Oleh:
Muhammad Baiquni Syihab
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Stigma
negatif seringkali dilekatkan pada sistem politik kenegaraan Khilafah
Islamiyah, yaitu sebagai upaya untuk menghambat tegaknya kembali sistem politik
ini yang dahulu pernah berjaya di dunia. terutama saat sistem politik Islam ini
dipimpin oleh bani/keturunan Umayyah (40H – 132H), yang digambarkan dengan
dibesar-besarkan dengan gambaran sistem yang banyak menimbulkan pertikaian dan
pertumpahan darah, padahal bila kita melihat secara objektif apa saja yang
terjadi pada masa itu, tentu saja berbagai macam pujian juga akan ditujukan
pada keKhilafahan masa mereka, walaupun tak dapat disangsikan memang ada sejarah
hitam pada masa mereka.
Namun
demikian, cacat yang ada pada masa itu, bila kita lihat lebih jauh sesungguhnya
diakibatkan oleh oknum-oknum tertentu yang gegabah, cinta dunia, pembuat fitnah
dan pemimpin yang suka dengan kenikmatan dunia. sedangkan kemakmuran segala
aspek kehidupan dan kemajuan apa saja yang telah dicapai merupakan sesuatu yang
inheren dengan sistem ini (Khilafah Islam) yang jarang diangkat kepermukaan.
Seperti penyimpangan bai’at yang dipaksakan dengan sistem putra mahkota diawal
masa bani Umayah ini, memicu konflik, juga ternyata diikuti oleh Khalifah
selanjutnya, namun demikian adanya penyimpangan pewarisan tahta sejatinya tidak
merubah sistem Khilafah menjadi sistem dinasti sebagaimana yang terjadi dalam
peradaban konfusius, karena pokok dari sistem Islam ini tetap ada, yaitu bai’at
dan pelaksanaan syari’at Islam.
Bila
dilihat dari masa kemajuan, ketenangan dan kemakuran yang dialami, dengan masa
fitnah dan pertikaian yang terjadi tidaklah sebanding. Dimulai dari tahun
jama’ah, perselisihan dan fitnah yang terjadi dimulai tahun 61 H (masa Yazid
bin Muawiyah) hingga tahun 73 H setelah kematian Abdullah bin Zubair, dan
muncul lagi pada pergolakan Ibnul Asy’ats pada tahun 81-83 H. kemudian padamlah
fitnah ini kecuali hanya kecil saja. Baru pada tahun 122 H muncul pertikaian
oleh Zaid bin Ali hingga 132 H. lalu apa arti dari masa-masa ini? Ternyata
angka-angka tersebut menunjukkan bahwa masa pergolakan dan kekacauan terjadi hanya
selama 24 tahun sepanjang berdiri dan tegaknya Khilafah bani Umayyah selama 92
tahun (40-132 H), dan pertikaian yang terjadi pun di wilayah tertentu saja,
tidak merata disetiap wilayah kekuasaannya. Artinya, bahwa pada dasarnya
sejarah kita lebih banyak dihiasi dengan ketenangan bukannya persengketaan,
diwarnai dengan perdamaian bukan peperangan. Dan itupun terjadi dimasa bani Umayyah,
masa yang dituduh penuh pertikaian ternyata sebaliknya, apalagi bila melihat
kekhilafahan dimasa Abbasyiah dan Utsmaniyah yang berdiri lebih dari 1000 tahun
yang terkenal dengan kemajuan peradabannya, tentu perbandingan masa buruk
dengan masa baik akan lebih jauh lagi.
Perpolitikan
Khilafah Bani Umayyah
Khilafah
bani Umayyah memliki militer yang kuat, dan kekuatan itu muncul karena semangat
jihad yang tertanam dalam dada setiap pasukannya. Hingga karena semangat jihad
itu, wilayah kekuasaannya bila dibandingkan dengan imperium Romawi, amat
terlalu luas bagi negara yang baru berdiri, dan wilayah taklukannya pun tak
sebanding dengan jumlah pasukan yang membukanya.
Semangat
jihad adalah semangat menyebarluaskan penerapan syari’at Islam di suatu wilayah,
bukan semangat menjajah, ini terbukti oleh Al-Hajjaj, seorang wali (gubernur)
Khalifah Walid bin Abdul Malik (Khalifah ke-5) yang terkenal keras dalam
kepemimpinannya, saat ia memimpin pembukaan daerah ke wilayah Sind, penduduknya
justru menerimanya dengan baik dan memuji pembukaan daerah tersebut, karena
mereka dibiarkan memeluk agama mereka (Budha), dan candi-candi mereka pun tidak
ada yang dirusak.
Pembuka
daerah pada masa Al-Walid bukan hanya Al-Hajjaj seorang, tapi banyak juga yang
lainnya, seperti Musa bin Nushair, ia menyusun perluasan daerah ke Andalusia
dengan etnis Barbar sebagai mayoritas pasukannya, dengan ajudannya Thariq bin
Ziyad yang menguasai pulau yang menuju Andalusia yang sekarang terkenal dengan
Jabal Thariq (Giblaltar) sekaligus kota Andalusia (Spanyol). Dengan 2-7 ribu
pasukan muslimin mampu mengalahkan raja Zuraiq dari Al-Qauth beserta pasukannya
yang berjumlah 200 ribu pasukan tempur. Maka pada masa Al-Walid wilayah
kekuasaan meliputi Sind sampai India, daerah utara Syam sampai daerah Armenia,
Qufqas, sebagian negeri Romawi, Maroko dan seluruh daerah Andalusia kecuali
pegunungan-pegunungannya. Sedangkan wilayah Ma Wara’a An-Nahr
(Uni Soviet dahulu) dan daerah Cina telah ditaklukkan oleh Abdul Malik bin
Marwan (Khalifah ke-4).
Masa Sulaiman
bin Abdul Malik (Khalifah ke-6) wilayah meluas sampai Jurjan (georgia) dan
Thabristan. Dan pada masa Hisyam bin Abdul Malik (Khalifah ke-9) negeri Al-Ghal
yang sekarang menjadi negeri Perancis pun pernah dapat dikuasai hingga kota
Poutieh di sebelah timur laut Paris.
Sejak
berkuasa hingga runtuhnya Khilafah bani Umayyah, Konstantinopel adalah satu
wilayah yang tidak dapat ditaklukkan walaupun dengan kekuatan terbesar dari
pasukan khilafah. Muawiyah sebagai khalifah pertama bani ini juga pernah memimpin
sendiri pasukannya dari darat dan laut dengan 1700 armada, dengan jumlah yang
besar ini ia mampu membuka beberapa pulau, hingga sampai ke Konstantinopel
setelah memenangkan perang yang terkenal dengan pertempuran Dzatus Shuwari.
Namun Muawiyah tidak diizinkan Allah SWT. Sebagai penakluk negeri ini, dan
kapal-kapalnya dilempari dengan api oleh Romawi yang dikenal dengan Api Yunani.
Tahun 48 H kembali Muawiyah menyerang, namun dengan hasil yang sama, ditambah
dengan kematian shahabat besar Abu Ayyub Al-Anshari. Al-Walid juga pernah
menyerang Konstantinopel namun hanya dengan hasil penghancuran benteng-benteng
Romawi. Konstantinopel juga merupakan obsesi Sulaiman bin Abdul Malik, yaitu
dengan usahanya mengerahkan 100 ribu personel, tapi juga tetap tidak membuahkan
hasil.
Perekonomian
Khilafah Bani Umayyah
Umar
bin Abdul Aziz (Khalifah ke-7) adalah sosok yang sering dibesar-besarkan
sebagai pemimpin masa kejayaan bani Umayyah, terutama masalah ekonomi.
Seandainya kita membaca ulang sejarah bani ini, tentu prestasi yang telah
dicapai Khalifah ke-7 ini adalah suatu hal yang wajar, dan bukan hal yang luar
biasa. Ya, masa beliau adalah masa puncak kejayaan, tapi jarak sukses antara
masanya dengan masa Khalifah-khalifah sebelumnya sangat tipis, karena kesejahteraan
dan kemajuan sudah tercapai, dan karena itu semua adalah sesuatu yang inheren
dengan sistem Khilafah, bahwa kesejahteraan akan selalu mengikutinya.
Masa
Walid bin Abdul Malik adalah contohnya, saat programnya untuk membangun masjid
umawi di Damaskus, masjid yang merupakan keajaiban seni dunia tanpa tanding,
karena kemegahan bangunannya dan ketinggian ilmu arsiteknya. Dalam
pembangunannya, pekerja yang digunakan lebih dari 10.000 pekerja, dan Al-Walid
menyediakan untuk pembangunan masjid tersebut 50 kotak emas, dan ada yang
mengatakan ia menghabiskan hasil 7 tahun pendapatan negara, sehingga masyarakat
berbisik bahwa Al-Walid telah mengambil uang rakyat secara keseluruhan, lalu
hal ini dijawab oleh pemerintah bahwa di Baitul Maal (kas negara) masih sisa
uang tabungan 10 tahun uang pendapatan negara.
Al-Walid
juga melarang orang fakir meminta-minta. Ia mengatakan bahwa di Baitul Maal ada
uang cukup untuk mencukupinya, mereka mempunyai jatah uang tersendiri. Ekonomi
pada masanya sangat maju, namun lebih banyak ditopang dari hasil bumi (Kharaj
tanah pertanian) ketimbang rampasan perang, maka pada masanya banyak perbaikan
tanah-tanah terutama yang berupa rawa-rawa yang dikeringkan.
Intervensi
asing terhadap ekonomi negara sudah hilang sama sekali sejak masa Abdul Malik
bin Marwan, sejak ia mengemban dakwah Islam dan dengan sengaja menuliskan
kalimat: syahadallaahu annahu laa ilaaha illa huwa (artinya:
“Allah bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain diri-Nya.”) dalam
lembaran-lembaran papyrus. Melihat hal itu raja Romawi marah, padahal Romawi
pada waktu itu sangat membutuhkan papyrus dari negeri Arab, raja Romawi
kemudian mengancam untuk mencetak mata uang dinar dan dirham dengan tulisan
yang menghina Nabi Muhammad SAW., jika tulisan itu masih selalu dipasang dalam
setiap papyrus, dengan demikian ia (Abdul Malik) mulai memproduksi mata uang
sendiri. Ternyata setelah itu ia tidak hanya memproduksi uang sendiri tapi
lebih dari itu. Selain dinar dengan dua sisi mata uang dengan bertuliskan
kalimat Arab Qul huwallaahu ahad dan sisi lain Laa ilaaha illallah,
dan dirham dengan tulisan Muhammadun rasuulullaahi arsalahu bil hudaa
wadiinil haq, Abdul Malik juga menjadikan timbangan dirham sesuai dengan
hitungan zakat. Supaya tidak sulit dalam perhitungannya, ia menjadikan 1 dirham
sama dengan 6 dawaniq, sehingga 10 dirham sama dengan 7 mitsqal.
Sedangkan
masa Umar bin Abdul Aziz adalah masa puncaknya, dimana semua manusia menjadi
kaya, padahal jizyah dari orang yang baru masuk Islam yang dipungut Al-Hajjaj
telah ia hapuskan dan pembukaan daerahpun sudah ia hentikan yang berarti
pemasukan negarapun ikut berkurang, tetapi tetap tidak merubah kesejahteraan
rakyat menjadi berkurang, malah kesejahteraan itupun meningkat.
Diriwayatkan
oleh Imam Baihaqi dalam kitab Dalail an-Nubuwwah dari Umar bin Asiid ia
berkata, “Umar bin Abdul Aziz memerintah hanya selama 30 bulan. Dan demi Allah
disaat ia meninggal, maka sungguh orang ini telah memberikan kepada kami
(negara) harta atau devisa yang sangat banyak. Dan saat pintu-pintu mereka
diketuk untuk diberi zakat mereka malah menolaknya dan mengatakan, “Allah telah
mencukupi kami dengan karunianya”.
Namun
demikian perlu diperhatikan, kemakmuran ekonomi yang terjadi di era Umayyah ini
(khususnya era Umar II) tidak berarti bahwa setiap masyarakat meiliki harta
yang melimpah sehingga mereka tidak mengambil zakat, sebab tidak ada catatan
sejarah yang menyatakan bahwa mereka memiliki kehidupan mewah. Kecukupan yang
mereka rasakan bisa jadi karena figuritas semata, bukan materi.
Kondisi
Sosial-Budaya Khilafah Bani Umayyah
Khalifah
Abdul Malik bin Marwan adalah orang yang membuat bahasa Al-Qur’an menjadi bahasa
resmi negara, dengan melakukan Arabisasi di setiap perkantoran sampai
sekecil-kecilnya, yaitu nama warga negara yang bukan keturunan Arab. Dan kita
mengetahui bahwa atas jasa Abdul Malik, keKhilafahan dapat bertahan hingga bani
Utsmaniyah, hingga akhirnya bahasa Arab tidak lagi dijadikan bahasa negara yang
membuat manusia tidak terbiasa dengan bahasa itu dan menghilangkan kemampuannya
dalam berijtihad dengan benar, hingga tidak tahu apa yang halal dan yang haram
yang dapat diambil dari peradaban kafir-barat. Hingga runtuhlah Khilafah
karenanya, yang sejatinya sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an yang berbahasa
Arab.
Pada
masa Al-Walid, ia mendirikan rumah sakit untuk orang sakit kusta, menugaskan
pegawainya untuk menuntun setiap orang buta, memberi satu pembantu bagi orang
yang tidak bisa berdiri, menerangi setiap jalan yang dilalui orang sehingga
kota Damaskus menjadi kota yang gemerlapan ketika malam, memperbaiki setiap
jalan yang rusak, juga diluar kota damaskus, dan membangun sumur-sumur untuk
pengambilan minyak.
Sejak
berdirinya hingga saat ini, Indonesia telah 7 kali berganti kepala Negara, dan penerapan
sistem pemerintahan demokrasi sekuler di Indonesia telah dimulai saat
berdirinya negara ini terhitung sejak 17/08/1945 hingga saat ini, April 2016,
adalah 70 tahun 8 bulan. Adapun luas wilayah Negara ini dari Sabang (Aceh)
sampai Merauke (Papua) terhitung sejak tahun 1963. Adapun sebelum itu, wilayah
Indonesia baru sebatas Sumatera Utara hingga Sulawesi, sebab Aceh baru
tergabung dalam NKRI sejak tahun 1962.
Perpolitikan NKRI
Sebelum
terbentuk NKRI, sistem politik di Nusantara ini tidak lain adalah kesultanan,
dan telah tercatat dalam sejarah bahwa terdapat beberapa kesultanan di
Nusantara ini sebelum terbentuknya NKRI, diantaranya Kesultanan Banten,
Kesultanan Mataram, Kesultanan Palembang, Kesultanan Aceh, Kesultanan Tidore,
dsb hingga datangnya kape-kape kompeni penjajah Belanda, Inggris, Portugis dan
Jepang maka lenyaplah sistem politik tersebut satu persatu. Sehingga ketika
terbentuknya NKRI, wilayah Indonesia baru dimulai dari pulau Jawa, Sumatera
bagian Selatan, Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan sebelah timur pulau Jawa.
Kepala
Negara yang menyatukan wilayah nusantara dari Sabang sampai Merauke menjadi
satu kekuasaan Negara ke dalam NKRI tidak lain adalah Soekarno, dan yang
melepaskan Timor Timur dari wilayah Indonesia adalah Ing. BJ. Habibie.
Sedangkan kepala Negara yang membiarkan wilayah Aceh dan Papua selalu dalam
ancaman lepas dari kekuasaan Indonesia tidak lain adalah Joko Widodo dan Susilo
Bambang Yudoyono. Namun tidak ada satupun kepala Negara Indonesia yang berusaha
memperluas wilayah kekuasaan dengan menjadikan Negara tetangga menjadi bagian dari
wilayah kekuasaan Indonesia, hal itu karena sistem politik Indonesia yang
berfaham nasionalisme (nation state).
Bila
dibandingkan dengan tingkat perseteruan konflik politik baik antar penguasa,
maupun antara penguasa dengan rakyat dalam Khilafah bani Umayyah, perpolitikan
Indonesia tentu cenderung lebih damai. Namun bila melihat konflik di sesama
rakyat, sepertinya NKRI memiliki lebih banyak catatan daripada masa bani
Umayyah.
Keadaan Ekonomi NKRI
Di era
Soekarno kondisi ekonomi yang tercatat sejarah adalah kejadian sanering tahun
1965, yaitu peristiwa pemotongan tiga digit nominal uang Rupiah dikarenakan
inflasi yang mencapai 500% disebabkan terlalu seringnya mencetak uang baru
untuk membiayai kebutuhan operasional Negara.
Adapun
era Soeharto, kejadian ekonomi yang tercatat adalah penyerahan tambang logam
mulia di Papua kepada PT. Freeport milik Amerika Serikat pasca disahkannya UU
PMA. Adapun kebijakan ekonomi yang dipakai adalah kebijakan ekonomi dari teori
ekonom Amerika Serikat WW. Rostow, yaitu Repelita (Rencana Pembangunan Lima
Tahun) yang menekankan bahwa perekonomian harus diawali dengan kemapanan
agraria.
Sedangkan tentang era 2 kepala Negara
terakhir, Badan Pusat Statistik mengeluarkan data kondisi ekonomi yang menunjukkan
bahwa jumlah orang miskin terus naik dari 27,73 juta jiwa (10,96 persen jumlah
penduduk) pada September 2014 menjadi 28,51 juta (11,13 persen) pada September
2015. Pada periode yang sama, rasio Gini, khususnya di perkotaan, naik dari
0,43 menjadi 0,47. Rasio Gini adalah rasio yang menggambarkan tingkat
ketimpangan, semakin tinggi rasio ketimpangan semakin lebar. Pada November 2015
lalu, Bank Dunia mengeluarkan data bahwa selama dasawarsa terakhir sampai 2014,
sebesar 10 persen penduduk terkaya Indonesia menguasai 77% ekonomi negeri.
Laporan Bank Dunia hanya sampai 2014, dengan begitu, data 2015 semakin
menegaskan bahwa ketimpangan terus berlanjut dari era Susilo Bambang Yudhoyono
ke era Jokowi. (sumber: www.republika.co.id)
Namun perlu diperhatikan, bahwa angka
kesenjangan ekonomi yang terjadi di zaman ini tidak berarti tidak pernah
terjadi di zaman kekhilafahan bani Umayyah, sebab walaupun tidak ada
penghitungan rasio gini di zaman lalu, tetapi sejarah melukiskan kekayaan yang
dimiliki pejabat-pejabat Negara yang merupakan satu keluarga dengan kekayaan
yang melimpah, sedangkan disisi lain rakyat jelata tercatat juga termasuk
orang-orang miskin. Artinya, walaupun di era Khilafah, kesenjangan juga terjadi
pada masa Bani Umayyah.
Keadaan Sosial-Budaya NKRI
Kepala
Negara pembuka arus pluralism di Indonesia adalah Abdurrahman Wahid, namun
bukan berarti pada zaman sebelum itu tidak ada kerusakan sosial. Sebab cara
hidup bangsa ini lepas dari aturan Islam telah dimulai sejak
kesultanan-kesultanan Islam kalah takluk oleh kape penjajah dan kemudian
menerima ajakan Ir. Soekarno untuk bergabung dalam Negara sekuler Republik
Indonesia. Artinya, faham dan aturan rusak telah ada sejak pemufakatan itu
hingga terus membesar di era Joko Widodo ini.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas tentu kita
tidak mudah melihat mana dari keduanya yang lebih baik. Sebab keduanya berbeda dalam
faham kenegaraan. NKRI berfaham nation state yang tidak mungkin berkembang
namun mungkin terpecah. Sedangkan Khilafah bani Umayyah adalah Negara berfaham
futuhat. NKRI adalah Negara berfaham hukum sekuler, sedangkan Khilafah bani
Umayyah berfaham dakwah Islam.
Melihat
mana dari keduanya yang lebih baik tidak bisa kecuali dengan kaca mata akhirat.
Bahwa khilafah bani Umayyah dengan segala kelebihan dan kekurangannya secara
lahir, tetap menerapkan hukum Islam di area public yang dengan itu Allah
meridhoi masyarakatnya. Sedangkan NKRI dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, tetap tidak menerapkan hukum Islam di area public, yang dengan
itu Allah murka dengan orang-orang yang berdiam diri atas tidak diterapkannya
hukum Allah tersebut.
Wallahua’lam..
Sumber:
Sejarah Dinasti Umayyah (ad-Daulah Al-Umawiyah wa Ahdats allati Sabaqatha wa
Mahhadat Laha, Ibtida’an min Fitnah ‘Utsman). Karangan DR. Yusuf Al-Isy.,
terbitan Pustaka Al-Kautsar (Dar Al-Fikr, Beirut).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar