Oleh: Muhammad Baiquni Syihab
In-Konsistensi Perbankan Syariah
Bank Syariah pada dasarnya adalah perbankan yang sistem operasional utamanya berbasis kerjasama mudharabah, artinya dalam hal saat mengumpulkan dana bank menggunakan bentuk kerjasama mudharabah, dan demikian pula saat bank menyalurkan dana yang terkumpul tersebut, juga menggunakan bentuk kerjasama mudharabah.
Adapun mudharabah adalah bentuk kerjasama yang memiliki konsekuensi bagi hasil, artinya bagi untung dan bagi rugi. Keuntungan dibagi bersama dan kerugian dibagi bersama, kerugian dana ditanggung pemodal, dan kerugian waktu dan tenaga ditenggung sang pengelola.
Pada saat bank mengumpulkan dana, berarti masyarakat yang juga sering disebut sebagai pemilik dana pihak ketiga (tabungan dan deposito mudharabah), juga lembaga keuangan lain yang juga sering disebut sebagai pemilik dana pihak kedua (Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank), semuanya berstatus sebagai Shahibul Maal (pemodal). Status mereka sebagai pemodal dalam mudharabah memiliki konsekuensi bahwa seandainya sebuah usaha mengalami kerugian, maka kerugian materil ditanggung oleh mereka, sedangkan kerugian waktu dan tenaga ditanggung pengelola yang dalam hal ini adalah bank.
Dengan demikian, nasabah (masyarakat maupun lembaga keuangan lain) yang menyimpan dana mereka di bank syariah dengan perjanjian mudharabah pada dasarnya tidak memerlukan jaminan bahwa dana mereka aman dan tidak akan hilang oleh sebab kerugian usaha bank, sebab mereka memegang perjanjian mudharabah sepenuhnya (bagi untung – bagi rugi). Sehingga dalam hal ini bank syariah tidak perlu menjadi bank peserta LPS.
Namun pada dasarnya, masyarakat tidak akan bersedia menaruh dananya di bank syariah bila memiliki resiko hilang (akibat rugi usaha bank), walaupun sistem operasional utama bank syariah adalah mudharabah yang berbasis bagi hasil. Oleh karena itu bank syariah juga merasa diri perlu menjadi peserta LPS agar pemilik dana bersedia menaruh dananya di bank. Inilah bentuk inkonsistensi tersebut. Memberikan bagi hasil tanpa bagi rugi. Hanya untuk membuat masyarakat bersedia menaruh dananya di bank syariah.
Sementara bagi hasil adalah imbalan yang diberikan oleh bank pada nasabah pemilik dana dengan mengkalikan persentase tertentu dengan keuntungan bank syariah yang tidak tentu, sehingga hasilnya pun tidak tentu. Sedangkan bunga adalah imbalan yang mengkalikan persentase tertentu dengan saldo nasabah sendiri, sehingga hasilnya pun pasti. Mungkin hal inilah yang membuat nasabah bank syariah tidak cepat berkembang menjadi besar seperti bank konvensional, sebab dari sisi imbalan yang diberikan pada pemilik dana, bunga lebih pasti daripada bagi hasil. Dan perjanjian bunga lebih memastikan akan kembalinya dana pokok nasabah daripada perjanjian bagi hasil.
Kecuali mereka memegang perjanjian dengan bank syariah hanya dengan bentuk perjanjian titipan (Wadhiah), maka memang bank perlu menjadi peserta LPS.
Adapun Wadhiah adalah bentuk perjanjian bank dengan pemilik dana berupa sekedar titipan yang dana tersebut oleh bank bisa saja dipakai untuk mengembangkan usaha dan keuntungan bank. Namun dalam wadhiah tidak ada kewajiban bank syariah memberikan imbalan pada pemilik asli dari dana tersebut. Juga pemilik dana tidak memiliki hak menuntut untuk diberi imbalan. Kalaupun bank memberikan imbalan, itu hanyalah bonus, namun bukan hak nasabah juga bukan kewajiban bank. Oleh karena itu, karena sifat imbalannya yang tidak pasti, perjanjian wadhiah tidak dapat dijadikan sebagai alat utama bagi bank syariah sebagai pemikat agar pemilik dana bersedia menaruh dananya di bank.
Sehingga disimpulkan bahwa perubahan perbankan konvensional menjadi bank syariah tetap pada sifatnya sebagai perbankan, yaitu lembaga intermediasi yang berperan untuk membuat uang dapat terus berputar. Sama-sama lembaga yang membuat masyarakat terdorong mengeluarkan uang dari tempat yang tidak mudah dijangkau oleh pihak-pihak yang membutuhkan uang.
Lembaga Keuangan Non Bank
Adapun Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) adalah lembaga intermediasi sebagaimana perbankan, perbedaannya hanya pada bahwa LKNB adalah lembaga non depositori. Yaitu lembaga keuangan yang tidak diperkenankan mengumpulkan dana dengan membuka produk simpanan berupa tabungan, giro dan deposito.
Oleh karena sifatnya sebagai lembaga keuangan non depositori, fungsi intermediasi LKNB menjadi lebih panjang daripada alur intermediasi perbankan sebagai lembaga depositori. Artinya, apabila bank mendapatkan dananya berasal dari masyarakat maka penyalurannya pun langsung pada masyarakat yang membutuhkan dana tersebut, atau disalurkan langsung pada perusahaan yang membutuhkan dana. Namun tidak demikian yang terjadi pada LKNB seperti perusahaan asuransi dan pegadaian.
Lembaga keuangan non bank seperti perum pegadaian misalnya, baik dengan sistem operasional syariah maupun konvensional, walaupun dana yang dikuasai langsung disalurkan pada masyarakat yang membutuhkan, namun pada dasarnya dana yang mereka kuasai tersebut bukan berasal dari pihak yang langsung memiliki dana tersebut. Melainkan didapatkan dari perbankan, yang tentu saja dana perbankan tersebut bukan asli milik perbankan juga, tapi dari masyarakat. Dengan demikian alur intermediasi keuangan LKNB lebih panjang. Namun tetap berfungsi sebagai lembaga intermediasi keuangan.
Perusahaan asuransi yang berbasis syariah maupun konvensional pun demikian, tidak ubahnya seperti pegadaian, hanya saja tampak terbalik arus intermediasinya. Dana yang didapatkan benar langsung berasal dari masyarakat, namun penyalurannya tidak langsung pada pihak masyarakat yang membutuhkan dana, melainkan disalurkan pada perbankan, pasar modal atau bahkan disalurkan ke pegadaian. Dengan demikian alur intermediasi keuangan asuransi lebih panjang. Namun asuransi tetap sebagai lembaga intermediasi keuangan yang turut perperan dalam perputaran uang.
Hal yang menjadi titik tekan adalah, bahwa LKNB pada dasarnya lembaga intermediasi keuangan yang hanya sekedar membantu intermediasi keuangan perbankan. Sehingga dapat dikatakan bahwa LKNB adalah derivasi dari perbankan. Sebab pada dasarnya intermediasi keuangan yang utama adalah perbankan, dan LKNB hanya bermain mengikuti arus intermediasi didalamnya.
Makna QS; At-Taubah 34-35
At-Taubah 34-35
“Dan orang-orang yang menyimpan (yaknizuna) emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (34) Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu disetrika (dibakar) dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka. (Dikatakan kepada mereka), “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) harta yang kamu simpan itu (35).”
Ayat tersebut berupa ancaman bagi pihak yang suka menyimpan harta dari emas dan perak di dunia, yaitu berupa siksaan di akhirat. Artinya ada larangan yang bersifat tegas dan keras bagi pemilik dana yang tidak mau mengedarkannya pada orang lain.
Kanzul Maal Tidak Sama Dengan Ihtikar
Diriwayatkan dalam shahih Muslim dari Said bin al Musaib dari Ma’mar bin Abdullah al-Adawi, bahwa Nasbi saw bersabda: “tidak akan melakukan penimbunan selain orang yang salah”
Al-Astram meriwayatkan dari abi Umamah yang mengatakan: “Rasulullah saw telah melarang penimbunan makanan.”
Diriwayatkan Ma’qal bin Yassar yang mengatakan Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang terlibat dalam sesuatu yang berupa harga bagi kaum muslimin, agar dia bisa menaikkan harga tersebut kepada mereka, maka kewajiban Allah untuk mendudukkanmu dengan sebagian besar (tempat duduknya) dari neraka, kelak pada hari kiamat nanti.”[ Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Risalah Gusti, 2002, hal. 208-212]
Hadits-hadits tersebut menjelaskan bahwa penimbunan harta berupa makanan dan barang konsumsi lainnya, berbeda dengan penimbunan harta berupa emas dan perak sebagaimana dalam at-Taubah 34-35. Sebab penimbunan harta dalam bentuk barang konsumsi disebut dengan istilah ihtikar, dan penimbunan harta dalam bentuk emas dan perak disebut dengan istilah kanzul maal.
Demikian pula tujuan dari perbuatan tersebut nyatanya dilakukan dengan memiliki tujuan yang berbeda. Ihtikar dilakukan agar barang-barang di pasar menjadi langka, sehingga pelaku ihtikar akan menjual barang timbunannya saat harga telah naik, dengan demikian dia mendapat keuntungan yang besar. Sedangkan kanzul maal dilakukan dengan tujuan utama berjaga-jaga, sekedar simpanan kekayaan pelakunya atau sekedar koleksi saja. Adapun akibatnya emas dan perak menjadi hilang atau berkurang dari peredarannya.
Diketahui pula bahwa perekonomian di masa hadits-hadits tersebut mucul, penggunaan alat tukar yang sah adalah emas dan perak dengan sebutan dinar dan dirham. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelarangan kanzul maal adalah pelarangan penimbunan uang yang menjadi alat tukar.
Saving Tanpa Tujuan Konsumsi = Penimbunan
Dalam tafsir at-Thabari yang menyandarkan kepada Umamah al-Bahili yang mengatakan: bahwa pada masa Rasulullah saw ada seorang dari ahli shuffah (shahabat yang ahli tashawwuf yang hidup dari hasil sedekah dan tinggal di salah satu sudut masjid Nabawi) yang meninggal, sementara di dalam kain penutup badannya ditemukan 1 dinar, kemudian rasulullah mengetahui dan bersabda: “sekali celaka.” Kemudian ahli shuffah yang lain pun meninggal, dan ditemukan di dalam kain penutup badannya 2 dinar, kemudian Rasulullah mengetahuinya dan bersabda: “dua kali celaka.”[ Ibid., hal. 280]
Rasulullah mengatakan demikian sebab kedua orang tersebut hidup dari hasil sedekah sehingga tidak membutuhkan yang lainnya, sementara mereka mempunyai kepingan uang emas yang tidak akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dikarenakan hidup mereka telah dipenuhi dari hasil sedekah. Sehingga diketahui bahwa mereka menyimpan dinar emas tersebut tanpa tujuan konsumsi, dan oleh karena itu disebut penimbunan emas dan perak walaupun jumlahnya sedikit.
Sifat Zakat Emas dan Perak Berbeda dengan Zakat Harta Lainnya
Pada semua zakat ternak, kewajiban zakat yang harus dikeluarkan hanya sekali dalam sekali nishob (batasan jumlah zakat). Seperti 1 ekor kambing harus dikeluarkan zakatnya saat jumlah kambing yang dimiliki berjumlah 40 ekor. Mengeluarkan zakatnya hanya sekali itu saja. Adapun jika jumlahnya bertambah menjadi 60 ekor, maka tidak ada zakatnya walaupun telah terlewat 1 tahun, artinya tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat dari 60 ekor tersebut. Barulah kemudian saat jumlahnya mencapai 121 ekor maka dibayar zakatnya sebanyak 2 ekor kambing.
Adapun zakat emas nishobnya adalah 20 dinar atau 85 gr emas dan nishob perak adalah 200 dirham atau 550 gr perak. Selama emas dan perak yang dimiliki seseorang masih diatas nishob, maka selama itu pula setiap tahun zakat daripadanya dikeluarkan sebanyak 2,5%.
Dari ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Nabi saw. bersabda, “Bila engkau memiliki 200 dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar 5 dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikit pun –maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki 20 dinar. Bila engkau telah memiliki 20 dinar, dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat 1/2 dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishob) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu.”[ Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, PTI, 2002, hal. 182]
Adapun emas dan perak yang digunakan sebagai perhiasan yang menempel dibadan (seorang wanita), maka tidak ada zakatnya (tidak ada kewajiban zakat atasnya) walaupun jumlahnya melebihi nishob emas maupun perak, sedangkan apabila emas dan perak tersebut tidak digunakan sebagai perhiasan yang menempel di badan walaupun berwujud fisik layaknya perhiasan maka tetap diambil zakatnya bila telah melewati batas nishob dan haul (masa 1 tahun penyimpanan).[ Ibid., hal. 193-196] Artinya didalam ekonomi Islam, seandainya emas dan perak tidak digunakan sebagai perhiasan di badan maka akan tetap diperlakukan sebagai mata uang, walaupun wujud fisiknya bermacam-macam. Sebab, emas dan perak akan diterima oleh siapapun sebagai alat tukar walaupun dengan bentuk fisik yang beragam.
Harta Tidak Boleh Hanya Beredar di Kalangan Kaya Saja
Dalam surat al-Hasyr ayat 7 Allah swt berfirman:
“apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada RasulNya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Ayat tersebut benar tidak membicarakan emas dan perak secara spesifik layaknya surat at-Taubah 34-35 diatas, ayat tersebut membicarakan harta secara umum. Namun perkara yang menjadi pelajaran adalah ketidakbaikan seandainya sebuah harta hanya dikuasai tanpa dapat dimanfaatkan oleh yang lainnya.
Larangan QS At-Taubah: 34-35 Berlaku bagi Muslim dan Non Muslim
Imam Bukhori meriwayatkan dari Zaid bin Wahab yang mengatakan:
“aku berpapasan dengan Abu Dzar di Rubdah, kemudian aku bertanya, apa yang menyebabkan engkau turun di daerah? Dia menjawab: kami berada di Syam, kemudian aku membaca walladzina yaknizunadz dzahaba wal fidhata wa la yunfiqunaha fi sabilillah, fa basysyirhum bi adzabin alim (dan orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka sampaikan kepada mereka azab yang pedih), Muawiyah berkata: ini bukan untuk kita, dan hanyalah untuk ahlul kitab., kemudian Abu Dzar berkata: ini sungguh berlaku untuk kita dan mereka.”[ Taqyuddin an-Nabhani, Ibid., hal. 281]
Telah diketahui bahwa saat Rasulullah saw menjabat sebagai kepala negara di Madinah, masyarakat yang berada dibawah kekuasaannya bukan hanya dari kalangan muslim saja, melainkan dari berbagai macam agama seperti Nasrani dan Yahudi. Demikian juga pemerintahan Islam pasca Rasulullah, yaitu pemerintahan Khulafaurrasyidin, Pemerintahan Umawiyyah, pemerintahan Abbasyiyah, hingga pemerintahan Turki Utsmani di tahun 1924, masyarakat non muslim yang hidup dibawah pemerintahan Islam saat itu tunduk dengan aturan pemerintah yang berasal dari ajaran al-Qur’an dan Hadits Nabi saw.
Artinya hukum yang berasal dari al-Quran dan Hadits Nabi seringkali ditujukan bukan hanya untuk muslim saja, melainkan juga non muslim, dengan demikian aturan-aturan yang muncul tersebut adalah aturan-aturan publik, bukan aturan untuk mengatur kehidupan pribadi agama-agama non muslim.
Demikian juga aturan Islam yang berkaitan dengan penimbunan uang dalam QS At-Taubah 34-35, tidak mungkin larangan tersebut hanya berlaku bagi muslim, sedangkan non muslim tidak dilarang melakukan perbuatan tersebut, sementara muslim dan non muslim hidup berdampingan dalam suatu negara.
Bersambung ke jilid 3
Bersambung ke jilid 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar