Oleh: Muhammad Baiquni Syihab
Mengenal Istilah
Alawiyin
Adalah orang-orang keturunan Ali bin Abi
Thalib dan Fatimah az-Zahra binti Rasulullah saw. Alawiyin berasal dari nama
seorang laki-laki bernama Alwi yang merupakan keturunan Ali dan Fatimah.
Keturunan Ali dan Fatimah saat ini juga biasa dikenal dengan istilah ba’alwi
Habib
Adalah gelar sebutan untuk ulama dari
kalangan Alawiyin
Sayyid
atau Syarif
Adalah sebutan atau julukan untuk setiap
laki-laki keturunan Ali dan Fatimah. Pada awalnya Sayyid adalah sebutan untuk laki-laki keturunan Husain bin Ali bin
Abi Thalib. Sedangkan Syarif adalah untuk laki-laki keturunan
Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Namun belakangan di Indonesia sebutan untuk
laki-laki keturunan Hasan maupun keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib juga
disebut dengan Sayyid
Syarifah
Adalah julukan untuk perempuan keturunan
Hasan maupun Husain bin Ali bin Abi Thalib
Qobili
Adalah sebutan untuk orang-orang (keturunan)
Arab bukan Alawiyin, kebanyakan dari
mereka adalah Arab suku Quraish
Ahwal
Adalah sebutan untuk orang-orang Indonesia
non Arab atau pribumi Indonesia
Marga Arab Alawiyin
Arab Alawiyin
di Indonesia kebanyakan adalah keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib, dan
terbagi-bagi dengan nama marga keluarga yang berbeda-beda, diantara mereka yang
banyak dikenal dengan nama belakang:
Assegaf, Al-jufri, Al-kaff, Syihab atau Syahab,
Al-Habsyi, Al-Muhdhor, al-Qodri, al-Hadad, al-Attas, al-Aydrus, dan
lain sebagainya
Marga Arab
Qobili
Arab non Alawiyin pun memiliki marga-marga,
diantaranya:
At-Tamimi,
al-Katiri, Sungkar, Baswedan, Bamukmin, Baasyir, Basyaiban, bin Mahmud, Basalamah, dan lain
sebagainya
Latarbelakang Masalah
Orang-orang (keturunan) Arab di Indonesia
biasanya menikah dengan sesama Arab. Lebih dari itu, orang-orang Arab dari Alawiyin biasanya menikah dengan sesama
Alawiyin, walaupun berbeda marga, tetapi tetap sesama alawiyin. Atau pada umumnya, mereka Alawiyin tidak akan menikah
dengan Qobili apa lagi Ahwal.
Jarang dijumpai Alawiyin menikah dengan Ahwal,
demikian pula Alawiyin yang menikah
dengan Qobili, juga jarang ditemui Qobili menikah dengan Ahwal. Kalaupun ada jumlahnya tidaklah
banyak.
Kebiasaan tersebut ternyata bukan hanya
sekedar tradisi, melainkan ada dasar hukumnya (legalitasnya), namun ada pula
karena kebanggaan suku dan rasa ketinggian suku, juga tidak sangkakan ada
kesombongan didalamnya. Dengan kata lain pernikahan diantara mereka semuanya disebabkan
oleh pandangan kesetaraan derajat diantara dua pasangan.
Adapun pernikahan karena rasa kebanggaan suku
dan rasa ketinggian dan kesombongan tidak dibahas dalam tulisan ini. Melainkan
pembahasan hanya pada pernikahan oleh sebab ada legalitasnya (dasar hukum).
Secara khusus pembahasan ini adalah masalah kafa’ah (kesetaraan) atau ke-kufu-an antara dua pasangan.
MENURUT ALAWIYIN, SEKUFU ADALAH SYARAT PERNIKAHAN DARI DUA PASANGAN
MENURUT ALAWIYIN, SEKUFU ADALAH SYARAT PERNIKAHAN DARI DUA PASANGAN
Baik Sayyid
maupun syarifah mengambil nasab berdasarkan
garis ayah-nya bukan ibu-nya.
Penulis Tafsir 'Al-Manar', Syeikh Muhammad Abduh, dalam menafsirkan ayat 84 Surah Al-An'am, antara lain mengatakan, bahawasanya Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
Penulis Tafsir 'Al-Manar', Syeikh Muhammad Abduh, dalam menafsirkan ayat 84 Surah Al-An'am, antara lain mengatakan, bahawasanya Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Semua anak Adam
bernasab kepada orang tua lelaki (ayah mereka), kecuali anak-anak Fatimah.
Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka".
Hadist mengenai Kafa'ah Syarifah :
Dalam kitab
Makarim al-Akhlaq terdapat hadits yang berbunyi :
‘Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa
yang kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku kepada kalian, kecuali
perkawinan anakku Fathimah. Sesungguhnya perkawinan Fathimah adalah perintah
yang diturunkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah swt). Kemudian
Rasulullah memandang kepada anak-anak Ali dan anak-anak Ja’far, dan beliau
berkata : Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami,
dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami’.
Para ulama seperti Abu Hanifah, Imam Ahmad
dan Imam Syafii dalam masalah kafa’ah
sependapat dengan pendapat khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan :
‘Aku melarang wanita-wanita dari keturunan
mulia (Syarifah) menikah dengan lelaki yang tidak setaraf dengannya’.
Menurut mazhab Syafii, Abu Hanifah dan Ahmad
bin Hanbal, seorang wanita keturunan Bani Hasyim, tidak boleh dikawini oleh
seorang laki-laki dari selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita
itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian
ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinkannya dengan selain
Bani Hasyim, maka mereka itu berdosa. Imam Ahmad bin Hanbal berkata :
‘Wanita keturunan mulia (Syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun
jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridho
di kawinkannya wanita tersebut dengan lelaki yang tidak sekufu’, maka ia berhak
membatalkan. Bahwa wanita (Syarifah)
hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita (Syarifah) itu sendiri ridho menerima laki-laki yang tidak sekufu’,
maka keridhaan mereka tidak sah’.
Ayat al-Quran yang mengisyaratkan kafa'ah
nasab
Dalam
alquran surat al-Hujurat ayat 13, Allah swt berfirman:
"…Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu".
Ayat ini menunjukkan adanya kafaah dalam segi
agama dan akhlaq. Allah swt menjadikan orang-orang yang bertaqwa lebih utama
dari orang-orang yang tidak bertaqwa, dan menafikan adanya kesetaraan di antara
keduanya dalam hal keutamaan. Hal ini menunjukkan adanya dua hal pertama,
adanya ketidaksetaraan dan kedua, terdapat perbedaan kemuliaan dalam hal taqwa.
Diantara dalil lain yang mendukung kedua hal tersebut adalah surat al-Zumar
ayat 9, yang berbunyi:
"Katakanlah,
adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui".
Dan surat al-Nur ayat 26, yang berbunyi:
"Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah
untuk wanita-wanita yang keji pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik pula".
Berkaitan dengan hadits Rasulullah saw, yang
berbunyi:
"Jika
telah datang seorang yang engkau ridho akan agama dan akhlaqnya…"
Berkata al-Syaukani dalam kitabnya Nail
al-Author bahwa hadits tersebut adalah dalil kafaah dari segi agama dan akhlaq,
dan ulama yang berpendapat demikian ialah Imam Malik. Telah dinukil dari Umar,
Ibnu Mas'ud dari Tabiin yang meriwayatkan dari Muhammad ibnu Sirrin dan Umar
bin Abdul Aziz menunjukkan bahwa ayat alquran yang menyatakan orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang-orang yang paling taqwa di
antara kamu adalah dalil kafaah dalam masalah nasab, begitulah seperti yang
disepakati jumhur.
Dalam alquran surat al-Furqan ayat 54, Allah
swt berfirman:
"Dan
Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu
(punya) keturunan dan mushaharah, dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa".
Ayat ini merupakan dalil adanya kafaah dalam
hal nasab, hal ini dijelaskan oleh al-Bukhari yang menyebutkan ayat tersebut
sebagai dalil dalam bab kafaah. Imam al-Qasthalani dalam kitabnya Syarah
al-Bukhari menulis, yang dimaksud pengarang (al-Bukhari) dengan hubungan
kalimat ini mengisyaratkan bahwa sesungguhnya nasab dan hubungan musharah
berkaitan dengan masalah hukum kafaah'. Kafaah nasab menurut hadits Nabi saw.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori, dari Abu
Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
"Wanita
itu dinikahi karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Maka
carilah wanita yang taat kepada agama, niscaya akan beruntung".
Berkata Ibnu Hajar, yang dimaksud dengan
asal-usul keturunan (hasab) adalah kemuliaan leluhur dan kerabat. Al-Mawardi
dalam kitabnya al-Hawi al-Kabir Syarah Mukhtashor al-Muzani mengatakan, bahwa
syarat yang kedua (dari syarat-syarat kafaah) adalah nasab, berdasarkan hadits
Nabi saw: 'Wanita itu dinikahi karena hartanyanya, asal-usul keturunannya…'.
Yang dimaksud dengan asal-usul keturunannya adalah kemuliaan nasabnya.
Diriwayatkan oleh Muslim dari Watsilah bin
al-Asqa', Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya
Allah swt telah memilih bani Kinanah dari bani Ismail, dan memilih dari bani
Kinanah Quraisy, dan memilih dari Quraisy bani Hasyim, dan memilih aku dari
bani Hasyim".
Hadits di atas menjelaskan tentang keutamaan
Bani Hasyim. Allah swt telah memuliakan mereka dengan memilih rasul-Nya dari
kalangan mereka. Hal ini menunjukkan kemuliaan yang Allah swt berikan kepada
ahlul bait Nabi saw. Imam al-Baihaqi menggunakan hadits ini sebagai dasar
adanya kafaah dalam hal nasab.
Kafaah nasab menurut ulama madzhab.
Semua Imam madzhab dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaah sepakat akan adanya kafa'ah walaupun mereka berbeda pandangan dalam menerapkannya.
Salah satu yang menjadi perbedaan tersebut adalah dalam masalah keturunan (nasab).
Dalam hal keturunan orang Arab adalah kufu'
antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya orang Quraisy dengan Quraisy
lainnya. Karena itu laki-laki yang bukan Arab (Ajam) tidak sekufu' dengan
wanita-wanita Arab. Laki-laki Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy tidak sekufu'
dengan wanita Quraisy. Hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Orang-orang
Arab sekufu' satu dengan yang lainnya. Kabilah dengan kabilah lainnya, kelompok
yang satu sekufu' dengan kelompok yang lainnya, laki-laki yang satu sekufu'
dengan yang lainnya…"
Hadits riwayat Aisyah, bahwa Rasulullah
bersabda:
"Orang-orang
Arab satu dengan yang lainnya adalah sekufu'…"
Menurut Imam Hanafi: Laki-laki Quraisy sepadan (kufu') dengan wanita Bani Hasyim. Menurut
Imam Syafi'i: Laki-laki Quraisy tidak sepadan (tidak sekufu') dengan wanita
Bani Hasyim dan wanita Bani Muthalib. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim:
"Bahwasanya
Allah swt memilih Kinanah dari anak-anak Ismail dan memilih Quraisy dari Kinanah
dan memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan memilih aku dari Bani Hasyim…"
Akan tetapi kebanyakan ahli fiqih berpendapat
bahwa kafa'ah merupakan hak bagi perempuan dan walinya. Seorang wali tidak
boleh mengawinkan perempuan dengan lelaki yang tidak kufu' dengannya kecuali
dengan ridhanya dan ridha segenap walinya. Jika para wali dan perempuannya
ridha maka ia boleh dikawinkan, sebab para wali berhak menghalangi kawinnya
perempuan dengan laki-laki yang tidak sepadan (tidak kufu').
Imam Syafi'i berkata: Jika perempuan yang dikawinkan dengan lelaki yang tak sepadan (tidak
sekufu') tanpa ridhanya dan ridha para walinya, maka perkawinannya batal.
Imam Hanafi berkata : Jika seorang wanita kawin dengan pria yang tidak sederajat (tidak
sekufu') tanpa persetujuan walinya, maka perkawinan tersebut tidak sah dan wali
berhak untuk menghalangi perkawinan wanita dengan pria yang tidak sederajat
tersebut atau hakim dapat memfasakhnya, karena yang demikian itu akan
menimbulkan aib bagi keluarga.
Imam Ahmad berkata: Perempuan itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh.
Jika salah seorang dari mereka tidak ridha dikawinkan dengan laki-laki yang
tidak sederajat (tidak sekufu'), maka ia berhak membatalkan. Riwayat lain
dari Ahmad, menyatakan : bahwa perempuan
adalah hak Allah, sekiranya seluruh wali dan perempuannya sendiri ridha
menerima laki-laki yang tidak sederajat (tidak sekufu'), maka keridhaan mereka
tidaklah sah.
BANTAHAN ATAS MASALAH KESEKUFUAN DALAM
PERNIKAHAN
Oleh: Hafidz Abdurrahman
Status Hadits Kafa’ah
Dalam
kitab Makarim al-Akhlaq, karya Radhiyuddin Abi an-Nashr al-Hasan bin al-Fadhal
at-Thabrasi, terdapat hadits yang berbunyi:
“Sesungguhnya
aku hanya seorang manusia biasa seperti kalian. Aku kawin
dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku dengan kalian,
kecuali Fatimah. Karena, perkawinannya ditetapkan dari langit (telah ditentukan
oleh Allah SWT). Rasulullah pun memandang kepada anak-anak Ali dan Ja’far,
seraya bersabda: ‘Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki
kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami’.”
Dalam kitab tersebut tidak
disebutkan sanadnya. Tetapi, hadits ini diriwayatkan oleh al-Kulaini, dalam
kitabnya al-Kafi, Juz V/568, dengan sanad yang majhul [tidak
diketahui]. Karena itu, hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai hujah untuk
menetapkan hukum wajibnya kafa’ah.
Dalam riwayat lain disebutkan:
كُلُّ بَنِي آدَمَ
يَنْتَمُونَ إِلَى عَصَبَةِ أَبِيهِمْ إِلا وَلَدَ فَاطِمَةَ، فَإِنِّي أَنَا
أَبُوهُمْ وَأَنَا عَصَبَتُهُمْ [الطبراني في الكبير من طريق عثمان بن أبي شيبة عن
جرير عن شيبة بن نعامة عن فاطمة ابنة الحسين عن جدتها فاطمة الكبرى به مرفوعا]
“Semua
anak Adam bernasab kepada orang tua lelaki (ayah mereka), kecuali anak Fatimah.
Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka.” [Hr.
At-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dari ‘Utsman bin Abi Syibah dari Jarir bin
Syibah bin Nu’amah dari Fatimah binti al-Husain dari neneknya, Fatimah al-Kubra
diriwayatkan secara marfu’].
Status
hadits ini menurut Ibn al-Jauzi, dalam al-‘Ilal al-Mutanahiyyah, “Innahu
layashihhu, laisa bi jayyid[in]. (Hadits tersebut tidak shahih, dan tidak
jayyid [baik]).” Di dalam sanad-nya
juga terdapat Syibah, yang dinyatakan lemah. Namun, hadits ini mempunyai banyak
pendukung (syawahid). Jika pun maknanya sahih, maka hadits ini
menjelaskan kekhususan Nabi saw. dan keturunannya. Namun, hadits ini tidak
menjelaskan tentang wajibnya kafa’ah bagi pasangan suami-isteri,
khususnya keluarga Nabi saw.
Mengenai hadits dari Ibn
‘Umar:
“Orang-orang
Arab sekufu' satu dengan yang lain. Kabilah satu dengan kabilah lain, satu
kampung dengan kampung yang lain, laki-laki yang satu dengan yang lain…”
Hadits
ini palsu, tidak ada dasarnya. Ibn Abi Hatim berkomentar, “Aku telah bertanya kepada ayahku tentang
hadits ini, beliau mengatakan, “Munkar”. ”Sedangkan
Ibn ‘Abd al-Barr berkomentar, “Hadits ini Munkar dan palsu [maudhu’].”.
Dalam isnad-nya terdapat orang yang majhul, yaitu perawi yang
meriwayatkan dari Ibn Juraij. Ad-Daruquthni berkomentar, dalam kitab al-‘Ilal,
“La yashihhu [Tidak sahih].”
Begitu
juga hadits al-Bazzar dari Mu’adz bin Jabal:
“Orang-orang
Arab sekufu' satu dengan yang lain. Begitu juga kaum Mawali sekufu satu
dengan yang lain.”
Isnad hadits
ini juga lemah.
Mengenai
tindakan Nabi saw. menikahkan putrinya, Fatimah al-Kubra dengan saudara
sepupunya, ‘Ali bin Abi Thalib, ini tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk
mewajiban pernikahan antara sesama Sayyid/Syarif dengan
Syarifah.
Sebaliknya, mengharamkan pernikahan Syarif dengan bukan Syarifah, atau Syarifah dengan bukan Syarif. Karena, ada tindakan Nabi saw. yang lain, yang berbeda
dengan ini. Ketika Nabi saw. menikahkan putri bibinya, Zainab binti Jahsy
al-Asadiyyah dengan Zaid bin Haritsah. Padahal, Zaid bin Haritsah bekas budak yang telah dimerdekakan.
Bukan
hanya dalam bentuk tindakan, tetapi Nabi juga memerintahkan Fatimah binti Qais
untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, putra dari bekas budaknya, Zaid bin
Haritsah. Maka, Usamah bin Zaid pun menikahinya atas titah Nabi saw [Hr.
Muttafaq ‘alaih]. Begitu juga Abu Hudzaifah bin Rabi’ah bin ‘Utbah telah
mengadopsi Salim, bekas budak wanita Anshar, sehingga dikenal sebagai Salim
“Maula” [bekas budak] Abi Hudzaifah. Salim dinikahkan oleh Abu Hudzaifah dengan
keponakannya, putri saudara lelakinya, Hindun binti al-Walid bin Utbah. [Hr.
Bukhari].
Mengenai
perkataan ‘Umar bin al-Khatthab:
“Aku
melarang kemaluan wanita-wanita dari keturunan mulia, kecuali untuk
lelaki yang setaraf dengannya.”
Perkataan ‘Umar ini bukan
hadits. Apa yang dinyatakan ‘Umar ini merupakan pendapatnya, dan tidak bisa
dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan kafa’ah, atau melarang pernikahan
karena tidak kafa’ah.
Begitu
juga pendapat Salman al-Farisi, sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Qudamah:
بَلْ
أَنْتَ تَقَدَّمْ فَإِنَّكُمْ مَعْشَرَ الْعَرَبِ لاَ يُتَقَدَّمُ عَلَيْكُمْ فِي
صَلاَتِكُمْ وَلاَ تُنْكَحُ نِسَاؤُكُمْ إِنّ اللهَ فَضَّلَكُمْ عَلَيْنَا
بِمُحَمَّدٍ صلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعَلَ فِيْكُمْ
“Anda
[Jarir] yang harus maju. Kalian kalian, wahai orang-orang Arab, kalian tidak
boleh dipimpin dalam
shalat kalian [oleh non-Arab]. Perempuan kalian juga tidak boleh dinikahi, sesungguhnya
Allah memuliakan kalian atas kami karena Muhammad saw. Dia juga dijadikan di
antara kalian.”[H.r. al-Baihaqi]
Perkataan
Salman ini juga bukan hadits. Apa yang dinyatakan Salman ini merupakan
pendapatnya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan kafa’ah,
atau melarang pernikahan karena tidak kafa’ah. Kalau pun ini dijadikan
sebagai syarat, hanya syarat afdhaliyyah saja, baik dalam imamah
shalat maupun pernikahan.
Karena
itu, tidak ada satu dalil pun yang bisa digunakan untuk mewajibkan kafa’ah
bagi pasangan suami isteri, baik dari kalangan Arab dengan Arab, Arab dengan
non-Arab, maupun syarifah dengan bukan syarifah. Al-‘Allamah al-Qadhi
an-Nabhani menyatakan, karena itu, maka nash-nash yang menyatakan kafa’ah adalah
nash yang batil, atau tidak bisa digunakan untuk berhujah. Mensyaratkan kafa’ah
juga bertentangan dengan sabda Nabi saw:
لاَ
فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى
“Tidak
ada kelebihan bagi bangsa Arab terhadap non-Arab kecuali dengan ketakwaannya.” [Hr. Ahmad]
Syarat
tersebut juga bertentangan dengan nas al-Qur’an:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ
اللهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya
di antara kalian yang paling mulia di sisi Allah, adalah kalian yang paling
bertakwa.” [Q.s.
al-Hujurat: 13]
Karena
itu, hadits-hadits tentang syarat kafa’ah, atau bahkan yang mewajibkan kafa’ah
jelas harus ditolak, dari aspek riwayat maupun dirayah. Maka,
Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani menegaskan, bahwa hadits-hadits yang menyatakan
tentang kafa’ah ini adalah hadits-hadits makdzubah [bohong/palsu]
[Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani, an-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam,
hal. 104].
Perbedaan Kafa’ah di Kalangan Ulama’
Sebagian fuqaha’, seperti
Imam Ahmad, menggunakan sebagian hadits di atas sebagai argumen untuk
menyatakan, bahwa kafa’ahmerupakan syarat sahnya pernikahan. Jika tidak
terpenuhi, maka kedua mempelai yang tidak sederajat itu harus dipisahkan. Ini
juga merupakan pendapat Sufyan at-Tsauri. Dasar yang digunakan, selain hadits
yang telah dinyatakan lemah di atas, juga pendapat ‘Umar dan Salman. Mengenai
penggunaan kedua pendapat sahabat, ‘Umar dan Salman, bisa dimengerti, karena
Imam Ahmad mengakui Mazhab Sahabat sebagai dalil.
Namun, ini bukan pendapat
Imam Ahmad satu-satunya. Karena, Imam Ahmad juga mempunyai pendapat kedua, yang
berbeda dengan riwayat pertama. Menurutnya, kafa’ah bukan syarat
sahnya pernikahan. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama’, bukan
hanya pendapat Imam Ahmad. Pendapat ini ternyata juga merupakan pendapat ‘Umar,
Ibn Mas’ud, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ‘Ubaid bin ‘Umair, Hammad bin Sulaiman, Ibn
Sirin, Ibn ‘Aun, Imam Malik, as-Syafii dan Ashhab ar-Ra’y[Ibn Qudamah, al-Mughni,
Juz IX/387-388].
Dalam
riwayat lain, Imam Ahmad menyatakan, bahwa bangsa Arab non-Quraisy tidak kafa’ah
dengan Quraisy. Non-Bani Hasyim juga tidak kafa’ah dengan Bani Hasyim.
Pendapat Imam Ahmad ini bisa dimengerti, karena menggunakan Mazhab Sahabat
sebagai dalil. Ini juga merupakan pendapat pengikut mazhab Syafii, berdasarkan
sabda Nabi saw:
إنَّ اللهَ اصْطَفَى
كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ، وَاصْطَفَى مِنْ كِنَانَةَ قُرَيْشًا،
وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِيْ مِنْ بَنِيْ هَاشِمٍ.
“Sesungguhnya
Allah mengangkat Kinanah dari putra Ismail, mengangkat dari Kinanah Quraisy,
mengangkat dari Quraisy Bani Hasyim, dan mengangkat aku dari Bani Hasyim.” [Hr. Muslim]
Pendapat pengikut mazhab
Syafii ini sama dengan pendapat Abu Hanifah. Beliauberkata, “Orang non-Arab
tidak kafa’ah dengan orang Arab. Orang Arab tidak kafa’ah dengan Quraisy. Semua
kaum Quraisy itu kafa’ah.”
Namun, sekali lagi, dalam
riwayat lain, Imam Ahmad menyatakan sebaliknya, bahwa bangsa Arab satu dengan
lain sama-sama kafa’ah. Bangsa non-Arab juga demikian, satu dengan yang lain, juga
sama-sama kafa’ah. Alasannya, karena Nabi saw. telah menikahkan kedua
putrinya dengan ‘Utsman. Baginda saw. juga menikahkan putrinya, Zainab binti
Muhammad saw. dengan Abu al-‘Ash bin ar-Rabi’. Padahal, keduanya berasal dari
Bani ‘Abdi Syam, bukan dari Bani Hasyim. ‘Ali bin Abi Thalib juga telah
menikahkan ‘Umar dengan putrinya, Ummu Kaltsum, dengan ‘Umar bin Khatthab.
Meski ‘Umar bukan dari Bani Hasyim. Begitu juga ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Utsman
telah menikahi Fatimah binti al-Husain bin ‘Ali, sedangkan Mush’ab bin az-Zubair
menikahi saudara Fatimah, Sukainah. Miqdad bin al-Aswad menikahi Shuba’ah binti
az-Zubair bin ‘Abdul Muthallib, putri paman Nabi saw. Padahal, keduanya berbeda
nasabnya [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/392-393].
Karena
itu, pendapat yang menyatakan kewajiban kafa’ah bagi pasangan
suami-isteri, di kalangan fuqaha’ adalah pendapat syar’i, setidaknya
jika mazhab yang menyatakannya menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil.
Sebagaimana Imam Ahmad, misalnya. Namun, jika mazhab tersebut tidak menggunakan
Mazhab Sahabat sebagai dalil, seperti pengikut mazhab Syafii, maka pendapat ini
tentu bukan pendapat syar’i. Dengan catatan, jika pendapat tersebut
didasarkan pada Mazhab Sahabat.
Namun,
jika pendapat tersebut didasarkan pada hadits lain, yaitu “Sesungguhnya
Allah mengangkat Kinanah dari putra Ismail, mengangkat dari Kinanah Quraisy,
mengangkat dari Quraisy Bani Hasyim, dan mengangkat aku dari Bani Hasyim.” [Hr.
Muslim], sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah, maka hadits ini tidak
menunjukkankewajiban kafa’ahpasangan suami-isteri. Dengan demikian,
pendapat yang paling kuat, adalah pendapat yang menyatakan, bahwa kafa’ah
tersebut bukan syarat, juga bukan kewajiban bagi pasangan suami-isteri.
Masalah Agama dan Kerelaan Bukan Masalah Kafa’ah
Mengenai
faktor agama yang dijadikan ukuran kafa’ah antara suami-isteri,
sebagaimana pendapat Imam Ahmad, Syafii, Malik dan Abu Hanifah, dalam hal
iniImam Malik berkata, “Kafa’ah hanya dalam masalah agama, bukan yang lain.”
Sebagaimana firman Allah SWT:
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لاَ
يَسْتَوُوْنَ
“Apakah
sama orang yang beriman dengan orang yang fasik, tentu mereka tidak sama.” [Q.s. as-Sajdah: 18]
Ibn
al-Mundzir menukil dari al-Buwaithi, bahwa Imam as-Syafii berkata, “Kafa’ah
itu dalam agama.” Pendapat ini juga dinyatakan dalam kitab Mukhtashar
al-Buwaithi. Dalam kitab Fath al-Bari, beliau menyatakan, “Kafa’ah
dalam agama yang diakui merupakan perkara yang disepakati. Maka, tidak halal seorang
wanita Muslimah bagi lelaki Kafir.” [as-Syaukani, Nail al-Authar, hal. 1197]
Mengenai perbedaan agama
ini, menurut al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, sebenarnya ini bukan
pembahasan tentang kafa’ah. Tetapi, ini merupakan pembahasan tentang
pernikahan kaum Muslim dengan non-Muslim. Ini tentu merupakan pembahasan lain.
Hal yang sama juga terkait dengan kefasikan seseorang, ini sebenarnya tidak
terkait dengan masalah kafa’ah. Tetapi, masalah pilihan dan kerelaan.
Imam as-Syafii menyatakan,
bahwa asal muasal kafa’ah dalam pernikahan, sebenarnya adalah hadits
Barirah [as-Syaukani, Nail al-Authar, hal. 1197]. Dalam hal ini,
Barirah, budak wanita, menikah dengan sesama budak. Ketika Barirah
dimerdekakan, sementara suaminya masih menjadi budak, maka dia diberi pilihan,
apakah mau tetap menjadi isteri budak tersebut, atau membatalkan nikahnya.
Diriwayatkan dari al-Qasim dari ‘Aisyah, bahwa Barirah ketika itu masih menjadi
isteri dari seorang budak. Ketika dia dimerdekakan, Rasulullah saw. bersabda
kepadanya, “Kamu pilih, jika kamu mau, maka kamu tetap menjadi isteri budak
ini. Jika kamu mau, kamu bisa meninggalkannya.” [Hr. Ahmad]. Dalam riwayat
Muslim dari ‘Urwah dari ‘Aisyah, “Barirah telah dimerdekakan. Suaminya tetap
menjadi budak. Rasulullah saw. memberikan pilihan kepadanya. Kalau suaminya
sudah merdeka, baginda saw. tidak akan memberikan pilihan kepadanya.”
Jadi, pilihan yang diberikan
Nabi saw. kepada Barirah tidak terkait dengan masalah kafa’ah atau
tidak, melainkan terkait dengan status suaminya yang masih menjadi budak, dan
konsekuensi Barirah menjadi isteri budak. Karena itu, ‘Aisyah berkomentar, “Kalau
suaminya sudah merdeka, baginda saw. tidak akan memberikan pilihan
kepadanya.” [Hr.
Muslim].
Dari
sini bisa dipahami, bahwa diberikannya pilihan kepada Barirah untuk bertahan
menjadi isteri budak, atau tidak, merupakan bukti yang kuat, bahwa ini masalah
pilihan. Tidak terkait dengan rusak dan tidaknya akad pernikahannya, karena
tidak kafa’ah. Ini berbeda dengan perbedaan agama, karena ini bukan masalah
pilihan. Dalam kasus suami murtad, misalnya, jelas status pernikahannya batal (fasakh).
Dengan atau tanpa keputusan pengadilan, status pernikahan pasangan ini jelas
batal.
2 komentar:
kufu pernikahan itu penting, oke, tapi masalahnya yang bagaimana dulu? karena kalau bicara dari kepribadian, kelas ekonomi dan tingkat edukasi yang menjadi latar sosial seseorang untuk soal kekufuan maka hal ini sangat realistis dan masuk akal, tapi kalau garis keturunan apa urusannya dengan hal-hal tersebut?, garis keturunan tidak otomatis menjadikan anda alim, tidak otomatis menjadikan anda berduit, tidak otomatis menjadikan anda smart, karena itu semua datang dari usaha anda sendiri dong, dan bisa terjadi pada orang dg garis keturunan manapun.
tidak dipungkri, tingkat edukasi dan kelas ekonomi itu paling menentukan latar sosial seseorang dari lingkungan serta pengalaman hidupnya.
Kawan saya org Malaysia yg berduit dan edukasinya tinggi (S2 Jerman), bisa dimengerti mengapa dia mampu memperistri seorang wanita dari Jerman yg notabene jelas dari negara yg secara pendidikan+ekonomi nya tinggi, karena mereka berdua berangkat dari latar dunia yang berkesesuaian, apalagi di era global skrg, disini jelas kufu nya kawan saya tsb kan. bukan masalah dari keturunan mereka berdua.
adalah lebih bisa di terima akal dan realistis bila saya lebih memilih putri saya utk menikah dg seorang muslim yang gemilang secara latar ekonomi dan edukasi nya, disamping kepribadiannya yang baik sebagaimana umumnya.. daripada dengan seseorang yang katakanlah dari latar etnik atau keturunan yang sama namun pendidikan dan ekonomi nya rendah, apa nya yang sekufu dari itu?, kufu itu penting, tapi garis keturunan adalah tidak relevan bagi kufu atau tidaknya seseorang.
dan mengenai adanya perbedaan-perbedaan suku dan bangsa, jika hal ini di maknai sebagai bentuk segregasi antar kelompok manusia maka pemahaman ini salah besar. Kita semua tahu manusia itu pada awalnya homogen, tidak heterogen. Berkembangnya suku dan bangsa bukan hal yang terjadi secara tiba-tiba bak mukjizat yang turun dari langit, namun itu terjadi karena proses alami keberanak-pinakan umat manusia yang dimulai dari arus migrasi sehingga manusia tersebar di penjuru dunia dan beradaptasi dengan kondisi serta lingkungan geografis tempat tinggal yang berdampak pada pembentukan fisik manusia, dan tidak cuma ini, namun juga di ikuti dengan KAWIN-MAWIN antar kelompok manusia. Kebhinekaan etnik dan bangsa di dunia ini tidak akan pernah ada kalau tidak terjadinya PERCAMPURAN etnik dan bangsa di masa silam juga, jadi pernikahan antara orang-orang beda ras/etnik yang sampai hari ini pun masih tetap eksis di kehidupan kita bukanlah hal yang abnormal, dalam panggung sejarah tidak ada manusia yang secara genom serta kultur nya "Pure". Proses interaksi kultural & genetika antar kelompok manusia sejak leluhur kita homo sapiens bermigrasi dari benua afrika sudah terjadi dari masa ke masa, jadi adalah naif untuk membatasi pergaulan dan pernikahan antar sesama manusia karena ras/etnik. Etnisitas atau bangsa itu pada dasarnya adalah penanda dan identifikasi asal kelompok leluhur tiap manusia, bukanlah hal determinis dan impersonal yang harus di implan dg segala cara ke dalam kehidupan tiap individu, karena perbedaan-perbedaan manusia melampui sekedar lintas etnik dan warna kulit.
Arab cina india apapun itu banyak yang menikah sama dengan ras nya . Jangan membahas arab saja . Kalo tertarik tapi ga takdir jangam banyak memberi dalil seolah menyalahkan arab pilah pilih jodoh .
Posting Komentar