Rabu, 04 Agustus 2010

TEORI DAN AKUNTANSI MUDHARABAH PERBANKAN SYARIAH

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab


Definisi Mudharabah
Mudharabah atau penanaman modal disini artinya adalah menyerahkan modal uang kepada orang yang berbisnis sehingga ia mendapatkan prosentase keuntungan. Bentuk usaha ini melibatkan dua pihak: pihak yang memiliki modal namun tidak bisa berbisnis. Dan kedua, pihak yang pandai berbisnis namun tidak memiliki modal. Melalui usaha ini keduanya saling melengkapi.

Menurut PSAK No. 105, kontrak mudharabah dapat dibagi atas tiga jenis, yaitu mudharabah mutlaqoh, mudharabah muqayyadah dan mudharabah musytarokah.


Hukum Mudharabah
Para imam mazhab sepakat dibolehkannya mudharabah (qiradh) menurut bahasa penduduk Madinah, yaitu seseorang menyerahkan modal kepada orang lain untuk diperdagangkan dan keuntungannya dibagi bersama.

Diriwayatkan dalam al-Muwaththa karya imam Malik bin Anas, diceritakan, Abdullah bin Umar dan Ubaidullah bin Umar pernah keluar dalam satu pasukan ke negri Iraq. Ketika mereka kembali mereka berhadapan dengan Abu Musa al-Asy’ari yaitu wali (gubernur) Basyrah. Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan suka cita. Beliau berkata, kalau aku bisa melakukan sesuatu yang berguna buat kalian, pasti aku lakukan. Kemudian beliau melanjutkan, sepertinya aku bisa melakukannya, ini ada uang dari Allah yang akan aku kirimkan kepada Amirul mukminin. Saya meminjamkannya kepada kalian untuk kalian belikan sesuatu di Iraq ini, kemudian kalian jual di kota Madinah, kalian kembalikan modalnya kepada Amirul mukminin, dan keuntungannya kalian ambil. Mereka berkata, ‘kami suka itu’ maka beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk disampaikan kepada Umar bin Khattab agar amirul mukminin mengambil uang yang dititipkan kepada kedua anaknya. Sesampainya di Madinah mereka menjual barang itu dan mendapat keuntungan. Ketika mereka menyerahkan uang itu kepada Umar. Umar bertanya, apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman seperti kalian berdua? Kembalikan uang itu beserta keuntungannya. Adapun Abdullah hanya membungkam saja. Sedangkan Ubaidullah langsung angkat bicara, ‘tidak sepantasnya engkau berbuat demikian wahai amirul mukminin! Kalau uang ini berkurang atau habis, pasti kami akan bertanggung jawab!. Umar tetap berkata, berikan uang itu semuanya!. Abdullah tetap diam, dan Ubaidullah tetap membantah. Tiba-tiba salah seorang sahabat Umar berkata. ‘bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai investasi modal wahai Umar?. Umar menjawab, ya. Aku jadikan itu sebagai investasi modal. Umar segera mengambil modal beserta setengah keuntungannya, sementara Abdullah dan Ubaidullah mengambil setengah sisa keuntungannya.

Selain dalil umum yang tersebut diatas, sebagai sahnya transaksi akad mudharabah, maka mudharabah harus memenuhi rukun dan syarat yang mengikutinya. Adapun rukunnya sebagai berikut: pelaku (pemodal dan pelaksana usaha), objek (modal dan kerja), persetujuan (ijab qabul), dan nisbah keuntungan. Selain itu, hal-hal yang dapat membatalkan akad mudharabah yang mengharuskan adanya pembaruan akad baru juga mutlak diperhatikan, seperti: keluar masuknya investor (pemodal) baru, dan atau pelaksana usaha baru, mati atau keluarnya pihak yang sedang menjalin kontrak, baik pemodal maupun pelaksana usaha dan lain sebagainya.

Apabila pelaksana usaha (mudharib) bermudharabah (qiradh) dengan orang lain, lalu ia menyerahkan modal tersebut kepada orang tersebut (pelaksana ke-2), kemudian mendapat keuntungan, kerjasama tersebut tidak diperbolehkan. Adapun kalau ia telah berbuat demikian, keuntungannya diberikan kepada qiradh yang pertama. Demikian menurut pendapat Hambali. Menurut ulama Hanafiah, pelaksana usaha (mudharib) dibolehkan menyerahkan modal tersebut kepada pengusaha lainnya atas seizin pemilik modal. Namun demikian, harta tersebut tetap berada di bawah tanggung jawabnya. Jika mendapatkan laba, laba tersebut dibagikan kepada pemilik modal dan pengusaha pertama sesuai kesepakatan. Adapun bagian dari laba yang diterima oleh pengusaha pertama dibagi lagi dengan pengusaha kedua sesuai kesepakatan diantara keduanya. Menurut ulama selain Hanafiah, bila tanpa izin pemilik modal, pengusaha pertama tidak berhak mendapatkan laba sebab laba diberikan kepada mereka yang berusaha secara sempurna. Ulama Syafi’iah berpendapat bahwa modal tidak boleh diberikan kepada pengelola lain, baik dalam hal usaha maupun laba, meskipun atas seizin pemilik modal.

Skema Mudharabah
Jenis mudharabah setidaknya dapat terbagi tiga, yang lebih jelas dapat digambarkan dengan skema transaksi sebagai berikut:
  1. Pertama

  1. Kedua

  1. ketiga

Contoh kasus:
Terdiri dari 5 (lima) orang melakukan bisnis dengan jenis perseroan mudharabah, dan status mereka masing-masing dalam perseroan sebagai berikut:


Pengelola = 3 orang
Pemodal   = 4 orang
Pengelola + pemodal    = 2 orang (A dan B)
Pengelola                      = 1 orang (C)
Pemodal                       = 2 orang (D dan E)
                                    = 5 orang

Nisbah bagi hasil           I. Pemodal = 40 %
                                       Pengelola = 60 %



60 %
Nisbah pengelola =       II  Direktur Utama (C) = 50 %
                                        Direktur Keuangan (A) = 25 %
                                        Direktur Produksi (B) = 25 %

Pemodal yang terdiri dari 4 orang:


40 %
A menyertakan modal Rp.2.000.000
B menyertakan modal Rp.1.000.000
D menyertakan modal Rp.1.000.000
E menyertakan modal Rp.2.000.000
Jumlah          = Rp.6.000.000

Keuntungan setelah 1 periode akuntansi (1 tahun) = Rp. 10.000.000
Bagian untuk pemodal 40% = Rp.4.000.000
Bagian untuk pengelola 60% = Rp.6.000.000

Contoh Perhitungan hasil
A sebagai Pemodal dengan modal Rp.2.000.000 = 2/6 x Rp.4.000.000 = Rp.1.333.333
A sebagai Pengelola as direktur keuangan =  25% x Rp.6.000.000             = Rp.1.500.000
Jumlah penghasilan bersih A sebagai pemodal dan sebagai pengelola  setelah satu periode akuntansi adalah = Rp.1.833.333

Adapun bila terjadi kerugian, perhitungannya dibebankan pada pemodal seluruhnya, dan bukan pada pengelola.

Antara Realita dan yang Seharusnya
Realita saat ini, mudharabah dianggap hanya sebagai produk dari suatu lembaga keuangan syariah, dan bukan sebagai bentuk sistem perseroan yang menaungi didalamnya perputaran ekonomi tersendiri. Padahal, mudharabah selain dapat berbentuk produk dari suatu perseroan seperti lembaga keuangan, mudharabah juga dapat berbentuk perseroan. Bahkan mudharabah dalam bentuk sistem perseroan jauh lebih memberikan dampak positif terhadap perekonomian negara, ketimbang mudharabah yang hanya dalam bentuk salah satu produk dari lembaga keuangan syariah.

Selama ini di Indonesia, bahkan di dunia, sistem perseroan yang banyak dipakai adalah sistem Perseroan Terbatas (PT), sedangkan sumber suntikan dana sebagai pengembang usaha agar dapat menjadi perusahaan raksasa (multinasional corporation) adalah melalui pasar modal (melalui penerbitan saham maupun obligasi) dan perbankan (baik konvensional maupun konvensional) yang juga berbentuk Perseroan Terbatas (PT). hal inilah salah satu factor yang membuat perekonomian tidak stabil hingga membuat angka pengangguran selalu meningkat dari tahun ke tahun.

Perseroan Terbatas (PT) adalah batil menurut perseroan mudharabah, sebab secara umum PT tidak memenuhi 2 buah rukun mudharabah, yaitu ijab qabul dan nisbah bagi hasil. Pada PT., siapapun dapat ikut serta sebagai pemodal tanpa harus mendapat persetujuan dari pemodal lain dan yang kemudian mengharuskan memperbaharui akad seluruhnya dan juga tanpa persetujuan pengelolanya. Hal yang demikian terbukti saat surat bukti penyertaan modalnya (saham) diperjualbelikan di pasar modal tanpa pertujuan lagi dari pihak-pihak yang sebelumnya terlibat dalam perseroan tersebut. kemudian kematian salah satu pihak juga ternyata tidak membuat rusaknya akad perseoan yang mengharuskan akad perseroan diperbaharui kembali seluruhnya. Selain itu, pemegang keputusan dari PT ternyata tidak mencakup seluruh pemegang saham, melainkan hanya investor (pemegang saham) yang memenuhi kriteria tertentu dari jumlah saham yang dimilikinya (bukan sembarang pemilik saham), maka inilah yang sering disebut bahwa PT hanyalah perkumpulan modal saja. Adapun perseroan mudharabah berbeda dengan PT., bahwasanya perseroan mudharabah, seberapapun besar dan kecilnya kepemilikan saham yang dimiliki oleh pemodal (pemilik saham) maka ia berhak dan memiliki suara saat menentukan kebijakan arah perusahaan. Hal inilah yang disinyalir dapat menahan pertumbuhan sebuah perusahaan dapat berubah menjadi perusahaan raksasa yang dapat membuat persaingan usaha menjadi tidak stabil, sehingga membuat jumlah perusahaan sebagai penyedia tenaga kerja tidak seimbang dengan jumlah tenaga kerjanya. Dan kemudian mengakibatkan tingkat harga upah buruh menjadi rendah. Sedangkan perseroan jenis mudharabah akan menciptakan kestabilan usaha yang mampu membuat harga tenaga kerja benar-benar tercipta dari supply dan demand yang kemudian mencapai titik equilibrium yang sebenarnya.

Adapun kebatilan PT dalam nisbah bagi hasil adalah, bahwasanya pihak-pihak yang dianggap sebagai pengelola, yaitu Direktur utama, direktur bagian, kepala cabang dan lain sebagainya, ternyata tidak mendapat haknya sebagai pengelola dalam mudharabah, yaitu nisbah bagi hasil sebagai pengelola. Pihak-pihak pengelola dalam perseroan terbatas hanya mendapat gaji/ujrah dari para pemilik modal, dan bukan nisbah bagi hasil dari keuntungan. Setidaknya hal-hal inilah yang membuat PT menyalahi ketentuan fiqh dalam muamalah.

Adapun praktek perbankan syariah adalah praktek mudharabah yang dimudharabahkan kembali (intermediasi mudharabah), yaitu perbankan bukan sebagai pihak yang mengelola usahanya secara langsung juga bukan pemilik modal aslinya, melainkan menyalurkannya pada pengelola lain atau juga bukan pemilik modal sebenarnya. Perlu diketahui, dengan praktek perbankan syariah yang seperti ini menurut fiqh (hukum Islam) adalah tidak menjadi kesepakatan para imam mazhab, hanya mazhab hanafi saja yang membolehkan praktek perbankan syariah yang demikian ini, sedangkan para imam mazhab yang lain tidak membolehkannya.

Perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya yang menonjolkan mudharabah sebagai ikon utamanya dalam memasarkan produknya untuk membedakannya dengan lembaga keuangan konvensional, ternyata sistem perseroannya juga berbentuk Perseroan Terbatas (PT), selain sistem perseroannya menyalahi ketentuan fiqh, ternyata juga terkena dampak negative dari sistem PT yang dianut oleh perbankan konvensional, yaitu hanya melayani pengusaha-pengusaha yang memiliki perusahaan yang dapat dikatakan sudah mapan, artinya sudah berjalan sekian tahun (bukan yang baru ingin memulai usaha) dan memiliki tingkat profit yang stabil dari tahun ke tahun. Hal inilah yang membuat perbankan syariah turut memberikan andil dalam menciptakan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dan semakin banyak jumlahnya.

Akuntansi Mudharabah
Setidaknya terdapat dua versi akuntansi untuk mudharabah, yaitu versi pengelola dan versi pemodal. Dalam tulisan ini penulis hanya sekilas menguraikan akuntansi mudharabah versi pemodal, dalam hal ini yang mutlak harus memiliki pencatatan sesuai dengan PABU (Pencatatan Akuntansi Berstandar Umum) yaitu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) mudharabah yaitu PSAK No. 105, salah satunya adalah adalah lembaga keuangan perbankan syariah, dengan demikian penulis menyajikan akuntansi mudharabah saat perbankan syariah bertindak sebagai pemodal (penyalur dana).
1.      Pada saat bank memberikan dananya untuk dikelola oleh nasabah
Investasi mudharabah      Rp. xxx
Kas                              Rp. xxx

2.      Pada saat bank menerima pembagian hasil usaha mudharabah
Kas                                    Rp. xxx
                  Pendapatan bagi hasil            Rp. xxx

3.      Bagi hasil yang belum dibayar oleh pengelola dana
Piutang mudharabah        Rp. xxx
                  Pendapatan bagi hasil Rp. xxx

Pada saat bagi hasilnya dibayar:
Kas                                    Rp. xxx
                  Piutang mudharbah    Rp. xxx

4.      Pada saat akad berakhir, dan pengelola mengembalikan modal mudharabah
Kas                                    Rp. xxx
                  Investasi mudharabah            Rp. xxx

5.      Apabila bank memberikan investasi berupa asset non-kas, maka dinilai sesuai nilai wajar (nilai rupiah dari suatu barang saat diserahkan pada pengelola)
Investasi mudharabah      Rp. xxx (nilai buku)
Akumulasi penyusutan      Rp. xxx
                  Asset non-kas              Rp. xxx (Harga perolehan)

6.      Investasi asset non-kas, namun nilai wajar lebih tinggi dari nilai tercatatnya (nilai buku)
Investasi mudharabah      Rp. xxx (nilai wajar)
Akumulasi penyusutan      Rp. xxx
            Keuntungan ditangguhkan     Rp. xxx (nilai wajar dikurangi nilai buku)
            Asset non-kas                          Rp. xxx

7.      Investasi asset non-kas, namun nilai wajar lebih rendah dari nilai tercatatnya
Investasi mudharabah      Rp. xxx
Akumulasi penyusutan      Rp. xxx
Kerugian                           Rp. xxx
                  Asset non-kas                          Rp. xxx

8.      Bisnis usaha mengalami kerugian, dan bank menanggungnya
Kerugian                           Rp. xxx
                  Penyisihan kerugian mudh.    Rp. xxx

9.      Pada saat akad berakhir, dan pengelola mengembalikan modal mudharabah dengan kerugiannya
Kas                                    Rp. xxx
Penyisihan kerugian mudhRp. xxx
                        Investasi Mudharabah                        Rp. xxx

10.  kewajiban perbankan menyisihkan kerugian sebesar 1 % dari nilai asset mudharabah saat diinvestasikan
Biaya penyisihan penghapusan     Rp. xxx
                  Penyisihan penghapusan        Rp. xxx

Daftar Pustaka
Maliki, Abdurrahman. 2001. Politik Ekonomi Islam. Jawa Timur: Al-Izzah.
Nabhani, Taqyuddin. 2002. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Prspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti.

1 komentar:

albar mengatakan...

nice pk... ane setuju dengan usulan tentang menganti alat tukar yang dari uang kertas dengan emas dan perak..