Sabtu, 27 Desember 2014

REALISASI QS AT-TAUBAH AYAT 34-35 MEMAKZULKAN EKSISTENSI LEMBAGA KEUANGAN MODERN BANK DAN NON-BANK (JILID KE-1)

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab


Pendahuluan
Diketahui bahwa pada masa al-Qur’an dan Islam turun pada abad 7 M, bahkan hingga beberapa ratus tahun setelahnya, tidak ditemukan catatan sejarah bahwa lembaga keuangan ada pada masa itu. Adapun Lembaga Keuangan yang dimaksud disini adalah lembaga intermediasi keuangan yang berorientasi pada bisnis beserta lembaga penopangnya sebagai instrument keuangan pemerintah dalam merealisasikan kebijakan ekonominya. 


Benar bahwa beberapa pemerhati ekonomi Islam mengatakan — di berbagai buku dan media tulis lainnya — bahwa praktik lembaga keuangan syariah sudah ada dan lazim sejak masa Rasulullah saw dan periode para shahabatnya, namun bila dilihat dengan lebih seksama bahwa pada dasarnya praktik lembaga keuangan yang dimaksud mereka itu sebenarnya adalah praktik keuangan yang hanya berurusan dengan harta secara umum saja, dan bukan praktik lembaga keuangan sebagai intermediasi keuangan, yang lembaga keuangan tersebut tidak mungkin dikelola kecuali bersama lembaga penopangnya sebagaimana yang difahami masyarakat modern saat ini, dan demikian juga yang dimaksud dalam tulisan ini yaitu Bank Umum, Bank Sentral, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian dan lain sebagainya. Dengan demikian lembaga keuangan yang dimaksud adalah lembaga yang ada di era modern.

Perkara yang difahami oleh pakar dan pejabat ekonomi negara saat ini adalah, bahwa keberadaan lembaga keuangan begitu penting hingga tidak jarang didengungkan bahwa ketiadaan lembaga keuangan akan berdampak pada berhentinya roda perekonomian suatu negara. Bahkan pendapat masyarakat secara umum pun demikian juga, yang tidak sanggup membayangkan apa jadinya keadaan ekonomi dunia saat ini seandainya lembaga keuangan seperti Bank Sentral, Bank Umum dan Lembaga Keuangan lainnya tidak ada.

Dengan demikian rumusan masalahnya adalah, bila diketahui bahwa lembaga keuangan sebagai lembaga intermediasi beserta lembaga penopangnya yang menjadi instrument keuangan pemerintah belum ada di awal periode Islam, atau bahkan sebelum Islam itu turun, bahkan juga diluar wilayah Islam, lalu bagaimana mungkin sejarah mencatat bahwa kehidupan ekonomi pada periode-periode tersebut tidak mengalami stagnasi ekonomi, bahkan sejarah mencatat yang sebaliknya.

Seperti dalam kehidupan ekonomi masyarakat pada masa Umar bin Khattab[ Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin Khattab, Khalifa, 2003, hal. 413-421], Abdul Malik bin Marwan[ Yusuf Al-‘Isy, Sejarah Dinasti Umawiyah, Pustaka al-Kautsar, 2007, hal. 281-288], Umar bin Abdul Aziz,[ Ibid, hal. 324-338] dan lain sebagainya mengalami kemajuan ekonomi. Bahkan periode sebelum Islam seperti di masa dan di wilayah kekaisaran Romawi[ Michael H. Hart., 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa, Kharisma, 2005, hal. 114-116] dan kerajaan Persia tidak tercatat bahwa roda perekonomian mereka tidak berjalan baik, bahkan nama besar dari peradaban mereka lah yang selalu tertulis di berbagai referensi bacaan. Padahal, lembaga keuangan sebagai intermediasi keuangan beserta lembaga penopangnya belum ada, seperti Bank Sentral, Bank Umum, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian dan lain-lain, baik syariah maupun konvensional.

Dengan demikian seolah sejarah mengatakan bahwa perekonomian akan tetap berjalan dengan sangat baik walaupun tanpa bank sentral dan bank umum, baik lembaga keuangan tersebut beroperasi dengan sistem konvensional maupun sistem syariah. 

Sejarah Lembaga Intermediasi Keuangan
Perbankan syariah diduga oleh sebagian akademisi ekonomi Islam telah ada sejak masa Rasulullah saw. Namun kenyataan sebenarnya tidak demikian. Sebab yang mengatakan demikian hanya mendasarkan pendapatnya dengan menyamakan fungsi-fungsi utama perbankan modern, yaitu menerima deposit, menyalurkan dana dan transfer dana.[ Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, hal. 18]

Pada dasarnya apa yang terjadi pada masa sebelum, masa Rasulullah saw, maupun masa setelahnya benar terjadi demikian, namun memiliki operasional yang terpisah. Artinya, terjadi penerimaan deposit tapi tidak menyalurkan. Terjadi penyaluran dana tapi tidak menerima deposit. Demikian juga terjadi transfer dana tapi tidak menerima deposit juga tidak menyalurkan dana.

Muhammad saw adalah manusia yang dijuluki Al-Amin (terpercaya) oleh masyarakat Quraisy penduduk Makkah. Sehingga beliau dipercaya untuk menerima titipan harta (deposit) penduduk Quraisy. Sirah Nabawiyah mengkisahkan bahwa Rasulullah sebelum hijrah ke Madinah mengembalikan semua dana yang didepositkan kepadanya secara penuh pada pemiliknya penduduk Makkah.[ Ibid.] Namun diketahui bahwa Rasulullah saw tidak menyalurkan dana yang didepositkan padanya tersebut pada orang lain. Sebab mustahil beliau mampu mengembalikan semua dana pada para pemiliknya dengan cepat sementara dana yang didepositkan padanya sedang disalurkan pada pihak lain untuk dikelola, yang berarti dana tersebut sedang tersebar. Dengan demikian fungsi intermediasi keuangan tidak terjadi pada diri Rasulullah, sehingga tidak tepat bila mendasarkan keberadaan fungsi utama perbankan pada diri beliau.

Zubair bin Awwam ra. Adalah shahabat Rasulullah saw yang juga turut dijadikan dasar bahwa apa yang dilakukannya dahulu adalah praktik dari perbankan syariah. Dikisahkan bahwa Zubair lebih memilih menerima pinjaman harta daripada menerima titipan harta, yang dengan itu ia dapat mengelola harta pinjaman tersebut, yang tidak dapat dilakukannya bila harta tersebut hanyalah titipan.[ ibid., hal. 19]

Sekilas apa yang dilakukan Shahabat Nabi saw tersebut tampak seolah melakukan fungsi intermediasi keuangan sebagaimana yang dilakukan perbankan, namun bila diperhatikan lebih cermat dan teliti sebenarnya tidak demikian. Sebab Zubair hanya menerima pinjaman yang berarti sisi likuiditas tidak terlalu perlu diperhatikannya, yang tidak begitu seandainya ia lebih memilih menerima titipan. Walaupun pinjaman juga harus dikembalikan pada pemiliknya, namun status pinjaman dapat dijadikan alasan untuk belum bisa dikembalikan oleh karena dananya belum ada, seandainya pemilik harta tersebut meminta untuk dikembalikan. Namun berbeda seandainya ia menerima titipan, maka tidak ada alasan baginya tidak bisa mengembalikan harta titipan seandainya diminta, sehingga sisi likuiditas memang mutlak adanya. Akan tetapi untuk untuk dapat memenuhi likuiditas, sebuah syarat akan harta titipan harus dipenuhi, yaitu harta tersebut tidak boleh dikelola atau disalurkan. Padahal kemampuan likuiditas inilah yang membuat perbankan syariah maupun konvensional tetap eksis, dan tanpa adanya kemampuan likuiditas dipastikan perbankan akan lenyap. Dengan demikian tidak tepat pula mendasarkan praktik intermediasi keuangan perbankan ada pada diri seorang Shahabat Zubair bin Awwam ra.

Cek yang merupakan produk keuangan yang identik dengan perbankan juga dianggap telah ada pada masa Umar bin Khattab. Dikisahkan bahwa Umar menggunakan cek untuk membayar tunjangan pada mereka yang berhak, sehingga mereka dapat mengambil jatah gandum di Baitul Maal (kantor kas negara) yang diimpor dari Mesir.[ Ibid.] Bila dilihat yang demikian itu rasanya kurang tepat bila alat bayar tersebut disebut dengan sebutan cek, sebab cek sebenarnya adalah surat perintah bayar pada bank kepada pemegang cek yang dananya diambil dari rekening pribadi seperti giro. Sehingga tidak tepat bila apa yang digunakan Umar pada kasus diatas disebut cek. Adapun istilah yang lebih tepat untuk menyebut alat bayar yang digunakan Umar tersebut tidak lain adalah dengan sebutan Kupon. Sebab Umar saat itu adalah Kepala negara yang sedang mengurusi umatnya, bahwa Umar saat itu sedang membagikan harta pada rakyatnya. Oleh karena tidak mudah membagikan dengan fisik harta secara langsung, maka Umar menggantinya dengan kupon yang bisa ditukar di kantor harta negara tersebut.

Adapun sejarah perbankan di dunia barat yang berbasis sistem operasional bunga (interest) yang kini menjadi sistem konvensional tampaknya belum lama ada, sebab sejarah mencatat perdebatan raja-raja Eropa terkait masalah bunga ini pada abad pertengahan menjelang renaissance. Bahwa praktik riba semakin merebak ketika Raja Henry VIII pada abad 16, tepatnya tahun 1546 membolehkan bunga. Namun setelah Raja Henry wafat dan kemudian digantikan oleh Raja Edward VI kebijakan tentang bunga ini berubah yang tadinya dibolehkan menjadi terlarang. Namun pelarangan praktik bunga inipun tidak berlangsung lama, sepeninggal Raja Edward VI yang kemudian digantikan Ratu Elizabet I praktik bunga kembali dibolehkan.[ Ibid. hal. 22]

Dari sedikit catatan sejarah tentang bunga di Eropa tersebut, walaupun didalamnya tidak terdapat catatan praktik intermediasi keuangan layaknya perbankan, sebenarnya yang ingin kami ungkapkan adalah alat utama penggerak intermediasi keuangan lembaga keuangannya. Bahwa bunga yang menjadi alat utama mesin penggerak intermediasi keuangan pada tahun tersebut masih hidup mati mengikuti hidup matinya pemerintah yang menaunginya. Artinya perbankan yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi keuangan berbasis bunga tentu saja belum ada pada tahun-tahun sebelum itu. 

Perbankan syariah modern adalah transformasi dari perbankan konvensional yang keberadaannya di Indonesia tercatat pada awal tahun 90-an, adapun di dunia sekitar dua puluh tahun sebelumnya. 

Sedikit catatan sejarah ini menunjukkan bahwa lembaga intermediasi keuangan seperti perbankan yang menjadi instrument keuangan bagi pemerintah dalam menjaga roda perekonomian tetap berjalan nyatanya tidak seumur dunia ini. Melainkan baru beberapa ratus tahun saja. Dengan demikian sejarah memang mengatakan bahwa perekonomian akan tetap berjalan dengan sangat baik walaupun tanpa bank sentral dan bank umum, baik lembaga keuangan tersebut beroperasi dengan sistem konvensional maupun sistem syariah sebagaimana kehidupan masyarakat sebelum kita. Lalu mengapa kita tidak mampu membayangkan keadaan ekonomi saat ini seandainya perbankan tidak ada? Oleh karena itu sebelumnya akan kami bahas dimana letak strategis perbankan dalam perekonomian.

Memahami Fungsi Keuangan Bank dan Non-Bank Modern
Lembaga Keuangan Bank
Bank sebagaimana yang diketahui adalah lembaga intermediasi keuangan, yaitu lembaga yang memiliki fungsi pokok menghimpun dana dan kemudian menyalurkannya. Lebih tegasnya adalah mengumpulkan dana dari pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dan kemudian memberikannya pada pihak-pihak yang membutuhkan dana tersebut, dengan kata lain bank adalah lembaga yang membuat uang dapat berputar, dan membuat roda perekonomian terus berjalan.

Sehingga memang tidak dapat dibayangkan kemunduran ekonomi yang terjadi seandainya lembaga keuangan seperti perbankan tidak ada. Tentu hal pertama yang terjadi bila perbankan tidak ada adalah kelangkaan uang beredar, sebab pemilik dana akan menyimpan uangnya di tempat-tempat pribadi mereka, di rumah-rumah mereka, di brankas-brankas pribadi mereka, dan di tempat-tempat lain yang tidak mudah diakses orang lain. Keadaan seperti itu akan membuat pihak perusahaan yang membutuhkan modal untuk menjalankan usaha tidak dapat beroperasi. Sebab perusahaan yang memutuhkan dana akan mengalami kesulitan berat dalam mendapatkan dana tersebut. Kelanjutan bencana ekonomi berikutnya tentu dapat ditebak, pekerja kehilangan pekerjaannya. Oleh sebab itu keberadaan perbankan sampai pada pembahasan ini tidak dapat disangkakan lagi urgensitasnya.

Lalu dengan apa perbankan mampu membuat pemilik dana bersedia menempatkan dana mereka di perbankan?, padahal bagi pemilik dana, tentu lebih disukai oleh mereka bila dana tersebut berada dibawah pengawasan mereka langsung, dan bukan dititipkan pada pihak lain yang penuh dengan resiko dan akan hilangnya kesempatan pemanfaatannya oleh mereka.

Oleh karena itu setidaknya ada dua cara yang dipakai bank untuk membuat pemilik dana bersedia menaruh dananya di bank sehingga perusahaan dan pihak-pihak yang membutuhkan dana tidak kesulitan dalam mencari posisi keberadaan dana yang mereka butuhkan itu, yaitu:

PERTAMA: Memberikan imbalan, bahwa seandainya pemilik dana bersedia menaruh dananya di bank, maka bank akan memberikan kompensasi berupa sejumlah tambahan dana dari dana yang disimpannya tersebut. Tambahan dana itu dalam perbankan konvensional disebut dengan bunga. Sedangkan dalam perbankan syariah menggunakan bagi hasil, dan bagi hasil memiliki sifat yang berbeda dengan bunga.
Adapun bunga adalah kompensasi yang diberikan bank konvensional kepada pemilik dana dengan menggunakan persentase tertentu yang dikalikan dengan jumlah dana yang disetorkan nasabah pada bank.
Sedangkan bagi hasil adalah kompensasi yang diberikan bank syariah kepada pemilik dana dengan menggunakan persentase tertentu yang dikalikan dengan jumlah keuntungan yang didapat bank syariah untuk suatu periode tertentu.

KEDUA: Memberikan jaminan, bahwa seandainya pemilik dana bersedia menaruh dananya di bank, maka bank menjamin dana tersebut tidak akan hilang, pasti akan dikembalikan pokok simpanannya beserta imbalannya, dan pemilik dana tidak akan dirugikan sedikitpun. 

Perkara yang paling urgen yang menjadi alat perbankan untuk mengumpulkan dana dari kedua hal diatas adalah jaminan. Tidak ada gunanya iming-iming janji imbalan (bunga) akan diberikan pada para pemilik dana jika ada sebuah fakta yang terungkap bahwa sebuah perbankan gagal mengembalikan dana pokok simpanan milik nasabah. Hal demikian akan membuat pemilik dana yang lain akan enggan menaruh dananya di perbankan. Sehingga walaupun iming-iming janji imbalannya dapat terhitung besar seperti hingga 20% misalnya, pun niscaya tidak akan mampu membuat pemilik dana bersedia menaruh dananya di bank bila tidak ada jaminan kemanan.

Problem Bail-Out Bank Century yang terjadi beberapa waktu lalu yang disebabkan bank tersebut tidak mampu mengembalikan dana masyarakat, memberikan pada kita gambaran yang jelas akan besarnya arti dan pengaruh dari sebuah jaminan keamanan simpanan nasabah, betapa setelah kasus itu terpublis media hingga diketahui seluruh rakyat Indonesia dari Sabang hingga Merauke membuat seluruh perbankan nasional beramai-ramai menyampaikan pesan dalam bentuk tulisan yang dipasang di depan kantornya, bahwa mereka adalah bank yang menjadi peserta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dan itu dilakukan baik oleh bank konvensional maupun bank yang justru berbasis bagi hasil.

Dengan demikian intermediasi keuangan perbankan akan kehilangan fungsinya jika tidak didukung oleh sebuah jaminan yang diberikan LPS, dan LPS tidak akan mampu merealisasikan jaminannya tanpa uang dari pemerintah yang dicetak oleh sang pengendali moneter Bank Indonesia (BI). Sehingga jelas bahwa BI dalam mencetak uang bukan hanya untuk mengganti uang lama yang lusuh menjadi baru, melainkan juga dicetak untuk mendanai sektor-sektor penggerak perekonomian.

Sektor-sektor penggerak ekonomi selain yang dijelaskan diatas yaitu untuk membiayai LPS, juga untuk membayar bunga pada bank umum, sebab bila BI merasakan peredaran uang di masyarakat terlalu banyak hingga mengakibatkan inflasi maka BI akan menaikkan suku bunga agar bank umum lebih cenderung mengalokasikan dananya pada BI daripada disalurkan ke masyarakat. Sehingga uang yang beredar di masyarakat menjadi turun.

Namun dari semua sektor penggerak ekonomi tersebut semuanya tetap juga berujung pada bertambahnya jumlah uang beredar. Sebagaimana yang diketahui bahwa bila uang beredar bertambah maka akan mengakibatkan turunnya nilai uang itu sendiri, dan inilah yang disebut dengan inflasi. Artinya inflasi bukanlah peristiwa naiknya harga barang, melainkan turunnya nilai uang.

Bersambung ke jilid 2

Tidak ada komentar: