Sabtu, 09 April 2016

KHILAFAH BANI UMAYYAH VS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab



Pendahuluan
Stigma negatif seringkali dilekatkan pada sistem politik kenegaraan Khilafah Islamiyah, yaitu sebagai upaya untuk menghambat tegaknya kembali sistem politik ini yang dahulu pernah berjaya di dunia. terutama saat sistem politik Islam ini dipimpin oleh bani/keturunan Umayyah (40H – 132H), yang digambarkan dengan dibesar-besarkan dengan gambaran sistem yang banyak menimbulkan pertikaian dan pertumpahan darah, padahal bila kita melihat secara objektif apa saja yang terjadi pada masa itu, tentu saja berbagai macam pujian juga akan ditujukan pada keKhilafahan masa mereka, walaupun tak dapat disangsikan memang ada sejarah hitam pada masa mereka.

Namun demikian, cacat yang ada pada masa itu, bila kita lihat lebih jauh sesungguhnya diakibatkan oleh oknum-oknum tertentu yang gegabah, cinta dunia, pembuat fitnah dan pemimpin yang suka dengan kenikmatan dunia. sedangkan kemakmuran segala aspek kehidupan dan kemajuan apa saja yang telah dicapai merupakan sesuatu yang inheren dengan sistem ini (Khilafah Islam) yang jarang diangkat kepermukaan. Seperti penyimpangan bai’at yang dipaksakan dengan sistem putra mahkota diawal masa bani Umayah ini, memicu konflik, juga ternyata diikuti oleh Khalifah selanjutnya, namun demikian adanya penyimpangan pewarisan tahta sejatinya tidak merubah sistem Khilafah menjadi sistem dinasti sebagaimana yang terjadi dalam peradaban konfusius, karena pokok dari sistem Islam ini tetap ada, yaitu bai’at dan pelaksanaan syari’at Islam.

Bila dilihat dari masa kemajuan, ketenangan dan kemakuran yang dialami, dengan masa fitnah dan pertikaian yang terjadi tidaklah sebanding. Dimulai dari tahun jama’ah, perselisihan dan fitnah yang terjadi dimulai tahun 61 H (masa Yazid bin Muawiyah) hingga tahun 73 H setelah kematian Abdullah bin Zubair, dan muncul lagi pada pergolakan Ibnul Asy’ats pada tahun 81-83 H. kemudian padamlah fitnah ini kecuali hanya kecil saja. Baru pada tahun 122 H muncul pertikaian oleh Zaid bin Ali hingga 132 H. lalu apa arti dari masa-masa ini? Ternyata angka-angka tersebut menunjukkan bahwa masa pergolakan dan kekacauan terjadi hanya selama 24 tahun sepanjang berdiri dan tegaknya Khilafah bani Umayyah selama 92 tahun (40-132 H), dan pertikaian yang terjadi pun di wilayah tertentu saja, tidak merata disetiap wilayah kekuasaannya. Artinya, bahwa pada dasarnya sejarah kita lebih banyak dihiasi dengan ketenangan bukannya persengketaan, diwarnai dengan perdamaian bukan peperangan. Dan itupun terjadi dimasa bani Umayyah, masa yang dituduh penuh pertikaian ternyata sebaliknya, apalagi bila melihat kekhilafahan dimasa Abbasyiah dan Utsmaniyah yang berdiri lebih dari 1000 tahun yang terkenal dengan kemajuan peradabannya, tentu perbandingan masa buruk dengan masa baik akan lebih jauh lagi.




Perpolitikan Khilafah Bani Umayyah
Khilafah bani Umayyah memliki militer yang kuat, dan kekuatan itu muncul karena semangat jihad yang tertanam dalam dada setiap pasukannya. Hingga karena semangat jihad itu, wilayah kekuasaannya bila dibandingkan dengan imperium Romawi, amat terlalu luas bagi negara yang baru berdiri, dan wilayah taklukannya pun tak sebanding dengan jumlah pasukan yang membukanya.

Semangat jihad adalah semangat menyebarluaskan penerapan syari’at Islam di suatu wilayah, bukan semangat menjajah, ini terbukti oleh Al-Hajjaj, seorang wali (gubernur) Khalifah Walid bin Abdul Malik (Khalifah ke-5) yang terkenal keras dalam kepemimpinannya, saat ia memimpin pembukaan daerah ke wilayah Sind, penduduknya justru menerimanya dengan baik dan memuji pembukaan daerah tersebut, karena mereka dibiarkan memeluk agama mereka (Budha), dan candi-candi mereka pun tidak ada yang dirusak.

Pembuka daerah pada masa Al-Walid bukan hanya Al-Hajjaj seorang, tapi banyak juga yang lainnya, seperti Musa bin Nushair, ia menyusun perluasan daerah ke Andalusia dengan etnis Barbar sebagai mayoritas pasukannya, dengan ajudannya Thariq bin Ziyad yang menguasai pulau yang menuju Andalusia yang sekarang terkenal dengan Jabal Thariq (Giblaltar) sekaligus kota Andalusia (Spanyol). Dengan 2-7 ribu pasukan muslimin mampu mengalahkan raja Zuraiq dari Al-Qauth beserta pasukannya yang berjumlah 200 ribu pasukan tempur. Maka pada masa Al-Walid wilayah kekuasaan meliputi Sind sampai India, daerah utara Syam sampai daerah Armenia, Qufqas, sebagian negeri Romawi, Maroko dan seluruh daerah Andalusia kecuali pegunungan-pegunungannya. Sedangkan wilayah Ma Wara’a An-Nahr (Uni Soviet dahulu) dan daerah Cina telah ditaklukkan oleh Abdul Malik bin Marwan (Khalifah ke-4).

Masa Sulaiman bin Abdul Malik (Khalifah ke-6) wilayah meluas sampai Jurjan (georgia) dan Thabristan. Dan pada masa Hisyam bin Abdul Malik (Khalifah ke-9) negeri Al-Ghal yang sekarang menjadi negeri Perancis pun pernah dapat dikuasai hingga kota Poutieh di sebelah timur laut Paris.

Sejak berkuasa hingga runtuhnya Khilafah bani Umayyah, Konstantinopel adalah satu wilayah yang tidak dapat ditaklukkan walaupun dengan kekuatan terbesar dari pasukan khilafah. Muawiyah sebagai khalifah pertama bani ini juga pernah memimpin sendiri pasukannya dari darat dan laut dengan 1700 armada, dengan jumlah yang besar ini ia mampu membuka beberapa pulau, hingga sampai ke Konstantinopel setelah memenangkan perang yang terkenal dengan pertempuran Dzatus Shuwari. Namun Muawiyah tidak diizinkan Allah SWT. Sebagai penakluk negeri ini, dan kapal-kapalnya dilempari dengan api oleh Romawi yang dikenal dengan Api Yunani. Tahun 48 H kembali Muawiyah menyerang, namun dengan hasil yang sama, ditambah dengan kematian shahabat besar Abu Ayyub Al-Anshari. Al-Walid juga pernah menyerang Konstantinopel namun hanya dengan hasil penghancuran benteng-benteng Romawi. Konstantinopel juga merupakan obsesi Sulaiman bin Abdul Malik, yaitu dengan usahanya mengerahkan 100 ribu personel, tapi juga tetap tidak membuahkan hasil.

Perekonomian Khilafah Bani Umayyah
Umar bin Abdul Aziz (Khalifah ke-7) adalah sosok yang sering dibesar-besarkan sebagai pemimpin masa kejayaan bani Umayyah, terutama masalah ekonomi. Seandainya kita membaca ulang sejarah bani ini, tentu prestasi yang telah dicapai Khalifah ke-7 ini adalah suatu hal yang wajar, dan bukan hal yang luar biasa. Ya, masa beliau adalah masa puncak kejayaan, tapi jarak sukses antara masanya dengan masa Khalifah-khalifah sebelumnya sangat tipis, karena kesejahteraan dan kemajuan sudah tercapai, dan karena itu semua adalah sesuatu yang inheren dengan sistem Khilafah, bahwa kesejahteraan akan selalu mengikutinya.

Masa Walid bin Abdul Malik adalah contohnya, saat programnya untuk membangun masjid umawi di Damaskus, masjid yang merupakan keajaiban seni dunia tanpa tanding, karena kemegahan bangunannya dan ketinggian ilmu arsiteknya. Dalam pembangunannya, pekerja yang digunakan lebih dari 10.000 pekerja, dan Al-Walid menyediakan untuk pembangunan masjid tersebut 50 kotak emas, dan ada yang mengatakan ia menghabiskan hasil 7 tahun pendapatan negara, sehingga masyarakat berbisik bahwa Al-Walid telah mengambil uang rakyat secara keseluruhan, lalu hal ini dijawab oleh pemerintah bahwa di Baitul Maal (kas negara) masih sisa uang tabungan 10 tahun uang pendapatan negara.

Al-Walid juga melarang orang fakir meminta-minta. Ia mengatakan bahwa di Baitul Maal ada uang cukup untuk mencukupinya, mereka mempunyai jatah uang tersendiri. Ekonomi pada masanya sangat maju, namun lebih banyak ditopang dari hasil bumi (Kharaj tanah pertanian) ketimbang rampasan perang, maka pada masanya banyak perbaikan tanah-tanah terutama yang berupa rawa-rawa yang dikeringkan.

Intervensi asing terhadap ekonomi negara sudah hilang sama sekali sejak masa Abdul Malik bin Marwan, sejak ia mengemban dakwah Islam dan dengan sengaja menuliskan kalimat: syahadallaahu annahu laa ilaaha illa huwa  (artinya: “Allah bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain diri-Nya.”) dalam lembaran-lembaran papyrus. Melihat hal itu raja Romawi marah, padahal Romawi pada waktu itu sangat membutuhkan papyrus dari negeri Arab, raja Romawi kemudian mengancam untuk mencetak mata uang dinar dan dirham dengan tulisan yang menghina Nabi Muhammad SAW., jika tulisan itu masih selalu dipasang dalam setiap papyrus, dengan demikian ia (Abdul Malik) mulai memproduksi mata uang sendiri. Ternyata setelah itu ia tidak hanya memproduksi uang sendiri tapi lebih dari itu. Selain dinar dengan dua sisi mata uang dengan bertuliskan kalimat Arab Qul huwallaahu ahad dan sisi lain Laa ilaaha illallah, dan dirham dengan tulisan Muhammadun rasuulullaahi arsalahu bil hudaa wadiinil haq, Abdul Malik juga menjadikan timbangan dirham sesuai dengan hitungan zakat. Supaya tidak sulit dalam perhitungannya, ia menjadikan 1 dirham sama dengan 6 dawaniq, sehingga 10 dirham sama dengan 7 mitsqal.

Sedangkan masa Umar bin Abdul Aziz adalah masa puncaknya, dimana semua manusia menjadi kaya, padahal jizyah dari orang yang baru masuk Islam yang dipungut Al-Hajjaj telah ia hapuskan dan pembukaan daerahpun sudah ia hentikan yang berarti pemasukan negarapun ikut berkurang, tetapi tetap tidak merubah kesejahteraan rakyat menjadi berkurang, malah kesejahteraan itupun meningkat.

Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Dalail an-Nubuwwah dari Umar bin Asiid ia berkata, “Umar bin Abdul Aziz memerintah hanya selama 30 bulan. Dan demi Allah disaat ia meninggal, maka sungguh orang ini telah memberikan kepada kami (negara) harta atau devisa yang sangat banyak. Dan saat pintu-pintu mereka diketuk untuk diberi zakat mereka malah menolaknya dan mengatakan, “Allah telah mencukupi kami dengan karunianya”.

Namun demikian perlu diperhatikan, kemakmuran ekonomi yang terjadi di era Umayyah ini (khususnya era Umar II) tidak berarti bahwa setiap masyarakat meiliki harta yang melimpah sehingga mereka tidak mengambil zakat, sebab tidak ada catatan sejarah yang menyatakan bahwa mereka memiliki kehidupan mewah. Kecukupan yang mereka rasakan bisa jadi karena figuritas semata, bukan materi.

Kondisi Sosial-Budaya Khilafah Bani Umayyah
Khalifah Abdul Malik bin Marwan adalah orang yang membuat bahasa Al-Qur’an menjadi bahasa resmi negara, dengan melakukan Arabisasi di setiap perkantoran sampai sekecil-kecilnya, yaitu nama warga negara yang bukan keturunan Arab. Dan kita mengetahui bahwa atas jasa Abdul Malik, keKhilafahan dapat bertahan hingga bani Utsmaniyah, hingga akhirnya bahasa Arab tidak lagi dijadikan bahasa negara yang membuat manusia tidak terbiasa dengan bahasa itu dan menghilangkan kemampuannya dalam berijtihad dengan benar, hingga tidak tahu apa yang halal dan yang haram yang dapat diambil dari peradaban kafir-barat. Hingga runtuhlah Khilafah karenanya, yang sejatinya sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an yang berbahasa Arab.

Pada masa Al-Walid, ia mendirikan rumah sakit untuk orang sakit kusta, menugaskan pegawainya untuk menuntun setiap orang buta, memberi satu pembantu bagi orang yang tidak bisa berdiri, menerangi setiap jalan yang dilalui orang sehingga kota Damaskus menjadi kota yang gemerlapan ketika malam, memperbaiki setiap jalan yang rusak, juga diluar kota damaskus, dan membangun sumur-sumur untuk pengambilan minyak.

Negara Kesatuan Republik Indonesia




















































































































Sejak berdirinya hingga saat ini, Indonesia telah 7 kali berganti kepala Negara, dan penerapan sistem pemerintahan demokrasi sekuler di Indonesia telah dimulai saat berdirinya negara ini terhitung sejak 17/08/1945 hingga saat ini, April 2016, adalah 70 tahun 8 bulan. Adapun luas wilayah Negara ini dari Sabang (Aceh) sampai Merauke (Papua) terhitung sejak tahun 1963. Adapun sebelum itu, wilayah Indonesia baru sebatas Sumatera Utara hingga Sulawesi, sebab Aceh baru tergabung dalam NKRI sejak tahun 1962.

Perpolitikan NKRI
Sebelum terbentuk NKRI, sistem politik di Nusantara ini tidak lain adalah kesultanan, dan telah tercatat dalam sejarah bahwa terdapat beberapa kesultanan di Nusantara ini sebelum terbentuknya NKRI, diantaranya Kesultanan Banten, Kesultanan Mataram, Kesultanan Palembang, Kesultanan Aceh, Kesultanan Tidore, dsb hingga datangnya kape-kape kompeni penjajah Belanda, Inggris, Portugis dan Jepang maka lenyaplah sistem politik tersebut satu persatu. Sehingga ketika terbentuknya NKRI, wilayah Indonesia baru dimulai dari pulau Jawa, Sumatera bagian Selatan, Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan sebelah timur pulau Jawa.

Kepala Negara yang menyatukan wilayah nusantara dari Sabang sampai Merauke menjadi satu kekuasaan Negara ke dalam NKRI tidak lain adalah Soekarno, dan yang melepaskan Timor Timur dari wilayah Indonesia adalah Ing. BJ. Habibie. Sedangkan kepala Negara yang membiarkan wilayah Aceh dan Papua selalu dalam ancaman lepas dari kekuasaan Indonesia tidak lain adalah Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudoyono. Namun tidak ada satupun kepala Negara Indonesia yang berusaha memperluas wilayah kekuasaan dengan menjadikan Negara tetangga menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Indonesia, hal itu karena sistem politik Indonesia yang berfaham nasionalisme (nation state).

Bila dibandingkan dengan tingkat perseteruan konflik politik baik antar penguasa, maupun antara penguasa dengan rakyat dalam Khilafah bani Umayyah, perpolitikan Indonesia tentu cenderung lebih damai. Namun bila melihat konflik di sesama rakyat, sepertinya NKRI memiliki lebih banyak catatan daripada masa bani Umayyah.

Keadaan Ekonomi NKRI
Di era Soekarno kondisi ekonomi yang tercatat sejarah adalah kejadian sanering tahun 1965, yaitu peristiwa pemotongan tiga digit nominal uang Rupiah dikarenakan inflasi yang mencapai 500% disebabkan terlalu seringnya mencetak uang baru untuk membiayai kebutuhan operasional Negara.

Adapun era Soeharto, kejadian ekonomi yang tercatat adalah penyerahan tambang logam mulia di Papua kepada PT. Freeport milik Amerika Serikat pasca disahkannya UU PMA. Adapun kebijakan ekonomi yang dipakai adalah kebijakan ekonomi dari teori ekonom Amerika Serikat WW. Rostow, yaitu Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang menekankan bahwa perekonomian harus diawali dengan kemapanan agraria.

Sedangkan tentang era 2 kepala Negara terakhir, Badan Pusat Statistik mengeluarkan data kondisi ekonomi yang menunjukkan bahwa jumlah orang miskin terus naik dari 27,73 juta jiwa (10,96 persen jumlah penduduk) pada September 2014 menjadi 28,51 juta (11,13 persen) pada September 2015. Pada periode yang sama, rasio Gini, khususnya di perkotaan, naik dari 0,43 menjadi 0,47. Rasio Gini adalah rasio yang menggambarkan tingkat ketimpangan, semakin tinggi rasio ketimpangan semakin lebar. Pada November 2015 lalu, Bank Dunia mengeluarkan data bahwa selama dasawarsa terakhir sampai 2014, sebesar 10 persen penduduk terkaya Indonesia menguasai 77% ekonomi negeri. Laporan Bank Dunia hanya sampai 2014, dengan begitu, data 2015 semakin menegaskan bahwa ketimpangan terus berlanjut dari era Susilo Bambang Yudhoyono ke era Jokowi. (sumber: www.republika.co.id)

Namun perlu diperhatikan, bahwa angka kesenjangan ekonomi yang terjadi di zaman ini tidak berarti tidak pernah terjadi di zaman kekhilafahan bani Umayyah, sebab walaupun tidak ada penghitungan rasio gini di zaman lalu, tetapi sejarah melukiskan kekayaan yang dimiliki pejabat-pejabat Negara yang merupakan satu keluarga dengan kekayaan yang melimpah, sedangkan disisi lain rakyat jelata tercatat juga termasuk orang-orang miskin. Artinya, walaupun di era Khilafah, kesenjangan juga terjadi pada masa Bani Umayyah.

Keadaan Sosial-Budaya NKRI
Kepala Negara pembuka arus pluralism di Indonesia adalah Abdurrahman Wahid, namun bukan berarti pada zaman sebelum itu tidak ada kerusakan sosial. Sebab cara hidup bangsa ini lepas dari aturan Islam telah dimulai sejak kesultanan-kesultanan Islam kalah takluk oleh kape penjajah dan kemudian menerima ajakan Ir. Soekarno untuk bergabung dalam Negara sekuler Republik Indonesia. Artinya, faham dan aturan rusak telah ada sejak pemufakatan itu hingga terus membesar di era Joko Widodo ini.

Kesimpulan
                Dari pemaparan diatas tentu kita tidak mudah melihat mana dari keduanya yang lebih baik. Sebab keduanya berbeda dalam faham kenegaraan. NKRI berfaham nation state yang tidak mungkin berkembang namun mungkin terpecah. Sedangkan Khilafah bani Umayyah adalah Negara berfaham futuhat. NKRI adalah Negara berfaham hukum sekuler, sedangkan Khilafah bani Umayyah berfaham dakwah Islam.
               
Melihat mana dari keduanya yang lebih baik tidak bisa kecuali dengan kaca mata akhirat. Bahwa khilafah bani Umayyah dengan segala kelebihan dan kekurangannya secara lahir, tetap menerapkan hukum Islam di area public yang dengan itu Allah meridhoi masyarakatnya. Sedangkan NKRI dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tetap tidak menerapkan hukum Islam di area public, yang dengan itu Allah murka dengan orang-orang yang berdiam diri atas tidak diterapkannya hukum Allah tersebut.
Wallahua’lam..

Sumber: Sejarah Dinasti Umayyah (ad-Daulah Al-Umawiyah wa Ahdats allati Sabaqatha wa Mahhadat Laha, Ibtida’an min Fitnah ‘Utsman). Karangan DR. Yusuf Al-Isy., terbitan Pustaka Al-Kautsar (Dar Al-Fikr, Beirut).
 

Tidak ada komentar: