Oleh: Muhammad Baiquni Syihab
A. Pendahuluan
SeluruhModal Peserta
A. Pendahuluan
Di Malaysia, pernyataan bahwa asuransi konvensional hukumnya haram sudah diumumkan pada tanggal 15 Juni 1972 di mana Jawatan Kuasa Fatwa Malaysia mengeluarkan keputusan bahwa praktik asuransi jiwa di Malaysia hukumnya menurut Islam adalah haram.
Perusahaan asuransi konvensional akan mendapat untung melalui tingkat suku bunga ketika premi yang terkumpul dari nasabah diinvestasikan di lembaga keuangan tertentu. Selain itu premi nasabah yang sudah berada di tangan perusahaan asuransi status kepemilikannya berubah menjadi milik perusahaan, baik ada maupun tidak ada klaim, baik setelah berakhirnya masa perjanjian maupun saat nasabah tidak lagi mampu melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Maka dana peserta saat itu menjadi dana hangus dan menjadi milik perusahaan.
Jadi perusahaan asuransi akan mendapat dua keuntungan, yaitu premi-premi dari nasabah tersebut dan hasil investasi dari premi-premi tersebut. Akan tetapi, keuntungan yang besar itu akan segera mengikis dan habis bila tingkat klaim dari nasabah meningkat hingga jumlahnya melebihi dari seluruh pendapatan premi beserta pendapatan bunganya. Maka, kelanggengan bisnis asuransi sebenarnya sangat ditentukan dari tingkat klaim yang diterima perusahaan tersebut. Semakin rendah jumlah klaim akan semakin menguntungkan, sebaliknya ketika jumlah klaim membengkak, maka akan semakin membahayakan posisi keuangan suatu perusahaan asuransi.
Namun kini telah hadir asuransi syariah sebagai solusi alternatif dan kritik bagi asuransi konvensional. Asuransi syariah menggunakan prinsip takafulli (tolong menolong) yang diimplementasikan dengan cara saling menanggung. Secara konsep asuransi syariah memiliki dua macam akad, yaitu akad tijarah (bisnis) dan akad tabarru’ (tolong menolong). Demikian juga premi yang terkumpul dari peserta, langsung dipisahkan menjadi dua rekening. Rekening tabarru’ untuk dana nasabah yang terkumpul yang diniatkan untuk menolong saudaranya, dan rekening peserta untuk dana peserta yang terkumpul yang ditujukan untuk investasi.
Maka dari latar belakang ini kemudian menjadi motivasi bagi penulis untuk meneliti bagaimana implementasinya dan sejauh mana kesesuaiannya dengan hukum syar’i penerapan sistem pembayaran klaim perusahaan Asuransi Jiwa Syariah “X” terhadap salah satu produknya yang memuat akad tijarah dan tabarru’.
B. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yang akan menggambarkan dan menganalisa setiap komponen yang saling berhubungan dalam sistem pembayaran klaim.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Jenis data dikumpulkan berupa data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif, namun penulis hanya mengambil data yang berasal dari data primer. Adapun data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama seperti hasil dari wawancara. Dan data primer juga berarti data yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh organisasi yang menerbitkan atau menggunakannya. Seperti gambaran umum perusahaan, karakteristik produk tabungan (mudharabah) dan pembayaran klaim.
3. Teknik Pengumpulan Data yaitu dengan interview, dokumentasi dan teknik Kepustakaan
4. Teknik Analisa Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Yaitu dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Identifikasi Data
Identifikasi data adalah langkah pertama setelah data terkumpulkan, kemudian oleh penulis digambarkan dalam bentuk uraian deskriptif yang menyangkut dengan sistem pembayaran klaim
b. Metode Analisis
Yaitu membandingkan komponen-komponen sistem pembayaran klaim dengan fatwa DSN yang berkaitan dengan praktek di asuransi syari’ah, dan ketentuan fiqih empat imam mazhab.
c. Penarikan Kesimpulan
Langkah akhir adalah penarikan kesimpulan dari pembahasan sistem pembayaran klaim A. Ilustrasi Pembayaran Klaim Asuransi Jiwa Syariah X
Nama Hamba Allah Usia peserta 28 tahun Mulai Asuransi 16/01/2007 Premi disetahunkan 3.000.000 Masa Asuransi 15 tahun Tabarru’ (sesuai tabel) 3,04% Manfaat Awal (15 th x 3000.000) 45.000.000 Asumsi Hasil Investasi 10%*) Bagian Hasil Investasi 70% |
Kesanggupan Membayar Premi |
Triwulan 750.000 Setengah tahunan 1.500.000 Tahunan 3.000.000 Sekaligus 45.000.000 |
Manfaat Asuransi :
1. Bila peserta ditakdirkan panjang umur sampai perjanjian asuransi berakhir akan menerima dana :
a. Dana tabungan peserta yang terkumpul Rp.39.792.000
b. Bagian keuntungan hasil investasi tabungan Rp.30.102.785
Habis kontrak Rp.69.894.785
2. Bila peserta ditakdirkan meninggal dunia dalam Masa Asuransi pada tahun ke-2, Ahli waris yang ditunjuk akan menerima dana :
a. Dana tabungan yang terkumpul di tahun ke-2 Rp.3.927.600
b. Bagian keuntungan Hasil investasi tabungan Rp.405.168
c. Santunan kebajikan di tahun ke-2 Rp.39.000.000
Santunan Meninggal Rp.43.332.768
*) Perhitungan di atas berdasarkan asumsi tingkat investasi 10% dan bersifat tidak mengikat
A. Analisis Sistem Pembayaran Klaim Produk Tabungan (Mudharabah)
Kemunculan hak klaim dari Perusahaan asuransi syari’ah ini akan didapat bila orang tersebut telah mendaftarkan diri sebagai peserta asuransi. Jadi seseorang tidak memiliki hak mendapat santunan dana musibah bila tidak terdaftar dalam keanggotaan asuransi.
Agar seseorang terdaftar menjadi peserta dan mendapatkan hak itu, maka perusahaan asuransi syariah mewajibkan dana yang dipungut, yang biasa dikenal dalam perasuransian syari’ah sebagai tarif tabarru’. Tarif tabarru’ berbentuk persentase dari seluruh premi yang dibayarkan, yang ditentukan dari usia calon peserta dan panjang jangka waktu yang dipilih dan diambil, dimana hak klaim itu ada untuk peserta selama jangka waktu itu saja, yaitu yang diingini calon peserta dan disetujui pihak Bumiputera, dan hak itu akan hilang jika peserta mengundurkan diri sebelum habis masa perjanjian.
Adapun tarif tabarru’ dibayarkan setiap tahun selama jangka waktu perjanjian. Untuk produk yang yang menjadi objek penelitian ini, maksimal jangka waktu itu selama 15 tahun dan minimal 3 tahun. Selain tarif tabarru’, perusahaan Asuransi Jiwa Syariah “X” ini juga mengharuskan calon peserta untuk menabung sejumlah dana setiap tahun, ditambah biaya pengelolaan setiap tahun untuk mengelola dana tabungan tersebut, karena akan dikelola berdasar prinsip mudharabah, yang hasilnya menjadi milik peserta setelah dikalikan dengan ROI (Return Of Investment) yang berlaku saat itu, karena perubahan ROI di Asuransi Jiwa Syariah “X” terjadi setiap bulan dan fluktuatif.
Besarnya keseluruhan tarif premi pada dasarnya diserahkan kepada calon nasabah. Jadi sebenarnya, peserta sendirilah yang menentukan manfaat asuransi yang akan dia dapat, karena manfaat asuransi timbul sesuai premi yang ia bayar dikalikan jangka waktu yang ia pilih. Tapi apabila peserta memilih membayar premi yang memunculkan manfaat asuransi lebih dari Rp. 200.000.000,- dan umur peserta di atas 50 tahun atau di bawah 50 tahun tapi dengan kondisi fisik yang tidak normal, maka pihak perusahaan asuransi menetapkan keharusan memberikan Hasil Pemeriksaan Dokter (HPD) sesuai ketentuan underwriting produk tersebut. Maka apabila HPD membuktikan adanya ketidaknormalan (sakit) yang menampakkan adanya kemungkinan resiko yang tinggi, dan pihak perusahaan menerima pengajuan asuransinya, maka pihak Asuransi Jiwa Syariah “X” akan turut campur dalam menetapkan pembagian tarif premi, yaitu dengan dua pilihan. Pertama, diberi extra premi dengan menetapkan tambahan tarif tabarru’ dengan tidak menaikkan total tarif premi. Kedua, peserta membayar tambahan total tarif premi secara tunai untuk menambah tarif tabarru’. Semua ini menjelaskan bahwa premi (terdiri dari: tabarru’, tabungan, biaya pengelolaan) yang dipilih peserta ataupun yang ditentukan untuk dibayarkan, sangat mempengaruhi tingkat resiko klaim yang akan dihadapi perusahaan asuransi syari’ah tersebut.
Tingginya tarif tabarru’ yang menggunakan prosentase dan biaya pengelolaan yang menggunakan rumus tertentu, tentu jumlahnya akan mengikuti seiring naiknya total tarif premi. Ini membuktikan bahwa adanya unsur premi tabungan dalam produk ini sebenarnya hanyalah sekedar sisa yang menjadi milik peserta dari seluruh premi yang dibayarkan. Untuk premi yang lainnya, maka tidak ada hak bagi peserta untuk mengambilnya kembali setelah berada ditangan Asuransi Jiwa Syariah “X”.
Penentuan tarif tabarru’ yang berbentuk prosentase yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat usia dan masa asuransi yang diambil, ternyata hal itu ditentukan oleh aktuaris kantor pusat perusahaan asuransi syari’ah yang ditentukan berdasarkan data statistik kesehatan penduduk, tabel mortalita dan pertimbangan aktuaria lainnya. Cara penentuan yang demikian, menurut penulis adalah cara-cara konvensional yang diterapkan untuk sedapat mungkin perusahaan menjauh dari resiko klaim yang akan muncul dari pesertanya. Jadi bisa dikatakan sama saja cara penentuan premi di Asuransi konvensional dengan yang diterapkan oleh Asuransi Jiwa Syariah “X”.
Adapun berkaitan dengan masalah peserta yang tidak menunaikan kewajiban membayar premi lagi dan tidak mengundurkan diri dengan mengambil nilai tunai, maka peserta akan tetap mendapat hak klaimnya, selama masa perjanjian dan selama tabungannya yang ada pada perusahaan mampu menutupi tarif tetap tabarru’ dan tarif tetap biaya pengelolaan yang sudah ditetapkan diawal perjanjian, namun tidak mengikuti besarnya saldo akhir yang ada pada Asuransi Jiwa Syariah “X’. Sedangkan bagi hasilnya mengikuti total dana tabungan (mudharabah) yang tersisa. Artinya bisa saja perjanjian berakhir sebelum masa asuransi habis, jika tidak ada lagi dana tabungan yang bisa menutupi kewajiban premi tabarru’ dan biaya pengelolaan. Semua ini juga menjelaskan bahwa unsur tabungan yang ada pada produk ini hanyalah sampingan, sedangkan yang menjadi pokok eksistensi hak klaim adalah tarif tabarru’ dan biaya pengelolaan (mudharabah).
Adapun pernyataan bahwa dalam asuransi syari’ah peserta tidak mengetahui total dana klaim kematian yang akan didapat, dalam kasus ini adalah tidak benar. Apabila dirunut asalnya dana kematian tersebut sebagaimana dalam ilustrasi produk, akan diketahui bahwa yang mengalami perubahan yang tidak diketahui peserta adalah nilai tunai yang berisi tabungan (mudharabah) dan bagi hasil, dan hanya bagi hasil ini yang mengalami perubahan yang tidak dapat diprediksi siapapun. Inilah nilai tunai, yang sebenarnya semua itu adalah asli milik peserta, yang tidak akan hilang karena peserta mengundurkan diri, baik saat pengajuan klaim ataupun setelah berakhirnya masa perjanjian. Adapun yang tetap dan diketahui jumlahnya oleh peserta walau pengajuan klaim ditahun ke-berapapun, adalah santunan kebajikan, yang berbanding terbalik dengan akumulasi premi peserta dari awal hingga akhir masa perjanjian. Santunan kebajikan adalah salah satu komponen dari dua sumber dana klaim meninggal, dan ini bisa dilihat dalam ilustrasinya.
Tentang pernyataan yang sering dikemukakan dalam asuransi syari’ah bahwa dana klaim berasal sepenuhnya dari rekening khusus (tabarru’), maka hal ini menurut penulis tidak terjadi dalam perusahaan asuransi syari’ah ini.
Penulis memberikan gambaran kasus dalam ilustrasi produk sebagai berikut: peserta terdiri dari 10 orang dengan usia rata-rata 26-30 tahun, dengan masa perjanjian masing-masing peserta 15 tahun, maka masing-masing peserta membayar premi tahunan sebesar Rp.3.000.000 terdiri dari tabarru’ sebesar Rp.91.200,- (3,04%[1] x Rp. 3.000.000) dan sisanya untuk biaya pengelolaan dan tabungan., maka tabarru’ yang terkumpul dari seluruh peserta misalkan ditahun ke 10 sebesar Rp.91.200 x 10 x 10 orang = Rp.9.120.000, Sedangkan santunan kebajikan tiap orang sebagai berikut :
Tabel Perbandingan Akumulasi Premi dengan santunan kebajikan
Tahun | Akumulasi Premi | Santunan Kebajikan |
1 | 3.000.000 | 42.000.000 |
2 | 6.000.000 | 39.000.000 |
3 | 9.000.000 | 36.000.000 |
4 | 12.000.000 | 33.000.000 |
5 | 15.000.000 | 30.000.000 |
6 | 18.000.000 | 27.000.000 |
7 | 21.000.000 | 24.000.000 |
8 | 24.000.000 | 21.000.000 |
9 | 27.000.000 | 18.000.000 |
10 | 30.000.000 | 15.000.000 |
11 | 33.000.000 | 12.000.000 |
12 | 36.000.000 | 9.000.000 |
13 | 39.000.000 | 6.000.000 |
14 | 42.000.000 | 3.000.000 |
15 | 45.000.000 | 0 |
Seandainya 8 orang meninggal bersama di musim haji, yaitu di tahun ke 10 masa perjanjian, maka kewajiban asuransi kepada 8 orang tersebut sebesar Rp.15.000.000 x 8 = Rp.120.000.000,-. Permasalahannya, bagaimana mungkin rekening khusus (tabarru’) sebesar Rp.9.120.000 dapat menutupi kewajiban perusahaan menunaikan hak klaim peserta sebesar Rp.120.000.000,- ?, maka menjadi wajar apabila suatu waktu perusahaan asuransi syariah dapat mengalami kerugian akibat tingginya klaim yang diterima, sebab pernyataan dana klaim ditopang sepenuhnya dari rekening khusus (tabarru’) hanyalah konsep yang tidak akan pernah terjadi dalam realita. Walaupun sampai menaikkan tarif tabarru’ hingga menjadikan seluruh premi sebagai tabarru’ (tanpa tabungan dan biaya pengelolaan), dalam contoh kasus ini adalah Rp.3.000.000. Maka akan tetap terjadi defisit dana jika klaim terjadi dibawah tahun persinggungan antara akumulasi premi dan santunan kebajikan, dalam kasus ini adalah tahun ke 8. Yaitu tahun di mana akumulasi premi mulai melebihi dari santunan kebajikan, dan jumlah peserta yang mengajukan klaim di atas separuh dari jumlah seluruh peserta.
Maka sebenarnya perusahaan asuransi syariah ini mendapat dana klaim selain dari rekening tabarru’ dan bagi hasil investasi, juga didapat melalui penerapan biaya pengelolaan yang menggunakan mekanisme rumus tertentu. Bahwa tarif biaya pengelolaan di tahun pertama memakai prosentase lebih tinggi dari pada tahun kedua, dan prosentase tahun kedua lebih tinggi dari tahun ketiga, sedangkan di tahun ketiga hingga berakhirnya masa perjanjian adalah sama. Penetapan seperti demikian dimaksudkan agar di awal-awal tahun perusahaan asuransi syariah sudah dapat menarik dana yang besar seandainya peserta mengundurkan diri, atau sebagai penopang dana bila terjadi klaim di masa perjanjian. Dan ini menjelaskan tentang sumber dana klaim, yang sebenarnya bukan hanya bersumber dari rekening tabarru’, melainkan juga dari seluruh sumber pendapatan lainnya, baik dari biaya pengelolaan maupun hasil investasinya.
B. Analisis Syariah Sistem Pembayaran Klaim Produk Tabungan (Mudharabah).
Dalam menganalisis sistem pembayaran klaim ini berdasar sudut pandang syariat Islam, penulis tidak mencukupkan hanya dengan fatwa DSN, Karena menurut hemat penulis, apa yang ada dalam fatwa DSN bersifat konsep dan global, sedangkan apa yang terjadi di lapangan bersifat teknis dan terperinci. Contohnya aqad tijarah yang harus berlaku pada asuransi syari’ah adalah mudharabah, tapi bagaimana syirkah mudharabah secara teknis yang terperinci, tidak ada dalam fatwa. Tentu saja dirasa kurang cermat, apabila tetap menyandarkan hanya pada fatwa DSN. Maka dalam penelitian ini, penulis juga mengambil literatur-literatur fiqih lain sebagai bahan perbandingan.
Sistem pembayaran klaim produk tabungan (mudharabah) adalah berupa komponen-komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, yang terdiri dari premi-premi yang dengan itu hak klaim akan tetap ada, dan syirkah mudharabah yang dengannya manfaat asuransi terdapat unsur syariah, yaitu bagi hasil.
1. Tarif Premi
Dalam tarif premi, penulis hanya menggolongkan tabarru’ dan biaya pengelolaan sebagai pokok dasar premi, dan tidak memasukkan tabungan ke dalam kesatuan bangunan premi, karena sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa tabungan adalah milik peserta, yang tidak akan hilang dengan atau tanpa adanya klaim. Dikarenakan juga karena komposisi tabungan merupakan sisa dari tarif tabarru’ dan biaya pengelolaan.
a. Tabarru’
Pada produk ini perusahaan asuransi syariah menetapkan tarif tabarru’ berdasarkan usia dan masa perjanjian yang diambil, semakin renta usia peserta semakin tinggi persentase tabarru’ yang harus ditunaikan. Demikian juga dengan masa perjanjian, semakin panjang masa perjanjian yang diambil peserta semakin tinggi pula persentasenya.
Bila dicermati, tarif tabarru’ yang diberlakukan Asuransi Jiwa Syariah “X” kepada nasabahnya, menunjukkan bahwa dengan ketentuan tetap yang berlaku tersebut terlihat sepihak dan memaksa peserta untuk membayarnya. Dibuktikan saat ada calon peserta yang diwajibkan menyerahkan HPD dan terbukti sakit, Asuransi Jiwa Syariah “X” memberlakukan tambahan tarif tabarru’, baik dengan membayar cash maupun disisihkan dari total premi, yang mau tidak mau peserta harus mengikuti aturan ini. Dengan demikian praktek tersebut tidak sesuai dengan fatwa DSN tentang tabarru’ yang didefinisikan dengan hibah atau aqad yang dilakukan dengan tujuan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersil, dan bukan pemaksaan sepihak, tetapi dengan aqad. Juga menurut penulis, tarif tabarru’ yang diterapkan adalah untuk tujuan komersil, ini dibuktikan dengan ketidaksediaan Asuransi Jiwa Syariah “X” menerima dana infaq seorang dermawan yang ditujukan untuk orang yang terkena musibah tanpa ia tergabung dalam keanggotaan asuransi. Seandainya asuransi syariah adalah fasilitator dana untuk orang yang terkena musibah, tentu akan menerima dana itu dengan sukarela, tetapi tertolak dengan alasan asuransi bukan lembaga ZIS.
Penentuan tabarru’ berdasarkan usia dan masa perjanjian pada dasarnya membuka maksud sebenarnya. Bahwa ketetapan seperti itu memiliki muatan-muatan komersil, yaitu untuk mengantisipasi dana klaim yang dibayar apabila terjadi klaim. Bahwa semakin renta usia peserta akan semakin dekat kemungkinan terjadinya klaim, karena secara manusiawi akan semakin dekat dengan ajal. Demikian juga dengan masa perjanjian, bahwa semakin lama masa perjanjian, akan semakin lama hak klaim berada di tangan peserta dan semakin lama pula Asuransi Jiwa Syariah “X” menanggung kemungkinan menunaikan hak klaim. Maka dari pada itu Asuransi Jiwa Syariah “X” menetapkan tabarru’ semakin tinggi, bila usia dan masa perjanjian yang dipilih peserta semakin tinggi. Sebab untuk antisipasi dan menambah pemasukan yang digunakan untuk membayar klaim. Ini menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Asuransi Jiwa Syariah “X” masih mengandung tujuan komersil, oleh sebab ajal tidak seorangpun mengetahuinya. Apa yang dilakukan pemegang polis dengan membayar tarif tabarru’ adalah juga bertujuan komersil, sebab berorientasi untuk mendapatkan hak klaim sekaligus berinvestasi.
b. Biaya (Pengelolaan)
Perusahaan asuransi syariah dalam menarik tarif premi biaya pengelolaan dana tabungan (mudharabah) menggunakan rumus tertentu.[2] Maka menurut penulis praktek semacam ini tidak sejalan dengan landasan syari’at (ketentuan fiqh).
Bila merujuk pada pendapat mazhab fiqh yang teringan, yaitu mazhab Hanafi dan Maliki, yang berpendapat biaya pengelolaan tidak dibebankan pada mudharib (pengelola), tapi diambil dari harta qiradh. Maka praktek yang diterapkan perusahaan tersebutpun tetap menyalahi ketentuan fiqh mazhab tersebut dalam penerapan dan penentuan biaya pengelolaan. Karena tarif yang didapat bersumber dari pengkalian persentase yang ditetapkan dengan total premi sesuai cara bayar dikali masa asuransi. Seharusnya tarif diambil berdasarkan biaya perjalanan, administrasi birokrasi, dan biaya-biaya lain yang diperlukan dalam usaha pegelolaan dana tersebut. Bukan dengan persentase tetap dikali dengan masa asuransi dan total premi sesuai cara bayar, baik triwulanan, semesteran maupun tahunan. Maka penggunaan rumus semacam itu menegaskan bahwa biaya ditarik bukan murni untuk menutupi biaya-biaya yang diperlukan dalam pengelolaan dana, melainkan untuk keperluan lainnya.
Penerapan biaya pengelolaan semakin menyimpang dari ketetapan syar’i ketika terjadi apa yang disebut polis lapse, dan pemegang polis tidak mengakhiri perjanjian dengan mengambil nilai tunai. Bahwa biaya pengelolaan tetap ditarik sebagaimana keadaan biasa, yaitu dikalikan dengan total premi sesuai cara bayar, sebagaimana yang sudah disepakati diawal masa perjanjian, sama halnya seperti penarikan tarif tabarru’ yang tidak akan berubah jumlahnya meski dalam keadaan polis lapse. Padahal saldo tabungan (mudharabah) yang menjadi sebab munculnya biaya pengelolaan semakin mengurang dari tahun ke tahun karena dikurangi untuk menunaikan tarif tabarru’ yang sudah ditetapkan diawal, sedangkan bagi hasil dari tabungan (mudharabah) mengikuti saldo tabungan yang terakhir.
2. Nilai Tunai
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa nilai tunai adalah hak milik peserta yang tidak akan hilang dengan atau tanpa adanya klaim, maka nilai tunai hanya terdiri dari tabungan (mudharabah) dan bagi hasilnya.
a. Tabungan (Mudharabah)
Tentang praktek tabungan yang dijadikan akad mudharabah, maka ini sama halnya dengan pembahasan penambahan dan penarikan modal, maka praktek di perusahaan asuransi syari’ah dapat dibenarkan. Adapun berkaitan dengan masalah mudharabah yang ditentukan batas waktunya dalam perasuransian di Asuransi Jiwa Syariah “X”, dan tentang modal yang diserahkan dan kemudian diserahkan kembali pada pengelola yang lain, bila perusahaan asuransi syari’ah dipandang sebagai pengelola, dan apabila mengikuti pendapat yang teringan yaitu pendapat imam mazhab Hanafi, maka praktek yang terjadi dapat dibenarkan menurut imam mazhab tersebut. Akan tetapi akan bertentangan dengan pendapat jumhur imam mazhab fiqih yang lain. Tapi Asuransi Jiwa Syariah “X” bukanlah pengelola, melainkan hanya sebagai penghimpun dana, dan ini terbukti lewat UU yang berlaku, bahwa lembaga keuangan non-bank hanya berstatus sebagai penghimpun dana dan tidak diperbolehkan memutarnya sendiri. Dengan demikian, maka seluruh imam mazhab fiqih yang empat, yaitu imam Syafi’i, imam Malik bin Anas, imam Abu Hanifah dan imam Ahmad bin Hanbal sepakat bahwa praktek mudharabah di Asuransi Jiwa Syariah X tidak sesuai dengan syari’ah, karena penghimpun dana tidak berhak atas bagi hasil.
Bila dilihat dari segi batal dan sahnya syirkah mudharabah, maka sebenarnya praktek yang terjadi di perusahaan asuransi syari’ah tidak sah sejak lama, sebab meninggal atau menjadi gilanya seorang aqid dapat membatalkan syirkah mudharabah secara keseluruhan. Dan bila ingin melanjutkan perjanjian kerjasama harus membuat aqad baru untuk kerjasama itu. Tapi dalam perusahaan asuransi syari’ah tidak ada pembaruan aqad seluruh peserta (pemodal) ketika terjadi klaim meninggal dari salah seorang pesertanya. Demikian juga gilanya seorang aqid dalam perusahaan asuransi syari’ah tidak membatalkan perjanjian selama premi dapat terbayarkan oleh pihak tertanggung atau ahli warisnya.
Jika perusahaan asuransi syari’ah menganggap kontrak mudharabahnya terpisah hanya antara satu peserta (pemodal) dengan pihak asuransi saja, dan tidak menggabungkan kontrak mudharabah dengan pemodal lainnya, maka dalam hal meninggalnya satu peserta memang tidak memerlukan aqad baru seluruh peserta untuk melanjutkan kerjasama itu. Akan tetapi ternyata perusahaan asuransi syari’ah menggabungkan antara pemodal satu dengan pemodal lainnya, yang sudah tentu mengharuskan adanya aqad baru apabila muncul penyebab rusaknya aqad, seperti meninggalnya seorang Aqid. Adapun bukti penggabungan pemodal satu dengan yang lainnya akan diterangkan di pembahasan bagi hasil.
b. Bagi Hasil
Di perusahaan asuransi syari’ah, perhitungan bagi hasil yang diterapkan adalah pengkalian antara saldo tabungan dengan nisbah bagi hasil untuk peserta dikalikan dengan ROI (Return Of Investment). ROI berbentuk prosentase yang merupakan hasil bagi antara hasil investasi dengan seluruh dana peserta yang diinvestasikan dikali seratus persen. Perubahan ROI di Bumiputera Syari’ah terjadi setiap bulan dan fluktuatif, dan dalam waktu yang sama, semua peserta yang membayar premi dengan unsur tabungan mendapat bagi hasil dari pengkalian ROI yang sama, dan inilah yang menunjukkan bahwa antara satu modal peserta (pemodal) dengan yang lainnya dijadikan satu.
Menurut penulis, cara penghitungan bagi hasil di atas belum memenuhi keadilan penghitungan bagi hasil yang sesungguhnya, yaitu Revenue Sharing dan Profit Sharing, dan seharusnya nisbah dikalikan dengan nominal riil dari hasil investasi dikali perbandingan modal peserta dengan seluruh modal peserta yang diinvestasikan, bukan pengkalian dengan prosentase hasil investasi dan nominal modal peserta. Agar lebih jelasnya penulis memberikan gambaran rumus sebagai berikut :
Bagi Hasil = Rp. Hasil Investasi x Modal Peserta x Nisbah Pemodal
3. Manfaat Asuransi
a. Santunan Kebajikan
Santunan kebajikan dalam sistem pembayaran klaim merupakan hak klaim peserta yang harus ditunaikan perusahaan asuransi syari’ah apabila timbul sebab-sebab yang mengharuskan perusahaan asuransi syari’ah untuk membayar hak klaim tersebut berupa dana santunan, yang besarnya sesuai premi yang dibayarkan.
Santunan Kebajikan adalah manfaat asuransi yang hakiki dalam praktek perasuransian syari’ah, karena besaran santunan tersebut berbanding terbalik dengan akumulasi premi yang dibayarkan peserta dari tahun pertama hingga akhir masa perjanjian. Menurut penulis, praktik semacam ini merupakan praktek yang memiliki muatan ekonomis, dikarenakan ini adalah segala usaha yang diterapkan perusahaan asuransi syari’ah untuk menghindari kerugian. Hal ini sama dengan praktek konvensional yang diharamkan, dengan dasar bahwa premi-premi yang dibayarkan adalah ketentuan dasar yang memunculkan hak klaim tersebut, yang jika tidak ada premi tersebut maka tidak ada hak klaim, dengan demikian hubungan antara premi dan klaim santunan kebajikan adalah berupa sebab akibat. Dijelaskan dengan premi tabarru’ sebagaimana yang telah dibahas diatas bahwa premi ini bukan semata-mata untuk amal tolong-menolong semata, melainkan di dalamnya ada tujuan komersil yaitu hak keanggotaan asuransi bagi peserta untuk mendapatkan hak klaim yang terdeteksi peserta. Begitu juga dengan premi biaya pengelolaan yang bukan untuk keperluan pengembangan harta, tapi sebagai tambahan premi yang tidak ada lagi hak bagi peserta untuk mengambilnya kembali setelah dibayarkan. Dengan demikian, tabarru’ dan biaya pengelolaan adalah sebab, dan keberadaan hak santunan kebajikan adalah akibat yang hanya dapat terealisasi karena kematian yang hanya bisa diperkirakan. Maka praktek seperti ini sama dengan praktek di asuransi konvensional yang spekulatif yang jelas diharamkan.
b. Klaim Meninggal
Klaim meninggal adalah dana yang diberikan kepada ahli waris peserta yang meninggal dalam masa perjanjian asuransi berupa santunan kebajikan dan tabungan milik peserta beserta bagi hasilnya.
Tentang status hukumnya, maka klaim meninggal ini mengikuti santunan kebajikan, karena yang murni dari dana klaim meninggal ini adalah santunan kebajikan, sedangkan tabungan peserta beserta bagi hasilnya adalah milik peserta yang tidak akan hilang dengan atau tanpa adanya klaim meninggal. Karena santunan kebajikan hanya dapat diberikan ketika ada klaim meninggal. Bila tidak ada kematian, maka tidak ada santunan kebajikan.
Namun ada beberapa hal yang menjadi sorotan penulis berkaitan dengan klaim meninggal ini. Pertama, bahwa peserta jika meninggal dunia di tahun pertama bukan sebab kecelakaan, maka hanya akan mendapatkan 75% dari santunan kebajikan. Menurut perusahaan asuransi syariah pemberlakuan ini sebagai masa observasi yang dimaksudkan untuk menghindari adanya moral hazard dari peserta. Kedua, dalam syarat-syarat umum pemegang polis perusahaan asuransi yang juga berlaku untuk divisi syari’ah, disebutkan dalam pasal 13 tentang perkecualian bahwa peserta hanya akan mendapatkan santunan kebajikan sebesar 50% bila meninggal akibat penganiayaan, perbuatan kekerasan dalam pemberontakan, huru hara, pengacauan atau perbuatan terror. Menurut penulis semua ini adalah bentuk ketidak konsistenan perusahaan asuransi syari’ah terhadap praktek perasuransian, dan untuk menghindari resiko klaim yang sesungguhnya. Karena hal semacam itu, baik di poin pertama ataupun kedua bisa terjadi baik dengan atau tanpa kehendak pemegang polis, diketahui kebenarannya ataupun tidak.
C. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam sistem pembayaran klaim produk tabungan (mudharabah) yang diterapkan Asuransi Jiwa Syariah “X” adalah sebagai berikut :
1. Sistem Pembayaran klaim
a. Bahwa sumber dana klaim diambil sepenuhnya dari rekening khusus (tabarru’) tidak berlaku di lembaga keuangan syari’ah ini. Sebab santunan dana kematian diambil dari rekening khusus hanya selama rekening tersebut mampu menutupi kewajiban membayar santunan kebajikan.
b. Sistem pembayaran klaimnya masih menggunakan sistem konvensional yang sebab utama untung-ruginya sebuah usaha perasuransian adalah tinggi-rendahnya pemegang polis yang mengajukan klaim, yang membuat terlihat beda adalah adanya syirkah mudharabah dan penggunaan nama sebagian dari premi dengan menggunakan istilah tabarru’.
2. Sudut pandang syari’ah
a. Premi tabarru’ yang berlaku belum sesuai dengan fatwa DSN dan ketentuan fiqih yang mengharuskan adanya aqad (kesepakatan) dan tidak bertujuan komersil.
b. Biaya pengelolaan sebagai konsekuensi syirkah mudharabah belum ditarik sebagaimana mestinya, yang seharusnya hanya diambil untuk menutupi biaya-biaya yang diperlukan untuk pengembangan harta.
c. Praktek syirkah mudharabah yang berjalan belum sesuai dengan ketentuan fiqih mengenai sah dan batalnya sebuah syirkah, dan juga karena Asuransi Jiwa Syariah “X” tidak bertindak sebagai mudharib sehingga hanya layak mendapat gaji dan bukan bagi hasil.
d. Perhitungan bagi hasil belum memenuhi kriteria bagi hasil yang sebenarnya, karena masih mengkalikan nisbah dengan modal dan dikalikan dengan rate yang berbentuk persentase.
e. Ketetapan santunan kebajikan yang berlaku masih mengandung unsur spekulasi karena berbanding terbalik dengan akumulasi premi peserta dari awal hingga akhir masa perjanjian.
f. Dana klaim meninggal mengikuti status hukum santunan kebajikan, karena di dalam dana klaim meninggal selain santunan kebajikan adalah tabungan dan bagi hasil yang tidak ada pengaruhnya dengan atau tanpa adanya klaim meninggal, yang berbeda dengan keberadaan santunan kebajikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman ad-Dimasyqi, Syaikh al-’Allamah Muhammad, Fiqh Empat Mazhab, Hasyimi Press, Bandung, 2004.
Algaoud, Latifa M. dan Lewis, Mervyn K, Perbankan Syari’ah Prinsip, Praktik, dan Prospek, Serambi, Jakarta, 2003.
Al-Mushlih, Abdullah dan Ash-Shawi, Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Darul Haq, Jakarta, 2004.
Dewi, Gemala, Aspek-aspek hukum dalam perbankan dan perasuransian syariah di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006.
DSN MUI BI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, PT. Intermasa, Jakarta, 2003.
Fabozzi, Frank J., Pasar dan Lembaga Keuangan, Salemba Empat, Jakarta.
Harahap, Sofyan Syafri, Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam, Pustaka Quantum, Jakarta 2001.
--------, Akuntansi Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2001.
Karim, Adiwarman A, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Materi Diklat Calon Agen Syariah Kantor Cabang Asuransi Jiwa Syariah “X” Yogyakarta.
Modul Pengenalan Dasar Asuransi Jiwa Syari’ah “X”.
Muhammad, Dasar-dasar Keuangan Islami, Ekonisia, Yogyakarta, 2004.
--------, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2004.
Nabhani, Taqiyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 2002.
Saeed, Abdullah, Bank Islam dan Bunga Studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Soeratno dan Arsyad, Lincolin Metodologi Penelitian Untuk Ekonomi dan Bisnis, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, 1999.
Subagyo, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, STIE YKPN, Yogyakarta, 2002.
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Ekonisia, Yogyakarta, 2005.
Sula, Muhammmad Syakir, Asuransi Syariah Konsep dan Sistem Operasional, GIP, Jakarta, 2004.
Susilo, Y. Sri, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, 2000.
Syafe’I, Rachmat, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Umar, Husein, Metodologi Penelitian Aplikasi Dalam Pemasaran, PT Gramedia, Jakarta, 1997.
Yusanto, M. Ismail, Islam dan Asuransi; Sebuah Langkah Menuju Kelangsungan Ekonomi Syari’ah, Al-Azhar Press, Bogor, 2005.
[1] Ketentuan berdasarkan tabel milik perusahaan Asuransi Jiwa Syariah X Th. 2007 (Persentase tarif tabarru’ diatas ditentukan oleh aktuaris di kantor pusatnya dengan pertimbangan data statistik kesehatan penduduk, tabel mortalita, dan pertimbangan lain yang berdasarkan ilmu aktuaria.)
[2] Premi Biaya Tahun I : ( Masa asuransi s.d 11 tahun = 3,5 % x n x G) (Masa asuransi 12 tahun/lebih = 3,25 % x n x G); Premi Biaya Tahun II : (Masa asuransi s.d 11 tahun = 2 % x n x G) (Masa asuransi 12 tahun/lebih = 1 % x 12 x G); Tahun Ketiga dan seterusnya = 5 % x G
G = Premi sesuai cara bayar; n = Masa Pembayaran Premi, maksimal 12 tahun (sumber: Asuransi Jiwa Syariah “X”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar