui pemikirannya. Kedua, ilmu naqli (pemberitaan) yang diperolehnya dari yang membuatnya. Yang pertama adalah ilmu-ilmu yang bersifat hikmah, dimana seseorang bisa mengetahuinya melalui tabiat pemikirannya, dan memperoleh topik-topiknya, masalah-masalahnya dan seluruh bukti-buktinya, disamping aspek pengajarannya melalui kemampuan otak manusianya, sehingga ia mengetahui pandangan dan pembahasannya terhadap yang benar dan salah dari sisi ia sebagai manusia yang memiliki akal pikiran. Yang kedua adalah ilmu-ilmu an-naqliyah al-wadh’iyah. Ilmu ini seluruhnya bersandarkan kepada khabar (berita) dari al-waadhi’ asy-syar’i (Allah) dan akal tidak turut campur didalamnya kecuali mengkaitkan perkara-perkara yang bersifat furu’ (cabang) dari masalah-masalah ushulnya.

                Ibnu Khaldun juga berkata bahwa ‘ilmu-ilmu al-‘aqliyah wa at-thabi’iyah (yang bersifat natural atau rasional) dimiliki oleh seluruh umat, karena manusia memperoleh ilmu-ilmu tersebut melalui tabiat pemikirannya. Sedangkan ilmu-ilmu an-naqliyah (pemberitaan) dikhusukan kepada agama Islam dan pemeluknya. Sebenarnya yang dimaksud Ibnu Khaldun bahwa ilmu-ilmu naqliyah khusus pada agama Islam hanyalah sebagai contoh saja. Sebab, selain umat Islam juga mempunyai ilmu-ilmu naqliyah yang bersifat khusus untuk mereka. Misalnya syariat (hukum-hukumnya) atau bahasanya. Pernyataan Ibnu Khaldun tidak menunjukkan bahwa dia membedakan antara ilmu dan tsaqafah, akan tetapi menunjukkan perbedaan antara ilmu-ilmu naqliyah dan aqliyah. Jadi, pernyataan beliau tidak dianggap sebagai dalil bahwa kaum muslim pernah membedakan antara ilmu dan tsaqafah. Hal itu hanya hanya menunjukkan bahwa kaum muslim pernah membedakan ma’aarif (pengetahuan-pengetahuan), itupun hanya sekedar pembedaan, sehingga mereka menjadikan ma’arif itu ada dua bagian. Pembedaan mereka itu hanya dari sisi penerimaannya saja, bukan dari sisi metode penerimaannya, sehingga mereka menjadikan ilmu-ilmu aqliyah sebagai sesuatu yang diterima melalui cara akal, dan ilmu-ilmu naqliyah diterima melalui cara naqli (pemberitaan). Namun, manusia pada masa sekarang membedakan antara ma’aarif dari sisi metode penerimaannya, sehingga mereka menggunakan kata ilmu untuk sesuatu yang diterima melalui cara eksperimental, dan menggunakan kata tsaqafah untuk sesuatu yang diterima melalui cara non eksperimental.1

B. Sejarah Perkembangan Filsafat
                Dalam buku History and Philosophy of Science karangan L.W.H. Hull (1950), setidaknya sejarah filsafat dapat dibagi dalam beberapa periode, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal pada periode itu.2

                Pertama, periode filsafat Yunani (Abad 6 SM-0 M). Pada masa ini ahli filsafatnya adalah Thales (548 SM). Ia ahli filsafat, astronomi dan geometri. Dalam pengembaraan intelektualnya menggunakan pola deduktif. Aristoteles sebagai tokoh filsafat dan ilmu empiris menggunakan pendekatan induktif, sedangkan Phytagoras menggunakan pendekatan mistis dan matematis dalam aritmatika dan geometrinya. Plato sebagai orang yang ahli ilmu rasional dan filsafat menggunakan pendekatan deduktif. Yang pasti pada periode ini para filosof dan intelek menggunakan dua metode yaitu metode filosofis deduktif dan filosofis induktif dan empiris.

               Kedua, periode kelahiran Nabi Isa (Abad 0-6 M). Pada masa ini masa awal persekongkolan antara gereja yang diwakili oleh para pastur dan para raja yang pro kepada gereja. Sehingga pada masa ini filsafat (Ilmu) mengalami kemunduran. Para raja membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat (Ilmu) seolah-olah telah mati suri. Ilmu menjadi beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para raja yang berhak mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.

               Ketiga, Periode Islam (Abad 6-13 M), pada masa ini dunia Kristen Eropa mengalami kegelapan, ada juga yang menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan. Pada periode pertengahan ini, Barat menggunakan logika silogisme Aristoteles yang deduktif. Sedangkan bangkitnya barat karena menggunakan pola pikir induktif. Sebuah pola pikir yang sangat bertolak belakang dengan pola pikir Aristoteles.3

               Masa Islam ini ditandai dengan banyaknya ilmuan-ilmuan Islam yang ahli dibidang masing-masing, berbagai buku ilmiah diterbitkan dan ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam hukum Islam, sedangkan yang menerjuni filsafat Yunani maupun ketimuran (India dan Persia) adalah al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Kindi.

                 Pada mulanya logika Aristoteteles dan filsafat secara umum masuk ke Dunia Islam melalui dua cara; yaitu dengan diskusi lisan dan penerjemahan. Dimana diskusi lisan merupakan pendahuluan dari masa penerjemahan dan penukilan. Buku-buku Yunani telah mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada abad 7 M/1 H. Tetapi keaktifannya baru terjadi pada abad 8 M dan puncaknya pada abad 9 M.

                Pada masa kekhalifahan bani Umayyah, baru merupakan masa pengenalan terhadap logika Aristoteles, melalui diskusi dan dialog lisan yang bersifat individual. Menurut Ibn Katsir, bahwa filsafat Yunani memang sudah masuk dunia Islam sejak abad pertama Hijrah, yaitu pada waktu umat Islam membebaskan negeri ’Ajam (non Arab; Syam, Mesir dan Persia) tetapi itu baru hanya terbatas pada beberapa individu yang tidak dikenal, sebab ulama-ulama salaf melarang mereka mendalami ilmu tersebut. Jadi, pengetahuan mereka hanya merupakan pengetahuan dasar, bersifat umum dan belum mendalam. Sebenarnya di masa Umar bin Khatab pun telah dimulai titik start awal serangan dari filsafat, dengan kabar bahwa datang seorang shahabat nabi Sa’ad bin Abi Waqqas kepada Umar dengan mengajukan permintaan untuk menyalin kitab-kitab filsafat Persia kedalam bahasa Arab, karena ia menganggapnya ini sesuatu yang menarik karena sedang populer di negeri-negeri ’ajam, namun Umar menolak dengan menyuruhnya agar buku-buku tersebut dibuang saja ke laut, dan membatasi diri hanya dengan berpegang pada sumber otentik al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman.4

                Periode berikutnya, pada masa kekhalifahan bani Abbas, pengenalan terhadap logika Aristoteles sudah dilakukan secara resmi dengan diprakarsai oleh Khalifah. Logika Aristoteles telah mulai diterjemahkan dengan prakarsa resmi khalifah al-Mansur, dan puncaknya adalah pada masa khalifah al-Ma’mun (190-218 H/813-833 M) yang terkenal sangat mendalami filsafat hingga terjadi pada masanya geger al-Qur’an sebagai makhluk yang dipaksakan melalui kekuasaannya agar rakyatnya mengakuinya, sampai-sampai para ’ulama fiqh tunduk dibawah pedangnya dan membelenggu kedua tangan imam besar Ahmad bin Hanbal.5

                 Keempat, periode kebangkitan Eropa (Abad 14-20), masa ini juga bisa disebut masa renaissance. Peradaban Eropa bangkit melampaui dunia Islam. Pada masa ini muncul filosof-filosof seperti Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran pemikiran empirisme dan realisme berusaha menentang berbagai kebijakan dan dominasi gereja dan penguasa pada waktu itu, dan banyak lagi filosof Barat lainnya yang mengawali kebangkitan dunia Barat, seperti Thomas Aquinas, J.J. Rousseau, Martin Luther, George Barkeley, David Hume, John Locke, Rene Descartes, Immanuel Kant, John Calvin, Voltaire, Niccolo Machiavelli dan lain-lain.

                 Sebagai akibat tumbuh berkembangnya pemikiran tentang filosofi sistem kehidupan dan semakin banyaknya orang-orang yang menjadi pioner perubahan seperti tersebut diatas, maka masa pergolakan ini menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen katolik dan protestan. Perlawanan terhadap gereja dan raja yang menindas terus berlangsung, revolusi ilmu pengetahuan makin gencar dan meningkat, baik revolusi dalam bidang teknik maupun intelektual hingga memunculkan aqidah sekularisme di dunia Barat. Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan seperti Newton dengan teori gravitasinya, Copernicus dengan heliosentrisnya, dan lain sebagainya, hingga sekarang kemajuan teknologi barat tak ada lagi bandingnya. Semua itu tidak lain dan tidak bukan adalah sebab kebangkitan berfikir mereka tentang kehidupan dan perubahan sistem tata kehidupan mereka menjadi sekularisme.

C. Sejarah Perkembangan Ilmu
               Pembahasan bagian ini lebih terbagi pada empat bagian, yaitu
Zaman kuno, pada masa ini sebuah masyarkat yang hidup didalamnya memiliki ciri berfikir spekulatif, memahami apa adanya dan belum ada upaya memahami asal-usul segala sesuatu, tetapi pada zaman ini telah terbangun peradaban tinggi, seperti pembangunan Piramida pada tahun 2900 SM, juga pada masa Babilonia yang telah mampu membagi satuan waktu, yaitu 1 jam terdiri dari 60 menit, dan seterusnya.

               Zaman Yunani kuno, di masa ini pertanyaan tentang asal usul alam mulai dijawab dengan pendekatan rasional, tidak dengan mitos. Subjek (manusia) mulai mengambil jarak dari objek (alam) sehingga kerja logika (akal pikiran) mulai dominan. Sebelum era Socrates, kajian ini difokuskan pada alam yang berlandaskan spekulasi metafisik. Pada masa ini, Thales (548 SM) menyatakan bahwa bahan dasar alam berasal dari air, sedangkan menurut Anaximener (526 SM) bahwa alam berasal dari udara. Lain halnya Herakleitor (475 SM), menurutnya alam berasal dari api. Baru setelah perdebatan ini, muncullah para filosof Yunani yang terkenal yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles.

               Zaman abad pertengahan, masa ini terbagi dua, yaitu abad 1-2 M (abad alkimia) dan abad 3-15 M (abad altrokimia). Pada abad alkimia ini mengatakan ada 7 unsur alam, yaitu bumi, air, udara, api, air raksa, belerang dan garam. Sedangkan pada era altrokimia mengatakan bahwa unsur alam semesta adalah air raksa, belerang dan garam.

               Pada abad inilah (12-13 M) Barat memulai masa kejayaannya dengan banyak mengambil kemajuan Iptek dari kaum muslimin yang saat itu memimpin kemajuan ilmu pengetahuan, yang kemudian diboyong ke monastri-monastri Eropa khususnya Santa Marie de Rippol yang kemudian tempat ini memiliki ruangan penyimpanan manuskrip sejumlah besar karya-karya ilmiah orang Islam untuk mereka terjemahkan. Raja-raja Eropa pun memiliki kontribusi besar dengan mendirikan sekolah untuk penerjemah di Toledo, tepat sesudah pasukan Kristen merebut kembali kota tersebut pada tahun 1085 M. Faktor transformasi ilmu pengetahuan inilah yang membuat Barat segera keluar dari abad kegelapan (Dark Ages). Hal yang sangat perlu difahami adalah, bahwa Barat tidaklah maju dikarenakan filsafat Yunani maupun Persia dan India. Melainkan justru ketika mereka menghadapi masalah dalam memahami teks-teks Yunani, mereka kemudian lari mencari solusi ke Cordoba, dan masalah segera terpecahkan. Cordoba di Andalusia (Spanyol) adalah sisi lain negeri kekhilafahan Islam yang mencapai kemajuan di bidang iptek. Berkat inilah Barat bisa menginjak masa Renaissance pada abad 15 M.

                Zaman moderen (abad 15-sekarang), dimulai sejak terjadi renaissance dan humanisme, diawali dengan reformasi gereja. Pada era ini tepatnya abad 17, muncullah era aufklarung (pencerahan) yang melahirkan kelompok rasionalisme dan empirisme, yang karena penggabungan dari keduanya melahirkan metode ilmiah dengan tokoh-tokohnya seperti Isaac Newton, Copernicus, Galileo Galilei, Johanes Kepler dan lain-lain. Pada abad 18, ilmu pengetahuan mulai menginjak start kemajuan dengan adanya revolusi industri di Inggris dengan mesin uapnya, revolusi perancis (1789 M) dan revolusi independent AS (1766 M).

                Semenjak tahun 1960, ilmu mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran kuantitatif sebagai andalan utamanya. Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara mengesankan. Pada periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa genetika dengan melakukan percobaan cloning pada kambing, atau mengembangkan cyber technology, yang memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui internet. Belum lagi keberhasilan manusia dalam mencetak berbagai produk nano technology, dalam bentuk mesin-mesin micro-chip yang serba mini namun memiliki daya guna sangat luar biasa.

                 Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun peradaban manusia seperti sekarang ini.

                 Namun, di balik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan dan krisis. Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata telah menjadi boomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan manusia itu seakan-akan berbalik untuk menghantam dan menerkam si penciptanya sendiri, yaitu manusia.

                 Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi yang dikembangkan oleh kaum positivisme-empirik, telah memunculkan berbagai kritik di kalangan ilmuwan tertentu. Kritik terhadap positivisme, kurang lebih bertali temali dengan kritik terhadap determinisme ekonomi, karena sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme ekonomi dipancangkan dari teori pengetahuan positivistik. Positivisme juga diserang oleh aliran kritik dari berbagai latar belakang dan didakwa berkecenderungan mereifikasi dunia sosial.

D. Ruang Lingkup Filsafat

1. Etika

               Etika adalah salah satu objek kajian filsafat mengenai baik buruk sebuah perbuatan. Permasalahannya, dalam kajian filsafat ini tidak bisa selalu sejalan dengan Islam, karena dalam Islam standar baik-buruk disandarkan pada kesesuaiannya dengan halal-haram. Seperti berbohong, berperang, hukum bunuh bagi murtadin, tidak menjenguk orang tua sakit dan lain sebagainya, maka orang selain Islam tidak akan habis fikir apabila hal yang demikian tadi dikatakan suatu perbuatan yang baik. Karena filsafat tidak akan mampu menjangkaunya. Demikian juga jujur, berdamai, hukum bebas bagi murtadin dan menjeguk orang tua sakit, dikatakan suatu hal yang buruk, maka orang selain Islam juga tidak akan habis fikir dengan pernyataan tersebut. Karena standar etika dalam filsafat adalah standar menurut kebiasaan suatu lingkungan, atau kebiasaan umum.

2. Estetika
                Estetika adalah objek kajian filsafat mengenai keindahan (masalah indah atau tidak indah) dari materi suatu benda maupun perbuatan. Hal inipun Islam memiliki standar sendiri, yaitu halal-haram. Sebuah lukisan diatas kanvas, tato di anggota tubuh, kaligrafi, karikatur, model busana dan lain sebagainya, merupakan kajian yang dibahas apakah ini memiliki sisi indah ataukah tidak. Apabila filsafat mengatakan indah maka hal demikian bisa diterima, apabila tidak maka itu dibiarkan dengan sudut pandang kebebasan berekspresi. Tidaklah demikian menurut Islam. Menurut Islam hal ini termasuk tsaqafah, yaitu sesuatu yang memiliki sudut pandang yang khas. Maka apabila bertentangan dengan sudut pandang halal haram maka tidak ada pilihan lain kecuali ditolak dan tidak boleh dikembangkan.

3. Epistemologi
                 Epistemologi adalah objek kajian filsafat mengenai teori pengetahuan atau cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan, atau bisa disebut juga dengan metode ilmiah. Sebagai contoh metode ilmiah dengan eksperimen adalah, untuk menguji apakah mahluk hidup berasal dari yang tidak hidup, karena ada hipotesis yang terindra manusia bahwa ada ulat belatung yang muncul dari sepotong daging yang membusuk, maka dikatakan bahwa mahluk hidup berasal dari sesuatu yang tidak hidup (materi) sebagaimana teori darwinisme. Kemudian diadakan eksperimen dan pengamatan hingga menimbulkan suatu kesimpulan bahwa mahluk hidup muncul secara tiba-tiba dan tidak mengalami evolusi. Inilah sebuah contoh dari metode ilmiah.

                Ada beberapa kelemahan dalam metode ilmiah. Pertama, metode ilmiah tidak dapat menjangkau masalah gaib seperti azab kubur, jin saat berubah bentuk dan lain sebagainya. Kedua, keterbatasan pancaindra yang memungkinkan salah. Sebagai bukti yaitu fatamorgana, terlihat bengkoknya bolpoin (dalam keadaan miring) dalam gelas yang berisi air, kemampuan telinga manusia yang hanya 20-20.000 Hz sehingga tidak mampu mengindra yang kurang dan lebih dari itu seperti suara kelelawar, dan lain sebagainya. Ketiga, kesimpulan bersifat tentatif (selama belum terbukti salah maka dianggap benar), seperti dahulu dikatakan yang terkecil dan tidak bisa dibagi lagi adalah atom, juga dahulu ilmu kedokteran mengatakan bahwa kematian seseorang ditandai dengan matinya jantung. Semuanya terbukti salah pada masa sekarang. Karena yang tidak terbagi lagi adalah molekul, dan yang menunjukkan kematian seseorang adalah bukan matinya jantung melainkan matinya fungsi batang otak. Keempat, bahwa kesimpulan dalam metode ilmiah tidak berhubungan dengan nilai-nilai (pandangan hidup). Seperti kotoran hewan yang diteliti mampu menyuburkan tanaman, tentu saja tidak berarti halal dalam pemanfaatannya, juga pada masalah PMS (Penyakit Menular Sex) seperti sipilis yang kemudian untuk mengatasinya dengan ATM kondom.8

4. Logika
               Logika adalah objek kajian filsafat mengenai penyimpulan, yaitu penarikan kesimpulan dari argumen-argumen yang ada. Logika tertuang dalam silogisme. Dalam silogisme ada yang terdiri proposisi universal, dua proposisi, silogisme deduktif dan silogisme analogis. Pembahasan kali ini pada silogisme yang mengharuskan hanya ada 2 premis (proposisi), sehingga yang ketiga adalah kesimpulan.
Contoh; (premis mayor) semua kekerasan salah (A-B)
(premis minor) jihad adalah kekerasan (C-A)
(konklusi) jihad salah (C-B)

               Contoh demikian adalah contoh yang tidak mampu dijangkau oleh logika (silogisme) Aristoteles. Karena menurut Ibnu Taimiyah, proposisi kenabian (wahyu) tidak memerlukan silogisme logis. Karena ilmu-ilmu agama telah merupakan natijah (pernyataan yang tetap, konklusi) dari sabda rasul. Hadits-hadits mutawatir umpamanya, tidak dapat dikatakan bukan merupakan ilmu, walaupun tidak dihasilkan melalui silogisme demonstratif. Masih menurut Ibnu Taimiyah, bahwa silogisme juga tidak bisa dibatasi hanya dengan dua proposisi, karena terkadang silogime hanya membutuhkan satu proposisi, dua, bahkan tiga, empat dan seterusnya. Seperti apabila dikatakan ”ini adalah haram” jika ditanyakan alasannya, maka dijawab ”karena ia memabukkan”. Dengan demikian terjawablah konklusi dengan 1 buah premis (proposisi).9

5. Metafisika
                 Metafisika adalah bidang kajian filsafat tentang teori keberadaan sesuatu (unseen/ghaib). Seperti contoh ketika untuk mengetahui keberadaan mahluk halus, maka cara mengujinya adalah dengan ekspedisi alam ghaib, dengan pemburu hantu dan mencari sesuatu yang tertangkap oleh kamera. Sedangkan menurut Islam, untuk mengetahui sesuatu yang ghaib cukuplah dengan pemberitaan wahyu, dan tidak memerlukan hal-hal semacam itu.


E. Mengurai Benang Kusut
               Salah satu sebab kemunduran kaum muslimin di masa lampau adalah akibat terpengaruh oleh filsafat, baik filsafat yunani, India maupun Persia. Betapa tidak, dikarenakan filsafat umat Islam ditekan untuk meyakini bahwa al-Qur’an adalah mahluk. Suatu pembahasan yang melelahkan dan tidak memiliki arti untuk kemapanan kemajuan Islam. Menyakiti diri mereka dengan melukai tubuh agar bisa merasakan derita yang dialami imam Husain demi untuk memperingati 10 syuro pembantaian di Karbala.

                Kekeliruan juga dilakukan oleh al-Ma’mun yang tidak mengetahui perbedaan ilmu dan tsaqafah, dengan menerjemahkan kitab Kalilah wa Dimnah yang berisi ajaran Filsafat Hindu. Ini adalah tsaqafah, yang seharusnya penyebaran kitab ini dibendung, karena perbedaan tsaqafah suatu bangsa atau umat akan menyebabkan perbedaan hadharah (pandangan hidup) suatu bangsa. Berbeda dengan yang dilakukan Umar bin Khatab, beliau menolak dan menyuruh untuk membuangnya ke laut buku filsafat Persia yang diminta Sa’ad untuk diterjemahkan, disisi lain Umar mengambil sistem pencatatannya sebagai bagian administrasi negara. Karena Umar mengetahui perbedaan sekaligus dampak dari ilmu dan tsaqafah. Akibat dari penyebaran buku semacam inilah yang kemudian melahirkan ulama-ulama Mu’tazilah dan lain-lain. Akibat dari serangan filsafat inilah yang membuat pemahaman kaum muslimin menjadi lemah. Dan diperparah dengan penutupan pintu ijtihad, padahal ijtihad adalah suatu hal yang relevan dan bahkan fardhu kifayah dalam setiap waktu dan tempat. Sehingga pemikiran umat Islam yang kreatif dan inovatif dalam menghadapi setiap permasalahan baru dengan alat ijtihad, telah hilang, diganti dengan kejumudan. Kemudian banyak permasalahan baru yang bermunculan, tetapi tidak mampu dipecahkan.

               Umat Islam menjadi lemah disebabkan filsafat (Yunani, Persia, India), disisi lain Barat bisa mencapai kemajuan karena menghindar dari filsafat. Jadi, kemajuan Barat bukanlah dikarenakan filsafat, melainkan karena melawan dominasi dan dogma gereja tentang segala sesuatu hal. Dan perlawanan mereka dikarenakan kekejaman gereja (di masa inquisisi) dan kesalahan dogma iptek dari gereja, yang mereka tercerahkan karena iptek dari orang-orang Islam. Disaat Barat meributkan apakah bumi ini bulat ataukah datar, orang Islam telah memiliki bola dunia. Dan seorang raja eropa pun mengira dari sebuah jam yang diberikan penguasa Islam sebagai hadiah, saat alarm jam tersebut berbunyi setiap periode waktunya, mengira bahwa orang-orang Islam telah menaruh mahluk halus didalamnya.

                Sebagaimana al-Qur’an telah menggambarkan bahwa Islam itu seperti pohon, yang akarnya (aqidah) menghujam dalam ke bawah tanah dan batang dan cabangnya (UU Publik dan Private) menjulang tinggi di langit. Maka bisa terlihat ketika Islam berkuasa dimuka bumi ini periode kekhilafahan di masa lampau. Imperium kekhilafahan khalifaturraasyidin, bani Umayyah, bani Abbas maupun Turki Utsmani (Ottoman), keberadaan mereka sebagai negara adidaya justru menjadi rahmatan lil ’aalamiin. Berbeda halnya saat Barat memimpin kemajuan, justru kemajuan mereka tersebut digunakan untuk mengeksploitasi bawahannya, karena mereka tidak memiliki aqidah (sekularisme) yang dalam dan sistem kehidupan yang yang mapan, dan disisi lain karena tuntutan idiologi mereka menuntut itu.

                 Perbankan (konvensional/syariah), pasar modal, trias politica (Demokrasi) Montesquieu, pluralisme, kesetaraan gender, program keluarga berencana (KB), merupakan bagian dari tsaqafah Barat. Hal tersebut lahir setelah aqidah dasar mereka lahir, yaitu sekularisme pada abad 17. Hal yang umum dan biasa bagi sebuah bangsa, bahwa akan mengalami perkembangan pesat dan kemajuan disemua bidang, saat mereka telah menemukan dan menerapkan sebuah idiologi, perubahan fundamental dalam berfikir, dan penyebaran idiologi mereka yang baru. Sebagaimana kemajuan pesat yang dialami kaum muslimin dengan idiologi Islam yang beraqidahkan tauhid, Barat dengan idiologi Kapitalisme yang beraqidahkan sekularisme dan idiologi Sosialisme yang beraqidahkan materialisme, kemajuan sains sama-sama mereka awali dengan revolusi idiologi. Sedangkan tsaqafah-tsaqafah Barat tadi bagi orang Islam boleh mempelajarinya tapi bukan untuk diterapkan bagi dirinya, melainkan untuk dijelaskan keburukannya pada orang-orang yang sedang menerapkannya, baik yang menerapkannya itu seorang muslim maupun kafir. Maka selayaknya orang Islam ketika mempelajari tsaqafah Barat tersebut terlebih dulu mempelajari dan memperdalam tsaqafahnya sendiri, yaitu tsaqafah Islam.

                Sedangkan filsafat, khususnya filsafat Yunani, Persia dan India, hanyalah ”benalu” bagi idiologi Islam. Karena idiologi secara umum adalah al-aqidah al-aqliyah allati yanbasiqu ’anhaa an-nidzoom (pemikiran dasar yang dibangun diatasnya sistem peraturan kehidupan). Dan tidak semua agama merupakan idiologi, kecuali hanya Islam.

               Hal inilah yang menjawab tantangan Indonesia ketika mau mencapai kemajuan seperti negara-negara Barat, karena sebenarnya Barat bisa jaya disebabkan mereka maju terlebih dulu kemudian berdemokrasi, dan bukan sebaliknya, berdemokrasi dulu kemudian maju. Jelas, Indonesia tidak mungkin bisa maju apabila negara ini memulai dengan berdemokrasi, karena sesungguhnya demokrasi merupakan alat penjajahan untuk negara maju. Negeri-negeri Islam saat ini hanyalah ditipu bagaimana cara untuk maju seperti mereka. Apabila kaum muslimin khususnya di Indonesia ingin maju melebihi negara-negara Barat, adabaiknya mengikuti apa yang dikatakan imam Malik bin Anas: ”lan yashluha amru haazihi al-ummah, illa bimaa shaluha bihi awwaluhaa” (tidak akan bisa menjadi baik kondisi umat Islam, kecuali dengan sesuatu yang menjadikan mereka baik untuk pertama kalinya).10


F. Kesimpulan
               Filsafat adalah filsafat sebagaimana yang menjadi objek pembahasan dalam teks-teks filsafat Yunani, Persia dan India. Jikalau dikatakan ”lambang UII mengandung suatu filosofi” maka yang dimaksud adalah maksud atau nilai yang terkandung didalamnya, dan sebaiknya untuk menyampaikan itu menggunakan kata tersebut, dan bukannya menggunakan bahasa seperti yang sering disampaikan. Agar tidak mengandung makna kotradiktif dan multitafsir. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah 104, ”hai orang-orang yang beriman janganlah kamu katakan kepada Muhammad ’Raa’ina’ tapi katakanlah ’Unzhurna’ dan ’Dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih”. Ayat tersebut menjelaskan dua sinonim kata yang berbeda maksudnya. Allahu a’lam bi ash-showab.

Daftar Pustaka
An-Nabhani, Taqyuddin, Kepribadian Islam (Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah), Hizbut Tahrir Indonesia, Jakarta, 2008.

__________, Mafahim Hizbut Tahrir, Hizbut Tahrir Indonesia, Jakarta, 2004.

__________, Hakekat Berfikir, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2003.

As-Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa Sejarah Para Penguasa Islam, Pubenstaka al-Kautsar, Jakarta, 2005.

Hart, Michael H., 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa, Karisma Publishing Group, Batam, 2005.

Husaini, Adian, Mengapa Barat Menjadi Sekuler-Liberal?, CIOS-ISID, Ponorogo, 2007.

Http://id.shvoong.com/humanities/h_philosophy/1787015-sejarah-perkembangan-filsafat-sains/

Http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/sejarah-perkembangan-ilmu-dan-filsafat

Kamal, Zainun, Ibn Taimiyah Versus Para Filosof Polemik Logika, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.

Syarif, M.M, Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung, 1996.

Syihab, M. Baiquni, Catatan Mata Kuliah Ilmu Alamiah Dasar-Strata 1 (STAIN Surakarta), Tidak Diterbitkan.

__________, Catatan Mata Kuliah Etika Bisnis Islam-Strata 1 (STAIN Surakarta), Tidak Diterbitkan.

Wachid, Mohammad Maghfur, Standar Nilai Dalam Islam (Menimbang Konsep Hasan-Qabih dan Khayr-Syarr), Makalah, Tidak Diterbitkan.

__________, Koreksi Atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, al-Izzah, Jawa Timur, 2002.

Sabtu, 04 April 2009

AKULTURASI BUDAYA ISLAM – INDIA PADA AWAL MASUKNYA ISLAM (ABAD VII M SAMPAI KESULTANAN DELHI 1206 - 1526)

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab

 
Pendahuluan

     Sejatinya Islam adalah agama minoritas di India. Meski minoritas dari segi jumlah, sejarah telah membuktikan umat Islam India telah memberi kontribusi yang begitu besar bagi negara yang berada di Asia Selatan itu. Di era millenium baru ini, Islam merupakan agama terbesar kedua di tanah Hindustan. Saat ini total pemeluk Islam di India mencapai 151 juta jiwa atau 13,4 persen dari total penduduk negara itu. Dengan jumlah Muslim sebanyak itu, India menjadi negara dengan populasi Muslim terbesar ketiga setelah Indonesia dan Pakistan.1

Di kalangan masyarakat Arab, India dikenal sebagai Sind atau Hind. Sebelum kedatangan Islam, India telah mempunyai hubungan perdagangan dengan masyarakat Arab. Setelah Islam hadir, hubungan perdagangan antara India dan Arab masih diteruskan. Kawasan-kawasan pantai termasuk Lautan Hindi telah menjadi sasaran para pendakwah untuk menyebarkan agama Islam.

Riwayat Islam di Negeri Hindustan terbilang amat panjang. Ada banyak versi tentang masuknya Islam ke India. Meski begitu, datangnya ajaran Islam ke anak benua India itu bisa diklasifikasikan dalam tiga gelombang. Yakni dibawa orang Arab pada abad 7 M, orang Turki pada abad 13 M (Kesultanan Delhi), dan abad ke-16 M oleh orang Afghanistan dan Mongol (Dinasti Mughal).

               Masuknya Islam ke anak benua ini telah banyak mempengaruhi budaya masyarakat tanah dewa, seperti berlakunya hukum Islam, keseharian masyarakatnya seperti di pasar-pasar dan lain-lain, dan yang paling menonjol saat itu adalah dari segi bangunannya, dimana saat penguasa muslim mendirikan suatu bangunan seperti istana kesultanan, masjid, tugu dan lain sebagainya, menggunakan corak gaya Syria, Bizantium, mesir dan Iran, dengan gaya deti bangunannya bersal dari Hindu dan Budha. Semakin banyak ahli muslim memasuki India, pengaruh Hindu semakin berkurang sedikit demi sedikit termasuk bangunannya.

Awal Masuknya Islam Abad 7 M (610 M)
              Menurut satu versi, pertama kali Islam tiba di India pada abad ke-7 M. Adalah Malik Ibnu Dinar dan 20 sahabat Rasulullah SAW yang kali pertama menyebarkan ajaran Islam di negeri itu. Saat itu, Malik dan sahabatnya menginjakkan kaki di Kodungallur, Kerala. Kedatangan Islam pun disambut penduduk wilayah itu dengan suka cita. Konon, dari wilayah itulah Islam lalu menyebar ke seantero India. Malik lalu membangun masjid pertama di daratan India yakni di wilayah Kerala. Masjid pertama yang dibangun umat Islam itu bentuknya mirip dengan candi - tempat ibadah umat Hindu. Bangunan masjid itu diyakini dibangun pada tahun 629 M.

              Ada yang meyakini, masjid di Kodungallur, Kerala itu merupakan masjid kedua di dunia yang dipakai shalat jumat, setelah masjid yang dibangun Rasulullah di Madinah. Versi lainnya menyebutkan, Islam sudah masuk ke anak benua India mulai abad pertama Hijriyah, yakni pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Selepas Umar wafat, pada 643 orang-orang Arab berhasil menaklukkan wilayah Makran di Baluchitan.

                Pada abad ini juga, saat zaman pemerintahan Khalifah Utsman bin ‘Affan, sekali lagi tentera islam menyerang wilayah Sind melalui jalan darat. Serangan itu dipimpin oleh Abdullah bin Amir dan berjaya menawan Sistan dan juga Makran.2
 
               Ekspansi Islam ke wilayah India kembali dilanjutkan pada era kekuasaan Dinasti Umayyah, di bawah komando Al-Muhallab bin Abi Suffrah, umat Islam berhasil menembus wilayah Multan di Selatan Punjab - sekarang wilayah Pakistan. Ekspedisi yang dipimpin Al-Muhallab itu tak bertujuan untuk penaklukan. Pasukan Al-Muhallab hanya mampu menjangkau ibu kota Maili lalu kembali ke Damaskus.

               Kekhalifahan Umayyah pada tahun 738 M di bawah komandan perang Muhammad bin Qasim kembali melakukan ekspedisi ke wilayah India. Pasukan ibnu Qasim berhasil menundukkan wilayah-wilayah Sind (Pakistan) sampai menembus daerah India.3 Ekspedisi ini atas perintah Al-Hajjaj yang mengikutsertakan tentara yang berasal dari Syam yang menyerang daerah Makran dan menaklukkan Ganzabur, Armail dan Dabil dan bertemu dengan Dahir raja Sind dan berhasil membunuhnya.4 inilah daerah kekuasaan Umayyah yang terletak paling timur. Sejak saat itulah, orang-orang Arab tinggal dan menetap di wilayah itu.

              Selain itu, ada pula sejarawan yang menyebutkan Islam disebarkan pertama kali di India oleh para pedagang Arab pada abad ke-7 M. Sebab, sebelum ajaran Islam datang para pedagang Arab dan India telah lama berkongsi.

               Pendapat ini diungkapkan Sejarawan Elliot dan Dowson dalam bukunya berjudul The History of India. Menurut keduanya, kapal pertama yang yang mengangkut para penjelajah dan pedagang Muslim sudah tiba di pantai India pada tahun 630.

              Sedangkan HG Rawlinson dalam bukunya Ancient and Medieval History of India menyatakan bahwa orang Arab Muslim pertama menginjakkan kaki di tanah India pada akhir abad ke-7 M.
Beberapa sejarawan lainnya seperti J Sturrock dalam South Kanara and Madras Districts Manuals serta Haridas Bhattacharya dalam bukunya Cultural Heritage of India Vol IV juga bersepakat dengan kedatangan Islam, bangsa Arab menjadi sebuah kekuatan kebudayaan terkemuka di dunia. Menurut mereka ajaran Islam dibawa ke India oleh para pedagang dan saudagar Arab.

             Selain masyarakat di wilayah Keralla, ada pula yang menyebutkan masyarakat India pertama kali yang memeluk Islam berada di wilayah Mappila. Hal itu dapat dimaklumi lantaran wilayah itu berdekatan dengan Arab. Perlu beberapa abad bagi Islam untuk menyebar di seluruh wilayah India. Ada banyak faktor yang menyebabkan orang India berbondong-bondong menganut ajaran Islam seperti, pernikahanan, integritas ekonomi, ingin terbebas dari struktur kasta, serta tersentuh dengan dakwah yang dilakukan para tokoh sufi.

Tahun 977 M – 1205 M
               Pada periode ini terdapat dua dinasti yang berkuasa, dan pada beberapa masa kedua dinasti ini saling menjatuhkan dan mengambil alih wilayah kekuasaan, hingga akhirnya benar-benar diambil alih dan berdiri satu dinasti saja.

               Ajaran Islam semakin menyebar luas di wilayah India setelah terbentuknya Kesultanan Delhi di wilayah itu. Dinasti Islam pertama di India adalah Dinasti Ghazni yang dipimpin Mahmud Gaznawi. Sejak tahun 1020, Sultan Mahmud telah menguasai beberapa wilayah di India sekaligus menundukkan dan mengislamkan raja-raja di tanah para dewa itu. Setelah ghazni, maka dinasti Ghuri naik menjadi penguasa dominan diwilayah ini.

a) 977 M – 1191 M (Kesultanan Dinasti Ghazni)
              Dinasti ini didirikan oleh Alptgin, mantan budak putera mahkota ke-lima dinasti samaniah di Persia. Sepeninggalnya dinasti ini dipimpin oleh anaknya Abu Ishaq. Dalam beberapa tahun Abu Ishaq meninggal dan digantikan oleh Sabuktgin, adalah mantan budak dari Alptgin. Dan setelah kekuasaan Sabuktgin, putranya yang bernama mahmud naik tahta menggantikannya. Setelahnya putra mahmud, muhammad menggantikannya, dan setelahnya digantikan oleh mas’ud saudaranya.5

              Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud inilah dinasti Ghazni tersohor. Menurut satu versi, Mahmud Ghazanvi, sang penguasa Ghazni itu memiliki kecendrungan menyerang dan menghancurkan kebanyakan kuil Hindu yang kaya di India. Ia sangat tertartik dengan orang Hindu yg memiliki adat menghiasi patung-patung mereka dengan emas, berlian dan batu-batuan berharga lainnya, sehingga dalam 17 kali invasinya selalu melakukan itu yang membuat masyarakat Hindu membencinya.

                Di sisi lain, pada masa pemerintahan mahmud lah, masa dimana akulturasi budaya antara Islam dari Arab dengan Hindu India terjadi, setelah diawali oleh Muhammad bin Qasim dengan dimulainya angka India yang menjadi angka Arab juga toleransinya yang terkenal, yaitu melarang memotong sapi di hari besar Islam Ied al-Adha, sehingga banyak masyarakat Hindu yang mau menerima ajarannya.

                Pada masa invasi mahmud, banyak praktik adat istiadat yang membuat kaum muslim ingin merubah itu, seperti pembakaran mayit Sati, hukum pidana yang longgar yang tidak menyentuh kaum brahmana dan juga sistem kastanya. Selain usaha perubahan dalam masalah itu, kaum muslimin juga pada masa ini juga menjelaskan tentang administrasi pertanahan dan menetapkan pajak tanah yang sangat rendah.

b) 1173 M– 1206 M (Kesultanan Dinasti Ghuri)
                 Pada 1187 M, invasi Muslim berikutnya terjadi saat suku Ghor di Afghanistan, merebut kekuasaan dari Ghaznavid di Ghazni. Ketika ia berkuasa, Muhammad Ghuri menaklukkan semua wilayah yang membebaskan diri semasa Kerajaan Ghaznawi. Ghori-ghori ini dulunya suku peternak Hindu dibawah kekuasaan raja-raja Shahiya, yg diajak masuk Islam oleh Muslim Ghaznavid, yg mengusir Shahiya dari Afghanistan, tahun 980 M.

                Kini, setelah 200 tahun, mantan-mantan Hindu ini menjadi Muslim tulen dan tidak sedikitpun menunjukkan warisan ke-Hinduan mereka, kecuali nama mereka. Ghori atau Gauri berasal dari Gau yg berarti sapi, dalam bahasa Sansekerta, yg menandakan profesi mereka sebagai peternak sapi.

Tahun 1206 M – 1526 M
               Setelah kekuasaan Dinasti Gaznawi memudar, lalu berdirilah Kesultanan Delhi - yakni beberapa Kesultanan yang berkuasa dari tahun 1206 M hingga 1526 M. Ada lima dinasti Islam yang berkuasa silih berganti di era Kesultanan Delhi. Kelima dinasti itu adalah; Dinasti Mamluk (1206 M-1290 M); Dinasti Khilji (1290 M - 1320 M); Dinasti Tughlaq (1320 M - 1413 M); Dinasti Sayyid (1414 M - 1451 M) dan Dinasti Lodhi (1451 M - 1526 M).
                Pada periode ini juga, yaitu abad ke-13, para elite Mongol yang telah masuk agama Islam disinyalir berperan besar dalam penyebaran Islam di wilyah Asia selain India, yaitu dengan mendorong Kubilai Khan yang baru saja menduduki singgasana Kekaisaran Cina untuk melakukan ekspedisi-ekspedisi laut ke wilayah Jepang, Campa, Vietnam, dan Jawa. Di dalam berbagai ekspedisi tersebut, tidak sedikit orang-orang Cina Selatan yang ikut serta sebagai pelaut, serdadu dan pedagang. Banyak di antara mereka yang sudah beragama Islam. Peran orang-orang Cina Muslim ini tidak berkurang hingga beberapa periode berikutnya. Bahkan, dari 1405 sampai 1453, ketujuh pelayaran besar armada Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke arah pelabuhan-pelabuhan Nusantara dan Samudera Hindia, sampai ke Srilangka, Quilon, Kocin, Kalikut, Ormuz, Jeddah, Mogadisco dan Malindi, menunjukan betapa besar kiprah orang-orang Cina Muslim dalam perniagaan laut tersebut. Laksamana Zheng He sendiri adalah Muslim, anak seorang haji dari Yunan.

                  Pada waktu yang hampir bersamaan, India, terutama di bagian pesisir, juga telah mengalami proses Islamisasi. Suku Turki Ibari dan suku Afghanistan Khilji berhasil memperkuat Kesultanan Delhi di utara. Berikutnya, Muhammad bin Tughluk (1325-1351) memindahkan perbatasan kesultanan ke selatan sampai daerah aliran sungai Kaveri dan mendirikan ibu kota Daulatabad di mana hampir seluruh wilayah India berada di bawah kekuasaannya. Setelah penyerangan Timur Leng yang menghancurkan Delhi (1398-1399), kekaisaran Tughluk terpecah-belah ke dalam beberapa kesultanan. Di antaranya adalah Bengali dan Gujarat yang kemudian mengalami kemajuan pesat di bawah pemerintahan Ahmad Shah (1411-1441) dan Mahmud Baikara (1458-1511). Sementara itu, bangsa Bahmanid Syiah juga berhasil mendesak Kerajaan Vijayanagar Hindu di daerah Dekan. Pada masa-masa ini, orang-orang India Muslim dikenal sebagai pengendali kegiatan perdagangan dengan negeri-negeri Arab, Ormuz dan Maladewa.

                Dengan demikian, selama dua abad, Samudera Hindia menjadi arena perniagaan besar yang hampir sepenuhnya bernuansakan Islam. Di dalamnya, orang-orang dari Cina, India dan Arab secara bersama-sama menghidupkan jaringan Asia yang tidak saja bergerak dalam kegiatan jual-beli, tapi juga proses Islamisasi yang sangat bersemangat.

a) Kesultanan Dinasti Mamluk (1206 M-1290 M)
                Dinasti Mamluk didirikan Qutbuddin Aibak (mantan budak muhammad ghuri) pada tahun 1206. Di awal abad ke-13 M, dinasti itu sudah menguasai wilayah utara India dari Khyber Pass hingga Bengal. Aibak juga menerapkan hukum Islam di tengah-tengah mayoritas Hindu-Budha dengan kaum muslimin hanya 10% dari jumlah penduduk waktu itu, dikarenakan ia memegang teguh sebagai pahlawan Islam yang toleransi terhadap agama lain. Selain Qutbuddin sebagai penguasa mantan budak, Iltutmish dan Balban juga penguasa yang memiliki latar belakang yang sama.6

               Kesultanan Delhi juga pernah dipimpin oleh seorang penguasa wanita bernama Ratu Razia Sultana (1236 M - 1240 M). Dialah Sultana pertama yang dimiliki dunia Islam, yang kedua adalah istri dari Salahuddin al-Ayyubi. Dia memimpin dari Delhi timur hingga ke barat Peshawar dan dari Kashmir utara hingga ke selatan Multan.

b) Kesultanan Dinasti Khilji (1290 M - 1320 M)
              Dinasti Khilji lalu berkuasa. Raja pertamanya adalah Jalaluddin Firuz Khilji (1290 - 1294). Pada era itu Gujarat dan Malwa dikuasai umat Islam.

             Alauddin (wafat 1316M) adalah sultan kedua dari dinasti Khilji di Delhi, India. Kekuasaannya menjadi awal dari jaman kesultanan dan kekuasaan dari Muslim India pribumi.

              Dia ditunjuk menjadi gubernur Kara pada tahun 1292 oleh pamannya, Sultan Jalaluddin Khalji. Tiga tahun kemudian ia menaklukan Malwa, dan Bhilsa, sebuah kota yang menjadi pusat perdagangan yang makmur, kemudian menyusun rencana untuk mengambil alih kekuasaan kesultanan. Pada tahun 1296 ia merupakan penguasa Muslim pertama yang menaklukan wilayah pegunungan Vindhya dan menjadikannya sebagai wilayah kekuasaannya dan, setelah mengalahkan Kerajaan Hindu Devagiri dan menaklukan pasukannya ia membiarkan mereka tetap hidup tetapi menyita harta bawaannya yang terdiri dari 8 kilo emas, 100 kilo mutiara, dan 14 ribu kilo barang-barang perak. Dengan memiliki banyak pasukan tawanan dan hartanya itu, ia kembali ke negerinya dan memaksa pamannya untuk menyerahkan tampuk kekuasaan lalu memproklamirkan dirinya sebagai Sultan Penguasa Delhi pada tahun 1296.

               Selama 15 tahun berikutnya wilayah kekuasaan Alauddin terus berkembang. Pada tahun 1303 Kerajaan-kerajaan Hindu sebelah barat Gujarat, Ranthambhor, Chitor, dan Rajasthan ditaklukannya. Kemudian selama 3 tahun berikutnya ia menghapus sisa-sisa pengaruh Mongol di wilayah India dan memulihkan ketentraman wilayah perbatasan Barat Daya India. Di tahun 1305 ia masuk ke India Tengah, dan menundukkan Malwa, Ujjain, Chanderi, dan Mandawar. Dua tahun berikutnya, untuk kedua kalinya ia menaklukan sepenuhnya seluruh wilayah pegunungan Devagiri, dan tahun 1309 pasukannya mencapai perbatasan paling Selatan India di Semenanjung Comiron. Di tahun 1311 ia merupakan Sultan terkaya sepanjang sejarah kepemerintahan Delhi, kemudian ia menerbitkan mata uang koin dengan gambar dirinya sendiri sebagaimana yang juga pernah dilakukan oleh Alexander the Great.

               Seluruh warga negara (baik Hindu ataupun Muslim) diharuskan membayar pajak kepada negara untuk membiayai dan menjamin kestabilan keamanan negara. penduduk yang beragama Islam membayar pajak lebih rendah ketimbang penduduk taklukannya. Harga-harga berbagai kebutuhan pokok juga dikendalikan, dimaksudkan agar rakyat tentram.

              Delhi menjadi kota metropolis Muslim pertama di Timur di bawah pemerintahan Alauddin, dan karya-karya arsitekturnya merupakan warisan terbesar dari pemerintahannya. Masjid Jami’ al Khana di Delhi dibangun penuh dengan kemegahan, luas, dan memiliki kubah yang amat indah.

               Pembangunan yang berlebih-lebihan akhirnya membuat pemerintahan Alauddin macet, kemudian ia diganti oleh Malik Kafur, komandan pasukan tempurnya yang amat gemilang. Alauddin wafat bulan January 1316, dan dinasti Khalji berakhir setelah empat tahun masa pemerintahannya.

c) Kesultanan Dinasti Tughlaq (1320 M - 1413 M)
               Muhammad bin Tughluk adalah sultan yang terkenal dalam dinasti ini, yang dalam masa pemerintahannya memiliki lima butir ’yang terpuji’ dan kesemuanya mengalami kegagalan. Yaitu, memindahkan ibu kota dari Delhi ke Deogir, ekspedisi ke Khurasan, penaklukan Qarachil (kaki gunung Himalaya), mencetak mata uang dan yang kelima penambahan pajak di Doab daerah subur di Allahbad.7

d) Kesultanan Dinasti Sayyid (1414 M - 1451 M) dan Kesultanan Dinasti Lodhi (1451 M - 1526 M)
               Kesultanan ini (Sayyid) berakhir dengan penyerahan kekuasaan dari Alauddin Alam Syah, yang merupakan raja terakhir Dinasti ini kepada Bahlul Lodhi, seorang bangsawan Afghan dengan kesepakatan agar keluarga kerajaan dinasti Sayyid dibiarkan hidup damai sepanjang hidupnya. Sedangkan dinasti Lodhi berkakhir akibat kekalahan perang melawan Mughal bangsa mongol muslim hingga berdiri dinasti Mughal.

Sebab Keruntuhan Kesultanan Delhi
               Runtuhnya kerajaan delhi adalah kesan daripada kelemahan sistem pentadbirannya dan juga tekanan dari luar. Tahta yang diperolehi melalui mata pedang memerlukan seorang pemimpin yang cukup gagah dan berkaliber untuk mengekalkannya. Seandainya terdapat dalam barisan para pemimpin itu yang lemah maka tahta akan terlepas ke tangan orang atau golongan lain. Kesultanan Delhi tidak mempamerkan sultan sultan yang benar-benar berwibawa kecuali beberapa orang seperti Qutbuddin, Iltutmish, Balban dan Alaudin. Sebagian besar dari sultan-sultan adalah seorang pemabuk, pengumpul harta dan pemuja perempuan. Tidak kurang juga ada kalangan pemerintah yang baik tetapi mereka kurang cakap dalam pemerintahannya.

              Seperti apa yang dilakukan oleh Muhammad Tughluk, telah mempercepatkan kejatuhan kerajaannya. Demikian juga tindakan Firuz Syah walaupun dapat mengatasi keadaan akan tetapi tidak ada usaha untuk mendapatkan kembali wilayah-wilayah yang telah membebaskan diri. Perkaran ini menggalakkkan lagi wilayah-wilayah memerdekakan diri terutama sepeninggalnya.

               Pada tahun 1398 M, Timur Lenk penguasa Dinasti Timur melakukan ekspedisi penaklukan ke India. Saat itu, India tengah dikuasai Dinasti Tughluk yang dipimpin Sultan Nasirudin Mahmud. Timur mendengar Sultan Delhi Muslim itu terlalu toleran dan bersikap lemah terhadap masyarakat Hindu. Para penguasa Kesultanan Delhi memang terbilang toleran terhadap penganut Hindu untuk menjalankan keyakinannya. Sikap penguasa Muslim yang dianggap terlalu toleran itu dipandang sebagai sebuah kelemahan oleh penguasa Muslim lainnya yang berkuasa di Samarkand.

              Disamping itu kecerobohan bangsawan-bangsawan Delhi menjemput orang Mongol justru membantu mereka menyebabkan kehancuran mereka sendiri. Baber dan tentara Mongolnya di India telah menghancurkan pondasi pemerintahan kesultanan itu dan kemudian menumbuhkan sebuah kerajaan baru yang dikenal sebagai Kerajaan Mongol.

Daftar Pustaka
Yusuf al-Isy, Dinasti Umawiyah, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 1998
Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2008
M. Abdul Karim, Sejarah Islam di India, Bunga Grafies Production, Yogyakarta 2003.
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Puataka BP, Yogyakarta, 2007.
Http://www.gaulislam.com/Riwayat Islam di Negeri Hindustan.htm
Http://www.geocities.com/perkembangan tamadun Islam.htm.
Http://www.nabble.com/sastra pembebasan/sejarah masuknya Islam di India.html