Jumat, 02 September 2022

PRAKTEK EKONOMI ISLAM OLEH UMAR BIN KHATTAB SEBAGAI KEPALA NEGARA

 Oleh: Muhammad BAiquni Syihab

 

A.     Tentang Umar Bin Khattab ra.

Beliau adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdil Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Kaab bin Luay.[1][1] Nasab Kaab bin Luay inilah yang mempertemukan beliau dengan nasab Rasulullah saw.

Umar bin Khatab masuk Islam pada usia 26 tahun, 3 hari setelah keislaman  Hamzah bin Abdul Muthalib, yaitu pada tahun ke-3 kenabian Muhammad saw. Pasca keislaman Umar dan Hamzah, metode dakwah Nabi saw berubah, dari yang tadinya dilakukan secara sembunyi-sembunyi menjadi dilakukan secara terang-terangan diserukan kepada seluruh masyarakat Mekah. 

 

Ini juga dilakukan pasca turunnya wahyu perintah Allah swt dalam QS: Al Hijr 94-96 yang artinya: “maka sampaikanlah olehmu apa yang telah diperintahkan  dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sesungguhnya kami telah membalaskan bagimu kepada orang-orang yang suka memperolok-olok.” Dengan turunnya perintah Allah swt ini maka Rasulullah saw keluar bersama orang-orang Islam secara kelompok dengan barisan yang rapih menuju Ka’bah, mirip dengan aksi long march sekarang ini. Yaitu dengan 2 kelompok baris-berbaris, kelompok pertama dipimpin Hamzah bin Abdul Muthalib dan kelompok kedua dipimpin Umar bin Khatab.[2][2]

Setelah dakwah tidak berhasil dilakukan di Mekah, maka Rasulullah saw bersama kaum muslimin hijrah ke Madinah, disanalah beliau saw menduduki jabatan Nabi juga berperan sebagai kepala negara Islam. Sebab beliau menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan dan hubungan-hubungan internasional. Pasca Nabi saw, jabatan kepala negara diperankan oleh Abu Bakar selama kurang lebih 2 tahun, kemudian digantikan oleh Umar bin Khatab selama 10 tahun lamanya, dimulai pada bulan Jumadil Akhir tahun 13 Hijriah hingga syahidnya Umar pada tahun 23 Hijriah sepulangnya beliau dari ibadah haji.[3][3]

 

 

B.     Urgensitas Periode Umar bin Khattab ra.

Satu-satunya sumber informasi bahwa Allah swt adalah tuhan pencipta alam yang juga memberi perintah dan larangan kepada makhlukNya adalah al-Qur’an, benar-benar ucapan yang berasal dari tuhan karena al-Qur’an sendiri menantang bagi siapa saja yang menuduh al-Qur’an bukan berasal dari tuhan (atau berasal dari Muhammad saw) untuk membuat satu surat saja guna membenarkan dan atau menghilangkan keraguan manusia tersebut.

“Katakanlah: maka cobalah datangkan sebuah surat semisalnya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil untuk membuatnya selain Allah, jika kamu orang yang benar” (QS. Yunus: 38)

Kemudian dari al-Qur’an ini manusia mengetahui bahwa ada wahyu Allah selain dari al-Qur’an:

“Dan tidaklah setiap yang dikatakannya (Rasulullah) berasal dari hawa nafsunya, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya” (QS. An Najm: 4)

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al Ahzab: 21)

Terkait perintah dan larangan dari Rasulullah:

“Apa yang diberikan kepadamu oleh Rasulullah maka terimalah, dan apa yang dilarang kepadamu dari Rasulullah maka tinggalkanlah (QS. Al Hasyr: 7)

Kemudian al-Qur’an juga Rasulullah saw mengisaratkan legalitasnya akan perbuatan sebuah kelompok manusia, sehingga sikap dari sekelompok manusia tersebut (pasca rasulullah saw wafat) bisa menjadi salah satu sumber hukum Allah swt (hokum Islam) bagi manusia lain setelahnya.

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga” (QS. At Taubah: 100)

“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka” (HR. Bukhori)

Dengan demikian sebagaimana dikutib oleh Hafidz Abdurrahman dari kitab ar Risalah karya Imam asy Syafi’i bahwa kesepakatan (ijma) atas sebuah hukum yang dilakukan oleh orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu yang senantiasa bergaul dengan baik bersama Rasulullah (shahabat nabi) adalah riwayat yang tidak teriwayatkan, artinya ijma shahabat adalah ijma yang dijelaskan oleh dalil yang tidak teriwayatkan.[4][4] Sehingga ijma shahabat Nabi adalah wahyu Allah selain dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah.

Contoh, berijma’nya mereka untuk mendahulukan mengurus pengganti Rasulullah saw sebagai kepala negara, daripada mengurus penguburan jenazah rasulullah saw selama kurun waktu 3 hari. Adalah salah satu bentuk bahwa ada wahyu Allah yang berasal dari Nabi saw yang telah difahami bersama oleh orang-orang tersebut (shahabat Nabi saw), namun wahyu Allah (hadits Nabi) tersebut tidak teriwayatkan oleh sebab telah mashurnya dikalangan mereka. Sebab sebuah hadits dapat teriwayatkan hingga kodifikasi, semata karena hadits tersebut tidak mashur hingga harus disampaikan dari satu orang ke orang lainnya.

Adapun Qiyas (analogi) pada dasarnya bukanlah sumber hukum, melainkan cara atau metode untuk mengambil hukum dari sumber-sumber hukum Islam (metode ijtihad). Namun karena ini dilegalkan oleh pembawa wahyu maka para ulama memasukkannya sebagai sumber hukum Islam yang keempat setelah al-Qur’an, Hadits dan Ijma Shahabat. Artinya tidak diakui hukum yang lahir dari qiyas (ijtihad) jika 3 sumber hukum Islam sebelumnya telah menetapkan sebuah hukum.

Hasil ijtihad seorang mujtahid bisa saja berbeda dengan hasil ijtihad mujtahid lainnya, sedangkan manusia bebas memilih mengikuti hasil ijtihad mujtahid tertentu. Dengan demikian terbentuklah mazhab-mazhab fiqih yang biasa kita kenal selama ini. Dan sebuah sunatullah jika antara kaum muslimin memiliki perbedaan fiqih, sehingga mustahil memaksakan kepada mereka untuk memiliki satu pandangan fiqih (ijtihad) saja.

Namun demikian hasil ijtihad seorang faqih dapat menjadi hukum publik yang harus ditaati oleh segenap kaum muslimin jika hukum tersebut ditetapkan oleh ulil amri minkum sebagai hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, walaupun hasil ijtihad tersebut mungkin berbeda dengan hasil ijtihad faqih lainnya. Sesuai kaidah: amrul imam yarfa’ul khilaf (keputusan imam menghilangkan perbedaan pendapat hukum)

Contoh, saat Umar bin Khatab menjadi Khalifah, beliau menetapkan hukum pembagian harta negara kepada rakyat dengan komposisi berbeda diantara mereka. Sedangkan saat jabatan kepala negara dipimpin oleh Abu Bakar Shiddiq, pembagian harta dengan komposisi yang sama rata diantara rakyat.[5][5] Namun demikian rakyat menjadi tunduk patuh dengan hukum pembagian harta setelah amirul mukminin menetapkannya berbeda satu sama lain.

Dengan demikian dalam periode Umar bin Khattab memimpin kaum muslimin selama kurang lebih 10 tahun tersebut, terdapat 2 (dua) kemungkinan ruang atau status sumber kebijakan dan aturan yang berlaku saat itu. Pertama, bahwa aturan dan kebijakan tersebut berasal langsung dari sumber hukum Islam (al-Qur’an, hadits Nabi saw dan Ijma shahabat) dimana didalamnya tidak terdapat khilafiah, atau kedua, bahwa aturan dan kebijakan tersebut berasal dari pandangan beliau (Umar) sebagai kepala negara Khilafah Rasyidah dan juga hasil ijtihad beliau yang disimpulkan dari sumber hukum Islam dengan fakta empiris.

Pada aturan dalam kategori pertama diatas, dapat dipastikan bahwa aturan tersebut juga menjadi aturan yang berlaku dalam pemerintahan Khilafah Rasyidah setelahnya (Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib), sebab era khilafah rasyidah adalah era hidupnya shahabat Nabi saw. Dan era shahabat Nabi saw adalah era dimana bila terdapat pelanggaran hukum Islam oleh penguasa maka orang-orang yang tergolong sebagai shahabat Nabi saw akan melakukan koreksi, sebab para shahabat Nabi saw adalah orang –orang yang lurus yang telah dipuji baik didalam al Qur’an dan hadits Nabi saw.

Adapun aturan yang masuk dalam kategori kedua, maka aturan tersebut mungkin diterapkan oleh penguasa khilafah rasyidah setelahnya mungkin juga tidak. Sebab aturan tersebut adalah aturan yang memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat (khilafiah) diantara manusia.

 

C.      Kebijakan dan Praktek Ekonomi Umar bin Khattab

1.     Masalah Zakat dan Jizyah

Zakat secara syar’i adalah sejumlah (nilai/ukuran) tertentu yang wajib dikeluarkan dari harta (yang jenisnya) tertentu juga.[6][6] Dengan demikian berdasar pada al-Quran dan hadits Nabi saw, zakat adalah harta yang wajib dibayar kaum muslimin kepada Negara untuk didistribusikan pada orang-orang yang masuk dalam 8 kategori yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 60. Namun demikian zakat tetap wajib dibayarkan (dikeluarkan) dari harta pribadi walaupun 8 kategori orang yang berhak menerima zakat tersebut tidak ada.[7][7]

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa zakat adalah kegiatan ekonomi Islam yang diterapkan oleh Rasulullah saw dan semua penguasa Khilafah Rasyidah. Bahwa ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah, beliau mengirim utusan untuk mencari catatan milik Rasulullah saw dan juga catatan milik Umar yang membahas tentang permasalahan zakat.. catatan Rasulullah saw berhasil ditemukan dari keluarga Amr bin Hazm, sedangkan kitab milik Umar berhasil ditemukan dari keluarga Umar sendiri. Bahwa kedua riwayat tersebut menunjukkan bahwa Umar mengikuti jejak Rasulullah saw dalam hal pengambilan zakat.[8][8]

Bahwa zakat maal yang dibayarkan hanya dari hewan ternak (Unta, Sapi, Kambing), barang tani (Anggur, Kurma, Juwawut, Gandum), barang dagangan, dan emas dan perak, selain yang disebutkan maka tidak ada kewajiban atasnya zakat.[9][9]

Adapun zakat madu dan kuda, yang pernah dituduhkan bahwa Umar bin Khattab mengambil zakat atas barang-barang tersebut maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan sebagai zakat. Sebab kedua barang tersebut tidak memiliki kriteria yang sama saat Umar memungut zakat dari kaum muslimin atas barang-barang zakat lainnya yang telah disebutkan kewajibannya.

Bahwa pegawai Umar dari daerah Thaif pernah berkirim surat kepada Khalifah, “bahwasanya para pemilik madu tidak memberikan hasil madunya kepada kami sebagaimana yang mereka lakukan pada mas Rasulullah saw”, Umar menjawab “jika ia melakukan kepadamu sebagaimana yang mereka lakukan pada mas Rasulullah saw (memberikan 1/10 dari hasil madu), maka berilah ia penjagaan, dan jika ia tidak melakukannya, anggaplah sarang madunya sebagai lebah hujan, yang boleh dimakan atau diambil oleh siapa saja.” Dengan demikian konsekuensi penjagaan atas 1/10 yang dibayarkan atas madu adalah konsekuensi yang tidak terdapat pada zakat lainnya. Dengan begitu kita memahami bahwa madu pada dasarnya bukan barang zakat.

Adapun terkait pendistribusian zakat kepada 8 ashnaf, ada praktek Umar yang berbeda dengan para pendahulunya. Ketika pendistribusian dilakukan kepada muallaftu qulubuhum, umar tidak memberikan harta zakat kepada orang-orang yang biasa menerimanya sejak masa Rasulullah dan masa Abu Bakar. Dan ketika mereka menyampaikan prihal ini kepada Umar dengan mengatakan: “bagaimana kamu tidak memberikan hak yang telah ditetapkan al-Qur’an, padahal Nabi dan Khalifah pertama telah memberikannya kepada kami?”, mendengar ini Umar menjawab, “hal itu mereka berikan ketika Islam saat itu masih lemah. Dan sekarang Islam telah kuat, sehingga tidak membutuhkan lagi belas kasih (dukungan) dari kalian”.

Jadi dari apa yang dikatakan Umar terkait dengan muallafatu qulubuhum, Umar memahami bahwa hal tersebut terkait dengan masalah pembujukan orang yang baru masuk Islam. Namun jika telah hilang alasan hukumnya maka hilang pula hak orang-orang tersebut dari harta zakat, tidak sebagaimana pemahaman umum sekarang ini yang mengartikan muallafatu qulubuhum dengan orang yang masuk Islam dalam kondisi ia telah dewasa.

Adapun Jizyah, adalah hak yang Allah berikan kepada kaum muslimin dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam.[10][10] Rasulullah memungut jizyah dari orang Yahudi Yaman dan Nasrani Najran, Khalifah Abu Bakar telah memungut Jizyah dari Nasrani Hirrah dan merreka adalah orang Arab,  Umar pun demikian memungut jizyah dari Nasrani Syam yang Arab dan non Arab, jizyah juga dipungut dari selain ahli kitab, yaitu Majusi, Hindu, Shabiah dan lain sebagainya.[11][11]

Dengan demikian Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar melakukan apa yang diperintahkan Allah dalam QS. At-Taubah: 29. Namun dalam jumlah pungutan, Umar memiliki aturan yang sedikit berbeda dengan pendahulunya dikarenakan semakin luasnya wilayah Negara yang ia pimpin.

Ketika rasulullah saw menutus Mua’adz ke Yaman, beliau perintahkan agar mengambil jizyah dari setiap orang yang sudah baligh dari ahlu dzimmah sebesar 1 dinar pertahun. Sedangkan Umar bin Khatab memungut jizyah dari penduduk Syam dan Mesir yang kaya sebesar 4 dinar pertahun, yang ekonomi menengah sebesar 2 dinar, dan dari kalangan miskin berpenghasilan sebesar 1 dinar pertahun. Adapun terhadap penduduk Irak, Umar menetapkan besaran jizyah 48 dirham bagi orang kaya, 24 dirham bagi kalangan menengah, dan 12 dirham bagi orang miskin berpenghasilan.[12][12]

 

2.     Perdagangan Internasional

Umar ra. menentukan pedagang yang diambil ushur (10%) atasnya, dimana Ziyad bin Hudhair meriwayatkan, “bahwa Umar bin Khattab mengutusnya dalam masalah ushur ke Irak dan Syam, dan memerintahkannya memungut 2,5% dari kaum muslim, 5% dari kafir dzimmi, dan 10% dari kafir harbi.[13][13]

Namun demikian 2,5% dari kaum muslim tersebut bukanlah ushur, melainkan zakat perdagangan yang besarnya 2,5%, ini sebagaimana diriwayatkan Amru bin Dinar, “Muslim bin Hisbah memberitahuku, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar sebagai berikut: apakah engkau mengetahui bahwa Umar memungut ushur dari kaum muslimin? Dia menjawab: tidak, aku tidak mengetahuinya.”

Adapun kafir dzimmi adalah orang non muslim yang menjadi warga Negara khilafah, sedangkan kafir harbi adalah orang non muslim yang tidak menjadi warga negara khilafah dan negaranya tersebut sedang dalam hubungan perang dengan khilafah.

Terkait 5% yang dipungut Umar atas kafir dzimmi tersebut pada dasarnya juga bukan ushur, melainkan hanya karena syarat yang telah disepakati dalam perjanjian damai antara mereka dengan Umar sebagai Khalifah ketika menaklukkan Irak, Syam dan Mesir.[14][14]

Dengan demikian ushur adalah pungutan yang diambil dari perdagangan international (antar negara). Khususnya pungutan tersebut diambil dari pedagang luar negeri (eksportir asing) ketika memasukkan barang dagangannya ke wilayah negara khilafah. Abu Musa al Asy’ari pernah menulis surat kepada Umar: “sesungguhnya perdagangan kaum sebelum kita, yang mendatangi negara (kafir) harbi dipungut ushur oleh mereka. Lalu Umar menulis surat balasan: pungutlah oleh mereka, sebagaimana mereka memungut dari para pedagang muslim.” Penduduk Mambij (Syiria) juga pernah menulis surat kepada Umar sebagai berikut: biarkan kami memasuki negerimu untuk berdagang, engkau bisa memungut ushur dari kami.[15][15]

Uraian diatas menjelaskan bahwa Umar menerapkan salah satu hukum perdagangan sesuai dengan perintah dan larangan rasulullah saw: laa yadkhulul jannah shaahibul maksi (tidak akan masuk surge orang yang memungut bea cukai). Bea cukai adalah harta yang dipungut dari barang dagangan yang melewati perbatasan negara. Artinya Umar tidak memungut bea cukai dari perdagangan internasional kecuali sekedar balasan atas yang negara lain lakukan terhadap pedagang dari warga negara Khilafah.

 

3.     Hukum Pertanahan

Peraturan terkait kepemilikan tanah di era Umar bin Khattab sebagaimana juga para praktek para pendahulunya, yaitu hanya memberikan dua pilihan kepada para pemilik tanah, segera tanahnya dikelola oleh dirinya sendiri, atau ia berikan tanah tersebut kepada orang lain bila ia tidak sanggup mengelolanya. Dan apabila tanah tersebut tidak dikelola oleh pemiliknya dan tidak diberikannya pada orang lain, maka negara memberikan jangka waktu tiga tahun berturut-turut kepada pemilik tanah tersebut. Apabila lebih dari tiga tahun berturut-turut tanah tersebut tidak ia kelola dan dibiarkan mati, maka dengan paksa negara akan mengambil alih hak kepemilikannya untuk kemudian diberikan pada orang lain.

Rasulullah saw bersabda: “Sebelumnya tanah itu milik Allah dan RasulNya, kemudian setelah itu milik kalian. Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka ia menjadi miliknya. Dan tidak ada hak bagi yang memagari setelah menelantarkan tanahnya selama tiga tahun (HR. Baihaqi).[16][16]

Sebagaimana Hadits yang pernah dipraktekkan Umar bin Khattab: “Barang siapa menelantarkan tanah selama tiga tahun berturut-turut dan ia tidak mengelolanya, maka apabila datang orang lain dan ia mengelolanya, maka tanah tersebut menjadi miliknya”. Abu Ubaid telah mengeluarkan sebuah riwayat di dalam kitab al-Amwal dari Bilal Harits al Muzni: “bahwa rasulullah saw telah memberikan lembah secara keseluruhan.” Dia berkata: maka pada masa Umar , dia berkata kepada Bilal: “bahwa Rasulullah saw tidak memberikan lembah itu kepadamu untuk kamu pagari agar orang-orang tidak dapat mengambilnya, akan tetapi beliau memberikan kepadamu agar kamu menggarapnya. Maka, ambillah dari tanah tersebut yang mampu kamu kelola, dan yang lain (yang tidak bisa kamu kelola), kamu harus mengembalikannya.”[17][17]

Hikmah dari penerapan hokum pertanahan diatas adalah, manusia akan terdorong untuk membuat semua tanah yang ada di muka bumi ini produktif (menghasilkan bahan pangan dan lain sebagainya). Sebab bila tidak ia terancam akan kehilangan hak kepemilikan atas tanahnya jika tanahnya ditelantarkan selama lebih dari 3 tahun berturut-turut. Dengan demikian produksi bahan pangan pun akan melimpah, dengan begitu akan membuat harganya murah dan dapat terjangkau oleh semua kalangan. Tidak sebagaimana teori sewa tanah David Ricardo, yang mengancam tanah akan mati terbengkalai dan tidak produktif, sebab tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya akan tetap menjadi pemiliknya, dan tidak dapat diganggu gugat, walaupun tanah tersebut diterlantarkan selama berpuluh-puluh tahun lamanya.

Artinya, tanah tersebut menjadi tidak produktif selama berpuluh-puluh tahun. alhasil produksi bahan pangan pun terbatas, sebab tanah yang menghasilkan  produksi bahan pangan juga terbatas. Akibatnya harga bahan pangan tidak akan semurah apabila produksi bahan pangan tersebut melimpah ruah. Sebab kebanyakan tanah-tanah tersebut terbengkalai tidak menghasilkan apapun, dan hanya sedikit dari tanah-tanah tersebut yang produktif.

 

4.     Pembentukan dan Penyusunan Baitul Maal

Baitul Maal merupakan institusi khusus yang menangani harta yang diterima Negara dan mengalokasikan bagi kaum muslim yang berhak menerimanya. Jadi baitul maal adalah tempat penampungan dan pengeluaran harta, yang merupakan bagian dari pendapatan Negara.[18][18]

Umar dianggap sebagai orang pertama yang menjadikan baitul maal teratur. Diriwayatkan dari Qatadah, bahwa dia berkata, “harta terakhir yang diberikan kepada Nabi saw adalah 800.000 dirham dari Bahrain, tidaklah Nabi berdiri dari tempat duduknya, sampai Nabi menghapusnya, dan tidaklah Nabi mempunyai baitul maal, tidak pula Abu Bakar. Dan orang pertama yang membuatnya adalah Umar bin Khattab ra.[19][19]

Sehari dalam setiap tahunnya, Umar selalu menyempatkan diri untuk mengecek baitul maal dan mengambil kasnya untuk selanjutnya dibagikan kepada masyarakat, sehingga tidak satu dirham pun tersisa di baitul maal. Dia berkata, “satu tahun ada 360 hari, dalam setiap tahunnya Umar harus menyisakan waktu sehari untuk mengecek dan membersihkan baitul maal. Dan karena merasa bersalah kepada Allah, maka saya (Umar) tidak menyisakannya apapun.[20][20]

Adapun perkara baru dalam baitul maal dimana Umar sebagai pencetusnya adalah Diwan. Diwan sebagaimana dikatakan al-Mawardi adalah daftar dan catatan rekapitulasi, daftar pekerjaan dan proyek Negara, daftar kekayaan negara, siapa-siapa yang bertanggungjawab terhadap keduanya, dan daftar tentara dan para pegawai negara.[21][21]

Dan daftar pemasukan dan pengeluaran negara dalam negara khilafah adalah sebagai berikut:[22][22]

Pemasukan Negara:

a.       Bagian Fai dan Kharaj, terdiri dari seksi ghanimah, fai dan khumus, seksi kharaj, seksi status tanah, tanah Negara, tanah milik umum, daftar tanah kharaj, daftar tanah usyuriah, seksi jizyah dan seksi pajak.

b.      Bagian Pemilikan Umum, terdiri dari seksi minyak dan gas, seksi listrik, seksi pertambangan, seksi laut, sungai, perairan dan mata air, seksi hutan dan padang rumput, seksi tempat khusus

c.       Bagian Shodaqoh, terdiri dari seksi zakat uang dan perdagangan, seksi zakat pertanian dan buah-buahan, seksi zakat unta, sapid an kambing.

Pengeluaran Negara:

a.       Seksi daarul khilafah, yang terdiri dari kantor khilafah, kantor penasehat, kantor muawin tafwidl dan tanfidz.

b.      Seksi mashalih daulah, yang terdiri dari biro amiruljihad, biro para wali (gubernur), biro pada qadli, biro fasilitas umum

c.       Seksi Santunan

d.      Seksi jihad, meliputi biro pasukan, biro persenjataan dan biro industry militer.

e.       Seksi penyimpanan harta zakat

f.        Seksi penyimpanan harta pemilikan umum

g.       Seksi urusan darurat dan bencana alam

h.      Seksi anggaran belanja Negara

 

5.     Krisis Ekonomi

Pada akhir tahun ke 18 H, tepatnya pada bulan Dzulhijjah, terjadi musibah paceklik berlangsung selama 9 bulan, disebut juga tahun ramadah. Dengan segera Umar membagi-bagikan makanan dan uang dari baitul maal hingga gudang makanan dan baitul maal kosong.

Umar selanjutnya mengirim surat kepada Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu di Bashrah yang isinya: “Bantulah umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Mereka hampir binasa.” Setelah itu ia juga mengirim surat yang sama kepada ‘Amru bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan ‘Amru Radhiyallahu ‘anhu dibawa melalui laut hingga sampai ke Jedah, kemudian dari sana baru di bawa ke Mekah.[23][23]

Adapun dalam masalah kesulitan ekonomi hingga anggota masyarakatnya ada yang melakukan tindak pidana berupa pencurian, maka Umar menerapkan hukum Islam sesuai dengan fakta empiris yang terjadi.

Diriwayatkan oleh as-Sarkhasi, bahwasanya pada tahun itu didatangkan kepada Umar, dua orang pencuri dengan tangan terikat dan bersamanya dan bersamanya sepotong daging. Pemilik daging itu lalu berkata, “saya memiliki onta yang sedang bunting, yang saya menunggunya sebagaimana musim rumput menunggu onta itu. Namun kedua ini telah mengambilnya.” Mendengar itu Umar kemudian berkata, “maukah kamu merelakan ontamu yang bunting itu, karena aku tidak memotong tangan pencuri, yang mencuri kurma ketika masih dalam tandannya dan pada tahun (paceklik) ini?”.[24][24]

Juga diriwayatkan dari Ibnul Qayyim, bahwa Umar pernah mendatangi seorang wanita yang sebelumnya kehausan dan melewati seorang penggembala. Wanita itu kemudian meminta air kepada penggembala. Penggembala itu menolaknya kecuali jika ia mau menyerahkan kegadisannya. Kemudian terjadilah hubungan intim diantara keduanya. Kemudian Ali bin Abi Thalib menjelaskan, “bahwa wanita ini masuk dalam kategori terpaksa, menurut saya sebaiknya ia dibebaskan, karena barang siapa terpaksa dan tidak ada maksud melanggar dan melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” Kemudian Umar membebaskannya.[25][25]

Dengan demikian Umar tidak lebih dari sekedar menerapkan hukum Islam sebagaimana yang diwahyukan Allah kepada Nabi saw. Sebab hukuman potong tangan bagi pencuri dan jilid bagi penzina memiliki kriteria-kriteria untuk kemudian dapat diterapkan bagi pelaku-pelakunya.[26][26]

 

6.     Pelarangan Praktek Riba

Dalam negara yang pernah dipimpin oleh Nabi saw dan kemudian diteruskan oleh khulafa ar-Rasyidin, agama dari warga Negara khilafah banyak dan bermacam-macam. Bukan hanya Islam, melainkan juga Yahudi, Nasrani, Hindu, Majusi, Zoroaster dan lain sebagainya, adalah agama-agama yang pernah disebut dipeluk oleh ahlu zimmah, sehingga mereka membayar jizyah kepada negara. Dan dengan membayar jizyah maka darah, harta dan kehormatan mereka sama sebagaimana darah, harta dan kehormatan kaum muslim yang haram untuk dilanggar.

Non muslim dalam negara khilafah bebas menjalankan ibadah agamanya, namun demikian hukum publik yang berlaku adalah hukum Islam. Salah satunya adalah hukum publik terkait ekonomi, bahwa muamalah dengan cara ribawi adalah transaksi ekonomi yang dilarang untuk diterapkan, baik bagi yang muslim maupun selain muslim. Selama mereka tinggal di wilayah NKRI (Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah) dan masih membayar jizyah, maka mereka wajib tunduk dengan hukum-hukum publik yang diadopsi khalifah dari sumber-sumber hukum Islam.

Diceritakan dalam kitab al-Amwal karya Syekh Abu Ubaid al Qasim bin Salam al Harawi bahwa Umar telah mengusir Yahudi Fidak, Yahudi Khaibar, dan Nasrani Najran keluar dari Jazirah Arab karena mereka telah melanggar untuk tidak melakukan transaksi ekonomi ribawi. Mereka diusir Umar dari wilayah tersebut dengan memperlakukaan mereka secara baik. Namun demikian bukan berarti ketika mereka telah berada diluar jazirah Arab, kemudian mereka boleh bertransaksi ekonomi secar ribawi, sebab wilayah kekuasaan khilafah di zaman Umar telah meluas hingga Syam (utara madinah), mesir (Barat Madinah) dan Persia (timur Madinah).[27][27]

Pengusiran tersebut karena merealisasikan keinginan Rasulullah saw sebelum beliau wafat: “aku akan benar-benar mengeluarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani dari jaizrah Arab, sehingga di jazirah Arab tidak tertinggal lagi kecuali orang-orang muslim.” (HR. Ahmad)

Keinginan Rasulullah saw tersebut tidak sempat terealisasi di era Nabi saw dan Abu Bakar, dan baru terealisasi di era Umar ketika beliau mendapatkan momennya, yaitu pelanggaran mereka untuk tidak melakukan transaksi ekonomi secara ribawi.

 

D.     Kesimpulan

Umar adalah shahabat Nabi saw yang utama setelah Abu Bakar ra., beliau mendapat julukan al Faruq yang diberikan Nabi saw kepadanya. Beliau juga satu dari sepuluh orang yang disebutkan Nabi saw mendapat jaminan surga. Beliau juga hidup disaat para shahabat Nabi saw lainnya masih hidup. Dengan demikian era beliau adalah era berlangsungnya sumber hukum Islam masih ada, yaitu ijma shahabat Nabi saw. Kekeliruan dari kebijakan beliau akan dikoreksi dan diluruskan oleh shahabat-shahabat Nabi saw lainnya, dan ketepatannya dalam menetapkan kebijakan, akan menjadi sandaran bagi kaum muslim yang dating setelahnya.

Dengan demikian ekonomi Islam zaman Umar ra.bin Khattab sebenarnya adalah praktek Umar ra. yang hanya menerapkan hukum Islam dalam bidang ekonomi.

 

E.      Daftar Pustaka

Jaribah bin Ahmad Al Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Khathab, Khalifa, Jakarta, 2006.

Imam as Suyuthi, Tarikh Khulafa Sejarah Penguasa Islam: Khulafaurrasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasyiah, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2005.

Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’i, Al-Azhar Press, Bogor, 2003.

Abdurrahman Al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2002

____________________, Politik Ekonomi Islam, al Izzah, Jawa Timur, 2001

Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2002

Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, al Izzah, Jawa Timur, 2001

Abu Ihsan al Atsari, Khalifah Umar radhiyallahu anhu menghadapi kesulitan rakyat, al manhaj.or.id

Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin Khatab, Khalifa, Jakarta, 2005.

Taqyuddin an Nabhani, Daulah Islam, HTI Pres, Jakarta, 2006.

 



 



[1][1] Jaribah bin Ahmad Al Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Khathab, Khalifa, Jakarta, 2006, hal. 17

[2][2] Taqyuddin an Nabhani, Daulah Islam, HTI Pres, Jakarta, 2006, hal. 20-21.

[3][3] Imam as Suyuthi, Tarikh Khulafa Sejarah Penguasa Islam: Khulafaurrasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasyiah, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2005, hal. 150-152

[4][4] Drs. Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’i, Al-Azhar Press, Bogor, 2003, hal. 91

[5][5] Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin Khatab, Khalifa, Jakarta, 2005, hal. 407

[6][6] Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2002, hal. 149.

[7][7] Ibid., hal. 152

[8][8] Muhammad Baltaji, ibid., hal. 241

[9][9] Abdul Qadim Zallum, ibid

[10][10] Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2002, hal. 57

[11][11] Ibid., hal. 58

[12][12] Ibid., hal. 63

[13][13] Jaribah bin Ahmad al Haritsi, ibid., 570

[14][14] Abdul Qadim Zallum, ibid., hal. 110

[15][15] Ibid., 111

[16][16] Abdurrahman Al Maliki, Politik Ekonomi Islam, Al Izzah, Jawa Timur, 2001, hal. 61 dikutip dari al- Umm, III/266 karya Imam asy-Syafi’i

[17][17] Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, al Izzah, Jawa Timur, 2001, hal. 62

[18][18] Abdul Qadim Zallum, ibid., hal 2

[19][19] Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, ibid., hal. 643.

[20][20] Muhammad Baltaji, ibid., 411

[21][21] Ibid., hal. 403

[22][22] Abdul Qadim Zallum, ibid., 13-19

[23][23] Abu Ihsan al Atsari, Khalifah Umar radhiyallahu anhu menghadapi kesulitan rakyat, al manhaj.or.id, diakses 15 Oktober 2018. Juga diriwayatkan oleh Ibn Syabbah dalam Akhbarul-Madinah (2/743) dari jalan Al-Haitsam bin Adi, Dia juga meriwayatkan dari jalan Al-Walid bin Muslim ra. dia berkata:” Aku telah diberitahukan oleh Abdurahman bin Zaid bin Aslam ra. dari ayahnya dari kakeknya bahwa Umar ra. memerintahkan ‘Amr bin ‘Ash ra. untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah melalui laut Ailah pada tahun paceklik.

[24][24] Muhammad Baltaji, ibid., hal. 261

[25][25] Ibid., hal. 276

[26][26] Abdurrahman al Maliki, Sistem Dalam Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2002.

[27][27] Muhammad Baltaji, ibid., hal. 373

Tidak ada komentar: