Jumat, 04 Mei 2012

REFORMASI AKUNTANSI SYARIAH: RANCANG BANGUN LAPORAN KEUANGAN NERACA BERBASIS SYIRKAH ISLAM

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab


A.    Pendahuluan
Sebelum merebaknya lembaga bisnis syariah akibat tuntutan pasar, akademisi akuntansi menganggap bahwa akuntansi adalah seni pencatatan yang bebas nilai. Bebas nilai berarti bahwa akuntansi berfungsi sebagai alat, yaitu alat pencatatan.


Akuntansi tidak ubahnya seperti pisau yang merupakan benda yang bebas nilai dan tergantung keinginan penggunanya, ingin digunakan untuk keperluan dapur atau untuk melukai anggota keluarga adalah pilihan sang pengguna sesuai tujuannya. Namun tidak begitu dengan benda-benda lain yang nilainya tidak bebas, seperti halnya kayu salib, peci haji, jilbab, busana pastur, busana biksu dan lain sebagainya, yang pengguna benda-benda tersebut akan identik dengan nuansa benda yang digunakannya dengan apapun tujuannya, yang artinya benda-benda tersebut tidak bebas nilai karena kesanggupannya merubah aura penggunanya.

Adapun pasca muncul dan berkembangnya lembaga bisnis syariah anggapan terhadap akuntansi menjadi berubah, yang sebelumnya akuntansi dianggap sebagai alat yang bebas nilai menjadi tidak bebas nilai. Sebab saat lembaga-lembaga bisnis syariah tersebut hendak melaporkan kondisi keuangannya, memaksa untuk merumuskannya sesuai dengan konsep syariah. Hal inilah yang menjadi dasar perubahan anggapan bahwa akuntansi sebenarnya tidak bebas nilai.

Terlebih lagi dengan dikeluarkannya KDPPLKS dan PSAK yang bernuansa syariah menambah kuat anggapan bahwasanya akuntansi yang dahulu dianggap berlaku bagi semua transaksi bisnis, menjadi tidak relevan lagi dengan masa sekarang.

Namun demikian akuntansi lembaga bisnis syariah tidak sepenuhnya lepas dari ketentuan pemerintah mengenai aturan dalam membentuk persekutuan bisnis (perseroan). Sedangkan akuntansi selain merupakan bentuk perwujudan dari transaksi individual juga representasi dari sistem perseroan yang dipakai.

B.     Neraca
Akuntansi berlaku umum adalah akuntansi yang berlaku sejak ditemukannya sistem pembukuan berpasangan (Double Entry) pada abad 15, sistem double entry ini merupakan pencatatan seluruh aktivitas akuntansi dalam dua aspek, yaitu debet dan kredit.

Bermula dari paradigma double entry tersebut kemudian neraca terbentuk, yang menggambarkan setiap harta yang dimiliki (aktiva) beserta keterangan sumber dana dari harta tersebut berasal (Pasiva). Daftar aktiva dianggap berada pada posisi debet dan daftar pasiva dianggap berada pada posisi kredit. Setelah itu kemudian setiap transaksi dan setiap kejadian dicatat dengan sistem berpasangan guna menyesuaikan dengan konsep awalnya, yaitu neraca.

Dimisalkan dengan uang yang berada disisi aktiva/debet dan keterangan sumber uang tersebut yang berasal dari kantong sendiri disisi kredit/pasiva. Apabila suatu saat 1/3 uang tersebut dibelanjakan baju, maka neraca baru yang terbentuk menjadi: 2/3 uang dan baju senilai 1/3 uang disisi debet/aktiva, dan keterangan kedua benda tersebut disisi kredit/pasiva tetap sebesar 1. Adapun untuk mencatat transaksi tersebut yaitu dengan mengurangkan jumlah uang senilai baju dengan meletakkannya disisi kredit dan menambah baju disisi debet senilai uang yang berkurang. Adapun sumbernya/pasivanya tetap.

C.    Paradigma Neraca Akuntansi Konvensional
Neraca konvensional adalah laporan atas harta beserta sumbernya yang hanya berasal dari 2 kemungkinan, yaitu berasal dari hutang atau berasal dari modal sendiri. Atau dirumuskan dengan persamaan:

H = U + M
Harta = Utang + Modal.

NERACA
Konvensional
AKTIVA
PASIVA
Aset Lancar
Utang Jangka Pendek
   Kas
xxx
   Utang gaji
xxx
   Barang dagang
xxx
   Utang Dagang
xxx
   Piutang
xxx
Utang Jangka Panjang
Aset Tetap
   Utang Hipotik
xxx
   Gedung
xxx
   Utang Obligasi
xxx
   Tanah
xxx
Modal
xxx
   Mobil
xxx
Laba Ditahan
xxx

Dalam PSAK No. 1 disebutkan bahwa harta/aktiva terdiri dari aset lancar dan aset tidak lancar, sedangkan utang atau kewajiban terdiri dari utang lancar (jangka pendek) dan utang tidak lancar (jangka panjang). DSAK menyajikan aset lancar menurut urutan kemampuannya diuangkan (likuiditasnya) sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh temponya.

Utang jangka pendek/liabilitas adalah utang yang harus dilunasi dalam jangka pendek (satu tahun atau kurang). Biasanya terdiri dari utang operasional (utang dagang, gaji, pajak, dan sebagainya). Sedangkan utang jangka panjang/liabilitas adalah utang yang penyelesaiannya melebihi satu periode akuntansi (lebih dari satu tahun). Umumnya terdiri dari utang Hipotik dan Obligasi.

Dari keterangan sumber dana/pasiva suatu usaha, sekali lagi terlihat bahwa suatu perusahaan memiliki harta untuk dikembangkan, sumbernya hanya terdiri dari hutang dan modal sendiri.

Adapun U = Utang adalah sejumlah harta milik pihak lain yang ada ditangan perusahaan sebagai harta yang ikut dikelola perusahaan. Anggapannya bahwa utang dapat memberi kontribusi dalam memudahkan jalannya perusahaan dan dalam meningkatkan keuntungan perusahaan. Namun apabila perusahaan mengalami kerugian, maka tidak serta merta utang tersebut juga hilang, hutang akan tetap menjadi hutang yang memiliki kewajiban untuk dibayar, tidak perduli apakah perusahaan mendapat untung atau rugi.

Utang terdiri dari utang jangka pendek, yang berarti bahwa aset yang dimiliki perusahaan didalamnya terdapat utang dalam berusaha, yaitu utang akibat operasional usaha. Seperti hutang gaji dan hutang saat membeli barang dagang. Semuanya adalah hutang akibat operasional perusahaan yang menurut DSAK adalah utang jangka pendek.

Adapun utang jangka panjang adalah utang yang pada dasarnya bukan sebab dari operasional usaha perusahaan, yang berarti bahwa aset yang dimiliki perusahaan diantara sumber dananya berasal dari utang. Dengan kata lain saat perusahaan tersebut ingin memulai usaha, sebagian modal awal/tambahannya berasal dari utang, seperti hipotik dan obligasi. Utang obligasi dan utang hipotik bisa dikatakan sebagai utang yang bukan berasal dari operasional perusahaan, melainkan hutang yang dipergunakan untuk memulai atau menambah modal untuk mengembangkan usaha. Tidak sebagaimana hutang saat membeli barang dagang dan hutang gaji yang jelas bukan sebagai penambah modal kerja, melainkan karena operasional. Dengan demikian dimungkinkan porsi utang obligasi dan hipotik bisa saja melebihi porsi modal sendiri, mengingat kedua utang tersebut adalah utang untuk penambah modal usaha, bukan untuk penunjang operasional jalannya perusahaan.

Adapun M = modal adalah dana yang dianggap sebagai dana yang berasal dari sendiri, dengan anggapan bahwa apabila perusahaan mengalami kerugian maka secara langsung modal juga ikut berkurang. Yang tentunya berbeda dengan utang. Sebab utang akan senantiasa ada walaupun perusahaan mengalami kerugian.

Modal dalam perusahaan konvensional terdiri dari setoran pihak luar perusahaan yang direpresentasikan dengan saham-saham, baik saham biasa maupun saham preferen. Adapun saham preferen tidak ubahnya seperti utang obligasi yang pembagian devidennya diutamakan dari saham biasa, artinya deviden untuk saham biasa hanyalah sisa dari laba perusahaan setelah dikurangi deviden untuk saham preferen.

Pemodal yang memegang saham-saham perusahaan juga dianggap sebagai pihak luar perusahaan. Dikarenakan saat pemodal ingin melihat laporan keuangan perusahaan, para pemegang saham tidak akan mendapatkannya secara detil karena tidak diizinkan oleh pengelola. Artinya pemodal sekedar memperoleh laporan keuangan yang sudah jadi, tanpa diperbolehkan memperoleh data bagaimana laporan keuangan tersebut terbentuk. Perkara ini menggambarkan bahwa dalam kondisi ini pemodal bagi pengelola hanyalah pihak-pihak yang berkepentingan dalam profit, namun bukan bagian dalam perusahaan.

Adapun laba ditahan dalam neraca konvensional juga menunjukkan bahwa pemodal/pemegang saham sebenarnya merupakan pihak luar perusahaan dan bukan bagian yang menjadi satu kesatuan dalam perseroan. Betapa tidak, sebab pengelola dalam hal ini direktur tidak memerlukan izin dari semua pemodal mengenai laba dibagi dan laba ditahan. Porsi laba dibagi dan laba ditahan adalah hak penuh bagi pengelola. Padahal laba adalah hak pemodal dimana pengambilalihannya memerlukan persetujuan.

Dengan demikian, tanpa persetujuan pemodal pengelola semakin bisa menjadikan perusahaannya menjadi perusahaan besar karena modal usahanya selalu bertambah akibat penahanan laba tanpa izin. Padahal apabila pengelola diharuskan meminta persetujuan atas laba ditahan dari seluruh pemodal yang berhak, tentu akan banyak pemodal yang tidak merestui hartanya ditahan perusahaan untuk mengembangkan usaha. Mengingat manusia adalah mahluk yang beraneka ragam pikiran dan keperluannya.

D.    Kelemahan Paradigma Neraca Akuntansi Syariah
Akuntansi syariah tidak berkembang kecuali pasca berkembangnya lembaga keuangan Islam, dan PSAK No.59 yang dikeluarkan DSAK menjadi awal bagi PSAK syariah lainnya dalam perancangan penyusunan laporan keuangan.

PSAK No.59 adalah standar penyusunan untuk perbankan syariah, ini menggambarkan bahwa lembaga keuangan perbankan syariah menjadi awal dari tuntutan keberadaan akuntansi syariah. Sehingga perubahan dari neraca konvensional menjadi neraca syariah baru sebatas lembaga keuangan perbankan syariah.

Mudharabah adalah produk perbankan yang berupa kesepakatan yang paling berperan dalam merubah neraca perbankan dari konvensional menjadi syariah. Sebab pada mudharabah terdapat kesepakatan yang tidak dapat dimasukkan pada neraca perbankan konvensional. Yaitu harta yang diserahkan pemodal kepada pengelola tidak golongkan sebagai hutang dan juga tidak digolongkan sebagai modal perusahaan. Tidak digolongkan sebagai U = utang, sebab apabila dana tersebut hilang akibat kerugian yang diderita perusahaan, maka perusahaan tidak berkewajiban mengembalikan dana tersebut kepada pemiliknya (tidak seperti utang). Namun apabila perusahaan mendapat laba, perusahaan tetap berkewajiban mengembalikan harta pokok ditambah labanya (seperti utang yang berbunga). Namun mudharabah juga tidak dapat dimasukkan sebagai M = modal, sebab mudharabah hanya berstatus sebagai produk dari bank syariah, bukan bagian dari bentuk perseroannya, dan karena bukti penyertaan dana mudharabah juga tidak dapat diperjualbelikan sebagaimana saham.

Dengan demikian persamaan akuntansi menurut DSAK untuk neraca akuntansi syariah dirumuskan sebagai berikut:

H = U + I + M
Harta = Utang + Investasi + Modal;
atau bisa dilihat sebagai berikut:

NERACA
Syariah
AKTIVA
PASIVA
Aset Lancar

Utang

   Kas
xxx
   Tabungan Wadiah
xxx
   Giro BI dan Bank lain
xxx
   Giro Wadiah
xxx
   Piutang Salam
xxx
Investasi

   Pembiayaan Mudharabah
xxx
   Tabungan Mudharabah
xxx
   Pembiayaan Musyarakah
xxx
   Deposito Mudharabah
xxx
Aset Tetap

Modal

   Mesin ATM
xxx
   Saham
xxx
   Gedung, dll.

Laba ditahan
xxx

Neraca akuntansi syariah diatas adalah neraca lembaga keuangan perbankan syariah, sebab perkiraan transaksi syariah hanya ada di lembaga bisnis tersebut. Namun untuk perusahaan dagang dan manufaktur, masyarakat beserta akademisi masih menganggap persamaan akuntansi konvensional masih relevan untuk digunakan. Hanya menghilangkan unsur transaksi riba dan ditabah rekening zakat maka dengan mudah persamaan akuntansi konvensional berubah menjadi persamaan akuntansi syariah.

Hal demikian disebabkan bentuk perseroan Islam belum menjadi perhitungan bagi masyarakat, akademisi sekaligus pemerintah sebagai pembuat regulasi. Atau ketiganya masih menganggap bahwa bentuk syirkah/perseroan yang umum adanya saat ini tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam. Selain itu perhitungan akademisi dan para intelektual muslim saat ini juga masih berada pada tataran transaksi antar invidu yang menggunakan kesepakatan bisnis syariah, belum pada tataran perksekutuan antar individu dalam berbisnis syariah.

Apabila kita perhatikan neraca syariah diatas tentu kita melihat perbedaannya dengan neraca konvensional. Bukan hanya sekedar rekeningnya saja yang berbeda, bahkan lebih dari itu perbedaan tersebut terlihat dari sumber dananya yang beragam hingga 3 jenis, yaitu utang, investasi dan modal sendiri, sedangkan dalam neraca perbankan konvensional hanya terdiri dari 2 jenis. Namun demikian apabila kita amati lebih dalam, akan tampak bahwa perbedaan tersebut bukanlah perbedaan yang signifikan, dan perbedaan tersebut hanyalah perbedaan di permukaannya saja. Sedangkan dari sisi pondasi dasarnya masih sama dengan neraca konvensional.

Sumber dana perusahaan lembaga keuangan perbankan syariah masih bisa berasal dari utang yang utang tersebut bisa saja melebihi proporsi investasi dan modal sendiri. Sebab U = utang, dalam lembaga keuangan syariah adalah utang sebab funding, seperti tabungan wadhiah, yaitu utang usaha dan bukan utang operasional, karena dana tersebut diikutsertakan dalam lending, yaitu harta yang dikelola perusahaan. Sedangkan disisi lain ada sumber dana usaha yang berasal dari I = investasi yang juga sama-sama termasuk dana yang akan dikelola sebagaimana utang. Adapun investasi juga termasuk sumber modal usaha, namun demikian tidak bisa dimasukkan dalam M = modal, oleh sebab statusnya hanya sebagai produk perusahaan.

Pada neraca diatas terdapat laba ditahan yang juga terdapat dalam neraca konvensional, alasannya sama, yaitu menunjukkan bahwa proporsi pembagian dan penahanan harta dari laba sepenuhnya hak direktur sebagai pengelola tanpa memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari pemegang saham sebagai pemodal untuk membagikannya kepada mereka. Padahal ketika perusahaan telah memperhitungkan keuntungan pada hakekatnya laba tersebut adalah hak milik seluruh pemodal, yang mengharuskan pengelola meminta izin mereka untuk menahannya.

Problem diatas diduga adalah konsekuensi dari sistem perseroan yang digunakan yang melingkupi neraca konvensional dan neraca syariah, yaitu sama-sama berbentuk Perseroan Terbatas yang tidak lain adalah syirkah khas Kapitalisme. Adapun bentuk perseroan bank syariah saat ini adalah PT. seperti PT. BNI Syariah, PT. BSM, PT Bank Muamalat Indonesia, dan lain sebagainya.Demikian pula bentuk perseroan perusahaan dagang dan manufaktur semuanya berbentuk Perseroan Terbatas.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa neraca syariah saat ini masih sama dan masih berpedoman pada neraca konvensional. Walaupun didalam neraca perbankan syariah sumber dana dari aset perusahaan berbeda jenisnya dengan neraca konvensional.

E.     Paradigma Syirkah Islam dan Syirkah Konvensional
Syirkah dalam bahasa Arab diartikan sebagai perseroan atau bentuk perusahaan. Adapun bentuk perusahaan (syirkah) yang biasa kita kenal saat ini adalah Perseroan Terbatas, CV., Firma, Yayasan dan Koperasi. Namun demikian syirkah yang banyak dipakai dan yang telah ada dalam Undang-Undang adalah Perseroan Terbatas.

Adapun syirkah Islam yang belum familiar di masyarakat, akademisi dan pemerintah terdapat 5 jenis, yaitu: syirkah Mudharabah atau PMd. (Perseroan Mudharabah), syirkah Inan atau PI. (Perseroan Inan), syirkah Abdan atau PA. (Perseroan Abdan), syirkah Wujuh atau PW. (Perseroan Wujuh) dan syirkah Mufawadhah atau PMf. (Perseroan Mufawadhah).[1]

Sebagaimana tersebut diatas perseroan Islam terdiri dari 5 jenis. Walaupun masing-masing berbeda bentuknya, namun tetap memiliki paradigma yang sama. Namun dari kesemuanya tidak ada yang sama dengan PT.

Syirkah dalam Islam mengharuskan rukun dan syaratnya terpenuhi, sehingga pembentukan laporan keuangan neraca didalamnya dituntut untuk mampu merepresentasikan rukun dan syarat tersebut. Rukun dalam syirkah Islam adalah aqidain atau 2 pihak yang berakad yaitu pemodal dan pengelola, ma’qud ‘alaih atau objek usaha dan sighat ijab qabul. Adapun syaratnya adalah hal-hal yang perlu dipenuhi dari masing-masing rukun tersebut.

Berbeda dengan PT., syirkah Islam menggolongkan pemegang saham sebagai bagian dalam perseroan, sehingga modal perusahaan tidak lain adalah modalnya pemegang saham, tidak ada yang lain. Sedangkan dalam PT. modal perusahaan bisa berasal dari pemegang saham juga bisa berasal dari kreditur, yaitu dengan bentuk utang hipotik dan utang obligasi. Pemegang saham sebagai bagian dalam perusahaan juga mengundang konsekuensi bahwa pemegang saham dalam syirkah Islam berhak mengetahui laporan keuangan secara detil, baik dari bukti transaksi dan kemudian jurnal umum hingga laporan jadinya. Ini menunjukkan bahwa pemodal dalam syirkah Islam merupakan bagian dalam perusahaan. Namun tidak demikian dalam PT. dimana pemegang saham sebagai pemodal hanya bisa melihat laporan keuangan dalam bentuk jadinya saja, yaitu neraca, laporan Rugi laba, laporan arus kas dan laporan perubahan modal. Sedangkan dalam perkara yang lebih detil pemodal tidak dapat menjangkaunya.

Hasil usaha dalam syirkah Islam mengharuskan dibagi sesuai kesepakatan antara Pengelola (direktur dan manajer) dan Pemodal (pemegang saham). Yang berbeda dengan PT. adalah direktur sebagai pengelola hakekatnya hanya berstatus sebagai pekerja yang dipekerjakan oleh para pemodal disebabkan direktur hanya diberi gaji, yang gaji direktur tersebut ditetapkan dalam RUPS (Rapat Umum Peegang Saham). Sehingga pada hakekatnya direktur PT. bukanlah bagian dalam perusahaan, bukan bagian dalam perseroan atau persekutuan. Namun demikianwalaupun direktur adalah bagian luar perusahaan ternyata mampu mengetahui secara detil seluk beluk perusahaan dan laporan keuangannya, yang justru berkebalikan dengan pemodal yang sebenarnya menjadi bagian integral perseroan namun tidak dapat mengetahui seluk beluk laporan keuangan secara detil.

Direktur (pengelola) dalam syirkah Islam diharuskan meminta izin kepada pemodal terhadap laba perusahaan yang didapatnya. Akan ditahan atau dibagi. Apabila ditahan maka keharusan direktur adalah menambahkannya kedalam jumlah modal/saham disetor yang dimiliki oleh pemodal bersangkutan yang labanya ditahan pengelola di dalam perusahaan. Sedangkan berbeda dalam PT. dimana direktur mempunyai hak preoregatif sehingga tidak memerlukan izin pemodal apakah laba perusahaan tersebut akan ditahan atau dibagi, demikian juga dibagi 50% atau 60% adalah hak direktur sebagai pengelola.

F.     Reformasi Neraca Akuntansi Syariah
Perumusan persamaan akuntansi syariah tentu saja seharusnya mengikuti paradigma syirkah Islam sebagai keterangan diatas. Tidak lagi dengan persamaan akuntansi lama:

H = U + M
(Harta = Utang + Modal)
bukan pula dengan;
H = U + I + M
(Harta = Utang + Investasi + Modal)

Sebab, walaupun persamaan yang kedua adalah persamaan akuntansi perbankan syariah, namun kedua persamaan tersebut adalah persamaan akuntansi yang lahir dari paradigma syirkah konvensional, yaitu Perseroan Terbatas. Dan karena sebab persamaan akuntansi diatas tidak mampu memenuhi ketentuan hukum Islam mengenai rukun dan syarat pembuatan syirkah maka diperlukan persamaan akunansi yang mampu memenuhi ketentuan rukun dan syarat dalam pembentukan syirkah Islam.

Sehingga dapat kita rumuskan persamaan akuntansi syariah berbasis syirkah adalah sebagai berikut;

H = UJPk + I
(Utang Jangka Pendek + Investasi)
Dan dapat disederhanakan dengan;
H = UO + I
(Harta = Utang Operasional + Investasi)

Namun berbeda dengan neraca lembaga keuangan syariah seperti perbankan dimana didalamnya harus ada barang titipan yang berfungsi sebagai tabungan. Sehingga sangat dimungkinkan dan diperbolehkan harta titipan yang berstatus sebagai utang tersebut jumlahnya lebih besar dari jumlah I = investasi, dengan demikian persamaan akuntansi yang diwujudkan dalam neraca berbeda dengan persamaan akuntansi pada neraca syirkah perusahaan dagang dan manufaktur, yakni sebagai berikut:

AT + AK = UO + I
(Aktiva Titipan + Aktiva Kelola = Utang Operasional + Investasi)
Dan dapat disederhanakan dengan
AW + AM = UW + I
(Aktiva Wadiah + Aktiva Mudharabah = Utang Wadiah + Investasi)

1.      Neraca Perusahaan dagang dan Manufaktur berbasis Syirkah Islam

Perusahaan Dagang dan Manufaktur
NERACA
Berbasis Syirkah Mudharabah
AKTIVA
PASIVA
Aset Lancar

Utang Operasional
   Kas
xxx
   Utang Dagang
xxx
   Piutang Dagang
xxx
   Utang Gaji
xxx
   Persd. Barang
xxx
Investasi
     Persd BB, BDP, BJ
xxx
   Investasi Pengelola

Aset Tetap

      Direktur
xxx
   Gedung
xxx
      Manajer dsb.
xxx
   Tanah
xxx
   Investasi Pemodal

   Mobil
xxx
      Invest. Nama 1
xxx


      Invest. Nama 2
xxx

Rancang bangun neraca berbasis syirkah adalah seperti gambar diatas, yakni menjadikan sumber dana aset hanya terdiri dari 2 bagian, yaitu berasal dari UO = Utang Operasional dan modal sendiri yang berbentuk I = Investasi.

Pada neraca yang berbasis syirkah hanya membolehkan perusahaan memiliki aset yang dananya berasal dari pihak luar syirkah yaitu hanya berasal dari utang operasional. Sebab utang yang bukan berasal dari operasional perusahaan tidak lain adalah utang usaha, yaitu seperti utang hipotik dan utang obligasi. Utang hipotik dan obligasi adalah utang yang diambil perusahaan untuk modal awal atau modal tambahan untuk megembangkan usaha. Sedangkan suatu perusahaan (syirkah) tidak diperkenankan memulai usaha yang dananya tersebut berasal dari utang. Sebab akan menjadi masalah karena tidak jelas siapa penanggungnya apabila perusahaan mengalami colleps.

Apabila aset perusahaan dari modal sendiri lebih besar dari aset yang dananya berasal dari utang memang akan tidak menjadi masalah jika aset usaha dimulai dengan dana utang, karena utang akan mampu dibayar dengan modal tersebut. Namun akan menjadi problem apabila aset yang berasal dari utang lebih besar dari aset yang berasal dari modal sendiri. Sehingga kalaupun dana tersebut berasal dari utang, maka utang tersebut harus jelas siapa diantara pemodal-pemodal/investor-investor perusahaan tersebut yang akan menanggungnya. Sehingga dana tersebut menjadi dana tambahan bagi pemodal yang menanggungnya, yaitu menjadi dana investasinya. Dengan demikian ketika perusahaan mendapatkan laba, perhitungannya akan berpihak pada pemodal yang menanggung utang tersebut. Sebab proporsi dana pemodal/investor dalam perusahaan akan menjadi perhitungan ketika laba dibagikan. Semakin besar dana yang diikutsertakan dalam usaha semakin besar pula bagian laba yang ia dapat, demikian pula saat terjadi kerugian, semakin besar dana yang diikutsertakan dalam usaha maka semakin besar pula porsi kerugian dana yang ia terima. Sebagaimana dalil Islam menyebutkan:

Dari Ali bin Abi Thalib ra. “kerugian itu berdasarkan modal (pemodal), dan keuntungan berdasarkan kesepatan yang dibuat (antara pengelola dan pemodal)”). (HR. Abdurrazzak.)

 Dari dalil diatas menerangkan bahwa kerugian usaha itu ditanggung oleh dana masing-masing dari pemodal, sehingga apabila utang perusahaan lebih besar dari modalnya maka pada hakekatnya perusahaan tersebut telah mengalami kerugian. Sedangkan kerugian tersebut ditanggung dan dibayar oleh dana dari pemodal. Namun apabila perusahaan telah dinyatakan mengalami kerugian sedangkan semua modal telah digunakan untuk membayar utang, namun jumlah utang lebih besar jumlahnya dari modal para investor, tentu sisa utang yang belum terbayar tersebut menjadi tidak jelas siapa penanggungnya. Sedangkan utang adalah hak orang lain yang wajib dibayar, sementara dalam kasus diatas, perusahaan telah membuat utang tersebut menjadi tidak jelas siapa penanggungnya. Sedangkan orang-orang yang terlibat dalam utang tersebut adalah orang-orang yang terlibat dalam syirkah tersebut walaupun tidak jelas siapa penangguungnya secara pasti.

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414)

Perkara inilah yang menjadi argumentasi bahwa suatu usaha tidak boleh dimulai dengan dana yang berasal dari utang. Namun apabila individu yang memulainya dengan utang hal tersebut diperbolehkan. Tentu saja berbeda antara usaha yang dimulai dengan utang dengan individu yang berutang kemudian harta tersebut dipakainya untuk berusaha.

Adapun utang operasional diperkirakan tidak akan melebihi jumlah modal investasi perusahaan, sebab dana operasional dengan menggunakan utang adalah transaksi pendukung atau transaksi yang sifatnya hanya tambahan saja. Dimisalkan ketika perusahaan ingin membeli barang dagang, namun dalam keadaan itu perusahaan tidak memiliki uang tunai yang cukup oleh sebab kas tersimpan dalam bank syariah, tentunya transaksi semacam ini akan dicatat sebagai utang dagang. Maka perkara semacam ini adalah perkara yang lumrah yang tentunya hanya bersifat sementara dan tambahan belaka. Namun berbeda dengan utang hipotik dan obligasi yang pada dasarnya memiliki sifat berupa dana pokok sebagai modal awal atau modal usaha tambahan, bukan modal oleh sebab operasional.

Dengan demikian dana utang yang diperkenankan ada dalam suatu perusahaan berbasis syirkah Islam adalah utang akibat operasional perusahaan, bukan utang sebagai modal usaha. Namun apabila ada kreditur yang ingin menyalurkan dananya pada perusahaan maka hanya ada 2 pilihan baginya, yaitu bergabung sebagai investor (shahibul maal) di perusahaan tersebut dengan segala konsekuensinya, atau ia meminjamkan dananya pada salah satu investor yang sudah ada di perusahaan tersebut namun dana tersebut menjadi dana tambahan investasi bagi investor yang sudah ada tersebut, dan menjadi utang baginya pada kreditur.

Neraca syirkah tidak menggunakan istilah M = modal sebagai sumber dananya, melainkan dengan istilah I = investasi. Sebab modal mengandung persepsi bahwa itu adalah dana yang dikelola oleh orang yang dipekerjakan para pemodal yang kemudian disebut sebagai direktur. Dan itu hanya terjadi dalam syirkah konvensioal, yaitu Perseroan Terbatas. Namun tidak demikian dalam syirkah Islam, dimana direktur berstatus sebagai pengelola yang juga merupakan bagian dari kesatuan syirkah, bagian dari aqidain (dua pihak yang berakad). Yaitu pemodal (shohibul maal) dan pengelola (mudharib). Sedangkan pengelola bisa juga termasuk pemodal yang ikut menanamkan dananya di perusahaan.

Sumber dana I = investasi dalam neraca berbasis syirkah juga terdaftar didalamnya nama-nama pemodal/investor beserta jumlah nilai dana yang diikutsertakan dalam syirkah. Seberapapun banyaknya investor. Sebab investor adalah bagian tak terpisahkan dari tubuh perusahaan/syirkah. Semua pengelola (direktur dan  manajer) dan semua investor harus berakad (bersepakat) dalam syirkah tersebut. Ketidaksetujuan salah satu orang diantaranya mengharuskan syirkah memiliki akad baru dengan meniadakan pihak yang tidak bersepakat tersebut. Apabila ia adalah salah satu investor maka modal perusahaan akan terkurangi akibat keluarnya pihak yang tidak berakad tadi. Dengan demikian perkembangan perusahaan dapat terkendali.

Apabila pengelola bukan hanya berstatus sebagai pengelola, dalam artian ia ikut menyertakan dananya sebagai modal usaha, maka ia juga berstatus sebagai investor. Dengan demikian dananya terdaftar dalam salah satu investor di perusahaan tersebut dalam I = investasi. Oleh karena itu syirkah semacam ini disebut syirkah mudharabah.

Laba ditahan dalam neraca syirkah Islam dihilangkan dan ditiadakan, sebab saat perusahaan telah memperhitungkan keuntungan maka harta keuntungan tersebut sebenarnya telah ada yang memilikinya dengan jelas, yaitu semua pengelola dan investor yang terdaftar dalam perusahaan, dengan bagian masing-masing sesuai kesepakatan awal. Jadi dalam syirkah Islam pengelola mendapat bagi hasil dari keuntungan bersama pemodal. Tidak sebagaimana dalam syirkah konvensional dimana direktur hanya mendapat hak gaji atas pekerjaannya.

Dengan demikian semua harta keuntungan harus dibagikan dan diberikan kepada yang berhak. Tidak boleh ditahan oleh pengelola (direktur) sebagaimana dalam Perseroan Terbatas, apapun alasannya.

Adapun apabila pengelola memiliki rencana untuk mengembangkan usaha, sedangkan dalam mengembangkan usaha memerlukan dana modal tambahan, maka pengelola harus meminta izin kepada orang-orang yang berhak atas laba tersebut untuk membiarkan dananya tetap berada di perusahaan. Sehingga dana dari laba tersebut menjadi tambahan atas dana investasi investor yang bersangkutan. Sebab dalam penghitungan laba tahun berikutnya tentu akan memperhitungkan jumlah dana investasi dari masing-masing investor, semakin besar dana yang disetor investor semakin besar pula porsi dari laba yang akan ia terima. Demikian pula apabila terjadi kerugian semakin besar dana disetor semakin besar pula tanggungan kerugian yang akan diterima.

2.      Neraca Lembaga Keuangan Syariah Berbasis Syirkah
Persamaan akuntansi perbankan syariah yang berbasis syirkah adalah sebagai berikut:

AW + AM = UW + I
(Aktiva Wadiah + Aktiva Mudharabah = Utang Wadiah + Investasi)

Lembaga Keuangan Syariah
NERACA
Berbasis Syirkah Mufawadhah
AKTIVA
PASIVA
Aktiva Wadiah

Utang Wadiah
    Kas
xxx
   Tabungan Wadiah
xxx
    Giro BI
xxx
   Giro Wadiah
xxx
    Giro Bank lain
xxx
   Giro Bank lain
xxx
Aktiva Mudharabah

Investasi
Kas
xxx
Investasi Pengelola

Pembiayaan Certainty

Direktur
xxx
Salam, Istishna, Murabahah
xxx
Manajer
xxx
Pembiayaan Uncertainty

Investasi Pemodal

Mudharabah, Inan, Mufawadhah
xxx
Tabungan Mudharabah

Peralatan
xxx
Nama 1, 2 dst.
xxx
Mesin ATM
xxx
Deposito Mudharabah

Gedung
xxx
Nama 1, 2 dst.
xxx
Mobil dll.
xxx
Pemegang Saham
xxx

Neraca perbankan syariah berbasis syirkah harus dibentuk seperti contoh diatas sebab persamaan akuntansi adalah representasi dari bentuk perseroannya (syirkah), baik perseroan tersebut syar’I maupun tidak. Untuk mengingat kembali bahwa ternyata akuntansi merupakan alat yang tidak bebas nilai. Persamaan akuntansinya akan menggambarkan bahwa bentuk perseroan yang sedang dipakai suatu perusahaan adalah bentuk perseroan yang dibenarkan syara’ ataukah tidak.

Pada lembaga keuangan syariah bentuk perseroan yang akan dipakai adalah PMf (Perseroan Mufawadhah). Sebab sejak awal bentuk perseroan lembaga keuangan ini dibuat, diperkirakan memang akan melingkupi semua bentuk syirkah dalam Islam, yaitu mudharabah, inan, abdan dan wujuh, sehingga bentuk perseroan yang cocok tidak lain adalah mufawadhah.

Sedikit berbeda dengan perusahaan jenis dagang dan manufaktur yang sejak awal sudah digambarkan dengan hanya bentuk mudharabah saja. Lembaga keuangan syariah memang mutlak menggunakan perseroan mufawadhah, mengingat persekutuan dan transaksinya yang beraneka ragam. Namun demikian harus tetap memenuhi ketentuan rukun dan syarat dalam syirkah.

Sangat berbeda dengan persamaan akuntansi lainnya yang menyajikan aktiva hanya satu bagian yaitu H = harta, persamaan akuntansi ini membedakan antara rekening-rekening yang ada didalam harta/aktiva. Yaitu membedakan antara AW = aktiva wadhiah dengan AM = Aktiva Mudharabah. Dengan maksud agar kedua jenis harta tersebut tidak menjadi satu. AW adalah harta yang diputar perusahaan namun tidak memiliki potensi kerugian, sedangkan AM adalah harta yang dikelola perusahaan dan memiliki potensi kerugian. UW = utang wadhiah hanya dialokasikan untuk aktiva wadhiah = AW. Dan I dialokasikan untuk AM yaitu harta yang dikelola dengan maksud profit dan memiliki potensi kerugian. Dengan demikian semuanya terpisah. Artinya, apabila perusahaan mengalami kerugian, tetap tidak akan mengganggu kewajiban perusahaan terhadap harta yang berasal dari titipan tersebut.

Berbeda dengan neraca akuntansi syariah sebelumnya, dimana harta yang berasal dari U, I dan M menjadi semua harta yang dikelola perusahaan. Sehingga semuanya memiliki potensi kerugian. Sehingga apabila porsi U = utang lebih besar dari I dan atau M, maka sisa dari U yang tak terbayar oleh I dan M menjadi tidak jelas siapa penaggungnya, dan ini perkara yang harus dijauhkan karena keharamannya.

Sedangkan dalam neraca diatas mengkhususkan bahwa aset yang berasal dari UW = utang wadhiah tidak boleh dialokasikan oleh pegelola untuk dikelola. Harta UW hanya khusus dialokasikan untuk AW = aktiva wadhiah seperti giro BI, giro bank lain yang kesemuanya tidak memiliki potensi kerugian. Adapun dana yang berasal dari I = investasi sepeti tabungan dan deposito mudharabah baru bisa dikelola perusahaan untuk pembiayaan certainty maupun uncertainty yang mengandung potensi kerugian. Dengan demikian dapat dibenarkan apabila dana yang ada pada perusahaan yang tergolong sebagai utang memiliki porsi yang bahkan jauh lebih besar jumlahnya dari dana yang berstatus modal sendiri. Karena walaupun utang tersebut lebih besar dari investasi namun utang tersebut memiliki jaminan tidak akan tidak terbayar karena harta tersebut tidak akan hilang akibat kerugian.

Hal diatas mengacu pada sejarah gelar al-amin (terpercaya) pada diri Rasulullah Saw. Gelar tersebut diberikan oleh kafir quraisy dikarenakan Nabi adalah orang yang memiliki pribadi jujur, sehingga banyak diantara mereka yang menitipkan hartanya pada Muhammad Saw yang jumlahnya diduga melebihi dari harta Nabi sendiri. Namun harta tersebut tetap dapat dikembalikan Nabi, sebab beliau tidak menggunakannya untuk dikelola pada bidang-bidang yang berpotensi pada kerugian.

Penabung tabungan mudharabah, deposito mudharabah dalam perbankan syariah konvensional terletak dalam I = investasi, sedangkan pada syirkah mufawadhah diatas tidak lagi diperlakukan sebagai sesuatu yang terpisah dengan M = modal. Namun kesemuanya diperlakukan sebagai dana investasi investor = I. yang harus berakad dengan seluruh investor (pemodal) dan pengelola untuk memenuhi rukun ijab qabul. Dengan demikian ia tidak diperlakukan sebagai nasabah bank, melainkan investor bank yang memiliki hak atas jalannya usaha lembaga keuangan tersebut. Adapun pemegang saham lembaga keuangan syariah konvensional diletakkan pada M = modal, namun dalam syirkah mufawadhah akan diperlakukan sebagai I = investasi.

Dalam syirkah mufawadhah perbankan syariah ini juga tidak dibenarkan didalamnya ada rekening laba ditahan, sebab sebagaimana alasan yang sudah diulas pada syirkah mudharabah diatas bahwa laba ditahan mengandung persepsi akan hak tunggal pengelola terhadap laba perusahaan. Disisi lain juga membuat proporsi investasi investor menjadi tidak jelas, padahal laba dibagi berdasar porsi investasi masing-masing investor.

Dengan demikian dengan bentuk neraca baru ini rukun dan syarat syirkah menurut ketentuan hukum Islam dapat tertampung. insyaAllah.

G.    Kesimpulan
Akuntansi dengan model pencatatan double entry adalah model pencatatan yang bebas nilai. Namun dalam persamaannya ternyata tidak begitu. Akuntansi syariah yang direpresentasikan dalam perbankan syariah saat ini ternyata mengandung persepsi bahwa akuntansi syariah saat ini masih berpondasikan sistem perseroan Kapitalisme. Dengan rancang bangun neraca berbasis syirkah diatas diharapkan mampu menjadi solusi persamaan akuntansi saat Khilafah Islam mengaruskan semua perusahaan mengganti bentuk perseroannya dengan bentuk syirkah Islam, baik perusahaan dagang, manufaktur maupun lembaga keuangan. Allahua’lam bisshowab.


[1]  Taqiyuddin Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 2002.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

subhanAllah,,,, keren banget pak. suka analisisnya tajam! dan solusinya memuaskan akal. saya mau bertanya pak : kalau lembaga keuangan seperti perbankan contohnya, investornya sangat banyak sekali... bagaimana pembagiannya
? apakah di persentasikan satu-satu?

Propolisku Jogja mengatakan...

subhanallah, penjelasan dan analisisnya luar biasa. islam punya pakar akuntansi yang mampu merancang akuntansi yang 100% syariah.

Anonim mengatakan...

luar biasa deeeeh pokoknya, tetap semangat ya temen2 dalam dakwah. Insya Allah nggak lama lagi koq Islam akan tegak kembali. yeeee jadi kita belajar di hamfara kelak akan menjadi ilmuwan2 era kekhilafahan selanjutnya. untuk Bapak dosen tetap semangat juga yaaaah.........:) kalau Bapak sayang mahasiswanya kami juga akan sayang hehehe....

Unknown mengatakan...

AlhamduliLLAH. Gagasan murni dan segar di ladang akuntansi yang gersang seperti saat ini. Ketidak-setujuan penulis terhadap Pt yg ada, dan usulan tentang PT Islam merupakan salah satu solusi untuk mencegah umat manusia masuk pada "berhala" di era modern ini. Disadari atau tidak, PT dibangun oleh kaum sekuler yg berusaha menghidup-hidupkan benda mati yang bernama PT (Al-Qur'an & Akuntansi: Menggugah pikiran Mengetuk relung qalbu, Warsono-bin-Hardono, 2012).