Senin, 14 Juni 2021

ANALISIS PERBANDINGAN BIAYA HIDUP MUSLIM DAN NON MUSLIM DI DUA KEKUASAAN NEGARA BERBEDA (ISLAM DAN NATION STATE DEMOKRASI)

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab

 

A.   Pendahuluan

Perbedaan antara manusia dan hewan ada pada akalnya sedangkan unsur penopang kehidupannya tetap sama, dan itu terdiri dari dua unsur; yaitu kebutuhan jasmani (hajatun ‘udhowiyah) dan naluri (gharizah). Hajatun ‘udhowiyah ada pada manusia dan hewan, dan naluri pun demikian ada pada manusia dan hewan.[1] Namun akal fikiran hanya ada pada manusia, sedangkan hewan tidak memilikinya. Oleh sebab itu Aristoteles (384-322 SM) mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berfikir (hayawanun natiq).[2]

Kebutuhan jasmani (hajatun ‘udhowiyah) adalah potensi yang ada pada mahluk hidup yang membuat manusia dapat bertahan hidup dalam jangka pendek. dan naluri (gharizah) adalah potensi yang ada mahluk hidup yang membuat manusia dapat bertahan hidup dalam jangka panjang dan beregenerasi. Kebutuhan jasmani tersebut seperti makan karena rasa lapar, minum karena rasa haus, tidur karena rasa kantuk, buang air, dan lain sebagainya. Adapun penampakan dari naluri seperti rasa marah, rasa sayang, rasa takut, dan lain sebagainya yang bila diterjemahkan menurut An Nabhani, naluri tersebut terbentuk pada naluri mempertahankan diri (baqa’), naluri mengagungkan sesuatu (tadayun) dan naluri melestarikan jenis (nau’).[3]

Oleh karena akalnya ini maka kehidupan manusia membutuhkan seperangkat aturan hukum yang baik, yang sesuai fitrahnya sebagai manusia dan dapat memberikan keadilan bagi sesama. Sebab tanpa seperangkat aturan hukum maka proses pemenuhan kebutuhan hidup dan nalurinya pasti akan lebih buas dan lebih beringas melebihi singa atau srigala, dan itu semata karena akal yang ada pada manusia. Akal-lah yang membuat manusia bisa mengumpulkan makanan dan harta kekayaan yang tidak habis hanya untuk 7 keturunannya sendiri, akal juga yang membuat manusia bisa memutilasi manusia lainnya hanya karena dendam atas lisan manusia lainnya, juga karena akal manusia bisa berhubungan intim menyimpang dengan sesama jenis dan seterusnya. Hal demikian yang tidak pernah bisa dilakukan oleh hewan, karena mereka tidak memiliki akal.

Perkara diatas yang kemudian menjadi dasar urgensitas hingga terbentuknya sebuah negara, yang berkuasa yang menjadi pembuat hukum, penerap hukum, penegak hukum dan penengah jika terjadi konflik dan sengketa yang terjadi diantara manusia. Sebab dalam proses pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmaninya, manusia pasti berhubungan dan berbenturan kepentingan dengan manusia lainnya.

Pada fakta dan sejarah manusia, negara di dunia ini memiliki sistem yang berbeda-beda penyebutannya. Ada negara kerajaan, negara kesultanan, negara kekaisaran, negara demokrasi, negara keKhilafahan, negara republik dan beberapa sebutan lagi dalam referensi politik.[4] Namun menurut penulis, pada dasarnya jika sistem-sistem negara tersebut dibedakan dari sisi asal-muasal lahirnya seperangkat aturan hukum untuk mengatur rakyat, maka sistem negara sebenarnya hanya terdiri dari tiga (3) buah sistem. Yaitu negara dengan sistem pemerintahan kerajaan, negara dengan sistem pemerintahan demokrasi dan negara dengan sistem pemerintahan Khilafah.

Dan memang sebaiknya perbedaan sistem pemerintahan negara tidak dibedakan menurut cara memilih kepala negara baru untuk mengganti kepala negara sebelumnya. Sebab hal demikian akan mengaburkan esensi dari sebuah sistem pemerintahan, yang pada dasarnya ruh sebuah sistem negara adalah sistem aturan hukum.

Pertama, negara kerajaan adalah negara yang seperangkat aturan hukumnya lahir dan diciptakan oleh kepala Negara, sehingga yang juga masuk dalam kategori sistem ini adalah kekaisaran. Baik penggantian kepala negaranya dengan cara keturunan atau bukan. Kedua, negara demokrasi adalah negara yang seperangkat hukumnya lahir dan diciptakan oleh rakyat atau wakil-wakil mereka dengan cara voting. Sehingga jika dalam sistem ini terdapat raja/ratu dan putra mahkota, maka hal tersebut tidak lebih dari sekedar simbol, yang tidak berpengaruh pada aturan hukum yang berlaku di masyarakat. Ketiga, negara Khilafah adalah negara yang seperangkat aturan hukumnya diciptakan oleh tuhan sang pencipta manusia, alam dan kehidupan dan tentunya aturan-aturan ini diambil dari buku (kitab) suciNya yang diturunkan sendiri olehNya. Dengan demikian sistem negara ini tidak ada contoh lain kecuali Khilafah Islam, karena tidak ada agama di bumi ini selain Islam yang memiliki kitab suci yang otentik sebagaimana awal munculnya. Selain itu, tidak ada agama lain selain Islam yang dalam kitab sucinya tertulis berbagai macam perangkat aturan kehidupan untuk mengatur hidup manusia, seperti hukum dalam bidang ekonomi, politik, sosial pergaulan, sangsi pidana, dan lain sebagainya.

Besaran dan jenis pengeluaran harta oleh seseorang untuk hidupnya di sebuah negara dengan sistem pemerintahan tertentu, tentunya berbeda dengan orang lain yang hidup dalam kekuasaan negara dengan sistem pemerintahan yang lain, sebab aturan hukumnya berbeda. Ada aturan yang dibuat oleh seorang manusia, ada yang dibuat oleh sekelompok manusia dan ada pula yang dibuat sang pencipta manusia. Sebab bagaimanapun untuk menjalankan roda pemerintahan negara diperlukan sejumlah harta, yang harta tersebut sebagian bisa berasal dari rakyat didalamnya juga bisa berasal dari sumber-sumber lainnya, dan ini tergantung pada versi sistem pemerintahannya masing-masing.

 

B.      Sistem Pemerintahan Islam

Sistem pemerintahan Islam adalah negara Khilafah, dasar sumber rujukan ini adalah sejarah para shahabat Nabi saw pasca beliau wafat. Bahwa Abu Bakar ash shiddiq ra. Adalah sosok yang kemudian dipanggil dengan julukan Khalifah Rasulillah (pengganti Rasulullah).[5] Abu Bakar yang kemudian menggantikan Nabi saw dalam memungut harta yang wajib dibayarkan rakyat kepada negara. Abu Bakar juga yang menggantikan Nabi saw dalam mengirim ekspedisi militer Usamah bin Zaid yang belum sempat beliau tuntaskan. Dengan demikian Abu Bakar adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah Khilafah.

Ijma’nya (kesepakatan) shahabat Nabi dalam sebuah peristiwa dan kejadian adalah sumber hukum dalam Islam, selain dari al Qur’an dan hadits Nabi saw. Sebab al Qur’an dan Nabi saw telah memuji mereka, yaitu mereka yang terdahulu masuk Islam yang terdiri dari muhajirin dan orang-orang yang menolong mereka (kaum anshar).[6] Selain itu imam asy Syafii dalam kitab risalah-nya juga menyatakan bahwa ijma shahabat Nabi saw adalah riwayat yang tidak teriwayatkan.[7] Artinya ijma shahabat pada dasarnya adalah hadits Nabi saw yang telah dikenal luas di kalangan shahabat, sehingga tidak memerlukan penyampaian informasi tentang itu pada sesama shahabat Nabi saw.

Dengan demikian rujukan sejarah yang menjadi sumber hukum Islam dalam urusan ekonomi, politik, sosial pergaulan dan sangsi pidana adalah periode sejarah ketika para shahabat tersebut masih hidup. Adapun periode resminya sebagaimana yang disepakati ulama, yaitu periode Khulafaur Rasyidun dari masa Abu Bakar ash Shiddiq hingga masa Ali bin Abi Thalib.[8]

Agama warga negara khilafah di era khulafaurrasyidun terdiri dari banyak pemeluk agama, dari Islam, Kristen, Yahudi, Majusi dan lain sebagainya. Namun dalam perangkat aturan kehidupan, hukum publik yang berlaku adalah hukum yang berasal dari Islam. Dari hukum Islam tersebut ada hukum yang berlaku bagi muslim saja, dan ada juga hukum yang hanya berlaku bagi non muslim saja, namun pada umumnya hukum berlaku bagi semua warga nergara, baik muslim maupun non muslim.

 

1.       Pengeluaran Harta Bagi Muslim adalah Zakat

Zakat adalah sebagian harta rakyat muslim yang dibayarkan kepada Nabi saw sebagai kepala negara, dan begitu terus dilakukan oleh kaum muslim kepada Abu Bakar ash shiddiq sebagai kepala negara pengganti beliau, dan seterusnya demikian nanti saat adanya kembali negara Khilafah nanti. Namun ini khusus bagi muslim, adapun non muslim tidak ada dan tidak boleh bayar zakat kepada negara.

Harta zakat yang dibayarkan muslim terdiri dari dua jenis, yaitu zakat fitrah dan zakat maal (harta). Zakat fitrah adalah harta dari bentuk makanan pokok yang dibayarkan oleh setiap muslim setahun sekali sebelum hari raya iedul fitri, dibayarkan oleh setiap kepala muslim yang mampu kepada muslim lainnya yang tidak mampu secara ekonomi.

Disebabkan zakat fitrah adalah zakat makanan pokok, maka bentuk yang dibayarkan oleh muslim berbeda-beda bentuknya. Di Nusantara, bentuk makanan pokok masyarakat umumnya adalah beras, maka zakat yang dibayarkan adalah beras dengan berat antara 2,5 s/d 3 kg., adapun Timur Tengah dan Eropa bentuk makanan pokoknya adalah gandum, maka zakat yang dibayarkan adalah gandum. Dan demikian halnya di daerah lain jika bentuk makanan pokoknya adalah benda lain selain beras dan gandum (misal: sagu atau ubi-ubian), maka benda tersebutlah yang dibayarkan oleh mereka yang mampu.

Adapun zakat maal, adalah harta yang dikeluarkan oleh muslim dari 4 jenis harta; mata uang (emas dan perak), pertanian, binatang ternak dan barang dagangan. Sehingga tidak ada istilah zakat dari rumah tempat tinggal, kendaraan atau barang elektronik.

 

a.       Zakat Mata Uang (Emas dan Perak)

Mata uang yang berlaku dalam sistem Negara Khilafah adalah emas (dinar) dan perak (dirham). 1 dinar setara beratnya dengan 4,25 gr emas, dan 1 dirham setara beratnya dengan 2,975 gr perak.[9] Adapun emas dan perak yang dijadikan perhiasan dan kemudian terpasang di badan wanita, maka tidak termasuk sebagai alat tukar sehingga tidak ada kewajiban membayar zakat atasnya.

Zakat dari mata uang ini adalah zakat dari tabungan mata uang yang tersimpan, dan yang dimaksud dengan tabungan adalah harta kelebihan dari harta yang digunakan untuk biaya hidup seseorang beserta orang-orang yang menjadi tanggungannya. Adapun yang dimaksud dengan biaya hidup adalah mata uang yang dibelanjakan untuk berbagai keperluan, seperti bahan makanan, pakaian, kendaraan, biaya penerangan, bahan bakar, tempat tinggal, perkakas, dan berbagai alat bantu kehidupan lainnya.

Jadi zakat ini adalah harta yang dikeluarkan dari harta yang benar-benar bersih dari adanya berbagai keperluan. Itupun jika tabungan mata uangnya telah melebihi batas minimal jumlah yang ditetapkan dalam Islam, yaitu sebanyak 20 dinar (85 gr emas) jika bentuk tabungannya emas, dan sebanyak 200 dirham (595 gr perak) jika bentuk tabungan perak. Selain itu zakat ini dikeluarkan hanya jika saldo tabungannya tersebut telah terpelihara selama 1 tahun penuh, artinya jika dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun saldo tabungannya berkurang dari batas ketentuan Islam (nishob), maka akan dihitung ulang awal waktunya dari saat saldo tabungannya tersebut kembali mencapai nishob.

Setelah batas minimal saldo tabungan terpelihara selama 1 tahun penuh, baru zakat dibayarkan sebesar 2,5% dari saldo terakhir. Jika 1 gr emas pada 1442 H bernilai Rp. 1 juta, maka ilustrasinya sebagai berikut:

Ahmad (bulan ke-1 tahun 1442 H) adalah pekerja profesional dengan gaji perbulan Rp. 15 juta, sementara biaya hidupnya /bulan bersama dengan orang-orang yang berada dibawah tanggungannya sebesar Rp. 5 juta. Dengan demikian Ahmad dapat mengisi tabungannya perbulan sebesar Rp.10 juta. Tabungan Ahmad terus bertambah setiap bulan hingga pada bulan ke-9 tabungannya menjadi sebesar Rp. 90 juta dimana jumlah tersebut telah melebihi batas nishob zakat, maka pada bulan tersebut menjadi patokan untuk Ahmad menghitung haul zakat. Jika tabungan Ahmad terus bertambah tanpa ada gangguan kebutuhan biaya hidup yang membuat saldonya berkurang menjadi dibawah nishob, maka pada bulan ke 10 tahun 1443 H tabungan Ahmad menjadi sebesar Rp. 210 juta.

Dengan demikian Ahmad pada bulan 10 tahun 1443 H harus membayarkan zakat atas tabungan uangnya sebesar 2,5% x Rp. 210 juta = Rp. 5.250.000,-

Namun jika Ahmad pada bulan ke-7 tahun 1443 H menggunakan tabungannya untuk membeli mobil seharga Rp.150 juta, maka saldo tabungannya berkurang menjadi Rp. 30 juta (dibawah nishob zakat). Yaitu hasil tabungan bulan ke-7 1443 H (Rp. 180 juta) dikurangi harga mobil 150 juta. Dengan demikian bulan ke-9 tahun 1442 H menjadi batal sebagai dasar patokan menghitung haul zakat, dan dasar haul zakat akan dimulai kembali ketika saldo tabungan Ahmad kembali mencapai nishob zakat.

 

b.      Zakat Harta Modal Perdagangan

Zakat ini adalah harta yang dikeluarkan saat bisnis perdagangan telah berjalan 1 tahun, namun jika modal awalnya sama dengan atau lebih dari batas minimal harta zakat (nishob).[10] Zakat perdagangan artinya harta yang dikeluarkan akan dihitung dari barang yang diperjual belikan, bukan barang inventaris yang menjadi penopang untuk berdagang, seperti lemari etalase sebagai tempat display barang dagangan.

Bisnis yang objek usahanya berupa jasa tidak ada kewajiban zakat, seperti rental mobil dan jasa transportasi, even organizer, jasa pendidikan dan lain sebagainya. Jadi, zakat perdagangan adalah zakat dari barang yang menjadi objek jual beli.

Bisnis perdagangan yang dijalankan dengan sistem persekutuan 2 orang atau lebih (baca: perseroan), maka zakatnya dihitung perkepala dengan melihat jumlah harta modal masing-masing pada awalnya. Jika seorang persero menyertakan modal awal dengan jumlah dibawah batas minimal nishob maka tidak akan ada kewajiban zakat baginya hingga 1 tahun kedepan, bahkan walaupun setelah pembagian hasil usaha ternyata total harta dirinya (modal + keuntungan) melebihi batas nishob. Sebab zakat dibayarkan hanya jika jumlah harta memenuhi syarat zakat dan waktu terpeliharanya harta nishob terpenuhi dalam 1 tahun (haul). Jadi, tidak ada zakat atas nama perseroan, yang ada hanya zakat per persero.

Ilustrasinya sebagai berikut:

Pada 1 Muharram 1442 H; A, B, C dan D membentuk perseoan Mufawadhah,[11] mereka berniat untuk berjualan pakaian jadi. A, B dan C bertindak sebagai pengelola (mudharib), dan pihak penyerta modalnya (shahibul maal) adalah B, C dan D, dengan masing-masing modalnya B; Rp. 100 juta, C; Rp. 120 juta dan D; Rp. 70 juta.

Kesepakatan bagi hasil diantara mereka; 60% untuk pengelola dan 40% untuk pemodal. Adapun kesepatan bagi hasil diantara pengelola; A - 40%, B - 30% dan C - 30%. Sedangkan bagi hasil diantara pemodal diukur dari kontribusi modal mereka masing-masing.

Dari Rp. 290 juta modal yang terkumpul, sejumlah Rp. 60 juta digunakan untuk pengadaan aset untuk mendukung usaha (inventaris), seperti etalase, meja, mesin kasir dan lain sebagainya. Sehingga Rp.230 juta sisanya digunakan membeli pakaian untuk kemudian dijual kembali. Dari kasus ini perlu dihitung kembali modal barang dagangan, sebab barang daganganlah yang akan dikeluarkan zakatnya, bukan pada semua jumlah modal. Sehingga:

Modal barang dagangan B; 100/290 x 100 = 34,5% à 230 juta x 34,5% = Rp. 79.350.000

Modal barang dagangan C; 120/290 x 100 = 41,3% à 230 juta x 41,3% = Rp. 94.990.000

Modal barang dagangan D; 70/290 x 100 = 24,1% à 230 juta x 24,1% = Rp. 55.430.000

Dari hitungan diatas terlihat, bahwa di awal tahun usaha hanya modal C saja yang telah melebihi nishob emas zakat perdagangan. Sehingga C membayar zakat 2,5% dari harta terakhirnya (modal + keuntungan) di tanggal 30 Dzulhijjah 1442 H.

Jika di akhir tahun laporan keuangan menunjukkan keuntungan sebesar Rp. 70 juta. Maka distribusi hasil usahanya sebagai berikut:

Pengelola; 60% x Rp. 70 juta = Rp. 42 juta

                                A = 40% x 42 juta = Rp. 16,8 juta

                                B = 30% x 42 juta = Rp. 12,6 juta

                                C = 30% x 42 juta = Rp. 12,6 juta

Pemodal; 40% x Rp. 70 juta = Rp. 28 juta

                                B = 34,5% x 28 juta = Rp. 9,66 juta

                                C = 41,3% x 28 juta = Rp. 11,56 juta

                                D = 24,1% x 28 juta = Rp 6,74 juta

Bagian akhir dari harta barang dagangan masing-masing:

B = 79.350.000 + 12.600.000 + 9.660.000 = Rp. 103.510.000

C = 94.990.000 + 12.600.000 + 11.560.000 = Rp. 119.150.000

D = 55.430.000 + 6.740.000 = Rp. 62.170.000

Jadi yang wajib membayar zakat hanya C, sebab modal barang dagangnya telah memenuhi ketentuan nishob dan haul. Sehingga besaran zakatnya 2,5% x Rp. 119.150.000 = Rp. 2.978.750

 

c.       Zakat Hasil Pertanian

Barang hasil pertanian yang dibayarkan zakatnya hanya 4 jenis; gandum, juwawut, kurma dan anggur. jika petani bercocok tanam pada tanaman lain selain 4 tersebut, seperti terong, sawi, jeruk, durian dan lain sebagainya, maka tidak ada zakatnya. Hal tersebut semata karena dalil-dalil syara’ membatasi zakat pertanian hanya pada 4 jenis tanaman tersebut.

Hasil panen yang diwajibkan pembayaran zakat hanya jika beratnya lebih dari 5 wasaq atau setara dengan 652 Kg. jika hasil panen mencapai berat tersebut atau lebih maka dibayarkan zakatnya 5% atau 10%. Dibayarkan zakatnya 10% dari hasil panen jika cocok tanam dilakukan di daerah dengan curah hujan tinggi, atau pengairannya mengandalkan air hujan. Namun dibayarkan 5% jika penyiramannya dilakukan dengan sistem irigasi hasil buatan tangan manusia.

 

d.      Zakat Binatang Ternak

Binatang ternak yang dizakati hanya pada 3 jenis ternak; Unta, Sapi dan Kambing. Dengan demikian tidak ada zakat yang dibayarkan dari ternak ayam, lele, kuda, dan binatang ternak lain selain yang 3 tersebut diatas.

Tidak ada pembayaran zakat ternak Sapi hingga jumlahnya mencapai 30 ekor, dan jika sudah mencapai 30 ekor maka dibayarkan zakatnya 1 ekor sapi. Dibayarkan kembali zakat sapi jika jumlahnya telah mencapai 40 ekor, 60 ekor, 70 ekor, 80 ekor, 90 ekor, 100 ekor, 110 ekor dan 120 ekor, dan tidak ada lagi kewajiban membayar zakat sapi yang jumlahnya lebih dari 120 ekor.

Tidak ada pembayaran zakat ternak kambing hingga jumlahnya mencapai 40 ekor, dan jika sudah mencapai 40 ekor maka dibayarkan zakatnya sebanyak 1 ekor kambing. Dibayarkan kembali zakat kambing jika jumlahnya telah mencapai 121 ekor (zakatnya 2 ekor), 201 ekor (zakatnya 3 ekor), 400 ekor (zakatnya 4 ekor), dan seterusnya dibayar 1 ekor zakat kambing jika ternaknya tersebut bertambah pada setiap kelipatan 100 ekor.

Tidak ada pembayaran zakat ternak unta hingga jumlahnya mencapai 5 ekor (zakatnya 1 ekor kambing), dan kembali dibayarkan zakat atas unta hingga jumlahnya 10 ekor, 15 ekor, 20 ekor, 25 ekor, 36 ekor, 46 ekor, 61 ekor, 76 ekor, 91 ekor, 121 ekor, 130 ekor, 140 ekor, 150 ekor, 160 ekor, 170 ekor, 180 ekor, 190 ekor dan 200 ekor. Dan tidak ada lagi zakat yang dibayarkan jika jumlahnya lebih dari 200 ekor.

 

2.       Pengeluaran Harta bagi Non Muslim adalah Jizyah

Jizyah adalah sejumlah harta yang dibayarkan pria dewasa non muslim yang menjadi warga negara khilafah kepada negara, sedangkan bagi wanita dan anak-anak non muslim mereka dapat menjadi warga Negara Khilafah dengan aman tanpa membayar sepeserpun harta.

Warga negara Islam yang beragama selain Islam dalam fiqih disebut Ahlu Dzimmah. Jizyah dibayarkan oleh mereka kepada negara sekali dalam setahun, dan besaran tarifnya tergantung pada keputusan kepala Negara yang berkuasa. Namun kebiasaan kaum muslim adalah mengikuti para pendahulunya dari kalangan orang-orang shalih, seperti yang ditetapkan oleh amiril mukminin Umar bin Khatab ra. Umar menetapkan tarif jizyah bagi non muslim kaya sebesar 4 dinar (17 gr emas = Rp. 17 juta), bagi non muslim ekonomi menengah sebesar 2 dinar (8,5 gr emas = Rp. 8,5 juta), dan bagi non muslim miskin namun masih berpenghasilan sebesar 1 dinar (4,25 gr emas = Rp. 4,25 juta).[12] Namun bagi non muslim miskin tidak berpenghasilan, seperti orang tua yang sudah lemah maka ia dibebaskan dari kewajiban jizyah bahkan kebutuhan hidupnya akan ditanggung negara.

Pembayaran jizyah yang dilakukan non muslim kepada negara membuat mereka memiliki hak yang sama sebagai warga negara khilafah sebagaimana warga negara yang muslim. Harta, darah dan kehormatan mereka terjaga, haram dilanggar. Pelaku pelanggarnya, baik muslim maupun non muslim akan dikenakan sangsi hukuman menurut ketetapan hukum Islam. Contohnya jika mereka dibunuh tanpa haq maka pembunuhnya akan dihukum bunuh kembali, jika harta mereka dicuri oleh muslim maupun non muslim lainnya maka pelakunya akan dikenai sangsi potong tangan, dan berbagai bentuk hukuman lainnya.

 

3.       Pengeluaran Harta Kharaj

Kharaj adalah sebutan harta yang dibayarkan rakyat (baik muslim maupun non muslim) dari tanah negara yang mereka kuasai manfaatnya. Kharaj dibayarkan hanya karena sebab bahwa tanah tersebut adalah tanah kharaj. Sedangkan tanah kharaj adalah tanah yang dikuasai negara khilafah dari hasil peperangannya melawan negara-negara lainnya demi dakwah Islam ilal ‘alam, dan tanah kharaj adalah bagian dari ghanimah[13] berupa tanah. Sebab negara dengan sistem pemerintahan khilafah adalah negara yang wilayah perbatasannya tidak stagnan, melainkan akan terus diperluas hingga 1 dunia ini hanya akan memiliki 1 kepala negara.

Kharaj bisa berasal dari tanahnya bisa juga berasal dari hasil tanaman dan buah dari tanah kharaj tersebut. Jumlah yang dibayarkan bisa berbeda-beda, tergantung dari pejabat negara dalam melihat fakta atas tanah tersebut. besaran tarif atas tanah kharaj ditetapkan berdasar berbagai pertimbangan, seperti apakah tanah tersebut tanah subur apa tidak, banyak hasil panennya atau tidak, apakah tanah tersebut di kota atau di desa, dekat dengan jalan besar apa tidak, apakah tanah tersebut digunakan untuk pertanian atau tidak, bila digunakan untuk pertanian apakah tanah tersebut mudah akses airnya atau tidak, dan berbagai macam pertimbangan lainnya.

Sebagai contoh yang pernah ditetapkan Usman bin Hanif pejabat tanah amiril mukminin Umar bin Khattab terkait besaran tarif kharaj adalah sebagai berikut; kepada penduduk tanah hitam (tanah subur) ditetapkan 1 jarib (1.366 m2) tanaman gandum sebanyak 2 dirham (Rp. 77.350)[14], kemudian setiap 1 jarib tebu sebanyak 6 dirham (Rp. 232.050), setiap jarib anggur sebanyak 10 dirham (Rp. 386.750). kemudian juga ditetapkan untuk 1 jarib tanah kering tidak produktif atau rawa sebesar 1 dirham.[15]

Demikianlah biaya yang harus dikeluarkan warga Negara khilafah baik muslim maupun non muslim jika mereka memegang sertifikat tanah kharaj (tanah negara), namun jika mereka memegang sertifikat tanah tanah hak milik (tanah ‘usyuriah) maka tidak ada biaya apapun yang dikeluarkan untuk dibayarkan kepada negara. Adapun tanah usyuriah adalah tanah yang dalam sejarah kepemilikannya telah dikuasai oleh muslim sebelum datangnya dakwah dengan serangan militer dari pasukan khilafah.

 

4.       Biaya Hidup Sandang, Pangan dan Papan

Makanan, pakaian dan tempat tinggal adalah kebutuhan dasar hidup rakyat yang didalam Islam menjadi tanggungjawab kepala negara.[16] Akan tetapi dalam pengadaannya bukan berarti negara yang memberikannya secara langsung sebagaimana peternak ikan saat memberi pakan pada peliharaannya, walaupun bisa saja negara melakukannya seperti itu dan hanya pada kasus-kasus tertentu saja.

Banyak hukum Islam yang berkaitan dengan pemenuhan sandang pangan papan bagi rakyat dimana negara sebenarnya hanya menjalankan dan menegakkan penerapan hukumnya atas rakyatnya yang kemudian hukum tersebut akan berimplikasi pada terpenuhinya kebutuhan dasar hidup rakyat tersebut. Seperti tersebut dalam al Qur’an surat al Baqarah ayat 233

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.”

Kemudian dalam al Qur’an surat at Thalaq ayat 1

“Wahai Nabi, apabila kalian menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kalian ceraikan mereka pada waktu mereka dapat iddahnya, dan hitunglah waktu iddah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan keluar) kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas.”

Kemudian apa yang disampaikan oleh shahabat Nabi saw, Anas bin Malik ra yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud;

bahwa pernah datang pada Rasulullah saw seorang pengemis dari kaum anshor yang meminta-minta pada Nabi saw. Lalu beliau bertanya kepada pengemis, “apakah kamu mempunyai sesuatu di rumahmu?” pengemis itu menjawab, “tentu, saya mempunyai pakaian yang biasa dipakai sehari-hari dan sebuah cangkir.” Nabi saw langsung berkata, “ambil dan bawalah kemari” lalu pengemis itu menyerahkannya kepada Nabi saw, kemudian beliau menawarkannya kepada para shahabat, “adakah di antara kalian yang ingin membeli ini?” seorang shahabat menyahut, “saya beli dengan 1 dirham.” Nabi saw menawarkannya kembali, “adakah di antara kalian yang ingin membayar lebih?” lalu ada shahabat yang sanggup membelinya dengan harga dua dirham.

Nabi saw menyuruh  pengemis itu untuk membelanjakan 1 dirham untuk makanan yang akan diberikan pada  keluarganya, dan 1 dirham lainnya untuk membeli kapak, dan beliau menyuruh untuk membawa kapaknya pada Nabi saw. Kemudian oleh rasulullah saw kapak itu diikat dengan sebatang kayu sehingga utuh dan bisa digunakan. Kata beliau saw “pergilah, cari kayu bakar dan juallah. Dan aku tidak ingin melihatmua selama 15 hari” dan selang 15 hari orang tersebut datang pada Nabi saw dengan membawa 10 dirham. Kata beliau saw “ini lebih baik untukmu dari pada datang meminta-minta”. (HR. Abu Dawud)

Al Qur’an dan hadits Nabi saw diatas menjelaskan bahwa bukan kaum wanita yang bertanggungjawab atas tersedianya sandang, pangan dan papan dalam keluarga, melainkan lelaki, suami atau kepala keluarga. Selamanya kaum wanita tidak wajib mencari nafkah, walaupun boleh saja bekerja mencari harta. Dasar hukum diatas juga berlaku umum, artinya berlaku bagi muslim maupun non muslim yang berada dibawah keuasaan Islam. Penanggung nafkah seseorang adalah bapak kandungnya, jika tidak ada maka lelaki terdekatnya dalam hukum waris, saudara lelaki bapaknya (paman), saudara lelakinya (kakak atau adik), anak lelakinya atau kakeknya.

Negara juga wajib mencarikan solusi, bahkan untuk lelaki yang menjadi kepala keluarga yang membutuhkan pengarahan bagaimana caranya untuk mendapat penghasilan guna menafkahi keluarganya sebagaimana hadits diatas. Sedangkan untuk lelaki kepala keluarga yang malas bekerja berusaha dan mengabaikan orang-orang yang menjadi tanggungannya, negara wajib menghukumnya dengan hukuman yang menjerakannya.

Harga sandang, pangan dan papan dalam kekuasaan Islam diperkirakan akan jauh lebih murah dari harganya dalam sistem kekuasaan negara bangsa demokrasi, sehingga akan mudah didapat oleh setiap orang. Betapa tidak, sebab sandang, pangan dan papan adalah kebutuhan hidup yang berkaitan dengan bumi dan tanah atau hasil tanahnya tersebut. Adapun hukum pertanahan dalam hukum Islam mendorong agar setiap petak tanah menjadi produktif menghasilkan bahan pangan, bahan sandang dan dasar dari pembangunan tempat tinggal.

Nabi saw bersabda: “siapa yang memiliki sebidang tanah, maka hendaklah dia menanaminya, atau hendaklah dia berikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaklah tanahnya diambil. (HR. Bukhori)

Nabi saw bersabda: “tidak ada hak bagi pemilik tanah setelah menelantarkan tanahnya selama tiga tahun.” (HR. Baihaqi)

Nabi saw bersabda: “siapa yang memiliki sebidang tanah, hendaklah dia menanaminya atau saudaranya yang menanaminya, dia tidak boleh menyewakannya dengan sepertiga atau seperempat dan tidak pula dengan jumlah makanan yang telah ditentukan” (HR. Abu Dawud)

Hadits-hadits diatas menjelaskan hukum pertanahan yang berlaku dalam negara Islam, bahwa tanah bisa dikuasai oleh rakyat namun memiliki masa tenggang, dan ini berlaku bagi tanah kharaj maupun tanah ‘usyur. Bahwa jika tanah ditelantarkan selama lebih dari 3 tahun tidak ditanami maka tanah akan diambil oleh negara dan kemudian akan diberikan pada rakyat lain yang membutuhkan. Kemudian penyewaan atas tanah pertanian juga dilarang, baik dengan tarif persentase dari hasil panen ataupun dengan tarif tetap, sehingga pilihan rakyat yang memiliki tanah pekarangan maupun tanah persawahan hanya memiliki 2 (dua) pilihan atas tanahnya. Yaitu ditanami (dikelola sendiri) atau diberikan pada orang lain, bisa dengan pemberian cuma-cuma atau dijual secara komersil. Dengan begitu rakyat akan terdorong memproduktifkan tanahnya, sehingga darinya akan keluar bahan pangan dan bahan sandang yang banyak dan melimpah. Dan sesuai hukum permintaan dan penawaran, jika suatu barang jumlahnya banyak dan melimpah, sementara permintaan akan barang tersebut tidak naik, maka harganya akan turun.

Adapun tanah untuk tempat tinggal, jika di perkotaan telah sulit didapat maka rakyat (muslim dan non muslim) bisa mendapatkannya di pinggiran pedesaan yang masih banyak terdapat tanah mati milik umum. Dari tanah mati itu setiap orang berhak memagari seberapapun luasnya dan membukanya sehingga tanah tersebut menjadi miliknya secara gratis sebagai pemberian sang pencipta, dan tanpa biaya sepeserpun yang dibayarkan kepada negara. Sebagaimana hadits Nabi saw:

“Sebelumnya tanah itu milik Allah dan RasulNya, kemudian setelah itu milik kalian. Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah tersebut menjadi miliknya dan tidak hak bagi yang memagari setelah menelantarkan tanahnya selama 3 tahun.” (HR. Baihaqi).

Jadi dapat disimpulkan bahwa harga sandang, pangan dan papan dalam negara Khilafah akan sangat murah dan mudah didapat bahkan oleh kaum miskin sekalipun.

 

5.       Biaya Bahan Bakar dan Listrik

Bahan bakar kendaraan dan penggerak generator listrik pada negara berkembang umumnya adalah minyak bumi atau dari batu bara yang merupakan barang tambang, namun pada teknologi negara maju bahan bakar kendaraan seperti kapal induk juga pembangkit listriknya menggunakan reaktor nuklir yang berbahan uranium yang juga berasal dari barang tambang.

Pada sistem ekonomi Islam negara khilafah, barang tambang yang jumlahnya banyak terkategori jenis harta kepemilikan umum, dan arti kepemilikan umum itu adalah harta milik dari seluruh rakyat khilafah (muslim dan non muslim). Makna lain kepemilikan umum adalah bahwa harta tersebut tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh salah satu individu atau satu kelompok rakyat tertentu, bahkan negara pun tidak dibenarkan jika memiliki seluruh barang tambang, sebab itu milik umum. Jika pengolahan barang tambang tersebut membutuhkan teknologi dan manajemen perusahaan maka secara otomatis keberadaannya menjadi milik umum. Seperti yang ada di Indonesia, minyak bumi harusnya adalah milik umum (rakyat) bukan seperti yang tersebut dalam UUD 45 pasal 33 ayat 3 yang menyebutnya sebagai milik negara yang dikuasai negara, dan karena milik umum maka seharusnya Pertamina sebagai perusahaan pengolahnya dan penjualnya menjadi badan usaha milik umum. Sebagaimana dalam hadits Nabi saw:

Dari Abyadh bin Hamal: Abyad diceritakan telah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola suatu tambang garam. Rasul semula meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang shahabat, “Wahai Rasulullah, tahukan engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda : “Tariklah tambang tersebut darinya”. (HR. at Tirmidzi)

Badan usaha milik umum adalah perusahaan yang menyajikan Rp. 0,- dalam laporan keuangannya (laporan laba rugi). Hasilnya adalah BEP (break even point), yaitu tidak memperoleh keuntungan juga tidak mengalami kerugian. Artinya harga produk yang dijual oleh perusahaan milik umum dan kemudian dibeli rakyat adalah harga yang hanya menutupi seluruh biaya produksinya. Seperti pertamina yang menjual BBM jenis premium kepada masyarakat pada tahun 2008 dengan harga /liter Rp. 6.000. seharusnya itu adalah harga jual yang sama karena memang biaya produksi minyak bumi dari mentah hingga siap konsumsi adalah Rp.6.000. namun kenyataannya tidak demikian, sebagaimana yang telah diperhitungkan oleh mantan Menko Ekonomi Kwik Kian Gie, bahwa biaya produksi BBM jenis premium /liter hanya Rp. 630 dan ini sudah termasuk biaya produksi, biaya pengolahan dan pengangkutan, sehingga dengan ini pertamina mengambil untung dari rakyat sebesar Rp. 5.370 /liter.

Perusahaan negara yang seharusnya menjadi badan usaha milik umum adalah perusahaan yang memproduksi dan menjual harta berjenis kepemilikan umum, seperti PT. Pertamina, PT. Aneka Tambang, PT. Bukit Asam, PTPN, PT. Krakatau Steel, dan perusahaan-perusahaan tambang lainnya baik yang sekarang dikuasai swasta lokal maupun swasta asing seperti PT. Freeport dan PT. Lapindo. Demikian juga perusahaan listrik negara PT. PLN, karena memproduksi energi dan bahan bakarnya juga berasal dari tambang, maka seharusnya perusahaan ini menjadi badan usaha milik umum, dimana laporan keuangan laba ruginya menyajikan Rp. 0.- sehingga listrik yang dibayar oleh rakyat tidak mengandung keuntungan bagi perusahaan. Namun tidak demikian faktanya di Indonesia, pada tahun 2019 PT. PLN melaporkan keuntungannya mencapai 4,27 Triliun. Yang bisa jadi keuntungan ini menjadi lebih besar lagi jika bahan bakar yang digunakan dengan biaya yang lebih murah lagi, seperti BBM yang dihasilkan Pertamina jika statusnya menjadi badan usaha milik umum, bukan milik negara.

Dengan demikian biaya bahan bakar dan biaya penerangan bagi rumah tangga rakyat negara khilafah akan sangat murah dan mudah didapat, karena umumnya kaum muslimin saat ini hidup di negeri yang didalam tanahnya mengandung banyak kekayaan barang tambang, minyak dan gas bumi.

 

6.       Tidak Ada Beban Pajak Bagi Muslim dan Non Muslim

Negara Khilafah tidak memungut harta dari rakyatnya (baik muslim dan non muslim) kecuali apa yang sudah ditetapkan oleh dalil-dalil syara’ berupa al Qur’an dan hadits Nabi saw, dan karena tidak ada dasar hukum Islam terkait pemungutan harta dari gaji-gaji mereka, dari barang-barang dagangan mereka, dari kendaraan-kendaraan mereka, dari tempat tinggal mereka, maka tidak ada pungutan yang disebut sebagai pajak. Bahkan dalil-dalil syara’ justru mencela atas pungutan yang dilakukan penguasa terhadap perdagangan rakyatnya, Nabi saw bersabda:

“Tidak akan masuk surga pemungut Al Maks (orang yang mengambil pajak cukai)”, (HR. Abu Daud).

Dikarenakan tidak ada pungutan pajak, maka tidak ada pemasukan harta negara yang berasal dari pajak. Sumber utama pemasukan tetap negara tidak lain adalah kharaj dan jizyah, namun juga bukan berarti sumber utama tersebut memberikan pemasukan terbesar bagi kas negara. Karena negara bisa saja menguasai sebagian harta kepemilikan umum (seperti tambang di wilayah tertentu) untuk dialokasikan khusus untuk keperluan operasional tertentu, semata karena dalil syara’ membolehkannya. Dan pendapatan dari sumber ini tentu akan lebih besar dari gabungan pendapatan kharaj dan jizyah, mengukur dari kekayaan alam negeri-negeri muslim yang begitu besar.

Disisi lain, biaya yang dikeluarkan negara khilafah untuk operasional pemerintahan akan relatif kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran biaya pemerintahan demokrasi. Dalam sistem pemerintahan khilafah tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk membuat sebuah undang-undang, karena peraturan hidup telah tersedia dalam al Qur’an dan hadits Nabi saw., hanya tinggal mengambilnya saja. Juga tidak ada biaya gaji yang besar bagi anggota dewan pembuat undang-undang (DPR), karena tidak ada parlemen dalam sistem khilafah. Negara juga tidak mengeluarkan biaya besar untuk pemilu setiap 5 tahun sekali, sebab masa berlaku kepala negara Islam tidak ditentukan waktu, melainkan ditentukan oleh ketaatan/pelanggaran ia terhadap hukum Islam. Juga tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk pilkada, sebab kepala daerah ditunjuk oleh kepala negara. Pun tidak ada biaya yang besar untuk kepolisian sebab pelanggar hukum dan pelaku kriminal akan jauh berkurang, karena hukum Islam yang berlaku akan membuat orang takut dan jera dalam melakukan pelanggaran.

Hingga apabila keuangan negara dalam keadaan terdesak, sementara ada kebutuhan pokok rakyat yang harus dipenuhi negara seperti urusan dakwah, pendidikan atau kesehatan maka negara tetap tidak diperkenankan memungut pajak atau hutang pada negara lain. Solusi yang diambil dalam masalah tersebut adalah menarik dharibah, yaitu pungutan dari rakyat yang hanya khusus ditujukan pada kaum muslimin yang tergolong kaya, dan pungutan ini sifatnya temporer.

 

7.       Biaya Pendidikan dan Kesehatan

Pendidikan dan kesehatan dalam Islam pada dasarnya adalah tanggungjawab negara, sehingga negaralah yang wajib menyelenggarakan dan menyediakannya, juga mendorong dan mewajibkan agar setiap rakyat mengikuti program pendidikan bertahap menurut jenjang usianya. ini merujuk pada apa yang dilakukan Rasulullah saw sebagai kepala negara.

Ibnu Mas’ud: “Nabi saw memilih hari-hari tertentu untuk menyampaikan mauizhah kepada kami karena khawatir kami merasa bosan.” (HR. Ahmad)

Para wanita: ”Wahai Rasulullah kami telah dikalahkan oleh kaum laki-laki saat bersamamu maka jadikanlah bagi kami satu hari dari dirimu.” (HR. Bukhori)

Nabi saw bersabda: “Pengajar kebaikan itu akan dimintakan ampun  (kepada Allah) oleh segala sesuatu, termasuk ikan-ikan yang ada di lautan” (HR. Thabrani - Ausath)

Nabi saw bersabda: “orang yang berilmu dan orang yang belajar, keduanya bersekutu dalam pahala” (jami’ bayan al ilm wa fadhlih)

Nabi saw bersabda: “perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan sholat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (apabila mereka menolak) pada saat mereka berumur sepuluh tahun.” (HR. Abu Dawud)

Demikian juga di masa Umar bin Khattab, tercatat beliau menggaji guru dengan 15 dinar perbulan. Dengan demikian pendidikan dalam khilafah akan diselenggarakan dan rakyat wajib mengikuti program tersebut, sehingga biaya pengadaannya akan ditanggung negara tanpa rakyat harus mengeluarkan biaya. Adapun sumber biaya untuk gaji guru dan pembangunan sekolah adalah berasal dari kharaj, jizyah dan sebagian harta milik umum berupa barang tambang yang melimpah.

Adapun yang berkaitan dengan penyediaan layanan kesehatan maka tidak ada bedanya dengan pendidikan, negaralah yang wajib menyediakannya.

Dari Ibnu Umar Nabi saw bersabda: “kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang penguasa adalah pemimpin, seorang suami adalah pemimpin seluruh keluarganya, demikian pula seorang istri adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya. Kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian” (HR. Bukhori dan Muslim)

Dengan demikian pendidikan dan kesehatan dalam sistem khilafah adalah gratis bagi seluruh rakyat.

 

C.      Sistem Pemerintahan Nation State – Demokrasi

Sistem pemerintahan demokrasi tentu identik bahwa negara tersebut adalah negara bangsa (nation state). Namun tidak sebaliknya, karena bisa jadi negara bangsa tidak memakai sistem demokrasi, melainkan sistem kerajaan seperti Arab Saudi atau Korea Utara. Namun baik nation state maupun demokrasi, kedua istilah ini memiliki prinsip kenegaraan yang sama, bahwa wilayah negara tersebut tidak akan diperluas dengan sengaja dan terang-terangan kepada dunia.

Oleh karena wilayah negaranya stagnan, maka tidak akan ada pemasukan negara dari rampasan perang. Oleh karenanya pemasukan negara diambil dari rakyatnya, dengan berbagai bentuk dan konsep, ada yang diambil dari penghasilan gaji dan profesi mereka, ada yang diambil dari barang dagangan mereka, ada yang diambil dari tanah dan bangunan yang sedang mereka manfaatkan, juga ada yang diambil dari kepemilikan alat transportasi mereka dan lain sebagainya.

 

1.       Pajak Penghasilan (PPh)

Khususnya di Indonesia, teori dan metode perhitungan pajak penghasilan tertuang dalam PPh pasal 21, 22, 23, 24, 25 dan 26. Dan oleh karena beragamnya teori dan metode perhitungan, maka kami dalam artikel ini hanya menyajikan PPh pasal 21, dan hanya sekitar 30% bagian saja.

PPh pasal 21 mencakup pajak yang dibayarkan oleh pegawai di sebuah lembaga swasta dan negara, baik ia berstatus pegawai tetap maupun pegawai tidak tetap yang gajinya dihitung berdasar jumlah hari kerja. Termasuk objek pajak PPh pasal 21 adalah bukan pegawai namun ia memiliki penghasilan rutin karena membuka praktek sendiri, seperti pengacara, dokter, psikolog, insinyur, konsultan dan lain sebagainya. Juga bagi penerima uang pension dan tunjangan hari tua dan pesangon, juga dikenai pajak PPh pasal 21.

Berikut contoh metode hitung PPh pasa 21 untuk pegawai tetap:

Amir (pada 2021 M/1442 H) adalah pegawai tetap dengan gaji Rp. 15 juta perbulan, ia telah menikah dan memiliki 2 anak. Jika ia membayar iuran pensiun sebesar Rp.300 ribu, maka pajak yang dibayarkan Amir dalam setahun:

Gaji neto: Rp. 15 juta – (Rp. 750 ribu[17] + Rp. 300 ribu) = Rp. 13,95 juta

Gaji setahun = 13,95 juta x 12 bulan = Rp. 167.400.000

PKP (penghasilan kena pajak) = Rp. 167,4 juta – (Rp 54 juta + [Rp. 4,5 juta x 3 orang])[18] = Rp. 99,9 juta

Tarif pajak progresif PPh pasal 21;

(5% x Rp. 50 juta) + (15% x Rp. 49,9 juta)[19] = Rp.2,5 juta + Rp 7,485 juta = Rp. 9,985 juta

Jadi Amir membayar pajak karena gajinya tersebut dalam setahun, sebesar hampir Rp. 10 juta, dan ini tanpa melihat dan memperhitungkan biaya hidup Amir yang harus ia keluarkan seperti biaya pendidikan anak-anaknya, biaya sandang dan pangan keluarga dalam setahun, biaya listrik dalam setahun, biaya perawatan dan bensin kendaraan dalam setahun, jumlah dana yang ia persiapkan sebagai sodaqoh untuk anak yatim dan miskin, dan berbagai biaya hidup lainnya.

 

2.       Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan BPHTB

PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) adalah pajak tahunan dari kepemilikan atas manfaat tanah dan bangunan yang sedang dikuasai oleh warga yang menjadi wajib pajak. Sedangkan BPHT (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) ringkasnya adalah pajak saat bumi dan bangunan tersebut berpindah kepemilikan, pemecahan atau penggabungan nama dalam sertifikat tanah.

Salah satu contoh dari PBB adalah sebagai berikut: Andri memiliki rumah dengan luas tanah 625 m2 terletak di pinggir jalan aspal di suatu daerah di kemayoran Jakarta Pusat. Sedangkan luas bangunannya 300 m2. Adapun yang ditetapkan pemerintah, NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) tanah permeter atas rumah Andri adalah berkisar Rp. 9,6 juta /m2, sedangkan NJOP untuk bangunannya ditetapkan Rp. 2,6 juta /m2. Sehingga:

Total NJOP tanah = Rp. 9,6 juta x 625 m = Rp. 6 miliar

Total NJOP bangunan = Rp. 2,6 juta x 300 m = Rp. 780 juta

Total NJOP PBB rumah Andri = Rp. 6 miliar + Rp. 780 juta = Rp. 6,78 miliar

NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak) yang ditetapkan pemerintah di wilayah tempat tinggal Andri untuk setiap sertifikat tanah adalah Rp. 15 juta. Maka NJOPKP (Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak) rumah Andri adalah;

Rp. 6,78 miliar – Rp. 15 juta = Rp. 6,765 miliar

Maka tarif pajak PBB yang harus dibayar Andri pertahun adalah:[20]

0,5% x 40% x Rp. 6,765 miliar = Rp. 13.530.000,-

Jadi demikianlah besaran pajak PBB yang harus dibayar Andri kepada negara setiap setahun sekali, tanpa melihat apakah rumah tersebut hasil pembeliannya ataukah hanya ia dapatkan dari warisan, juga tidak melihat apakah rumah tersebut dihuni atau tidak, pun tidak dilihat apakah rumah tersebut digunakan untuk usaha atau hanya tempat tinggal. Andri tetap wajib membayar PBB kepada negara baik ia memiliki pekerjaan atau tidak, juga tanpa melihat pekerjaannya memiliki penghasilan yang mampu untuk membayar PBB tersebut atau tidak.

Adapun BPHTB adalah pajak yang dibayarkan ketika rumah Andri tersebut dijual atau dengan cara apapun berpindah kepemilikan, dan tarifnya sebesar 5%. Dan jika rumah tersebut dibeli oleh Andika maka perhitungan BPHTB-nya demikian:

NPOPKP (Nilai Pasar Objek Pajak Kena Pajak) disamakan dengan NJOP PBB;

Rp. 6,78 miliar – Rp. 15 juta = Rp. 6,765 miliar

5% x Rp. 6,765 miliar = Rp. 338.250.000

 

3.       Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN adalah pajak yang diambil pemerintah dari barang dagangan milik rakyatnya, dan hingga tahun 2021 ini tarifnya masih 10% dari harga jual barang. Contohnya sebagai berikut:

Aulia adalah pedagang daging olahan dalam bentuk bakso dalam kemasan, dan karena ia menitipkan barang dagangannya di toko swalayan maka konsumen membelinya dengan harga Rp. 10 ribu, karena demikian label harga yang tertera di toko. Dari harga tersebut dibayarkan pajak PPN sebesar 10% dari harga jual yaitu Rp. 1 ribu, juga toko swalayan mengambil keuntungan dari harga tersebut sebesar 10% dari harga jual yaitu Rp. 1 ribu. Sehingga yang dibayarkan toko swalayan kepada Aulia sebesar Rp. 8 ribu untuk setiap bungkusnya.

Jika biaya produksi bakso tersebut hingga siap jual adalah Rp. 3500, maka keuntungan bersih untuk Aulia setiap bungkusnya adalah Rp. 4500. Dan apabila dalam sebulan terjual 1000 bungkus, maka total PPN yang diserahkan pada negara dalam setahun; 1000 bungkus x  Rp. 1000 x 12 = Rp. 12 juta

Jika barang dagangan Aulia tidak kenakan PPN, maka keuntungan bersihnya dalam setahun; 1000 x (Rp. 4500 + Rp. 1000) x 12 = Rp. 66 juta

Adapun keuntungan bersih (jika dikenai pajak) untuk Aulia dalam setahun; Rp. 1000 x 4500 x 12 = Rp. 54 juta

Demikianlah pajak yang harus dibayar seorang rakyat kepada negara dari barang dagangannya, tanpa melihat dan mempertimbangkan apakah rakyatnya bisa memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya, apakah rakyatnya tersebut memiliki penghasilan dari sumber lain atau tidak, sehingga perhitungan pajak tersebut jelas tanpa melihat seberapa besar kebutuhan hidupnya, biaya pendidikan anak-anaknya, biaya kontrakan rumahnya, jumlah orang yang berada dibawah tanggungannya, dan lain sebagainya.

 

4.       Pajak Kendaraan Bermotor

Pada dasarnya uang rakyat untuk pajak atas kendaraan bermotor masuk ke kas pemerintah daerah, berbeda dengan PPh, PPN, PBB, BPHTB dan Bea Materai yang masuk ke kas pemerintah pusat. Tapi baik masuk ke pemerintah pusat atau daerah, semuanya adalah uang rakyat yang mereka keluarkan bersama biaya hidup yang harus mereka bayar.

Pada umumnya rakyat di perkotaan memiliki kendaraan, oleh karena itu setiap rakyat secara umum mengetahui jenis dan besaran pajak kendaraan mereka. Misal motor Honda Vario 150 cc tahun rakitan 2021 pajak pertahunnya sebesar Rp. 377.000 adalah hasil penjumlahan dari PKB dan SWDKLLJ. Sedangkan untuk kendaraan roda empat, seperti Suzuki Ertiga tahun 2017 biaya PKB sebesar Rp. 2,559 juta.

Biaya pajak kendaraan diatas adalah uang yang harus dibayarkan rakyat pemilik kendaraan tanpa melihat apakah kendaraan tersebut dimiliki dari hasil pembelian atau pemberian, tanpa melihat biaya hidup untuk keluarganya sudah tercukupi atau belum,

 

5.       Bahan Pangan, Bahan Bakar dan Listrik

Berdasar data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PTKL) Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia tahun 2019 adalah 94,1 juta hektar atau 50,1% dari total daratan Indonesia yang seluas 190 juta hektar. Sedangkan luas sawahnya menurut data Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional adalah 7,46 juta. Dan dari data tersebut menurut BPS produksi beras nasional sebesar 54,6 juta ton.

Dari data-data diatas kita mengetahui bahwa harga beras yang harus dibayar rakyat perkilo berkisar Rp. 12 ribu. Dan harga tersebut tercipta hanya dari 7,46 juta hektar lahan sawah yang menghasilkan 54,6 juta ton, maka kita juga bisa memprediksi harga jika saja 94,1 juta lahan berhutan tersebut berubah menjadi sawah atau lahan produktif yang menghasilkan pangan. Tentunya produksi akan melimpah dan harga beras dan pangan lainnya akan berkali-kali lipat lebih murah dari harga pasar sekarang. 

Hanya dengan menggunakan hukum pertanahan dalam Islam 94,1 juta hektar lahan berhutan Indonesia tersebut bisa menjadi produktif menghasilkan bahan pangan. Betapa tidak, hutan menurut hukum Islam adalah milik umum dimana setiap masyarakat bisa bebas gratis membuka, memagari dan memilikinya untuk dihidupkan dengan tanpa menghalangi rakyat individu lain dalam melakukan hal yang sama. Namun jika setelah tanah tersebut dihidupkan kemudian ditelantarkan lebih dari 3 tahun oleh pemiliknya, maka negara akan mengambilnya untuk diberikan pada individu rakyat lain yang membutuhkan. Dengan begitu setiap rakyat terdorong untuk memiliki lahan hutan untuk dihidupkan.

Hal demikian tidak bisa direalisasikan hanya karena undang-undang demokrasi Indonesia yang menyatakan bahwa hutan dikuasai oleh negara, sehingga tidak mudah untuk rakyat menguasainya karena membutuhkan biaya dan proses izin yang tidak mudah.

Adapun harga bahan bakar di Indonesia tahun 2021 adalah Rp. 6.450 /liter untuk premium, sedangkan pada tahun 2008 harga premium Rp. 6.000. dan menurut hitungan Mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie bahwa biaya produksi /liternya adalah Rp. 630,-.

Hanya menggunakan hukum Islam berkaitan dengan barang tambang dan migas, maka harga premium yang dibayar rakyat bisa hanya sebesar Rp. 630,-. Betapa tidak, migas menurut hukum Islam adalah milik umum dimana kekayaan ini tidak boleh diserahkuasai pada swasta baik lokal apalagi asing, semata karena ini milik umum, milik semua rakyat, bukan milik negara. Namun tidak demikian faktanya di negeri demokrasi Indonesia, data dari Dirjen Migas tahun 2008 mencatat bahwa PT. Pertamina menguasai tambang minyak di Indonesia hanya 16%, sementara 44% dikuasai Chevron, 10% dikuasai Total E&P, 8% dikuasasi Conoco Philip, 3% dikuasai Petrochina, 2% dikuasai British Petrolium. Selain itu proses perdagangan minyak juga tidak nampak benar dan masuk akal bagi Indonesia, produksi dari minyak mentah hingga siap konsumsi nyatanya bukan Pertamina yang melakukannya, melainkan dibeli dari produsen asing dalam pasar komoditas setelah minyak mentah diambil dari perut bumi Indonesia, semata hanya karena alasan ketidakmampuan.

Demikian juga biaya listrik yang harus dibayar rakyat Indonesia saat ini tergolong mahal dibandingkan dengan jika PLN mendapatkan bahan bakar pembangkit listrik dengan BBM yang berbiaya murah, jika dikelola dengan cara Islam. Dengan begitu tarif dasar listrik juga akan murah.

 

6.       Biaya Pendidikan dan Kesehatan

Umumnya sistem nation state - demokrasi tidak mampu sepenuhnya memenuhi kebutuhan rakyat akan pendidikan dan kesehatan, ini dibuktikan dari sekolah negeri dan rumah sakit milik pemerintah yang jumlahnya sedikit, lebih banyak sisanya adalah sekolah dan rumah sakit yang dikelola oleh dan milik swasta.

Seandainya sekolah dasar, menengah dan pendidikan tinggi juga rumah sakit milik negara berbiaya murah atau gratis, maka semua rakyat akan menuju lembaga milik pemerintah tersebut. Namun besarnya permintaan rakyat akan jasa pendidikan dan kesehatan tidak akan mampu dipenuhi oleh pemerintah, sehingga pihak swasta berusaha memenuhi permintaan tersebut dengan berbagai motif dan tujuan, ada yang melihat ini sebagai peluang bisnis ada juga yang bermotif amal kebaikan. Tapi intinya bahwa negara bangsa yang buruk cara mengelola kekayaan alamnya, tidak akan pernah mampu membiayai pendidikan dan kesehatan secara gratis untuk rakyatnya. Karena untuk menjadikan semua sekolah dan rumah sakit berubah status menjadi milik negara akan mengeluarkan biaya raksasa, sebab harus menggaji semua guru, dokter dan tenaga administrasinya secara keseluruhan, sedangkan pajak adalah sumber utama pendapatan negara bangsa yang jumlahnya terbatas dari rakyat. Jika ingin memperbesar pajak, berarti harus semakin memeras rakyat. Jika tidak maka negara harus melepas berbagai tanggungjawab tersebut dengan cara melempar sistem asuransi kesehatan kepada rakyat.

Oleh karena itu untuk mengelola negara besar tidak akan bisa jika mengandalkan pajak dari rakyat yang menjadi tanggungjawabnya. Negara harus memiliki kebijakan strategis dan membuang orientasi memperkaya diri dan mencurahkan perhatian penuh demi kesejahteraan rakyat.

Kebijakan strategis yang dimaksud adalah mendukung industri mesin pembuat mesin, industri pesawat, industry bahan bakar nuklir dan mengelola sepenuhnya barang tambang. Dengan demikian negara akan merdeka dari dikte negara perampok penjajah, seperti tambang minyak yang mayoritas dikuasai asing. Namun tidak demikian yang terjadi di Indonesia, barang tambang justru diserahkan pada asing dan industri pesawat justru dihentikan diduga motifnya adalah suap yang diterima pejabat untuk memperkaya diri sendiri.

 

D.      Kesimpulan

Biaya hidup non muslim dalam negara bersistemkan Khilafah Islam akan lebih murah daripada biaya hidup yang dikeluarkan oleh seorang muslim itu sendiri. Sebab harta yang dikeluarkan non muslim hanya jizyah saja tiada yang lain, tanpa ada beban PPh, PKB, PBB, PPN, BPHTB, Bea Materai dan biaya pendidikan/kesehatan. Harga pangan, Biaya BBM dan Listrik juga akan berkali-kali lipat lebih kecil dari besarnya biaya saat ini.

Adapun bagi muslim dalam negara khilafah, ia harus menghitung dan mengeluarkan zakat dari tabungannya, juga membayar zakat jika ia punya usaha perdagangan, demikian juga jika ia bertani dan berternak harus menghitung zakatnya. Walaupun sama juga dengan non muslim yang tidak akan mengeluarkan beban pajak ini dan itu, kecuali jika negara dalam  kondisi krisis maka bisa jadi ia harus mengeluarkan dharibah jika diminta.

Sedangkan bagi muslim maupun non muslim dalam negara bangsa demokrasi, tidak ada kewajiban membayar zakat ataupun jizyah, namun harus membiayai negara dalam bentuk PPh, PPN, PBB, BPHTB, PKB, Bea Materai, juga mengeluarkan biaya yang besar untuk pendidikan dan kesehatan keluarganya. Biaya BBM dan listrik juga harus dibayar mahal. Sehingga jika ditotal berdasar contoh-contoh kasus pada bagian perbagian tulisan ini, jumlahnya jauh lebih besar dari biaya hidup dalam negara khilafah

 

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Hafidz. 2003. Ushul Fiqih Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’i. Bogor: al-Azhar Press.

_________, Menimbang kaidah syariat: maa la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu.

Ahmad al-Haritsi, Jaribah bin. 2006. Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab. Jakarta: Khalifa.

Al-Mushlih, Abdullah dan Ash-Shawi, Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Darul Haq, Jakarta, 2004.

Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, Jakarta: Khalifa.

Deliarnov. 2005. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Karim, Adiwarman Azwar. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang.

Muhammad, Dasar-dasar Keuangan Islami, Ekonisia, Yogyakarta, 2004.

_________, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2004.

Nabhani, Taqyuddin. 2002. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Prspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti.

Qardhawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Raharjo, Mugi. 2009. Ekonomi Moneter. Surakarta: UNS Press.

Syafe’I, Rachmat, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001.

Zallum, Abdul Qadim. 2002. Sistem Keuangan Negara Khilafah, PTI, Bogor.



[1] Taqyuddin an Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam, PTI, Bogor, 2003, hal. 26-27

[2] Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik Hingga Postmoderisme, Ruzz Media, Jogjakarta, 2008, hal. 80

[3] Taqyuddin an Nabhani, ibid.

[4] Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, al Izzah, Jatim, 2002.

[5] Hizbut Tahrir, Struktur Negara Khilafah (pemerintahan dan Administrasi), HTI Press, Jakarta Selatan, 2006, hal. 33

[6] Qur’an surat at Taubah ayat 100

[7] Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’I, Al Azhar Press, Bogor, 2003, hal. 91

[8] Imam Suyuthi, Tarikh Khulafa Sejarah Penguasa Islam; Khulafaurrasyidin Bani Umayyah Bani Abbasyiah, Pustaka al Kautsar, Jakarta Timur, 2005

[9] Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Di Negara Khilafah, PTI, Bogor, 2002, hal. 181

[10] Ibid., hal. 189

[11] Perseroan dalam Islam terdiri dari 5 jenis; Inan, Abdan, Wujuh, Mudharabah dan Mufawadhah.

[12] Ibid., hal. 57

[13] Ghanimah adalah harta rampasan perang

[14] Berat 1 dirham = 2,975 gr perak; 1 gr perak tahun 2021 = Rp 13.000,-

[15] Abdul Qadim Zallum, ibid., hal. 46

[16] Nabi saw bersabda: pemimpin adalah pengurus rakyat, dan ia akan bertanggungjawab (di akhirat) atas pengurusan rakyatnya (HR. Bukhori)

[17] Biaya jabatan adalah penghargaan pemerintah karena status pegawai tetap, besarnya 5% dari gaji

[18] Ketetapan pemerintah 2021: PTKP wajib pajak setahun Rp. 54 juta. Dan PTKP perkepala orang yang menjadi tanggungan wajib pajak Rp. 4,5 juta (istri atau anak)

[19] Tariff progresif PPh pasal 21 adalah 5%, 15%, 25% dan 30% sesuai besaran PKP

[20] Tarif PBB adalah 0,5% sedangkan jika NJOP diatas Rp. 1 M maka menggunakan pengkalian 40%. Dan jika dibawah nilai Rp. 1 M maka menggunakan pengkalian 20%

Tidak ada komentar: