Oleh: Muhammad Baiquni Syihab
Posting tulisan ini adalah revisi untuk tulisan sebelumnya di blog ini, yaitu tulisan yang tertanggal 4 Mei 2012 dengan judul yang bisa dikatakan sama. Persamaan Akuntansi untuk perbankan
syariah yang lebih memenuhi ketentuan syariah dalam hukum (rukun) membentuk
perusahaan dalam Islam menurut penulis adalah sebagai berikut:
AW + AM = UW + UO + M1 + M2
AKTIVA
|
PASIVA
|
||
Aktiva Wadhiah
|
Utang Wadhiah
|
||
Kas (W)
|
Xxx
|
Giro Wadhiah BL
|
Xxx
|
Giro BI
|
Xxx
|
Giro Wadhiah
|
Xxx
|
Giro Wadhiah BL
|
Xxx
|
Tabungan Wadhiah
|
Xxx
|
Aktiva Mudharabah
|
Utang Operasional
|
||
Kas (M)
|
Xxx
|
Utang Salam, Ishtishna
|
Xxx
|
Piutang
|
Utang pajak
|
Xxx
|
|
Murabah, salam, Istishna
|
Xxx
|
Bagi Hasil belum dibagi
|
Xxx
|
Pembiayaan
|
Modal 1
|
||
Mudharabah
|
Xxx
|
Tabungan Mudharabah
|
Xxx
|
Musyarakah
|
Xxx
|
Deposito Mudharabah
|
Xxx
|
Persediaan Ijarah
|
Xxx
|
Dana Pihak Ke-II
|
Xxx
|
Aset Tetap
|
Xxx
|
Modal 2
|
|
Saham
|
Xxx
|
Terbentuknya persamaan akuntansi dalam
laporan keuangan neraca diatas, tidak lain karena bahwa perbankan syariah pada
hakekatnya adalah perusahaan Mudharabah Pararel bukan Mudharabah Murni. dimana
pemodal tidak terdiri dari satu pihak saja, melainkan ada dua pihak. Selain itu
tidak dibenarkan bentuk Perseroan Terbatas (PT) menjadi bentuk untuk perusahaan
yang dijalankan seorang muslim. Sebab PT tidak memenuhi rukun-rukun dalam
muamalah yang seharusnya dipenuhi oleh seorang muslim dalam berbisnis.
Sehingga diketahuhi bahwa bentuk yang
layak untuk perbankan syariah yaitu bentuk perusahaan Mudharabah. Namun
demikian bukan pula Mudharabah Murni, melainkan Mudharabah hasil modifikasi,
yaitu Mudharabah Pararel. Dimana didalamnya terdapat pengelola sekaligus
pemodal (Bank Syariah) yang modalnya didapat dari pihak lain (funding) dengan berakad dengan akad Mudharabah pada pihak lain tersebut (funding). Sedangkan saat Bank menyerahkan dana tersebut pada pihak lain (lending), Bank pun berakad dengan akad Mudharabah. Sehingga terdapat
2 (dua) pemodal, yaitu:
1. Pemodal
1; yang termasuk didalamnya adalah nasabah dana pihak ke-3 yang berakad dengan
akad Mudharabah. Artinya untung rugi dari penanaman investasi dana mereka
adalah resiko bisnis. Yang harus disadari bahwa memiliki resiko tersebut
2.
Sehingga
penabung mudharabah tidak akan selalu mendapati dananya di Bank selalu ada
3.
Pemodal
2; yang temasuk didalamnya tidak lain adalah para pemegang saham
4. Pada Neraca diatas yang disorot dengan warna kuning mengartikan (mengharuskan) bahwa: Utang
yang berasal dari penitipan (wadhiah) nasabah tidak boleh dialokasikan pada aset
produktif yang memiliki resiko rugi. dan harus dialokasikan pada wilayah-wilayah yang tidak memiliki resiko kerugian (seperti ditaruh di BI atau bank lain sebagai rekening Giro). sehingga tidak ada resiko kerugian
5. Sehingga
perbankan syariah yang seperti ini tidak perlu lagi diragukan likuiditasnya.
Karena sudah pasti likuid
6. Adapun tabungan dan deposito Mudharabah dan segala yang ada didalam kategori Modal 1 harus memiliki segala konsekwensi akad mudharabah, yaitu resiko untung dan resiko rugi. Sehingga likuiditas tidak diperhitungkan disini.
6. Adapun tabungan dan deposito Mudharabah dan segala yang ada didalam kategori Modal 1 harus memiliki segala konsekwensi akad mudharabah, yaitu resiko untung dan resiko rugi. Sehingga likuiditas tidak diperhitungkan disini.
Hal demikian disebabkan pola kerja
Perbankan Syariah adalah seperti ini:
1. Jumhur
ulama mazhab fiqih berpendapat bahwa tidak dibolehkan dana mudharabah di
mudharabahkan kembali pada pihak lain sebagaimana praktek bisnis yang terjadi
pada perbankan syariah
2. Imam
mazhab hambali (Ahmad bin Hanbal) bahkan secara tegas melarang mudharib
bermudharabah (qiradh) dengan orang lain, lalu ia menyerahkan modal kepada orang
tersebut, kemudian mendapat keuntungan. (fiqh 4 mazhab, Ad-Dimasyqi)
3. Dan
apabila pendapat Imam ahmad tersebut telah terlanjur terjadi, maka yang harus
dilakukan adalah keuntungannya diberikan kepada qiradh (mudharabah) yang pertama,
yaitu antara Bank dengan nasabah mudharabah Funding. Dan nasabah lending tidak
berhak sama sekali atas keuntungan yang ia hasilkan
4. Kecuali
ulama mazhab Hanafi Membolehkan mudharabah yang dimudharabahkan kembali
sebagaimana yang terjadi pada perbankan syariah saat ini.
5. Namun
ada syarat yang harus dipenuhi oleh perbankan syariah bila ia menyadur pendapat
mazhab Hanafi. yaitu bagi hasil ditentukan/diperhitungkan bagi aqidain I
terlebih dahulu (antara Bank dengan nasabah Funding), dan baru kemudian antara
aqidain II (antara Bank dengan nasabah Lending)
6.
Semua
imam mazhab fiqih yang empat, yaitu imam Syafi’i, imam Malik bin Anas, imam Abu
Hanifah dan imam Ahmad bin Hanbal sepakat bahwa penghimpun dana tidak berhak
atas bagi hasil.
sehingga
dari alasan-alasan diataslah penulis merancang persamaan akuntansi yang
demikian itu.
3 komentar:
oke bapak saya akan post kan ke grup nya fai.epi.2011 kita yah pak
jd pingin banyak diskusi tentang tema ni pak dosen, lau samahta....
terimaksih atas informasinya pak, izinkan saya untuk mengambil data bapak dan saya berikan kepda teman teman ..
Posting Komentar