Oleh: Muhammad Baiquni Syihab
Melihat data diatas, seharusnya harga BBM dapat ditentukan dari dalam negeri, namun faktanya harga BBM di Indonesia selalu mengikuti harga minyak mentah dunia. Juga seharusnya, saat harga minyak mentah naik, Indonesia sebagai penghasil minyak bisa mendapat sejumlah keuntungan, yang dapat dipergunakan untuk membeli kebutuhan BBM dalam negeri yang tidak mampu ditopang oleh penghasilan minyak dalam negeri.
Setiap hari di negeri ini (Indonesia) hampir 1 juta barel minyak mentah yang diangkat dari perut bumi. Tepatnya kira-kira 950.000 barel. Jumlah tersebut setara dengan 159 juta liter.
Indonesia berpenduduk 230 juta jiwa, dan konsumsi BBM setiap harinya sebesar 1,6 juta barel per hari (254 juta liter), lebih besar dari jumlah minyak mentah yang diangkat dari perut bumi. Dengan demikian, negara kita berstatus sebagai penghasil minyak lebih banyak dari pada sebagai konsumen murninya. Artinya, walaupun Indonesia sebagai penghasil minyak, namun kebutuhannya lebih besar dari penghasilannya. Akan tetapi, kebutuhan akan minyak yang tidak dapat ditopang oleh penghasilan minyak dalam negeri, ternyata lebih kecil dari kebutuhan akan minyak yang dapat ditopang oleh penghasilan minyak dalam negeri.
Melihat data diatas, seharusnya harga BBM dapat ditentukan dari dalam negeri, namun faktanya harga BBM di Indonesia selalu mengikuti harga minyak mentah dunia. Juga seharusnya, saat harga minyak mentah naik, Indonesia sebagai penghasil minyak bisa mendapat sejumlah keuntungan, yang dapat dipergunakan untuk membeli kebutuhan BBM dalam negeri yang tidak mampu ditopang oleh penghasilan minyak dalam negeri.
Melihat realitas, jelas semuanya berlawanan. Indonesia selalu tergantung dengan harga minyak mentah dunia. Saat harga minyak mentah dunia naik, pun pemerintah selalu kelimpungan mencari dana subsidi untuk menjaga agar harga BBM di negerinya tetap, bila sumber dana untuk mensubsidi BBM buntu, tak ayal lagi BBM dalam negeri pun naik menyesuaikan harga minyak dunia, alhasil rakyat miskin bertambah, pengangguran pun meningkat.
Sumber Masalah
Harga BBM di Indonesia memakai patokan harga MOPS, singkatan dari Mean of Platts Singapore, atau lebih popular dengan Mid Oil Platts Singapore. Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2005. (Peraturan Presiden antek penjajah). Alasan memakai patokan harga Singapura, karena patokan harga di dalam negeri belum terbentuk. Jelas ini gila! Penghasil minyak seperti Indonesia, harganya ditentukan oleh negara kecil yang didalam tanahnya tidak terdapat minyak. Masyarakat Indonesia harus membeli minyak dengan harga yang sama dengan minyak yang dibeli masyarakat Singapura. Misalkan bila masyarakat Jerman membeli mobil produksi Jerman dengan harga yang sama dengan masyarakat Indonesia, maka itu tidak wajar. Sebab, untuk sampai ke Indonesia memerlukan biaya transportasi dan segala biaya lainnya yang membuat mobil tersebut harganya akan lebih mahal dari tempat asalnya. Demikian pula BBM, bila masyarakat Indonesia membeli dengan harga yang sama dengan harga yang dibeli dengan masyarakat Singapura, jelas tak wajar. Seharusnya masyarakat Indonesia membeli BBM dengan harga yang lebih murah dari harga yang dibeli masyarakat Singapura, karena Indonesia penghasil minyak dan Singapura bukan.
Permasalahan utamanya ada pada pasar komoditas. Harga minyak mentah dunia ditentukan di pasar komoditas, bukan sebab permintaan dan penawaran dunia. Jadi, seberapapun besar usaha untuk meningkatkan produksi/pengangkatan minyak mentah dari perut bumi, agar harga minyak dunia turun karena penawaran meningkat, hal tersebut hanya akan memberi pengaruh kecil dan sifatnya hanya sementara, bila tidak mau dikatakan sebagai usaha yang sia-sia.
Pasar komoditas yang menentukan harga dunia tersebut adalah NYMX (New York Mercantile Exchange), LIFFE (London International Financial Future Exchange) dan NYBT (New York Board of Trade). disanalah MOPS merujuk, dan disanalah harga minyak mentah dunia ditentukan. Bahkan bukan hanya BBM yang harganya ditentukan disana, melainkan juga kopi, kakao, minyak mentah sawit (CPO) dan kedelai. Maka beberapa tahun lalu kita merasakan kenaikan harga kedelai, padahal jumlah produksi kedelai tidak berkurang, karena dari sanalah harga kedelai ditentukan.
BBM, kakao, minyak sawit dan kedelai, saat ini sudah menjadi komoditas. Artinya barang-barang tersebut sudah menjadi ajang spekulasi. Apabila kita terbiasa mendengar bursa valas dan bursa saham sebagai tempat orang mencari profit taking/peruntungan, maka saat ini ada dunia baru, yaitu bursa komoditas. Sebab saat spekulasi di dunia investasi lesu (bursa saham dan valas), pemilik dana besar akan mengalihkan dananya untuk berspekulasi di bursa komoditas. Sehingga barang-barang seperti BBM, kakao, CPO dan kedelai menjadi objek ajang spekulasi.
Memahami Masalah Dengan Mudah
Berspekulasi di pasar/bursa komoditas berarti, barang-barang tersebut dijadikan ajang spekulasi. Pembeli di bursa komoditas bukanlah konsumen langsung BBM, gandum, CPO., kedelai maupun kakao, melainkan para calo, tengkulak atau broker. Sehingga bisa dibayangkan, mata rantai kepentingan menjadi lebih panjang. Sehingga harga tidak hanya ditentukan oleh permintaan dan penawaran, tapi juga faktor Penimbunan (dalam fiqih disebut ihtikar), atau aksi memborong untuk spekulasi.
Penimbunan dalam pasar komoditas tidak sebagaimana penimbunan yang biasa kita kenal. BBM dalam pasar komoditas tidak ditimbun oleh pembelinya dirumah-rumah mereka, digudang-gudang penyimpanan mereka, SPBU maupun ditempat-tempat lain. Sehingga para pembeli BBM tersebut tidak perlu khawatir risiko rumah maupun gudangnya kebakaran akibat menyimpan BBM, juga tidak perlu takut ditangkap pak polisi karena dianggap sebagai pelaku penimbunan. Akan tetapi, penimbunan yang dimaksud dalam pasar komoditas adalah, bahwa seorang pembeli hanya membeli hak kepemilikan atas barang, karena bisa jadi barang-barang yang dibeli pembeli di pasar komoditas tersebut, seperti BBM, barangnya masih dalam kilang-kilang dunia atau bahkan masih tersimpan dengan aman dalam perut bumi. Dalam fiqh Islam hal ini kita kenal dengan system ijon, atau bisa disebut dengan sistem ijon raksasa.
Misalkan, seseorang membeli 10 liter bensin dengan harga Rp.4500/liter untuk pengiriman bulan Juli. Bensin itu bukan berarti secara fisik akan diantar kerumahnya pada bulan Juli. Sebab orang tersebut bukan penjual bensin, dia hanya membeli hak kepemilikan atas 10 liter bensin itu untuk pengiriman bulan tersebut. (orang tersebut tahu bahwa pada bulan Juli permintaan pasti naik karena musim panas di Amerika). Maka sesuai hukum permintaan dan penawaran, harga bensin berpeluang naik. Dia pun menjual 10 liter bensinnya dengan harga 5000/liter. Untung Rp.500/liter. Kemudian orang tersebut memutar modalnya kembali guna membeli bensin untuk pengiriman bulan Januari (bulan ini, bulan saat negara-negara utara mengalami puncak musim dingin, saat orang membutuhkan lebih banyak energi untuk berbagai keperluan), harga pun berpeluang kembali naik, dan demikian seterusnya.
Dalam skala riil, jumlah yang dibeli seorang pembeli BBM dalam pasar komoditas bukan 10 liter, melainkan ratusan ribu barel. Padahal 1 barel = 159 liter. Parahnya, pemain seperti pembeli tersebut tidak hanya satu dua orang. Melainkan ratusan atau bisa jadi ribuan. Sekali orang tersebut mengambil untung Rp.500/liter saat itu pula harga minyak dunia naik. Dan pemerintah Indonesia langsung kelabakan menyesuaikan diri dengan menambah dana subsidi BBM untuk masyarakatnya. Dan apabila APBN tidak lagi sanggup memikul untuk mensubsidinya, tak ayal lagi harga BBM pun ikut naik. Rakyatpun menderita. Semua ini akibat harga bensin didekte oleh mereka yang bahkan bukan penghasil dan konsumen riil bensin.
Di pasar komoditas dunia, para pembeli tersebut mendapat kedudukan sungguh terhormat. Meskipun disebut spekulan, tapi ia bukan seorang criminal dan tidak melanggar hukum negara manapun. Ia adalah pemegang dana jutaan Dolar atau Euro yang sedang bingung menempatkan uangnya. Biasanya orang-orang semacam ini mendepositokan uang di Bank atau bermain saham atau surat berharga lain dibursa efek. Tapi karena suku bunga sedang rendah, maka mereka enggan untuk menempatkan dananya di pasar uang maupun pasar surat berharga. Maka kemudian mereka mengincar pasar komoditas.
Lembaga-lembaga investasi dunia telah ikut menentukan harga energi dan bahan pangan. Sebuah kondisi yang membuat miris, karena barang yang mereka perdagangkan adalah kebutuhan vital seluruh penduduk bumi. Nasib milyaran orang tergantung pada angka-angka di papan perdagangan pasar komoditas.
Jadi, sebenarnya BBM/minyak mentah yang masih di perut bumi Indonesia dan BBM/minyak mentah di negara penghasil minyak lainnya, sesungguhnya sudah ada pemiliknya, yaitu pembeli/pemborong di pasar komoditas dunia seperti NYMX, LIFFE dan NYBT tadi, dan bukan milik pemerintah lagi. Sebab, saat pemerintah Indonesia menyerahkan pengelolaan daerah penghasil minyak buminya kepada pihak asing, disanalah hak kepemilikan berganti menjadi milik asing, dan oleh pihak asing kemudian BBM tersebut diperjual-belikan di pasar komoditas dunia (walaupun BBM tersebut masih berada di kilang-kilang minyak atau bahkan masih di perut bumi).
Adapun Indonesia hanya memperoleh pajak pengelolaan dan royalti dari seluruh penjualan minyak mentahnya. Sungguh tragis. Maka, dapat kita fahami apabila seluruh kebutuhan akan BBM dalam negeri harus dibeli dari pemilik barunya, yaitu pembeli/pemborong di pasar komoditas. Yang tidak lain mereka itu adalah orang-orang yang menentukan harga dengan berspekulasi.
Inilah bahayanya apabila pengelolaan kekayaan alam di Indonesia diserahkan pada asing seperti Exxon Mobile dkk. Kekayaan Indonesia menjadi milik mereka, dan mereka perjual-belikan kembali di pasar dunia (pasar komoditas). Kemudian jadilah kita pembeli barang sendiri. Sungguh luar biasa gilanya.
Dan selama pendapatan negara dalam APBN masih mampu untuk menutup biaya pembelian BBM dari orang-orang yang ada di pasar komoditas, maka harga BBM dalam negeri akan cenderung tetap, atau bahkan harganya bisa turun sekehendak pemerintah sesuai dengan kepentingannya. Sebagaimana yang terjadi pada Juli 2009 saat putaran pertama pemilihan presiden, BBM turun 3 kali. Luar biasa. Sebab pada saat itu minyak mentah masih 40 dolar/barel. Dan APBN masih gagah menghadapinya. Karena harga minyak mentah yang rendah itulah pemerintah bisa mempermainkan harga BBM dalam negeri, mempermainkan rakyatnya demi pemilu presiden. Astaghfirullahal’adzim. Tapi apabila harga BBM di pasar komoditas (Pengeluaran APBN) mulai melebihi dari perhitungan pendapatan negara ( harga diatas 100 Dolar/barel), maka harga BBM dalam negeri harus dinaikkan untuk menutupi kekurangan dalam pembelian BBM di pasar komoditas.
Sebuah sistem jual beli yang bodoh namun sudah mendunia, dan legal.
Tinjuan Fiqh Islam
Setidaknya ada tiga jenis bentuk transaksi haram yang terdapat dalam jual beli BBM di pasar komoditas, yaitu:
1. Jual beli kepemilikan umum
2. Penimbunan (Ihtikar), dan
3. Jual beli dengan sistem ijon
Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa BBM menurut syara’ adalah kekayaan alam yang termasuk dalam jenis kepemilikan umum. Sedangkan dalam UUD pasal 33 BBM termasuk dalam barang tambang yang berstatus kepemilikan negara. Saling bertentangan. Adapun kepemilikan umum mengandung konsekwensi bahwa barang tersebut tidak dapat dan tidak boleh dimiliki dan diperjualbelikan oleh individu, swasta atau bahkan Negara. Kepemilikan umum berarti kepemilikan Allah Swt yang diberikanNya pada seluruh manusia/masyarakat secara kolektif.
Dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah saw untuk dibolehkan mengelola tambang garamnya. Lalu Rasulullah saw memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya : “Wahai Rasullullah, tahukan engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir (al-maau al-‘iddu).” Rasulullah saw kemudian bersabda : “Tariklah tambang tersebut darinya” (HR. Imam Tirmidzi).
Hadits diatas menjelaskan tentang larangan memiliki barang tambang (BBM) karena bersifat tidak terbatas yang diumpamakan sebagai air yang mengalir, karena tambang tersebut merupakan milik umum.
Adapun termasuk dalam Ijon, sebab bisa saja jual beli BBM yang dilakukan di pasar komoditas, memperjualbelikannya saat BBM tersebut masih berada dalam perut bumi.
Nabi saw. melarang buah dijual hingga tusyqih, Ditanyakan, “Apa tusyqih itu?” Beliau menjawab, “Memerah dan menghijau serta (bisa) dimakan darinya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Sedangkan termasuk dalam penimbunan (ihtikar), sebab Penimbunan adalah membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik.
BBM adalah barang kebutuhan pokok atau primer. Seberapapun tingginya harga BBM, masyarakat akan tetap membelinya. Apabila BBM termasuk dalam jenis barang sekunder ataupun tersier, mungkin tidak tepat bila aksi borong BBM di pasar komoditas disebut sebagai penimbunan.. Namun BBM saat ini sudah menjadi barang dasar untuk menggerakkan roda perekonomian suatu negara. Kenaikan harganya akan memicu kenaikan semua jenis barang yang dibutuhkan masyarakat.
Pada pasar komoditas, saat pembeli/broker/pemborong di pasar komoditas membeli BBM, maka pembeli tersebut dengan aturan yang telah ada di pasar komoditas (yaitu ketetapan tanggal-tanggal waktu pengiriman), tertahan untuk menjualnya kembali hingga sampai saat tanggal pengiriman yang ia tentukan di masa depan (contoh: waktu BBM tersebut banyak dibutuhkan oleh suatu masyarakat) dan menaikkan harganya. Dalam kasus diatas adalah saat Amerika dan Eropa mengalami musim panas dan musim dingin, musim saat BBM banyak dibutuhkan, juga karena Amerika merupakan negara dengan urutan pertama sebagai konsumen terbesar akan BBM. Dengan demikian pada bulan-bulan tersebut Indonesia terkena dampaknya (Januari dan Juli).
Kesimpulan
Memang demikianlah faktanya, jelaslah bagi kita. Negeri ini tidak mungkin lepas dari cengkraman dunia yang gila, dan kemudian berubah menjadi Indonesia yang sejahtera, jika hanya dengan mengganti pemimpin-pemimpin negerinya. Tidak bisa tidak, sistem pemerintahannya harus dirubah. Khilafah Islam adalah solusi alternatifnya. Allahu a’lam bishshowab.
Daftar Bacaan
Dandhy Dwi Laksono. 2009. Indonesia For Sale. Surabaya: Pedati.
Hizbut Tahrir. 1998. Sebab-sebab Kegoncangan Pasar Modal Menurut Hukum Islam. Pustaka Thariqul Izzah. Bogor.
Muhammad Ramdhan Adhi. 2005. Globalisasi Skenario Mutakhir Kapitalisme. Bogor: al-Azhar Press
Deddy Novrandianto, Exxon Kuasai Blok Cepu, Http://www.bojonegoro.com/.
Taqyuddin an-Nabhani. 2002. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar