Oleh: Muhammad Baiquni Syihab
Abstrak
Stephen William Hawking adalah guru besar matematika di Universitas Cambrige, namun ia mendaklarasikan diri sebagai seorang ateis. Demikian juga Albert Einstein, ilmuan Matematika – Fisika abad 20 yang walaupun beragama, namun ia seorang non muslim. Adapun al Khawarizmi, seorang matematikawan pada abad 9 sebagai penemu angka 0 adalah seorang muslim. Demikian juga al Biruni, matematikawan yang mampu mengukur diameter Bumi pada abad 11, dan dia juga adalah seorang muslim.
Keahlian manusia dalam bidang matematika nyatanya tidak mampu menghantarkan manusia yang menguasainya beragama dengan benar, berkeyakinan akan sang Pencipta dengan benar. Padahal menurut Al Qur’an, bahwa ada kehidupan setelah mati, dan ada penempatan surga dan neraka di kehidupan setelah mati, yang semuanya ditentukan oleh kepercayaannya akan sang Pencipta sewaktu manusia hidup di dunia.
Dengan demikian pengetahuan akan matematika dan pengetahuan akan sang Pencipta, pada dasarnya didapat manusia melalui metode yang berbeda. Sehingga akan selalu ada manusia ahli matematika yang beriman pada Allah swt, dan ada ahli matematika yang tidak beriman pada Allah swt, bahkan menafikkan keberadaan sang Pencipta itu sendiri.
Keyword: Matematika, Islam, Ekonomi
Pendahuluan
Ilmu pengetahuan modern terbagi menjadi ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial, pembagian tersebut sebagaimana yang digolongkan oleh Prof. Waqar Ahmed Husaini dalam bukunya Islamic Sciences, bahwa pengetahuan terbagi menjadi dua cabang besar, yaitu ilmu-ilmu alam (natural sicencies) dan ilmu-ilmu sosial-humaniora (humanistic-social sciences).
Ilmu pengetahuan alam sering juga disebut sebagai ilmu eksakta (pasti), dan adapun yang terkategori ilmu eksak menurut pengetahuan modern tersebut adalah Fisika, Kimia, Astronomi, Matematika, Geologi, Biologi, Anatomi, dan lain sebagainya. Sedangkan ilmu pengetahuan sosial sering juga disebut ilmu non eksakta, seperti Sosiologi, Ekonomi, Politik, Geografi, Seni, Bahasa, dan lain sebagainya.
Adapun dalam pandangan Islam pada dasarnya tidak demikian. Dalam Islam ilmu pengetahuan terbagi berdasarkan metode didapatnya ilmu pengetahuan tersebut, sedangkan ilmu pengetahuan alam dan sosial hanya terbagi berdasarkan objek telitinya. Jadi dalam Islam ilmu pengetahuan tidak terbagi menjadi ilmu alam dan ilmu social.
Analisis Sejarah Perkembangan Ilmu Alam dan Sosial
Globe telah dibuat pertama kali pada tahun 1129 - 1140 M oleh ilmuan muslim bernama Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Abdullah bin Idris al Qurtubi al Hasani. Sedangkan sebelum itu, ilmuwan muslim ahli Matematika, Astronomi, Sejarah, Geologi dan Geografi yang hidup di era Khilafah Abbasyiah telah mampu mengukur diameter bumi hanya dengan alat ukur derajat bintang yang disebut Astrolabe, trigonometri dan gunung yang tinggi dengan pemandangan horizon yang rata sempurna. Beliau adalah Abu Rayhan al Biruni yang hidup pada tahun 973 – 1048 M.[1]
Adapun sejarah Barat mencatat pada tahun 1616 M Galileo Galilei seorang ilmuan barat era pra revolusi Perancis diajukan ke pengadilan gereja Italia akibat pandangan heliosentrisnya (pusat tata surya adalah matahari), sebab pihak Gereja yang saat itu menguasai politik kenegaraan memiliki pendapat yang berbeda dengan Galileo, bahwa Bumi ini datar dan menjadi pusat dari tata surya.[2]
Sistem politik saat itu adalah kerajaan, dan raja selalu merujuk pada Paus sebagai wakil tuhan. Negara berpandangan bahwa sistem tata surya alam berjalan dengan bentuk Geosentris, artinya planet-planet dalam tata surya ini beredar dan berputar mengelilingi bumi, sebab di bumi terdapat mahkota paus sebagai wakil tuhan di bumi.
Galileo memiliki pandangan heliosentris tidak lain karena hasil pengamatannya terhadap alam, Galileo mengamati alam dengan menggunakan teropong bintangnya yang oleh sejarah disebut sebagai benda temuannya yang spektakuler.
Kesimpulan pengetahuan yang didapat Galileo ini melalui proses pengamatan (observasi), sedangkan observasi adalah satu dari dua cara dalam metode ilmiah selain experiment, sehingga proses dan metode pengambilan pengetahuan yang digunakan Galileo ini bisa kita sebut dengan istilah “metode ilmiah”. Sedangkan penguasa Galileo saat itu memiliki pandangan Geosentris semata karena Paus yang menyampaikan demikian dan mengklaim sebagai wakil tuhan, artinya metode pengetahuan Negara tidak diambil melalui metode ilmiah.
Tidak dapat dipungkiri juga bahwasanya metode ilmiah ini yang membawa bangsa Eropa pada revolusi Perancis[3] dan revolusi Industri. Segala fasilitas hidup manusia menjadi maju pesat tidak lain karena diawali revolusi industri, berawal dari ditemukannya mesin uap oleh James Watt pada tahun 1765 kemudian dilanjutkan dengan ditemukannya fasilitas hidup manusia lainnya seperti listrik, mobil, kulkas, pesawat, mesin cetak dan lain sebagainya, semua benda-benda tersebut didapat dari metode ilmiah.
Begitu hebatnya metode ilmiah membawa bangsa barat pada peradaban yang maju hingga membuat Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte (1798-1857) dengan paham positifismenya,[4] mengaplikasikan metode ilmiah pada sosiologi yang objek ilmu pengetahuannya tidak lain adalah non-alam. Hingga dari ini kemudian semua pengetahuan diambil dari metode ilmiah.
Jadi perbedaan ilmu pengetahuan saat ini yang terbagi menjadi ilmu pengetahuan alam (eksak) dengan ilmu pengetahuan sosial (non eksak) pada dasarnya lahir dari satu metode yang sama, yaitu metode ilmiah. Perbedaan keduanya hanya dilihat dari sisi objek telaahnya saja, yaitu alam dan non-alam.
Sehingga pengetahuan sosial seperti ekonomi, hukum, politik, psikologi, sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya, jika lahir dari metode ilmiah maka tingkat kebenarannya sama seperti pengetahuan alam yang lahir dari metode ilmiah. Dan pengetahuan yang tidak didapat dari metode ilmiah maka kebenarannya juga tidak dapat dipakai dan dipercaya, seperti kepercayaan akan adanya mahluk halus juga harus didapat dari metode ilmiah (observasi dan eksperimen).
Posisi Metode Ilmiah dalam Islam
Islam membagi ilmu pengetahuan berdasarkan metodenya, yaitu metode rasional dan metode ilmiah. Metode ilmiah sebagaimana penjelasan diatas adalah metode ilmu pengetahuan yang didapat dari observasi dan eksperiment. Sedangkan metode rasional adalah pengetahuan yang didapat dari pemberitahuan, penyampaian transmisional dan penarikan kesimpulan.[5]
Pengetahuan yang didapat dari metode ilmiah disebut sebagai Ilmu, sedangkan pengetahuan yang didapat dari metode rasional disebut sebagai Tsaqofah.
Tsaqofah adalah pengetahuan yang didapat dari penyampaian, maksudnya adalah penyampaian dari wahyu, yang disampaikan dari generasi ke generasi, dan penyimpulan dari wahyu-wahyu Allah, seperti al-Qur’an Hadits Nabi dan Ijma Shahabat Nabi. Sehingga contoh pengetahuan yang didapat dengan metode seperti diatas adalah Politik, Ekonomi, Sosial, Hukum dsb. Adapun contoh dari ilmu metode ilmiah seperti, Fisika, Kimia, Biologi, dsb.
Hampir tidak jauh berbeda pembagian tersebut antara pembagian pengetahuan menurut konvensional dan pengetahuan menurut Islam jika dilihat dari contoh-contohnya, namun demikian yang paling urgen adalah posisi dari keduanya. Posisi ilmu terhadap tsaqofah, atau posisi tsaqofah terhadap ilmu.
Dalam Islam, posisi tsaqofah lebih tinggi daripada ilmu, lebih utama dan lebih layak menjadi pegangan hidup ketimbang pengetahuan yang didapat dari metode ilmiah. Dengan makna lain bahwa pengetahuan yang didapat dari metode ilmiah hanya berfungsi sebagai penguat dari pengetahuan yang didapat dari wahyu Allah. Jika Ilmu memiliki semangat/prinsip yang berbeda dengan tsaqofah, maka Ilmu tidak dapat diterapkan sehingga kemudian mengalahkan tsaqofah.
Mengapa demikian, sebab ilmu didapat dari metode ilmiah. Dalam pandangan Islam metode ilmiah adalah lemah, memiliki cacat dan kebenarannya tidak mutlak, sebab metode dari metode ilmiah tidak lain adalah observasi dan experiment. Sedangkan observasi dan exsperiment menggunakan panca indra, dan panca indra manusia adalah lemah, sehingga pengetahuan yang didapat dari panca indra manusia memiliki peluang salah (keliru).
Beberapa kelemahan pengetahuan dari metode ilmiah:
1. Keterbatasan panca indra(ada kemungkinan salah).
Contoh: fatamorgana, bengkoknya benda lurus dalam air di gelas dalam posisi miring, kemampuan telinga manusia hanya dari 20 s/d 20.000 Hz sehingga tidak dapat menjangkau suara kelelawar, lumba-lumba, paus, dll.
2. Kesimpulan bersifat tentative.
Yaitu dapat dianggap benar selama belum terbukti salah. Contoh: atom merupakan benda terkecil adalah salah setelah ada eksperiment lanjutan, Ukuran matinya seseorang dilihat dari berhentinya jantung berdetak. Adalah salah.
3. Generalisasi tidak selalu berlaku umum.
Semua logam berbentuk padat dan keras, memiliki sifat konduktor. Tetapi tidak pada Timbal (timah hitam), tapi tetap tergolong sebagai logam
4. Tidak mampu menjangkau perkara Gaib. Contoh, Azab kubur, keberadaan Jin dan malaikat, Akhirat, Sejarah, Masa Depan, dsb.
Contoh lain misalnya meletusnya gunung Vesuvius di Italia, bahwa dikabarkan hancurnya masyarakat Pompei diakibatkan karena meletusnya gunung Vesuvius. Pada metode ilmiah tidak akan mampu menjangkau penyebab utama dari meletusnya gunung tersebut, sebab hanya wahyu yang mengabarkan bahwa meletusnya gunung berapi tersebut dikarenakan prilaku masyakaratnya yang menyimpang (homosek). Sedangkan informasi menurut metode sains, meletusnya gunung berapi tidak lebih jauh dari sebab-sebab seperti magma bumi yang sudah pada tingkat tekanannya, atau karena bergesernya lempeng bumi.
Adapun metode yang digunakan oleh Nabi Ibrahim as sebelum beragama tauhid dalam upayanya menyimpulkan sang Pencipta, pada dasarnya menggunakan metode sains (ilmiah). Yaitu beliau Nabi Ibrahim melakukan observasi terhadap Matahari, Bulan, Bintang dan benda-benda alam lainnya. Namun pengetahuan akan sang Pencipta yang didapat melalui metode sains tadi tidak mampu membuat beliau meraih kesimpulan yang kuat, sebab pengetahuan satu nyatanya dapat digoyahkan oleh pengetahuan hasil observasi berikutnya. Hingga pada keputusasaannya Allah kemudian memberikan pengetahuan kepada Nabi Ibrahim akan sang Khaliq. Dan metode Allah dalam memberikan pengetahuan kepada Nabi Ibrahim as ini adalah metode rasional, dan hasil pengetahuannya disebut tsaqafah.
Sedangkan Stephen William Hawking (W 2018), dikenal sebagai ilmuwan ahli dalam metode ilmiah yang membuatnya digelari sebagai ahli fisika (kosmologi). Namun karena pengaruh sejarah Eropa akan doktrin agama (paus) terhadap sains dan teknologi, maka ia lebih memilih menjadi seorang Atheis. Tidak mempercayai keberadaan sang pencipta. Selain karena aqidah (konsep ketuhanan) agama Kristen yang ada di sekelilingnya tidak mampu membuat akalnya bekerja, sebagaimana bekerjanya akal dalam Fisika.
Karena kelamahan panca indra manusia ini maka taqofah memiliki posisi yang lebih tinggi dari ilmu, sehingga ilmu hanya sekedar menjadi penguat dari tsaqofah. Dengan demikian selayaknya kita menyandarkan kebenaran hanya pada pengetahuan yang didapat dari tsaqofah, yaitu pengetahuan yang berasal dari wahyu Allah. Karena hanya Allah yang mengetahui hakekat benar dan salah yang tidak mampu dijangkau oleh akal dan panca indra manusia.
Matematika, Ekonomi dan Islam
Semua bentuk aktifitas manusia dalam berekonomi sudah tersebut dalam wahyu Allah (Qur’an, Hadits dan Ijma Shahabat), dari cara memakan, cara mendapatkan makanan, jenis makanan yang tidak dan bisa dimakan, cara mendistribusikan makanan, cara memperbanyak makanan (mengembangkan harta), cara menyimpan makanan, dan lain sebagainya. Semuanya terdapat perintah dan larangannya dalam wahyu Allah tersebut, dan hanya sedikit sekali yang aktifitas tersebut diserahkan Allah kepada manusia, seperti bagaimana cara teknis dalam meningkatkan produktifitas makanan.Walaupun begitu beberapa diantara cara teknis tersebut juga terdapat aturan dari wahyu Allah, seperti pelarangan penggunaan pupuk dari benda najis, dsb.
Adapun matematika sebagaimana diketahui berasal dari bahasa Yunani, Mathematicos yang artinya ilmu pasti. Adapaun dalam kamus besar bahasa Indonesia matematika adalah ilmu tentang bilangan dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya yang mencakup segala bentuk prosedur operasional yang digunakan dalam menyelesaikan masalah mengenai bilangan.[6] Dan menurut Benjamin Peirce (1809-1880) seorang matematikawan asal Amerika dari Universitas Harvard, Matematika diartikan olehnya sebagai ilmu yang menggambarkan simpulan-simpulan yang penting.
Sehingga dapat kita fahami bahwa matematika pada dasarnya adalah simbolisasi atas penalaran, gagasan dan realitas.
Seperti sebuah apel ditambah sebuah apel menjadi dua buah apel, yang kemudian dapat kita simbolkan dengan 1 + 1 = 2.
Kemudian dua buah apel dikurang setengah apel menjadi satu setengah apel, yang kita simbolkan dengan 2 – 0,5 = 1,5.
Lalu satu setengah apel dibagi dua sehingga masing-masing mendapat tiga perempat (3/4), yang kita simbolkan menjadi 1,5 : 2 = 0.75, dan seterusnya.
Kemudian melalui penggunaan penalaran logika dan abstraksi, matematika berkembang dari pencacahan, perhitungan, pengukuran, dan pengkajian sistematis terhadap bangun dan pergerakan benda-benda fisika.
Jika contoh yang demikian adalah bentuk dari ilmu matematika, maka pengertian yang mudah kita fahami dari matematika adalah: simbolisasi manusia atas hasil obervasinya terhadap gagasan dan realita.
Sekali kita dapati bahwa matematika itu adalah ilmu yang didapat dari hasil observasi (metode ilmiah), sedangkan proses dari observasi tersebut menggunakan pancaindra dan akal manusia yang memiliki sifat lemah dan terbatas. Oleh karenanya walaupun matematika oleh akademisi dimasukkan sebagai ilmu eksak (pasti) sebagaimana artinya dalam bahasa Yunani, namun kebenaran yang dihasilkan dari matematika tidak akan selalu tepat dan benar. Apalagi jika matematika dikaitkan dengan realitas, tentu pengetahuan yang dihasilkan akan lebih banyak lagi peluang salah dan kelirunya, seperti matematika ekonomi.
Menarik dari apa yang diungkapkan Albert Einstein[7] tentang matematika, ia mengatakan “Sejauh hukum-hukum matematika merujuk kepada kenyataan, mereka tidaklah pasti; dan sejauh mereka pasti, mereka tidak merujuk kepada kenyataan”
Pernyataan Einstein ini mengungkapkan bahwa kemampuan manusia dalam memberi simbol atas realitas memiliki keterbatasan, artinya dalam hal simbolisasi tersebut hanya dapat dilakukan pada batas-batas tertentu saja, sehingga pada batas tertentu maka simbolisasi akan menemui kesalahan dan kekeliruan. Contohnya akan kita bahas di dalam sistem bilangan, elastisitas dan fungsi permintaan dan penawaran pada bab ini.
Allah telah mengisaratkan keterbatasan manusia dalam hal simbolisasi realitas ini dalam hukum Islam terkait riba fadhl, yaitu hukum tukar menukar barang sejenis pada jenis-jenis barang yang 6 (enam), yaitu emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan garam. Sebagaimana tersebut dalam Hadits Nabi saw:
”Emas ditukarkan dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum (al-burru bil burri), jewawut dengan jewawut (asy-sya’ir bi asy-sya’ir), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takarannya (mitslan bi mitslin sawa`an bi sawa`in) dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin). Dan jika berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin).” (HR Muslim)
Hadits diatas menjelaskan larangan menukarkan 1 Kg Kurma ajwa dengan 5 Kg kurma Mesir, larangan menukarkan 1 Kg garam beryodium dengan 4 Kg garam tak beryodium, dan seterusnya. Adapun yang boleh dilakukan adalah menukarkan (barter) kurma ajwa dengan kurma mesir dengan berat yang sama dan dilakukan secara kontan, jika tidak maka tergolong riba yang diharamkan.
Seolah Allah swt menjelaskan bahwa 1 Kg kurma ajwa = (sama dengan) 1 Kg kurma Mesir, sehingga ketika 1 Kg + 1 Kg = 2 kg. Artinya disisi Allah nilai semua kurma adalah sama, sedangkan manusia memandangnya berbeda. Sebab tentu manusia tidak akan mau menukarkan 1 Kg kurma ajwa dengan 1 Kg kurma mesir, ia hanya akan mau menukarkan 1 Kg kurma ajwanya dengan kurma Mesir yang berjumlah 5 Kg atau jumlah lainnya.
Perhitungan tersebut menunjukkan perbedaan pandangan akan nilai sebuah barang antara Allah dan manusia. Pandangan manusia terhadap nilai kurma adalah berdasarkan pancaindra dan akalnya yang terbatas, sedangkan Allah maha tahu.
Pada hukum-hukum Islam lainnya pun Allah swt sering menyertakan dengan angka ganjil sebagai bilangannya, sedangkan kita ketahui bahwa angka ganjil adalah angka yang istimewa. Seperti towaf dalam haji yang berjumlah 7 kali putaran, sa’i terdapat 7 kali, lempar jumroh, jumlah hari dalam seminggu, ukuran usia mumayyiznya manusia, lapisan langit, jumlah ayat surat al-Fatihah, dan lain sebagainya. Bahkan dalam hal mensucikan anggota badan yang terkena najis berat (mugholazoh) seperti jilatan anjing pun dilakukan dengan 7 kali basuhan yang satu diantaranya menggunakan tanah.
Selain itu kita ketahui bahwa angka 0 (nol) di dunia ini baru saja ada setelah digagas oleh pemikir muslim bernama Al-Khawarizmi yang hidup sekitar abad ke 3 hijriah. Itu artinya angka-angka juga pada dasarnya hasil penyimpulan dari observasi yang dilakukan matematikawan.
Lebih lanjut kelemahan matematika yang dikaitkan dengan ekonomi dapat kita fahami dari sedikit pembahasan dibawah ini.
Sistem Bilangan dalam Matematika
Himpunan bilangan dalam metematika terdiri dari Bilangan nyata dan Bilangan Imajiner, bilangan nyata meliputi dua jenis bilangan, yaitu bilangan Rasional dan bilangan Irasional. Bilangan rasional terdiri dari bilangan bulat dan bilangan pecahan. Dan bilangan pecahan terdiri dari negatif, positif dan nol. Dan bila gambarkan strukturnya adalah sebagai berikut:
Bilangan nyata adalah adalah semua bilangan yang dapat ditemukan pada garis bilangan dengan cara penghitungan, pengukuran, atau bentuk geometrik
Bilangan rasional dapat dinyatakan sebagai perbandingan dari dua bilangan bulat. Sebagai contoh: 8/2 dan 5/10. Dan bilangan rasional adalah bilangan yang angka desimalnya berakhir dengan nol atau berulang. Contoh: 5/1 = 5,00 (berakhir dengan nol). Maka bilangan rasional terdiri dari bilangan bulat dan bilangan pecah.
Adapun bilangan rasional terdiri dari bilangan bulat dan pecahan. Bilangan bulat adalah perbandingan dari setiap bilangan bulat n dengan bilangan bulat 1, maka akan menghasilkan bilangan bulat n itu sendiri. Contoh (n/1 = n). Bilangan bulat ini mencakup semua bilangan bulat positif, negative dan nol.
Sedangkan bilangan pecah adalah bilangan hasil pembagian atas dua bilangan bulat. Maka dengan ini bisa kita katakan juga bahwa bilangan pecah terdiri dari bilangan rasional dan irasional.
Adapun bilangan irasional adalah bilangan nyata yang angka desimalnya tidak berakhir dengan nol atau tidak berulang.
Contoh:
1. √2 = 1.414213562373095 dst.
2. √5 = 2.23606797749979 dst.
3. 1/7 = 0.1428571428571429 dst.
4. 1/13 = 0.0769230769230769 dst.
4 (empat) contoh diatas adalah angka-angka irasional, sebab angka-angka tersebut tidak mampu difahami akal, sehingga disebut irasional (tidak rasional). Banyangkan saja jika √64 = 8, itu memiliki makna bahwa jika angka 8 dikalikan dengan angka yang sama, yaitu 8 × 8 maka hasilnya adalah angka yang diakarkan tersebut, yaitu 64. Sedangkan angka pada contoh nomor 1 dan 2 tidak demikian, hasil akarnya adalah angka yang tidak kunjung habis, walaupun itu dilakukan oleh kalkulator dengan digit angka berjumlah 100 digit. Sehingga jika dipaksakan dikalikan dengan angka yang sama, hasil kalinya akan menunjukkan angka yang berbeda dengan angka yang diakarkan.
Demikian juga jika 1/16 = 0.0625, artinya adalah jika 0.0625 dikalikan dengan 16 maka akan menghasilkan angka yang sama dengan angka yang dibagi, yaitu 1 (satu). Namun tidak demikian dengan contoh nomor 3 dan 4. Hasil baginya adalah angka yang yang tidak kunjung habis, walaupun itu dilakukan oleh kalkulator dengan digit angka berjumlah 100 digit. Sehingga jika dipaksakan dikalikan dengan angka pembaginya, hasil kalinya akan menunjukkan angka yang berbeda dengan angka yang dibagi.
Pertanyaannya mengapa demikian?
Mudah saja kita fahami, bahwa perkalian (×), pembagian (÷), pertambahan (+), pengurangan (-), akar (√), perpangkatan (nᶯ), atau yang lebih komplek seperti simbol trigonometri sinus, cosinus, tangen, dan lain sebagainya. Adalah bentuk kesimpulan dari hasil observasi yang dilakukan manusia atas ide, gagasan maupun realita. Dan sekali lagi kita fahami bahwa obeservasi yang dilakukan oleh manusia tersebut menggunakan pancaindra dan akal yang lemah dan terbatas, sehingga pengetahuan yang dihasilkan olehnya pun bisa benar dan salah, baik pengetahuan eksak lebih lagi non eksak.
Sistem bilangan dalam matematika selanjutnya adalah bilangan imajiner. Yaitu bilangan yang oleh matematikawan disebut sebagai bilangan khayal, karena tidak bisa direpresentasikan di himpunan bilangan nyata, baik rasional maupun irasional.
Contoh bilangan imajiner:
y = x2 - 5x + 6.
Berapakah bilangan x yang membuat y bisa bernilai nol ? Jawaban: 2 dan atau 3 |
adapun dalam persamaan y = x2 + 1
Berapakah bilangan x yang membuat y bisa bernilai nol ? Jawaban: tidak ada. Kecuali dengan khayalan = i |
Bilangan imajiner ini sebagaimana juga bilangan irasional, yaitu bilangan yang memaksa manusia untuk sadar, bahwa akal dan pancaindranya lemah dan terbatas, tidak mampu memahami mengapa matematika yang secara bahasa berarti pasti dan nyata di depan mata, justru tidak mampu memuaskan akal manusia. Menyadarkan manusia bahwa pemilik segala ilmu pengetahuan adalah Allah swt, manusia hanya mampu berusaha mendalami dan memahaminya, dan kalaupun mampu pun hanya sebagian kecil.
Fungsi Permintaan dan Penawaran
Fungsi adalah hubungan antara dua buah variabel atau lebih,dan masing-masing dari dua buah variabel atau lebih tersebut saling memengaruhi. Sehingga fungsi adalah suatu hubungan dimana setiap elemen dari wilayah saling berhubungan dengan satu, dan hanya satu elemen dari jangkauan.
Fungsi permintaan menunjukkan hubungan antara jumlah produk yang diminta oleh konsumen dengan variable-variabel lain yang memengaruhinya pada suatu periode tertentu.Variable-variabel tersebut bila digali dalam perekonomian nyata akan ditemukan banyak.
Namun pakar ekonomi hanya berasumsi bahwa jumlah produk akan diminta konsumen hanya dari 5 variabel:
1. Harga produk itu sendiri
2. Harga produk lain yang berhubungan
3. Pendapatan Konsumen
4. Harga produk yang diharapkan pada periode mendatang
5. Selera konsumen
Maka fungsi permintaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
Qdx,t = f(Px,t, Py,t, Y,t, Pᵉx,t+1, St)
1. Qdx,t punya hubungan yang negative dengan Px,t
2. Qdx,t punya hubungan yang negative atau positif dengan Py,t
3. Qdx,t punya hubungan yang negative atau positif dengan Yt
4. Qdx,t punya hubungan yang positif dengan Pᵉx,t+1
5. Qdx,t punya hubungan yang positif dengan St
Dari kelima variable bebas tersebut, yang paling penting dan paling mempengaruhi adalah variable harga produk itu sendiri, sedangkan keempat variable bebas lainnya dianggap konstan. Sehingga penulisan fungsi permintaan dapat disederhanakan menjadi:
Qx = f(Px)
Dan apabila fungsi permintaan ini ditransformasikan kedalam bentuk persamaan linier, maka bentuk umumnya adalah:
Qx = a – bPx
Qx adalah jumlah barang x yang diminta
Px adalah harga produk x
A dan b adalah konstanta/parameter
Parameter/konstanta b bernilai (-) negative. Ini dikarenakan bahwa fungsi permintaan tunduk pada hukum permintaan, yaitu: “jika harga suatu produk naik maka jumlah produk yang diminta oleh konsumen akan berkurang/turun, dengan asumsi variable lainnya konstan”.
Maka bila digambarkan kurvanya, fungsi permintaan akan mempunyai kemiringan yang negative. Yaitu menurun dari kiri atas ke kanan bawah.Penggambaran Fungsi permintaan Q = f(P) memiliki pengecualian, dimana variable bebas P digambarkan pada sumbu vertical yang seharusnya menurut aturan matematika murni terletak pada sumbu horizontal, dikarenakan sebagai variable bebas. Maka bila digambarkan kurvanya, fungsi permintaan akan mempunyai kemiringan yang negatif. Yaitu menurun dari kiri atas ke kanan bawah.
|
Contoh: Suatu produk jika harganya Rp.100 akan terjual 10 unit, dan bila harganya turun menjadi Rp.75 akan terjual 20 unit. Tentukan fungsi permintaannya dan gambarlah kurvanya. P1 = 100 P2 = 75 Q1 = 10 Q2 = 20 Q – Q1 = Q2 – Q1 P – P1 P2 – P1 |
Q – 10 = 20 – 10 P – 100 75 – 100 (Q – 10) = 10/-25(P – 100) (Q – 10) = 2/5(P – 100) (Q – 10) = 40 – 2/5P Q = 50 – 2/5P
Q = 50 – 0,4P
Jika P = 0 maka Q = 50 Jika Q = 0 maka P = 125 |
Kurva diatas juga menggambarkan, jika realitas dari aktifitas perekonomian diatas diberi pengandaian dengan menaikkan harga (P) barang menjadi Rp. 200 maka jumlah barang (Q) yang diminta akan menjadi -30, (minus 30). Dengan demikian pengandaian tersebut menjadi tidak ada logika juga realitasnya dalam ekonomi. Namun begitu, walaupun tidak ada realitasnya dalam ekonomi, akan tetapi “jika P = 200 maka Q = -30” adalah sesuai dengan hukum matematika.
Oleh karena itu benar apa yang dikatakan Albert Einstein mengenai matematika, bahwa Sejauh hukum-hukum matematika merujuk kepada kenyataan, mereka tidaklah pasti; dan sejauh mereka pasti, mereka tidak merujuk kepada kenyataan.
Diatas adalah contoh fungsi permintaan dengan persamaan Linier, sedangkan untuk persamaan Non Linier maka kurva akan membentuk lengkung. Namun demikian lengkungan hasil dari persamaan linier tetap akan keluar dari kuadran I, yaitu ke kuadran II, III atau IV. Jika demikian maka tetap saja, bahwa baik persamaan linier maupun non linier tetap tidak dapat menyentuh realitas kehidupan ekonomi yang sebenarnya. Oleh karena itu ekonom menggambarkan kurva permintaan dengan kurva yang bisa masuk dalam logika kehidupan, walaupun tidak lagi bersandar pada hukum matematika. Contohnya:
|
Adapun Fungsi penawaran adalah hubungan antara jumlah produk yang ditawarkan oleh produsen untuk dijual dengan variable-variabel lain yang memengaruhinya pada suatu periode tertentu. Dan bila ditransformasikan kedalam bentuk persamaan linier akan menjadi:
Qsx = a + bPx
Qx adalah jumlah barang x yang ditawarkan
Px adalah harga produk x
A dan b adalah konstanta/parameter
Parameter/konstanta b bernilai positif. Ini dikarenakan bahwa fungsi penawaran tunduk pada hukum penawaran, yaitu: “jika harga suatu produk naik maka jumlah produk yang ditawarkan oleh produsen juga akan naik, dengan asumsi variable lainnya konstan”.Maka bila digambarkan kurvanya, fungsi penawaran akan mempunyai kemiringan yang positif. Yaitu naik dari kiri bawah ke kanan atas.
Contoh:
Jika harga suatu produk adalah Rp. 500 maka jumlah yang akan terjual sebanyak 60 unit. Jika harganya meningkat menjadi Rp. 700 maka jumlah produk yang terjual sebanyak 100 unit. Diketahui P1 = 500 P2 = 700 Q1 = 60 Q2 = 100 Q – Q1 = Q2 – Q1 P – P1 P2 – P1 |
Q – 60 = 100 – 60 P – 500 700 – 500 (Q – 60) = 40/200 (P – 500) (Q – 60) = 1/5 (P – 500) Q – 60 = -100 + 1/5P
Q = -40 + 0,2P
Jika P = 0 maka Q = -40 Jika Q = 0 maka P = 200 |
Maka kurvanya:
Kurva diatas juga menggambarkan, jika realitas dari aktifitas perekonomian diatas diberi pengandaian dengan menurunkan harga (P) barang menjadi Rp. 100 maka jumlah barang (Q) yang ditawarkan akan menjadi -20, (minus 20). Dengan demikian pengandaian tersebut menjadi tidak ada logika juga realitasnya dalam ekonomi. Namun begitu, walaupun tidak ada realitasnya dalam ekonomi, akan tetapi “jika P = 100 maka Q = -20” adalah sesuai dengan hukum matematika.
Diatas adalah contoh fungsi penawaran dengan persamaan Linier, sedangkan untuk persamaan Non Linier maka kurva akan membentuk lengkung. Namun demikian lengkungan hasil dari persamaan linier tetap akan keluar dari kuadran I, yaitu ke kuadran II, III atau IV. Jika demikian maka tetap saja, bahwa baik persamaan linier maupun non linier tetap tidak dapat menyentuh realitas kehidupan ekonomi yang sebenarnya.Oleh karena itu ekonom menggambarkan kurva penawaran dengan kurva yang bisa masuk dalam logika kehidupan, walaupun tidak lagi bersandar pada hukum matematika.
Titik Keseimbangan (Equilibrium)
Keseimbangan pasar adalah interaksi antara fungsi permintaan (Q = a - bP) dan fungsi penawaran (Q = a + bP). Dengan asumsi dalam satu macam produk.Syarat untuk mencapai keseimbangan pasar ini adalah jumlah produk yang diminta oleh konsumen harus sama dengan jumlah produk yang ditawarkan oleh oleh produsen (Qd = Qs), atau harga produk yang diminta konsumen sama dengan harga produk yang ditawarkan penjual
Qd = jumlah produk yang diminta
Qs = jumlah produk yang ditawar
E = keseimbangan pasar
Qe = jumlah keseimbangan
Pe = harga keseimbangan
Contoh:
Fungsi permintaan dan penawaran dari suatu barang ditunjukkan oleh persamaan berikut: Qd = 6 – 0,75P Qs = -5 + 2P a. Berapakah harga dan jumlah keseimbangan pasar? b. Tunjukkan kurvanya Jawab: Syarat keseimbangan pasar: (Qd = Qs) 6 – 0,75P = -5 + 2P -0,75P – 2P = -5 – 6 -2,75P = -11 P = 4 |
Untuk mendapatkan nilai Q, maka substitusikan nilai P kedalam salah satu persamaan Q = -5 + 2(4) Q = -5 + 8 Q = 3 Jadi: titik keseimbangannya adalah E(3,4) Untuk fungsi permintaan: Qd = 6 – 0,75P Jika Q = 0, maka P =8 Jika P = 0, maka Q = 6 Untuk fungsi penawaran: Qs = -5 + 2P Jika Q = 0, maka P = 2,5 Jika P = 0, maka Q = -5 |
Maka kurva equilibriumnya:
Namun bisa jadi perpotongan antara kurva fungsi permintaan dan penawaran terjadi bukan di kuadran I, sehingga jumlah keseimbangan pasar (Qe) mempunyai nilai negatif. Jika demikian maka hukum matematika (baik linier maupun non linier) tidak lagi berhubungan dengan realitas ekonomi, seperti kurva dibawah ini:
Maka ekonom membuat kurva equilibriumyang tidak lagi dikaitkan dengan hukum matematika, semata-mata agar persinggungan permintaan dan penawaran hanya ada di kuadran I. lebih tepat penggambaran dengan kurva ini dengan maksud agar realistis jika dikaitkan dengan realitas. Seperti kurva dibawah ini:
Sekali lagi kita ditunjukkan bahwa matematika tidak selalu bisa dikaitkan dengan kenyataan kehidupan, dan apa yang dikatakan Einstein benar adanya. Namun bagi seorang muslim, tentu sikap akan matematika ini yang seharusnya menjadi pembeda antara kita dengan Einstein yang seorang non muslim. Bahwa seorang muslim harus mampu menjadikannya sebagai seorang hamba yang sadar akan kelemahan akal dan pancaindranya, sehingga ilmu dari Allah lebih diutamakannya.
Elastisitas
Elastisitas adalah perbandingan perubahan proporsional dari sebuah variabel dengan perubahan variable lainnya. Dengan kata lain, elastisitas mengukur seberapa besar kepekaan atau reaksi konsumen terhadap perubahan harga.Penggunaan paling umum dari konsep elastisitas adalah untuk meramalkan apa yang akan terjadi jika harga suatu barang/jasa dinaikkan. Pengetahuan mengenai seberapa dampak perubahan harga terhadap permintaan penting bagi produsen.Pengetahuan ini digunakan sebagai pedoman seberapa besar ia harus mengubah harga produknya.Sebab berkaitan dengan seberapa besar penerimaan penjualan yang akan diperoleh.
Contoh: jika biaya produksi sebuah barang meningkat maka seorang produsen terpaksa menaikkan harga jual produknya. Menurut hukum permintaan tindakan menaikkan harga ini jelas akan menurunkan permintaan. Jika permintaan hanya menurun dalam jumlah yang kecil, naiknya harga akan menutupi biaya produksi sehingga produsen masih mendapatkan keuntungan.Namun, jika peningkatan harga ini ternyata menurunkan permintaan demikian besar, maka bukan keuntungan yang ia peroleh. Hasil penjualannya mungkin saja tidak dapat menutupi biaya produksinya, sehingga ia menderita kerugian. Jelas di sini bahwa produsen harus mempertimbangkan tingkat elastisitas barang produksinya sebelum membuat suatu keputusan. Ia harus memperkirakan seberapa besar kepekaan konsumen
Faktor yang mempengaruhi elastisitas harga dari permintaan
1. Ketersediaan barang substitusi atas suatu barang juga kemampuan barang subsitusi mensubstitusi. Contoh: Sembako
2. Intensitas kebutuhan, artinya semakin penting akan kebutuhan barang tersebut maka semakin inelastis permintaannya. Exp: BBM
3. Pendapatan konsumen, semakin tinggi pendapatan konsumen semakin inelastis suatu barang
4. Tradisi konsumsi barang
Rumus Elastisitas:
∆Q x P1
∆P Q1
Ket:
∆Q = perubahan jumlah barang
∆P = perubahan harga barang
Koefisien |
Elastisitas |
N = 0 |
Inelastis sempurna |
N < 1 |
Inelastis |
N = 1 |
Elastis Uniter |
N > 1 |
Elastis |
N ~ |
Elastis Sempurna |
Contoh barang elastis:
Saat harga Rp. 500 jumlah barang yang diminta adalah 1000 unit. Dan saat harganya turun 100 rupiah menjadi Rp. 400 jumlah barang yang diminta 1400 unit. Maka:
|
∆Q x P1 ∆P Q1 400 x 500 100 1000 = 4 x ½ = 2 (elastis) |
Contohbarang inelastis sempurna:
Saat harga Rp. 500 jumlah barang yang diminta adalah 100 unit. Dan saat harganya naik 100 rupiah menjadi Rp. 600 jumlah barang yang diminta tetap 100 unit. Maka: |
∆Q x P1 ∆P Q1 0 x 500 100 100 = 0 x 5 = 0 (inelastis sempurna) |
Maksud dari Inelastis sempurna itu adalah bahwa perubahan harga tidak akan mempengaruhi jumlah barang yang diminta. Seberapapun tinggi kenaikan harga barang tersebut maka akan tetap dibeli oleh konsumen dengan jumlah tetap. Jika dibuat kurvanya akan seperti gambar berikut:
Dari teori inelastis sempurna ini kita faham, bahwa hukum matematika terkait teori elastisitas ini tidak lagi bisa dikaitkan dengan realitas. Hukum matematika adalah hukum matematika, dan realitas kehidupan adalah realitas kehidupan. Inelastisitas sempurna adalah lahir dari hukum matematika, namun tidak ada realitas ekonominya dalam kehidupan.
Tidak ada satu barangpun di kehidupan nyata ekonomi masyarakat yang bisa mewakilkan keadaan inelastis sempurna, dan tidak ada satu barang pun yang kenaikan harganya tidak membuat masyarakat mengurangi konsumsinya atas barang tersebut. Semua kenaikan barang akan mampu mengurangi konsumsi masyarakat akan barang tersebut.
BBM (minyak) sering disebut-sebut sebagai barang yang mewakili inelastis sempurna, karena seberapapun naiknya harga BBM tetaplah dibutuhkan masyarakat. Namun kesimpulan tersebut adalah salah, sebab realitasnya tidak demikian. Konsumsi BBM oleh masyarakat kaya mungkin tidak akan berpengaruh oleh kenaikan harganya, namun bagi masyarakat ekonomi bawah tentu terlihat pengaruh perubahannya. Kenaikan harga BBM akan mampu mempengaruhi konsumsi masyarakat ekonomi lemah, yang tadinya 1 liter sehari, dengan kenaikan harga BBM akan membuat konsumsinya menjadi 0,5 liter perhari. Yaitu dengan mengurangi aktivitasnya yang menggunakan sepeda motor beralih dengan sepeda ontel. Dengan demikian inelastisitas sempurna tidak ada realitasnya dalam kehidupan.
Contoh barang elastis uniter:
Saat harga Rp. 5 jumlah barang yang diminta adalah 40 unit. Dan saat harganya turun 1 rupiah menjadi Rp. 4 jumlah barang yang diminta menjadi 48 unit. Maka: P1 = 5; P2 = 4 Q1 = 40; Q2 = 48 |
∆Q x P1 ∆P Q1 8 x 5 1 40 = 8 x 0.125 = 1 (Elastis Uniter) |
Dari perubahan harga barang tersebut menggambarkan bahwa barang tersebut masuk kategori barang elastis uniter, yaitu barang yang perubahan permintaanya sesuai mengikuti perubahan harganya. Namun coba kita perhatikan pada soal elastisitas selanjutnya dibawah ini, yaitu dengan angka yang sama, namun dirubah P1 menjadi P2, dan Q1 menjadi Q2,
maka:
Saat harga Rp. 4 jumlah barang yang diminta adalah 48 unit. Dan saat harganya naik 1 rupiah menjadi Rp. 5 jumlah barang yang diminta menjadi 40 unit. Maka: P1 = 4; P2 = 5 Q1 = 48; Q2 = 40 |
∆Q x P1 ∆P Q1 8 x 4 1 48 = 8 x 0.08 = 0,6 (Inelastis) |
Kesimpulannya, kategori barang tersebut berubah, dari elastis uniter menjadi barang inelastis. Padahal yang kita lakukan hanya membalik mana yang kita sebut lebih dulu dan mana yang kita sebut belakangan. Sedangkan kita tidak merubah realitasnya.
Maka perubahan ini juga semakin meyakinkan kita bahwa matematika, khususnya matematika ekonomi tidak bisa dikaitkan dengan realitas kehidupan. Rumus elastisitas ini adalah hasil observasi dan experiment yang dilakukan oleh manusia dengan menggunakan akal dan pancaindranya yang lemah dan terbatas. Sehingga hasilnya memiliki kemungkinan salah. Hanya pengetahuan yang berasal dari wahyu Allah saja yang pasti kebenarannya, manusia hanya berusaha mendalami ilmu Allah saja.
Kesimpulan
Pada al Qur’an surat al Kahfi ayat 109, Allah telah mengisaratkan akan luasnya ilmu pengetahuan yang Allah miliki, yang seandainya pengetahuan Allah tersebut dituangkan dengan alat tulis dengan tinta yang berasal dari lautan, maka ilmu pengetahuan Allah tersebut tidak akan selesai dituangkan dengan tinta tersebut. Bahkan seandainya jumlah tinta tersebut didatangkan dengan jumlah yang sama banyaknya dengan yang pertama.
“Katakanlah: sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu pula (pula).” (QS. Al Kahfi: 109)
Pengetahuan yang tersebut dalam QS. Al Kahfi itu bersifat umum, artinya matematika juga termasuk golongan pengetahuan yang begitu dalam. Sehingga apa yang telah diketahui oleh manusia saat ini pada dasarnya hanyalah setetes tinta dari semua tinta lautan dunia. Ada banyak yang belum diketahui manusia dalam bidang matematika.
Akan amat disayangkan jika bilangan rasional, imajiner, fungsi permintaan/penawaran dan elastisitas tidak mampu membuat manusia sadar akan kelemahannya, tidak mampu menghantarkannya pada penghambaan kepada Allah swt. Apalagi jika penguasaan manusia akan sebagian dari matematika justru membuatnya menyombongkan diri dan merendahkan manusia lainnya.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Hafidz. 2003. Ushul Fiqih Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’i. Bogor: al-Azhar Press.
Ahmad al-Haritsi, Jaribah bin. 2006. Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab. Jakarta: Khalifa.
Baghdadi, Abdurrahman. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Surabaya: al-Izzah.
Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, Jakarta: Khalifa.
Deliarnov. 2005. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Fakih, Mansour. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.
Haider Naqvi, Syed Nawab. 1993. Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Islami. Bandung: Penerbit Mizan.
Hart, Michael H. 2005. 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa. Batam: Karisma Publishing Group.
Irawan dan M. Suparmoko. 2008. Ekonomika Pembangunan. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Karim, Adiwarman Azwar. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang.
Maksum, Ali. 2008. Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Majalah al-Wa’ie Hizbut Tahrir. 2005. Hizbut Tahrir, Khilafah dan Syariah (Biografi Singkat pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani). Edisi Khusus Maret. Jakarta: Hizbut Tahrir.
__________. 2005. Kapitalisasi Pendidikan -Politik Pendidikan Islam. Edisi Juli. Jakarta: Hizbut Tahrir.
Maliki, Abdurrahman. 2002. Sistem Sanksi dalam Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
__________. 2001. Politik Ekonomi Islam. Jawa Timur: Al-Izzah.
Nabhani, Taqyuddin. 2006. Daulah Islam (ad-Daulah al-Islamiyah). Jakarta: HTI Press.
__________. 2002. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Prspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
__________.2003. Peraturan Hidup dalam Islam (Nizham al-Islam). Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Perkins, John. 2007. Pengakuan Bandit Ekonomi; Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga. Jakarta Selatan: Ufuk Press.
Qardhawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Reksoprayitno, Soediyono. 2000. Pengantar Ekonomi Makro. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus. 1989. Ekonomi – jilid 1. Jakarta: Erlangga.
__________. 1992. Ekonomi – jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Soeharno. 2006. Teori Mikroekonomi. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Sukwiaty, Sudirman Jamal dan Slamet Sukamto. 2006. Ekonomi SMA Kelas X. Bogor: Yudhistira.
Suseno, Franz Magnis. 2002. Marx Tentang Agama. Bandung: Teraju.
Yasin, Abu. 2008. Strategi Pendidikan Negara Khilafah. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Zallum, Abdul Qadim. 2001. Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah, Jawa Timur: Al-Izzah.
[1] Fitraya Ramadhanny, Kisah Al Biruni Ilmuwan Muslim yang Mengukur Bumi Bulat, m.detik.com, 31 Juli 2017
[2] Michael H. Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa, Karisma, Batam, 2005, hal. 80
[3] Revolusi Perancis adalah awal perubahan sistem politik negara-negara Eropa, yaitu dari Kerajaan menjadi Demokrasi. Dan perubahan bentuk politik di Eropa ini kemudian diikuti oleh Negara-negara di Benua lainnya, seperti Asia, Amerika, Afrika.
[4] Positivisme adalah anggapan bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah "data-data yang nyata/empirik", atau yang dinamakan 'positif'. Positivisme mempercayai universalisme dan generalisasi yang diperoleh dari prosedur metode ilmiah (scientific method) sehingga kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dianggap bersifat universal atau cocok (appropriate) untuk semua, kapan saja, dan di mana saja
[5] Taqyuddin an-Nabhani, Kepribadian Islam (Syakhsyiah Islamiah) jilid I, HTI Press, Jakarta Selatan, 2008,, hal. 382-383
[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[7] Ilmuan Amerika (1879-1955) yang terkenal dengan teori relativitasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar