Kamis, 03 Oktober 2013

Reformasi Akuntansi Syariah 2: Rancang Bangun Neraca Bank Syariah Berbasis Syirkah

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab



             Posting tulisan ini adalah revisi untuk tulisan sebelumnya di blog ini, yaitu tulisan yang tertanggal 4 Mei 2012 dengan judul yang bisa dikatakan sama. Persamaan Akuntansi untuk perbankan syariah yang lebih memenuhi ketentuan syariah dalam hukum (rukun) membentuk perusahaan dalam Islam menurut penulis adalah sebagai berikut:

AW + AM = UW + UO + M1 + M2

AKTIVA
PASIVA
Aktiva Wadhiah
Utang Wadhiah
       Kas (W)
Xxx
       Giro Wadhiah BL
Xxx
       Giro BI
Xxx
       Giro Wadhiah
Xxx
       Giro Wadhiah BL
Xxx
       Tabungan Wadhiah
Xxx
Aktiva Mudharabah
Utang Operasional
       Kas (M)
Xxx
       Utang Salam, Ishtishna
Xxx
       Piutang

       Utang pajak
Xxx
              Murabah, salam, Istishna
Xxx
       Bagi Hasil belum dibagi
Xxx
       Pembiayaan

Modal 1
              Mudharabah
Xxx
       Tabungan Mudharabah
Xxx
              Musyarakah
Xxx
       Deposito Mudharabah
Xxx
       Persediaan Ijarah
Xxx
       Dana Pihak Ke-II
Xxx
       Aset Tetap
Xxx
Modal 2
      

       Saham
Xxx


            Terbentuknya persamaan akuntansi dalam laporan keuangan neraca diatas, tidak lain karena bahwa perbankan syariah pada hakekatnya adalah perusahaan Mudharabah Pararel bukan Mudharabah Murni. dimana pemodal tidak terdiri dari satu pihak saja, melainkan ada dua pihak. Selain itu tidak dibenarkan bentuk Perseroan Terbatas (PT) menjadi bentuk untuk perusahaan yang dijalankan seorang muslim. Sebab PT tidak memenuhi rukun-rukun dalam muamalah yang seharusnya dipenuhi oleh seorang muslim dalam berbisnis.

         Sehingga diketahuhi bahwa bentuk yang layak untuk perbankan syariah yaitu bentuk perusahaan Mudharabah. Namun demikian bukan pula Mudharabah Murni, melainkan Mudharabah hasil modifikasi, yaitu Mudharabah Pararel. Dimana didalamnya terdapat pengelola sekaligus pemodal (Bank Syariah) yang modalnya didapat dari pihak lain (funding) dengan berakad dengan akad Mudharabah pada pihak lain tersebut (funding). Sedangkan saat Bank menyerahkan  dana tersebut pada pihak lain (lending), Bank pun berakad dengan akad Mudharabah. Sehingga terdapat 2 (dua) pemodal, yaitu:

1.   Pemodal 1; yang termasuk didalamnya adalah nasabah dana pihak ke-3 yang berakad dengan akad Mudharabah. Artinya untung rugi dari penanaman investasi dana mereka adalah resiko bisnis. Yang harus disadari bahwa memiliki resiko tersebut
2.       Sehingga penabung mudharabah tidak akan selalu mendapati dananya di Bank selalu ada
3.       Pemodal 2; yang temasuk didalamnya tidak lain adalah para pemegang saham
4.    Pada Neraca diatas yang disorot dengan warna kuning mengartikan (mengharuskan) bahwa: Utang yang berasal dari penitipan (wadhiah) nasabah tidak boleh dialokasikan pada aset produktif yang memiliki resiko rugi. dan harus dialokasikan pada wilayah-wilayah yang tidak memiliki resiko kerugian (seperti ditaruh di BI atau bank lain sebagai rekening Giro). sehingga tidak ada resiko kerugian
5.     Sehingga perbankan syariah yang seperti ini tidak perlu lagi diragukan likuiditasnya. Karena sudah pasti likuid
6.  Adapun tabungan dan deposito Mudharabah dan segala yang ada didalam kategori Modal 1 harus memiliki segala konsekwensi akad mudharabah, yaitu resiko untung dan resiko rugi. Sehingga likuiditas tidak diperhitungkan disini.

Hal demikian disebabkan pola kerja Perbankan Syariah adalah seperti ini: 

 

1.    Jumhur ulama mazhab fiqih berpendapat bahwa tidak dibolehkan dana mudharabah di mudharabahkan kembali pada pihak lain sebagaimana praktek bisnis yang terjadi pada perbankan syariah
2.   Imam mazhab hambali (Ahmad bin Hanbal) bahkan secara tegas melarang mudharib bermudharabah (qiradh) dengan orang lain, lalu ia menyerahkan modal kepada orang tersebut, kemudian mendapat keuntungan. (fiqh 4 mazhab, Ad-Dimasyqi)
3.    Dan apabila pendapat Imam ahmad tersebut telah terlanjur terjadi, maka yang harus dilakukan adalah keuntungannya diberikan kepada qiradh (mudharabah) yang pertama, yaitu antara Bank dengan nasabah mudharabah Funding. Dan nasabah lending tidak berhak sama sekali atas keuntungan yang ia hasilkan
4.      Kecuali ulama mazhab Hanafi Membolehkan mudharabah yang dimudharabahkan kembali sebagaimana yang terjadi pada perbankan syariah saat ini.
5.    Namun ada syarat yang harus dipenuhi oleh perbankan syariah bila ia menyadur pendapat mazhab Hanafi. yaitu bagi hasil ditentukan/diperhitungkan bagi aqidain I terlebih dahulu (antara Bank dengan nasabah Funding), dan baru kemudian antara aqidain II (antara Bank dengan nasabah Lending)
6.       Semua imam mazhab fiqih yang empat, yaitu imam Syafi’i, imam Malik bin Anas, imam Abu Hanifah dan imam Ahmad bin Hanbal sepakat bahwa penghimpun dana tidak berhak atas bagi hasil.

sehingga dari alasan-alasan diataslah penulis merancang persamaan akuntansi yang demikian itu.

3 komentar:

Unknown mengatakan...

oke bapak saya akan post kan ke grup nya fai.epi.2011 kita yah pak

Nuhbatul Basyariah mengatakan...

jd pingin banyak diskusi tentang tema ni pak dosen, lau samahta....

Unknown mengatakan...

terimaksih atas informasinya pak, izinkan saya untuk mengambil data bapak dan saya berikan kepda teman teman ..