Senin, 18 Januari 2010

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN EKONOMI KAPITALISME

Oleh: Dwi Condro Triono


            Secara historis perkembangan kapitalisme merupakan bagian dari gerakan individualisme. Gerakan ini juga menimbulkan dampak dalam bidang yang lain. Dalam bidang keagamaan gerakan ini menimbulkan reformasi. Dalam hal penalaran melahirkan ilmu pengetahuan alam. Dalam hubungan masyarakat memunculkan ilmu-ilmu sosial. Dalam bidang ekonomi melahirkan sistem kapitalisme. Oleh karena itu peradaban kapitalis sah (legitimate) adanya. Di dalamnya terkandung pengertian bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar tipe tertentu dalam perekonomian. Sistem ini berkembang di Inggris pada abad 18 masehi dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat Laut dan Amerika Utara (Ebenstein & Fogelman, 1994: 148).
Perjalan sejarah kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari bumi Eropa, tempat lahir dan berkembangnya kapitalisme. Tahun 1648 (tahun tercapainya perjanjian Westphalia) dipandang sebagai tahun lahirnya sistem negara modern. Perjanjian itu mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (antara Katholik dan Protestan di Eropa) dan menetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katholik Roma (Papp, 1988: 17). Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itu aturan main kehidupan dilepaskan dari gereja (yang merupakan wakil Tuhan), dengan anggapan bahwa negara itu sendiri yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya, sementara Tuhan (agama) diakui keberadaannya tetapi dibatasi hanya di gereja (hubungan manusia dengan Tuhannya).
Prinsip dasar sekular tersebut adalah menempatkan manusia (negara/kerajaan) sebagai pembuat peraturan atau hukum. Permasalahan berikutnya adalah siapa atau apa yang berwenang membuat aturan yang menjamin terciptanya kehidupan yang damai, tentram dan stabil. Kenyataannya, Eropa sampai abad ke-19 merupakan kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh kaisar, raja dan para bangsawan (aristokrat). Sampai masa itu, peran politik rakyat sangatlah minim bahkan tidak ada. Rakyat secara pasif patuh pada raja dan undang-undang yang dibuat oleh raja, tanpa melibatkan diri dalam proses politik (pembuatan keputusan). Dan ternyata raja selalu tidak bisa memenuhi kepentingan dan kebutuhan warganya secara adil dan menyeluruh.
Selanjutnya terdapat tiga perkembangan penting yang mempengaruhi perubahan situasi di Eropa, yaitu: revolusi industri (1760 - 1860), revolusi Perancis (1775 - 1799) dan tingkat melek huruf (literasi) (abad ke-19). Ketiga peristiwa tersebut telah mendorong munculnya keterlibatan rakyat (di luar raja dan kaum bangsawan) di dalam politik (pengaturan urusan rakyat) (Robert & Lovecy, 1984: 7) .
            Revolusi industri telah memunculkan kelas menengah yang mempunyai kekuatan ekonomi, sehingga dengan kekuatannya tersebut mereka menuntut derajat kekuatan politik yang berimbang. Revolusi Perancis telah mendorong tuntutan akan nasionalisme (ide bahwa rakyat bisa memerintah dirinya sendiri, bukan diperintah oleh yang lain), libelarisme (ide bahwa otoritas politik harus disahkan lebih dahulu secara konsensus dan  tidak secara turun temurun, serta dibatasi oleh hukum dan konstitusi) dan equalitas (ide bahwa partisipasi politik tidak hanya di tingkat elit aristokrat saja, tetapi terbuka untuk semua penduduk). Sedangkan meningkatnya derajat melek huruf di kalangan rakyat telah menyebabkan mereka dapat membaca peristiwa-peristiwa dan pemikiran-pemikiran yang berkembang di Eropa dan sekaligus mempengaruhi mereka.
            Kemajuan sosial (social progress), yang berupa sejumlah perbaikan kondisi ekonomi, intelektualitas, sosial budaya dan politik yang terjadi di Eropa Barat antara abad ke-18 sampai abad ke-19, dapat dilihat sebagai penyebab berkembangnya demokrasi, di mana demokrasi membatasi kesewenangan  dan mendorong manusia menjadi lebih sempurna dan adil dalam mengatur kehidupannya (Palma, 1990: 17) . Dari sini kita bisa menyebut bahwa pada abad ke-19 telah terjadi transisi politik di Eropa Barat dari bentuk otokrasi dinasti tradisional menjadi demokrasi liberal modern.
Meskipun demikian, ada kesamaan dalam dua kondisi tersebut, yaitu sekularime. Konsekuensi dari Tuhan (agama) tidak boleh campur tangan dalam pengaturan urusan kehidupan manusia adalah pembuatan aturan main (keputusan/hukum) oleh manusia. Ketika keputusan/hukum dibuat oleh seseorang secara otoriter, dan terbukti tidak mampu menangkap kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, maka dituntutlah keikutsertaan rakyat seluruh rakyat dalam membuat keputusan. Dengan demikian diharapkan mampu menciptakan aturan main yang lebih bisa memenuhi keinginan dan kepentingan rakyat banyak.
            Sedangkan mengenai penamaan ideologi ini dengan nama Kapitalisme, An-Nabhani dalam kitabnya Nidzom Al-Islam (1953) memberikan pendapat dan uraian sebagai berikut: bahwa munculnya kapitalisme berawal pada kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia yang menjadikan agama sebagai alat pemeras, penganiaya dan penghisap darah rakyat. Para pemuka agama pada waktu itu dijadikan sebagai perisai untuk memenuhi keinginan mereka. Dari kondisi seperti itu, maka berikutnya menimbulkan pergolakan yang sengit, yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan cendikiawan. Sebagian dari mereka mengingkari adanya agama secara mutlak, sedangkan sebagian yang lain mengakui adanya agama tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia. Sampai akhirnya pendapat mayoritas dari kalangan filosof dan cendekiawan itu lebih cenderung memilih ide yang memisahkan agama dari kehidupan, yang kemudian menghasilkan usaha pemisahan antara agama dengan negara. Disepakati pula pendapat untuk tidak mempermasalahkan agama, dilihat dari segi apakah diakuai atau ditolak, sebab yang menjadi masalah adalah agama itu harus dipisahkan dari kehidupan (An-Nabhani, 1953: 25).
            Ide pemisahan agama dari negara tersebut dianggap sebagi jalan kompromi antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka (yang mengatasnamakan agama) dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama. Dengan demikian ide sekularisme ini sama sekali tidak mengingkari adanya agama, akan tetapi juga tidak menjadikannya berperan dalam kehidupan. Yang mereka lakukan tidak lain adalah memisahkannya dari kehidupan (An-Nabhani, 1953: 25).
            Atas landasan pandangan hidup seperti di atas, mereka berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak untuk membuat peraturan hidupnya. Mereka juga mengharuskan pula untuk mempertahankan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan beragama, kebebasan berpendapat (berbicara), kebebasan individu (pribadi) dan kebebasan kepemilikan (hak milik). Dari kebebasan hak kepemilikan itulah dihasilkan sistem ekonomi kapitalis, yang merupakan hal yang paling menonjol pada ideologi ini. Oleh karena itu ideologi ini dinamakan kapitalisme, sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dalam ideologi ini (An-Nabhani, 1953: 24).
            Demokrasi sebagaimana telah diuraikan di atas, sebenarnya juga berasal dari ideologi ini, akan tetapi masih dianggap kurang menonjol dibanding dengan sistem ekonominya. Hal itu dapat dibuktikan bahwa sistem ekonomi kapitalis di Barat ternyata sangat mempengaruhi elite kekuasaan sehingga mereka tunduk kepada para kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Bahkan hampir-hampir dapat dikatakan bahwa para Kapitalislah yang menjadi penguasa sebenarnya di negara-negara yang menganut ideologi ini. Di samping itu demokrasi bukanlah menjadi ciri khas dari ideologi ini, sebab sosialispun ternyata juga menyuarakan dan menyatakan bahwa kekuasan berada di tangan rakyat. Oleh karena itu lebih tepat jika ideologi ini dinamakan ideologi Kapitalisme (An-Nabhani, 1953: 24-25).
            Oleh karena itu kapitalisme saat ini sudah tidak bisa disebut  sebagai hanya  sebuah  "isme" biasa atau sebuah  pemikiran  filsafat belaka,  bahkan  tidak  bisa juga  hanya  dikatakan  sebagai sebuah  teori ekonomi . Akan tetapi kapitalisme  telah menjadi sebuah ideologi dunia yang mencengkeram dan mengatur semua  sendi-sendi kehidupan manusia secara  menyeluruh  dan sistemik. Lester C. Thurow dalam bukunya The Future of Capitalism (1996) menggambarkan tentang perjalanan kapitalisme sebagai berikut:
Since the onset of the industrial revolution, when success came to be defined as rising material standards of living, no economic system other than capitalism has been made to work anywhere. No one knows how to run successful economies on any other principles. The market, and the market alone, rules. No one doubts it. Capitalism alone taps into modern beliefs about individuality and exploits what some would consider the baser human motives, greed and self-interest, to produce rising standards of living. When it comes to catering to the wants and desires of every individual, no matter how trivial those wants seem to others, no system does it even half so well. Capitalism’s nineteenth and twentieth-century competitors - fascism, sosialism and comunism - are all gone (Thurow, 1996: 1).

            Adapun mengenai kelahiran ekonomi  kapitalis itu sendiri, hal ini tidak bisa dipisahkan dengan Adam Smith, seorang pemikir terkemuka di abad 18 yang telah membidani kelahiran ilmu ekonomi lewat karyanya yang monumental “Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of the Nations” pada tahun 1776 (Saefuddin, 1992: xvi).
            Smith, dengan sistem pasarnya memunculkan pengetahuan tingkah laku ekonomi yang belum pernah ditemui sebelumnya yang kemudian menjadi bahan analisa bagi terbentuknya sebuah tubuh ilmu yang makin utuh. Pandangan, pemikiran, analisa dan teori-teorinya yang tertuang secara detail dalam bukunya tersebut mendasari lahirnya sebuah sistem ekonomi yang sampai sekarang berlaku, yakni sistem ekonomi kapitalis. Buku  Smith sesungguhnya merupakan gambaran, kupasan dan sekaligus ramalan tentang kehidupan ekonomi pada zamannya. Dengan ketajaman dan kekuatan nalar, kekayaan gagasan serta keyakinan seorang filsuf pada jamannya, Smith melihat di balik gejala yang menjadi pusat perhatiannya, sesuatu yang kemudian disebutnya sebagai hukum-hukum sistem pasar. Dasar analisanya semata-mata obyektif yang mendasari tindakan ekonomi seseorang sebagaimana yang ia tulis dalam bukunya (Saefuddin, 1992: xvi): “It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest”.
            Meskipun telah begitu banyak mengalami perubahan, ternyata teori Smith-lah yang sampai kini mendasari perkembangan ilmu ekonomi liberal yang melahirkan sistem ekonomi kapitalisme. Kapitalisme yang telah mulai  berjangkit sejak revolusi industri dan makin berkembang dengan penemuan Smith, pada suatu masa dalam sejarahnya telah melahirkan “anak haram”nya yang kemudian memberontak. Meskipun benih nilai-nilai filsafatnya berasal dari masa pemunculan sejaman, “anak haram” yang memberontak dalam wujud komunisme itu baru muncul setelah kapitalisme merajalela di mana-mana menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat buruh yang diperas dan dihisap. Karl Marx, bidan yang di”nabi”kan oleh pengikutnya pada masa selanjutnya, menulis tentang kapitalisme, mengupas kemudian meramalkan keruntuhan sistem tersebut dalam bukunya “Das Kapital”. Kapitalisme memang tidak segera mati seperti yang diramalkan oleh Marx, tetapi pemikiran Marx sendiri tentang komunisme memunculkan kekuatan baru yang tidak kalah besarnya. Dewasa ini pertarungan masih dengan sengit terjadi antara kedua paham tersebut dalam skala dan gelanggang yang tidak tanggung-tanggung luasnya: mondial (Saefuddin, 1995: xvii).
            Ajaran  Smith dan Marx, sesungguhnya tidak lagi diikuti secara murni. Tetapi dalam berbagai ranting dan cabang pemikiran yang diturunkan daripadanya masih dapat ditemui dasar-dasar ajaran kedua tokoh tersebut. Ekonomi yang kini berlaku dan terus mengalami perkembangan di sebagian besar negara di dunia bersumber dari kedua ajaran tersebut, yakni kapitalisme dan sosialisme (Saefuddin, 1995: xvii).
            Rais, dalam bukunya “Cakrawala Islam” (1996), secara lebih spesifik menjelaskan hubungan  antara ekonomi kapitalis dengan kapitalisme sebagai sebuah ideologi yang juga biasa dikenal dengan nama libelarisme. Ekonomi kapitalisme pada hakekatnya hanyalah suatu “byproduct” dari filsafat politik libelarisme yang berkembang di zaman pencerahan (Enlightenment) pada abad 18. Semangat libelarisme itu mengajarkan bahwa pada dasarnya manusia sama sekali tidak jahat dan sejarah ummat manusia dapat disimpulkan sebagai sejarah kemajuan (progress) yang menuju pada suatu tatanan rasional dalam kehidupan, sehingga tuntutan spiritual dari lembaga agamapun tidak diperlukan lagi (Rais, 1996: 91).
            Ekses semangat liberalisme di Perancis pada zaman Pencerahan itu nampak pada semboyan ecrasez l ‘infame yang berarti “lenyapkan hal yang memalukan itu”. Dalam hal ini gereja katolik dan berbagai “supertisi yang diorganisasikan oleh gereja” dianggap sebagai hal yang memalukan. Filsafat politik liberalisme dengan didorong oleh rasionalisme, -yang mengatakan bahwa rasio manusia dapat menerangkan segala hal di dunia ini secara komprehensip-, kemudian melahirkan kapitalisme. Sesuai dengan prinsip “laissez faire, laissez passer”, mekanisme pasar yang terdiri dari “supply dan demand” akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat sebaik-baiknya. Tangan yang tidak kelihatan (the invisible hands) dalam mekanisme pasar itu akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat secara paling rasional, sehingga dapat menciptakan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat (Rais, 1996: 91).
            Akan tetapi, ternyata kapitalisme justru menimbulkan suatu masyarakat yang tidak egalitarian. Ia menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat banyak, di samping menyebabkan munculnya keserakahan kaum kapitalisme dan individualisme yang menyebabkan alienasi. Sebagai anti thesis terhadap kapitalisme, muncul marxisme pada abad 19 yang dipandang dapat melahirkan sosialisme ilmiah. Berbagai bentuk sosialisme di Eropa sebelum kehadiran marxisme dianggap sebagai sosialime utopia. USSR merupakan negara sosialisme marxis pertama, otomatis negara sosialis ilmiah, yang berhasil didirikan dan kemudian diikuti oleh RRC maupun negara Eropa Timur (Rais, 1995: 92).
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi kapitalis sebenarnya merupakan bagian dari kerangka ideologi liberalis atau juga biasa disebut ideologi kapitalis.

Tidak ada komentar: