Minggu, 05 April 2009

BENANG MERAH FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab

Pendahuluan
                Banyak yang berpendapat bahwa filsafat dan ilmu merupakan sesuatu yang menjadi satu, bahkan dikatakan bahwa filsafat adalah induk dari ilmu pengetahuan. Padahal selama ini, yang dikatakan dengan filsafat dan yang terkenal dengan itu adalah sebagaimana dalam teks-teks filsafat Yunani, Persia dan India. Dan sebagaimana yang menjadi simbol tokoh dari filsafat tersebut adalah tokoh-tokoh pada periode tahun 600-500 SM, yaitu Socrates, Plato dan yang paling dikenal adalah Aristoteles. Sedangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, sebagaimana yang diketahui bahwa iptek tingkat tinggi mulai dikenal saat dunia Barat mulai menemukan dan memproduksi mesin uap, kereta tak berkuda (mobil), tropong bintang, pesawat terbang, penemuan listrik, hukum gravitasi dan lain sebagainya. Adapun tokoh-tokoh penemu iptek tersebut ternyata dilahirkan dan hidup didunia yang sebelumnya mengalami masa jahiliyah (Dark Ages), dan sama sekali tidak dilahirkan dan besar di negeri tempat filsafat tersebut tumbuh berkembang, yaitu Yunani, Persia dan India. Sebaliknya, negeri tempat tumbuh dan berkembangnya filsafat, tidak melahirkan tokoh-tokoh jenius yang menemukan iptek, yang iptek tersebut dikenal sepanjang masa dan memiliki sisi manfaat luar biasa bagi umat manusia sepanjang masa, secara keseluruhan.

                Nampak jelas bahwa ada hal-hal yang berbeda dan memiliki garis merah antara filsafat dan Ilmu. Disinilah pemakalah mencoba menghadirkan suatu rumusan yang membedakan antara filsafat dan ilmu, serta dampak dari keduanya.

                Sebagaimana dalam daftar isi, pemakalah mencoba menghadirkan alur pembahasan yang mudah dicerna. Pada bagian awal (ilmu dan tsaqafah), adalah bagian yang secara konsep membedakan karakter dari keduanya. Ilmu dan filsafat. Apakah ilmu merupakan bagian dari filsafat, ataukah filsafat memiliki bidang tersendiri yang membedakannya dengan ilmu. Kemudian pada bagian selanjutnya untuk mempertegas penyimpulan di bagian pertama, dengan menghadirkan sejarah perkembangan dari keduanya, yang pada awal mulanya dianggap sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan apa-apa yang menjadi objek kajian filsafat. Selanjutnya, dari permasalahan tersebut pemakalah mencoba menguraikan dampak dari filsafat, dan arti sebuah idiologi bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada bagian terakhir adalah kesimpulan dari kesemuanya.

A. Ilmu dan Tsaqafah
                  Ilmu adalah pengetahuan yang diambil melalui cara penelaahan, eksperimen dan kesimpulan. Misalnya ilmu fisika, ilmu kimia, dan berbagai ilmu ekperimental lainnya. Sedangkan Tsaqafah adalah pengetahuan yang diambil melalui berita-berita, talaqqiy (pertemuan secara langsung) dan istinbath (penggalian/penarikan kesimpulan). Misalnya sejarah, bahasa, fiqh, filsafat dan seluruh pengetahuan non eksperimental.

                 Ada juga pengetahuan-pengetahuan yang non eksperimental yang dimasukkan dengan ilmu, sekalipun pengetahuan-pengetahuan tersebut termasuk dalam tsaqafah. Misalnya matematika, teknik dan industri. Pengetahuan-pengetahuan ini kendati tergolong tsaqafah, akan tetapi dapat dianggap sebagai ilmu dari segi keberadaannya yang bersifat umum (universal) untuk seluruh manusia, bukan khusus untuk satu umat saja. Demikian juga yang menyerupai industri tetapi tergolong dalam tsaqafah, yaitu yang berhubungan dengan al-hiraf (kerajinan/keterampilan), seperti perdagangan dan pelayaran. Ini juga dianggap sebagai ilmu dan sifatnya umum. Adapun kesenian, seperti lukisan, pahat dan musik, termasuk kedalam tsaqafah karena mengikuti persepsi (cara pandang) tertentu, dan ia merupakan tsaqafah yang bersifat khusus.

                Perbedaan antara tsaqafah dan ilmu adalah bahwa ilmu bersifat universal untuk seluruh umat, tidak dikhususkan pada satu umat saja lalu umat lain tidak berhak; sedangkan tsaqafah sifatnya khusus dan dinishbahkan pada umat yang memunculkan, yang memiliki ciri khas dan berbeda dengan yang lain. Misalnya sastra, sejarah para pahlawan, dan filsafat tentang kehidupan. Kadangkala tsaqafah bersifat umum, seperti perdagangan, pelayaran dan yang semisalnya. Karena itu ilmu diambil secara universal. Artinya diambil dari umat mana saja, karena ilmu bersifat universal tidak dikhususkan untuk satu umat saja. Sedangkan tsaqafah, maka umat harus mulai mempelajari tsaqafahnya sendiri dan jika telah dipelajari, difahami dan telah mengakar dalam benaknya, barulah dia (boleh) mempelajari tsaqafah-tsaqafah lainnya.

                 Kaum muslimin membedakan antara ilmu-ilmu yang diperoleh melalui dirinya sendiri dengan ilmu-ilmu yang diperoleh dari orang lain secara talaqqiy. Ibnu Khaldun dalam kitabnya al-Muqaddimah mengatakan, bahwa ilmu ada dua macam. Pertama, ilmu thabi’i (natural) dimana manusia mendapatkannya melalui pemikirannya. Kedua, ilmu naqli (pemberitaan) yang diperolehnya dari yang membuatnya. Yang pertama adalah ilmu-ilmu yang bersifat hikmah, dimana seseorang bisa mengetahuinya melalui tabiat pemikirannya, dan memperoleh topik-topiknya, masalah-masalahnya dan seluruh bukti-buktinya, disamping aspek pengajarannya melalui kemampuan otak manusianya, sehingga ia mengetahui pandangan dan pembahasannya terhadap yang benar dan salah dari sisi ia sebagai manusia yang memiliki akal pikiran. Yang kedua adalah ilmu-ilmu an-naqliyah al-wadh’iyah. Ilmu ini seluruhnya bersandarkan kepada khabar (berita) dari al-waadhi’ asy-syar’i (Allah) dan akal tidak turut campur didalamnya kecuali mengkaitkan perkara-perkara yang bersifat furu’ (cabang) dari masalah-masalah ushulnya.

                Ibnu Khaldun juga berkata bahwa ‘ilmu-ilmu al-‘aqliyah wa at-thabi’iyah (yang bersifat natural atau rasional) dimiliki oleh seluruh umat, karena manusia memperoleh ilmu-ilmu tersebut melalui tabiat pemikirannya. Sedangkan ilmu-ilmu an-naqliyah (pemberitaan) dikhusukan kepada agama Islam dan pemeluknya. Sebenarnya yang dimaksud Ibnu Khaldun bahwa ilmu-ilmu naqliyah khusus pada agama Islam hanyalah sebagai contoh saja. Sebab, selain umat Islam juga mempunyai ilmu-ilmu naqliyah yang bersifat khusus untuk mereka. Misalnya syariat (hukum-hukumnya) atau bahasanya. Pernyataan Ibnu Khaldun tidak menunjukkan bahwa dia membedakan antara ilmu dan tsaqafah, akan tetapi menunjukkan perbedaan antara ilmu-ilmu naqliyah dan aqliyah. Jadi, pernyataan beliau tidak dianggap sebagai dalil bahwa kaum muslim pernah membedakan antara ilmu dan tsaqafah. Hal itu hanya hanya menunjukkan bahwa kaum muslim pernah membedakan ma’aarif (pengetahuan-pengetahuan), itupun hanya sekedar pembedaan, sehingga mereka menjadikan ma’arif itu ada dua bagian. Pembedaan mereka itu hanya dari sisi penerimaannya saja, bukan dari sisi metode penerimaannya, sehingga mereka menjadikan ilmu-ilmu aqliyah sebagai sesuatu yang diterima melalui cara akal, dan ilmu-ilmu naqliyah diterima melalui cara naqli (pemberitaan). Namun, manusia pada masa sekarang membedakan antara ma’aarif dari sisi metode penerimaannya, sehingga mereka menggunakan kata ilmu untuk sesuatu yang diterima melalui cara eksperimental, dan menggunakan kata tsaqafah untuk sesuatu yang diterima melalui cara non eksperimental.1

B. Sejarah Perkembangan Filsafat
                Dalam buku History and Philosophy of Science karangan L.W.H. Hull (1950), setidaknya sejarah filsafat dapat dibagi dalam beberapa periode, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal pada periode itu.2

                Pertama, periode filsafat Yunani (Abad 6 SM-0 M). Pada masa ini ahli filsafatnya adalah Thales (548 SM). Ia ahli filsafat, astronomi dan geometri. Dalam pengembaraan intelektualnya menggunakan pola deduktif. Aristoteles sebagai tokoh filsafat dan ilmu empiris menggunakan pendekatan induktif, sedangkan Phytagoras menggunakan pendekatan mistis dan matematis dalam aritmatika dan geometrinya. Plato sebagai orang yang ahli ilmu rasional dan filsafat menggunakan pendekatan deduktif. Yang pasti pada periode ini para filosof dan intelek menggunakan dua metode yaitu metode filosofis deduktif dan filosofis induktif dan empiris.

               Kedua, periode kelahiran Nabi Isa (Abad 0-6 M). Pada masa ini masa awal persekongkolan antara gereja yang diwakili oleh para pastur dan para raja yang pro kepada gereja. Sehingga pada masa ini filsafat (Ilmu) mengalami kemunduran. Para raja membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat (Ilmu) seolah-olah telah mati suri. Ilmu menjadi beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para raja yang berhak mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.

               Ketiga, Periode Islam (Abad 6-13 M), pada masa ini dunia Kristen Eropa mengalami kegelapan, ada juga yang menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan. Pada periode pertengahan ini, Barat menggunakan logika silogisme Aristoteles yang deduktif. Sedangkan bangkitnya barat karena menggunakan pola pikir induktif. Sebuah pola pikir yang sangat bertolak belakang dengan pola pikir Aristoteles.3

               Masa Islam ini ditandai dengan banyaknya ilmuan-ilmuan Islam yang ahli dibidang masing-masing, berbagai buku ilmiah diterbitkan dan ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam hukum Islam, sedangkan yang menerjuni filsafat Yunani maupun ketimuran (India dan Persia) adalah al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Kindi.

                 Pada mulanya logika Aristoteteles dan filsafat secara umum masuk ke Dunia Islam melalui dua cara; yaitu dengan diskusi lisan dan penerjemahan. Dimana diskusi lisan merupakan pendahuluan dari masa penerjemahan dan penukilan. Buku-buku Yunani telah mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada abad 7 M/1 H. Tetapi keaktifannya baru terjadi pada abad 8 M dan puncaknya pada abad 9 M.

                Pada masa kekhalifahan bani Umayyah, baru merupakan masa pengenalan terhadap logika Aristoteles, melalui diskusi dan dialog lisan yang bersifat individual. Menurut Ibn Katsir, bahwa filsafat Yunani memang sudah masuk dunia Islam sejak abad pertama Hijrah, yaitu pada waktu umat Islam membebaskan negeri ’Ajam (non Arab; Syam, Mesir dan Persia) tetapi itu baru hanya terbatas pada beberapa individu yang tidak dikenal, sebab ulama-ulama salaf melarang mereka mendalami ilmu tersebut. Jadi, pengetahuan mereka hanya merupakan pengetahuan dasar, bersifat umum dan belum mendalam. Sebenarnya di masa Umar bin Khatab pun telah dimulai titik start awal serangan dari filsafat, dengan kabar bahwa datang seorang shahabat nabi Sa’ad bin Abi Waqqas kepada Umar dengan mengajukan permintaan untuk menyalin kitab-kitab filsafat Persia kedalam bahasa Arab, karena ia menganggapnya ini sesuatu yang menarik karena sedang populer di negeri-negeri ’ajam, namun Umar menolak dengan menyuruhnya agar buku-buku tersebut dibuang saja ke laut, dan membatasi diri hanya dengan berpegang pada sumber otentik al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman.4

                Periode berikutnya, pada masa kekhalifahan bani Abbas, pengenalan terhadap logika Aristoteles sudah dilakukan secara resmi dengan diprakarsai oleh Khalifah. Logika Aristoteles telah mulai diterjemahkan dengan prakarsa resmi khalifah al-Mansur, dan puncaknya adalah pada masa khalifah al-Ma’mun (190-218 H/813-833 M) yang terkenal sangat mendalami filsafat hingga terjadi pada masanya geger al-Qur’an sebagai makhluk yang dipaksakan melalui kekuasaannya agar rakyatnya mengakuinya, sampai-sampai para ’ulama fiqh tunduk dibawah pedangnya dan membelenggu kedua tangan imam besar Ahmad bin Hanbal.5

                 Keempat, periode kebangkitan Eropa (Abad 14-20), masa ini juga bisa disebut masa renaissance. Peradaban Eropa bangkit melampaui dunia Islam. Pada masa ini muncul filosof-filosof seperti Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran pemikiran empirisme dan realisme berusaha menentang berbagai kebijakan dan dominasi gereja dan penguasa pada waktu itu, dan banyak lagi filosof Barat lainnya yang mengawali kebangkitan dunia Barat, seperti Thomas Aquinas, J.J. Rousseau, Martin Luther, George Barkeley, David Hume, John Locke, Rene Descartes, Immanuel Kant, John Calvin, Voltaire, Niccolo Machiavelli dan lain-lain.

                 Sebagai akibat tumbuh berkembangnya pemikiran tentang filosofi sistem kehidupan dan semakin banyaknya orang-orang yang menjadi pioner perubahan seperti tersebut diatas, maka masa pergolakan ini menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen katolik dan protestan. Perlawanan terhadap gereja dan raja yang menindas terus berlangsung, revolusi ilmu pengetahuan makin gencar dan meningkat, baik revolusi dalam bidang teknik maupun intelektual hingga memunculkan aqidah sekularisme di dunia Barat. Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan seperti Newton dengan teori gravitasinya, Copernicus dengan heliosentrisnya, dan lain sebagainya, hingga sekarang kemajuan teknologi barat tak ada lagi bandingnya. Semua itu tidak lain dan tidak bukan adalah sebab kebangkitan berfikir mereka tentang kehidupan dan perubahan sistem tata kehidupan mereka menjadi sekularisme.

C. Sejarah Perkembangan Ilmu
               Pembahasan bagian ini lebih terbagi pada empat bagian, yaitu
Zaman kuno, pada masa ini sebuah masyarkat yang hidup didalamnya memiliki ciri berfikir spekulatif, memahami apa adanya dan belum ada upaya memahami asal-usul segala sesuatu, tetapi pada zaman ini telah terbangun peradaban tinggi, seperti pembangunan Piramida pada tahun 2900 SM, juga pada masa Babilonia yang telah mampu membagi satuan waktu, yaitu 1 jam terdiri dari 60 menit, dan seterusnya.

               Zaman Yunani kuno, di masa ini pertanyaan tentang asal usul alam mulai dijawab dengan pendekatan rasional, tidak dengan mitos. Subjek (manusia) mulai mengambil jarak dari objek (alam) sehingga kerja logika (akal pikiran) mulai dominan. Sebelum era Socrates, kajian ini difokuskan pada alam yang berlandaskan spekulasi metafisik. Pada masa ini, Thales (548 SM) menyatakan bahwa bahan dasar alam berasal dari air, sedangkan menurut Anaximener (526 SM) bahwa alam berasal dari udara. Lain halnya Herakleitor (475 SM), menurutnya alam berasal dari api. Baru setelah perdebatan ini, muncullah para filosof Yunani yang terkenal yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles.

               Zaman abad pertengahan, masa ini terbagi dua, yaitu abad 1-2 M (abad alkimia) dan abad 3-15 M (abad altrokimia). Pada abad alkimia ini mengatakan ada 7 unsur alam, yaitu bumi, air, udara, api, air raksa, belerang dan garam. Sedangkan pada era altrokimia mengatakan bahwa unsur alam semesta adalah air raksa, belerang dan garam.

               Pada abad inilah (12-13 M) Barat memulai masa kejayaannya dengan banyak mengambil kemajuan Iptek dari kaum muslimin yang saat itu memimpin kemajuan ilmu pengetahuan, yang kemudian diboyong ke monastri-monastri Eropa khususnya Santa Marie de Rippol yang kemudian tempat ini memiliki ruangan penyimpanan manuskrip sejumlah besar karya-karya ilmiah orang Islam untuk mereka terjemahkan. Raja-raja Eropa pun memiliki kontribusi besar dengan mendirikan sekolah untuk penerjemah di Toledo, tepat sesudah pasukan Kristen merebut kembali kota tersebut pada tahun 1085 M. Faktor transformasi ilmu pengetahuan inilah yang membuat Barat segera keluar dari abad kegelapan (Dark Ages). Hal yang sangat perlu difahami adalah, bahwa Barat tidaklah maju dikarenakan filsafat Yunani maupun Persia dan India. Melainkan justru ketika mereka menghadapi masalah dalam memahami teks-teks Yunani, mereka kemudian lari mencari solusi ke Cordoba, dan masalah segera terpecahkan. Cordoba di Andalusia (Spanyol) adalah sisi lain negeri kekhilafahan Islam yang mencapai kemajuan di bidang iptek. Berkat inilah Barat bisa menginjak masa Renaissance pada abad 15 M.

                Zaman moderen (abad 15-sekarang), dimulai sejak terjadi renaissance dan humanisme, diawali dengan reformasi gereja. Pada era ini tepatnya abad 17, muncullah era aufklarung (pencerahan) yang melahirkan kelompok rasionalisme dan empirisme, yang karena penggabungan dari keduanya melahirkan metode ilmiah dengan tokoh-tokohnya seperti Isaac Newton, Copernicus, Galileo Galilei, Johanes Kepler dan lain-lain. Pada abad 18, ilmu pengetahuan mulai menginjak start kemajuan dengan adanya revolusi industri di Inggris dengan mesin uapnya, revolusi perancis (1789 M) dan revolusi independent AS (1766 M).

                Semenjak tahun 1960, ilmu mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran kuantitatif sebagai andalan utamanya. Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara mengesankan. Pada periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa genetika dengan melakukan percobaan cloning pada kambing, atau mengembangkan cyber technology, yang memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui internet. Belum lagi keberhasilan manusia dalam mencetak berbagai produk nano technology, dalam bentuk mesin-mesin micro-chip yang serba mini namun memiliki daya guna sangat luar biasa.

                 Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun peradaban manusia seperti sekarang ini.

                 Namun, di balik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan dan krisis. Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata telah menjadi boomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan manusia itu seakan-akan berbalik untuk menghantam dan menerkam si penciptanya sendiri, yaitu manusia.

                 Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi yang dikembangkan oleh kaum positivisme-empirik, telah memunculkan berbagai kritik di kalangan ilmuwan tertentu. Kritik terhadap positivisme, kurang lebih bertali temali dengan kritik terhadap determinisme ekonomi, karena sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme ekonomi dipancangkan dari teori pengetahuan positivistik. Positivisme juga diserang oleh aliran kritik dari berbagai latar belakang dan didakwa berkecenderungan mereifikasi dunia sosial.

D. Ruang Lingkup Filsafat

1. Etika

               Etika adalah salah satu objek kajian filsafat mengenai baik buruk sebuah perbuatan. Permasalahannya, dalam kajian filsafat ini tidak bisa selalu sejalan dengan Islam, karena dalam Islam standar baik-buruk disandarkan pada kesesuaiannya dengan halal-haram. Seperti berbohong, berperang, hukum bunuh bagi murtadin, tidak menjenguk orang tua sakit dan lain sebagainya, maka orang selain Islam tidak akan habis fikir apabila hal yang demikian tadi dikatakan suatu perbuatan yang baik. Karena filsafat tidak akan mampu menjangkaunya. Demikian juga jujur, berdamai, hukum bebas bagi murtadin dan menjeguk orang tua sakit, dikatakan suatu hal yang buruk, maka orang selain Islam juga tidak akan habis fikir dengan pernyataan tersebut. Karena standar etika dalam filsafat adalah standar menurut kebiasaan suatu lingkungan, atau kebiasaan umum.

2. Estetika
                Estetika adalah objek kajian filsafat mengenai keindahan (masalah indah atau tidak indah) dari materi suatu benda maupun perbuatan. Hal inipun Islam memiliki standar sendiri, yaitu halal-haram. Sebuah lukisan diatas kanvas, tato di anggota tubuh, kaligrafi, karikatur, model busana dan lain sebagainya, merupakan kajian yang dibahas apakah ini memiliki sisi indah ataukah tidak. Apabila filsafat mengatakan indah maka hal demikian bisa diterima, apabila tidak maka itu dibiarkan dengan sudut pandang kebebasan berekspresi. Tidaklah demikian menurut Islam. Menurut Islam hal ini termasuk tsaqafah, yaitu sesuatu yang memiliki sudut pandang yang khas. Maka apabila bertentangan dengan sudut pandang halal haram maka tidak ada pilihan lain kecuali ditolak dan tidak boleh dikembangkan.

3. Epistemologi
                 Epistemologi adalah objek kajian filsafat mengenai teori pengetahuan atau cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan, atau bisa disebut juga dengan metode ilmiah. Sebagai contoh metode ilmiah dengan eksperimen adalah, untuk menguji apakah mahluk hidup berasal dari yang tidak hidup, karena ada hipotesis yang terindra manusia bahwa ada ulat belatung yang muncul dari sepotong daging yang membusuk, maka dikatakan bahwa mahluk hidup berasal dari sesuatu yang tidak hidup (materi) sebagaimana teori darwinisme. Kemudian diadakan eksperimen dan pengamatan hingga menimbulkan suatu kesimpulan bahwa mahluk hidup muncul secara tiba-tiba dan tidak mengalami evolusi. Inilah sebuah contoh dari metode ilmiah.

                Ada beberapa kelemahan dalam metode ilmiah. Pertama, metode ilmiah tidak dapat menjangkau masalah gaib seperti azab kubur, jin saat berubah bentuk dan lain sebagainya. Kedua, keterbatasan pancaindra yang memungkinkan salah. Sebagai bukti yaitu fatamorgana, terlihat bengkoknya bolpoin (dalam keadaan miring) dalam gelas yang berisi air, kemampuan telinga manusia yang hanya 20-20.000 Hz sehingga tidak mampu mengindra yang kurang dan lebih dari itu seperti suara kelelawar, dan lain sebagainya. Ketiga, kesimpulan bersifat tentatif (selama belum terbukti salah maka dianggap benar), seperti dahulu dikatakan yang terkecil dan tidak bisa dibagi lagi adalah atom, juga dahulu ilmu kedokteran mengatakan bahwa kematian seseorang ditandai dengan matinya jantung. Semuanya terbukti salah pada masa sekarang. Karena yang tidak terbagi lagi adalah molekul, dan yang menunjukkan kematian seseorang adalah bukan matinya jantung melainkan matinya fungsi batang otak. Keempat, bahwa kesimpulan dalam metode ilmiah tidak berhubungan dengan nilai-nilai (pandangan hidup). Seperti kotoran hewan yang diteliti mampu menyuburkan tanaman, tentu saja tidak berarti halal dalam pemanfaatannya, juga pada masalah PMS (Penyakit Menular Sex) seperti sipilis yang kemudian untuk mengatasinya dengan ATM kondom.8

4. Logika
               Logika adalah objek kajian filsafat mengenai penyimpulan, yaitu penarikan kesimpulan dari argumen-argumen yang ada. Logika tertuang dalam silogisme. Dalam silogisme ada yang terdiri proposisi universal, dua proposisi, silogisme deduktif dan silogisme analogis. Pembahasan kali ini pada silogisme yang mengharuskan hanya ada 2 premis (proposisi), sehingga yang ketiga adalah kesimpulan.
Contoh; (premis mayor) semua kekerasan salah (A-B)
(premis minor) jihad adalah kekerasan (C-A)
(konklusi) jihad salah (C-B)

               Contoh demikian adalah contoh yang tidak mampu dijangkau oleh logika (silogisme) Aristoteles. Karena menurut Ibnu Taimiyah, proposisi kenabian (wahyu) tidak memerlukan silogisme logis. Karena ilmu-ilmu agama telah merupakan natijah (pernyataan yang tetap, konklusi) dari sabda rasul. Hadits-hadits mutawatir umpamanya, tidak dapat dikatakan bukan merupakan ilmu, walaupun tidak dihasilkan melalui silogisme demonstratif. Masih menurut Ibnu Taimiyah, bahwa silogisme juga tidak bisa dibatasi hanya dengan dua proposisi, karena terkadang silogime hanya membutuhkan satu proposisi, dua, bahkan tiga, empat dan seterusnya. Seperti apabila dikatakan ”ini adalah haram” jika ditanyakan alasannya, maka dijawab ”karena ia memabukkan”. Dengan demikian terjawablah konklusi dengan 1 buah premis (proposisi).9

5. Metafisika
                 Metafisika adalah bidang kajian filsafat tentang teori keberadaan sesuatu (unseen/ghaib). Seperti contoh ketika untuk mengetahui keberadaan mahluk halus, maka cara mengujinya adalah dengan ekspedisi alam ghaib, dengan pemburu hantu dan mencari sesuatu yang tertangkap oleh kamera. Sedangkan menurut Islam, untuk mengetahui sesuatu yang ghaib cukuplah dengan pemberitaan wahyu, dan tidak memerlukan hal-hal semacam itu.


E. Mengurai Benang Kusut
               Salah satu sebab kemunduran kaum muslimin di masa lampau adalah akibat terpengaruh oleh filsafat, baik filsafat yunani, India maupun Persia. Betapa tidak, dikarenakan filsafat umat Islam ditekan untuk meyakini bahwa al-Qur’an adalah mahluk. Suatu pembahasan yang melelahkan dan tidak memiliki arti untuk kemapanan kemajuan Islam. Menyakiti diri mereka dengan melukai tubuh agar bisa merasakan derita yang dialami imam Husain demi untuk memperingati 10 syuro pembantaian di Karbala.

                Kekeliruan juga dilakukan oleh al-Ma’mun yang tidak mengetahui perbedaan ilmu dan tsaqafah, dengan menerjemahkan kitab Kalilah wa Dimnah yang berisi ajaran Filsafat Hindu. Ini adalah tsaqafah, yang seharusnya penyebaran kitab ini dibendung, karena perbedaan tsaqafah suatu bangsa atau umat akan menyebabkan perbedaan hadharah (pandangan hidup) suatu bangsa. Berbeda dengan yang dilakukan Umar bin Khatab, beliau menolak dan menyuruh untuk membuangnya ke laut buku filsafat Persia yang diminta Sa’ad untuk diterjemahkan, disisi lain Umar mengambil sistem pencatatannya sebagai bagian administrasi negara. Karena Umar mengetahui perbedaan sekaligus dampak dari ilmu dan tsaqafah. Akibat dari penyebaran buku semacam inilah yang kemudian melahirkan ulama-ulama Mu’tazilah dan lain-lain. Akibat dari serangan filsafat inilah yang membuat pemahaman kaum muslimin menjadi lemah. Dan diperparah dengan penutupan pintu ijtihad, padahal ijtihad adalah suatu hal yang relevan dan bahkan fardhu kifayah dalam setiap waktu dan tempat. Sehingga pemikiran umat Islam yang kreatif dan inovatif dalam menghadapi setiap permasalahan baru dengan alat ijtihad, telah hilang, diganti dengan kejumudan. Kemudian banyak permasalahan baru yang bermunculan, tetapi tidak mampu dipecahkan.

               Umat Islam menjadi lemah disebabkan filsafat (Yunani, Persia, India), disisi lain Barat bisa mencapai kemajuan karena menghindar dari filsafat. Jadi, kemajuan Barat bukanlah dikarenakan filsafat, melainkan karena melawan dominasi dan dogma gereja tentang segala sesuatu hal. Dan perlawanan mereka dikarenakan kekejaman gereja (di masa inquisisi) dan kesalahan dogma iptek dari gereja, yang mereka tercerahkan karena iptek dari orang-orang Islam. Disaat Barat meributkan apakah bumi ini bulat ataukah datar, orang Islam telah memiliki bola dunia. Dan seorang raja eropa pun mengira dari sebuah jam yang diberikan penguasa Islam sebagai hadiah, saat alarm jam tersebut berbunyi setiap periode waktunya, mengira bahwa orang-orang Islam telah menaruh mahluk halus didalamnya.

                Sebagaimana al-Qur’an telah menggambarkan bahwa Islam itu seperti pohon, yang akarnya (aqidah) menghujam dalam ke bawah tanah dan batang dan cabangnya (UU Publik dan Private) menjulang tinggi di langit. Maka bisa terlihat ketika Islam berkuasa dimuka bumi ini periode kekhilafahan di masa lampau. Imperium kekhilafahan khalifaturraasyidin, bani Umayyah, bani Abbas maupun Turki Utsmani (Ottoman), keberadaan mereka sebagai negara adidaya justru menjadi rahmatan lil ’aalamiin. Berbeda halnya saat Barat memimpin kemajuan, justru kemajuan mereka tersebut digunakan untuk mengeksploitasi bawahannya, karena mereka tidak memiliki aqidah (sekularisme) yang dalam dan sistem kehidupan yang yang mapan, dan disisi lain karena tuntutan idiologi mereka menuntut itu.

                 Perbankan (konvensional/syariah), pasar modal, trias politica (Demokrasi) Montesquieu, pluralisme, kesetaraan gender, program keluarga berencana (KB), merupakan bagian dari tsaqafah Barat. Hal tersebut lahir setelah aqidah dasar mereka lahir, yaitu sekularisme pada abad 17. Hal yang umum dan biasa bagi sebuah bangsa, bahwa akan mengalami perkembangan pesat dan kemajuan disemua bidang, saat mereka telah menemukan dan menerapkan sebuah idiologi, perubahan fundamental dalam berfikir, dan penyebaran idiologi mereka yang baru. Sebagaimana kemajuan pesat yang dialami kaum muslimin dengan idiologi Islam yang beraqidahkan tauhid, Barat dengan idiologi Kapitalisme yang beraqidahkan sekularisme dan idiologi Sosialisme yang beraqidahkan materialisme, kemajuan sains sama-sama mereka awali dengan revolusi idiologi. Sedangkan tsaqafah-tsaqafah Barat tadi bagi orang Islam boleh mempelajarinya tapi bukan untuk diterapkan bagi dirinya, melainkan untuk dijelaskan keburukannya pada orang-orang yang sedang menerapkannya, baik yang menerapkannya itu seorang muslim maupun kafir. Maka selayaknya orang Islam ketika mempelajari tsaqafah Barat tersebut terlebih dulu mempelajari dan memperdalam tsaqafahnya sendiri, yaitu tsaqafah Islam.

                Sedangkan filsafat, khususnya filsafat Yunani, Persia dan India, hanyalah ”benalu” bagi idiologi Islam. Karena idiologi secara umum adalah al-aqidah al-aqliyah allati yanbasiqu ’anhaa an-nidzoom (pemikiran dasar yang dibangun diatasnya sistem peraturan kehidupan). Dan tidak semua agama merupakan idiologi, kecuali hanya Islam.

               Hal inilah yang menjawab tantangan Indonesia ketika mau mencapai kemajuan seperti negara-negara Barat, karena sebenarnya Barat bisa jaya disebabkan mereka maju terlebih dulu kemudian berdemokrasi, dan bukan sebaliknya, berdemokrasi dulu kemudian maju. Jelas, Indonesia tidak mungkin bisa maju apabila negara ini memulai dengan berdemokrasi, karena sesungguhnya demokrasi merupakan alat penjajahan untuk negara maju. Negeri-negeri Islam saat ini hanyalah ditipu bagaimana cara untuk maju seperti mereka. Apabila kaum muslimin khususnya di Indonesia ingin maju melebihi negara-negara Barat, adabaiknya mengikuti apa yang dikatakan imam Malik bin Anas: ”lan yashluha amru haazihi al-ummah, illa bimaa shaluha bihi awwaluhaa” (tidak akan bisa menjadi baik kondisi umat Islam, kecuali dengan sesuatu yang menjadikan mereka baik untuk pertama kalinya).10


F. Kesimpulan
               Filsafat adalah filsafat sebagaimana yang menjadi objek pembahasan dalam teks-teks filsafat Yunani, Persia dan India. Jikalau dikatakan ”lambang UII mengandung suatu filosofi” maka yang dimaksud adalah maksud atau nilai yang terkandung didalamnya, dan sebaiknya untuk menyampaikan itu menggunakan kata tersebut, dan bukannya menggunakan bahasa seperti yang sering disampaikan. Agar tidak mengandung makna kotradiktif dan multitafsir. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah 104, ”hai orang-orang yang beriman janganlah kamu katakan kepada Muhammad ’Raa’ina’ tapi katakanlah ’Unzhurna’ dan ’Dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih”. Ayat tersebut menjelaskan dua sinonim kata yang berbeda maksudnya. Allahu a’lam bi ash-showab.

Daftar Pustaka
An-Nabhani, Taqyuddin, Kepribadian Islam (Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah), Hizbut Tahrir Indonesia, Jakarta, 2008.

__________, Mafahim Hizbut Tahrir, Hizbut Tahrir Indonesia, Jakarta, 2004.

__________, Hakekat Berfikir, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2003.

As-Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa Sejarah Para Penguasa Islam, Pubenstaka al-Kautsar, Jakarta, 2005.

Hart, Michael H., 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa, Karisma Publishing Group, Batam, 2005.

Husaini, Adian, Mengapa Barat Menjadi Sekuler-Liberal?, CIOS-ISID, Ponorogo, 2007.

Http://id.shvoong.com/humanities/h_philosophy/1787015-sejarah-perkembangan-filsafat-sains/

Http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/sejarah-perkembangan-ilmu-dan-filsafat

Kamal, Zainun, Ibn Taimiyah Versus Para Filosof Polemik Logika, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.

Syarif, M.M, Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung, 1996.

Syihab, M. Baiquni, Catatan Mata Kuliah Ilmu Alamiah Dasar-Strata 1 (STAIN Surakarta), Tidak Diterbitkan.

__________, Catatan Mata Kuliah Etika Bisnis Islam-Strata 1 (STAIN Surakarta), Tidak Diterbitkan.

Wachid, Mohammad Maghfur, Standar Nilai Dalam Islam (Menimbang Konsep Hasan-Qabih dan Khayr-Syarr), Makalah, Tidak Diterbitkan.

__________, Koreksi Atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, al-Izzah, Jawa Timur, 2002.

Tidak ada komentar: