Oleh: Muhammad Baiquni Syihab
Hal mendasar dalam sebuah perekonomian apapun bentuk sistem ekonominya, maka permasalahan utama yang menjadi bahasan agar sebuah siklus ekonomi dapat terbentuk adalah masalah produksi, distribusi dan konsumsi. Ketiga hal inilah yang akan menentukan sebuah sistem ekonomi yang memliki sebuah ciri yang khas yang membedakan antara sebuah sistem ekonomi yang satu dengan yang lainnya.
Masalah produksi, distribusi dan konsumsi adalah masalah pokok ekonomi menurut teori ilmu ekonomi klasik.[1] Sedangkan menurut ekonomi modern ada beberapa hal rinci lain yang perlu dipertimbangkan, seperti masalah investasi, tingkat suku bunga, kurs valuta asing, inflasi, ekspor-impor, berbagai perusahaan besar maupun kecil, pajak, pengangguran, lingkungan hidup dan lain sebagainya. Demikian kompleksnya masalah ekonomi di era modern ini membuat masalah produksi, distribusi dan konsumsi menurut ekonomi klasik memerlukan bahasan yang lebih dalam. Setidaknya ada empat masalah fundamental perekonomian yang dihadapi setiap masyarakat di era modern. Yaitu barang dan jasa apa yang akan diproduksi (What), bagaimana cara proses produksi dilakukan (How), siapa pelaku produksi (Who) dan untuk siapa barang dan jasa hasil produksi tersebut (For Whom).[2]
1. Produksi
Masalah produksi adalah masalah pembahasan pada tiga awal masalah pokok ekonomi, yaitu barang dan jasa apa yang akan diproduksi (What), bagaimana cara proses produksi dilakukan (How), dan siapa pelaku produksi (Who) yang akan memproses produksi dari input hingga menjadi output, dan seberapa besar kewenangan pelaku produksi dalam mengambil manfaat (laba) dari hasil penjualan output produksi.
Faktor-faktor produksi hanya terdiri dari empat macam, yakni Tanah (Sumber Daya Alam), Sumber Daya Manusia (SDM), Mesin dan Manajemen.[3] Keempatnya memiliki keterkaitan yang erat. Sir William Pretty (ekonom asal Inggris pencetus konsep pendapatan nasional[4]) pada abad ke-17 M mengungkapkan hubungannya antar faktor-faktor produksi dengan mengibaratkan bahwa tenaga kerja (SDM) sebagai ayah dari produk, sedangkan tanah adalah ibunya. Maka akan menjadi hal yang tidak mudah untuk menentukan banyaknya hasil kerja yang dapat ditetapkan sebagai prestasi masing-masing faktor produksi, karena keseluruhan faktor produksi itu saling berinteraksi.[5]
Pendapatan nasional suatu negara pun dihitung berdasarkan biaya-biaya faktor produksi ditambah laba produksi. Biaya-biaya tersebut adalah sewa (tanah/SDA) ditambah biaya gaji/upah (SDM) ditambah biaya depresiasi (Mesin) ditambah laba/keuntungan produksi.[6]
Pendapatan Nasional dihitung dari PNN (Pendapatan Nasional Netto) dikurangi pajak ditambah subsidi. PNN sendiri merupakan hasil dari PNB (Produk Nasional Bruto) dikurangi depresiasi. Sedangkan PNB dihitung dengan menjumlahkan nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu warga negara baik yang tinggal di dalam negeri maupun di luar negeri. Nilai produksi yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi yang digunakan di luar negeri juga dihitung dalam Produk Nasional Bruto.[7]
Pendapatan perkapita sering digunakan sebagai tolak ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara, semakin besar pendapatan perkapitanya, semakin makmur negara tersebut. Pendapatan perkapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara. Pendapatan perkapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan perkapita juga merefleksikan PDB per kapita.[8]
2. Distribusi
Setelah benda pemuas kebutuhan selesai diproduksi, masalah yang harus dipikirkan adalah bagaimana supaya benda-benda tersebut bisa sampai ke tangan konsumen yang membutuhkan. Seperti yang telah diketahui, barang dan jasa yang tidak sampai ke tangan konsumen yang tepat, tidak ada nilai gunanya, dan tidak dapat memuaskan kebutuhan.
Masalah distribusi adalah masalah untuk siapa (For Whom) barang dan jasa yang dihasilkan itu. Siapa yang harus dan layak menikmati dan memperoleh manfaat dari barang dan jasa tersebut. Atau dengan perkataan lain, bagaimanakah seluruh produk didistribusikan (dibagikan) kepada anggota masyarakat. Apakah suatu produk ditujukan untuk masyarakat umum atau untuk segmen pasar tertentu saja.[9]
Cara distribusi pendapatan nasional akan menentukan bagaimana pandapatan nasional yang tinggi mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan dalam masyarakat, seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran dan kesulitan-kesulitan lain dalam masyarakat. Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak merata hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja. [10]
Perbedaan pandapatan diantara masyarakat timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi. Pihak yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak juga.
Koefisien Gini merupakan alat yang sering digunakan untuk menunjukkan merata tidaknya distribusi pendapatan di suatu daerah atau negara. Koefisien Gini adalah perbandingan antara luas areal kurva Lorenz dan garis diagonal dengan luas seluruh areal di bawah garis diagonal.[11]
3. Konsumsi
Masalah konsumsi menyangkut permasalahan apakah benda pemuas kebutuhan yang diproduksi memang benda yang dapat dimiliki oleh konsumen. Barang yang diproduksi haruslah merupakan benda yang tepat, yaitu barang yang memang dibutuhkan, diinginkan, dan mampu dibeli oleh konsumen. Misalnya, tidak ada gunanya membuat kapal atau perahu di daerah yang tidak memiliki pantai. Selain itu tidak ada gunanya menjual barang kepada konsumen yang tidak memiliki kemampuan untuk membelinya. Dengan kata lain, masalah konsumsi adalah persoalan kebutuhan, selera, serta daya beli konsumen.[12]
Pada tingkat makro, Obsesi informal dan beberapa penelitian statistik memperlihatkan bahwa pendapatan merupakan faktor utama dalam menentukan konsumsi nasional. Pengeluaran untuk konsumsi nasional bergerak seirama dengan tingkat kegiatan perekonomian. Faktor penentu yang penting dalam fluktuasi pengeluaran untuk konsumsi adalah fluktuasi pendapatan disposabel. Maka ramalan yang baik bagi tingkat konsumsi adalah data mengenai pendapatan.[13]
Pendapatan disposabel (pendapatan yang dapat dibelanjakan) adalah penghasilan individu dalam suatu perekonomian yang bersih dan sudah bisa dibelanjakan secara keseluruhan setelah pendapatan nasional dikurangi dengan pajak penghasilan perseorangan. Rumus pendapatan perorangan yang dapat dibelanjakan : Pendapatan personal yang dapat dibelanjakan = pendapatan personal - pajak pendapatan personal.[14]
Ekonomi Politik Internasional
Dalam disiplin ilmu hubungan internasional, ekonomi politik internasional terpecah ke dalam ilmu politik internasional dan ilmu ekonomi internasional. Factor politik umumnya diabaikan oleh para ekonom yang menganalisis proses dan kebijakan ekonomi internasional, demikian juga ilmuwan politik menganggap persoalan ekonomi sebagai lower politics, bukan bagian pokok dalam hubungan internasional.[1]
Secara historis, setidaknya ada beberapa fenomena yang menimbulkan kesadaran bahwa ekonomi politik internasional menjadi urgen untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam mengatur urusan ekonomi domestik maupun nasional, kebijakan ekonomi luar negeri, ekonomi internasional, dan konflik internasional. Fenomena tersebut adalah sebagai berikut:[2]
1. Fenomena Negara Berkembang
Munculnya fenomena negara kurang berkembang memunculkan cabang baru dari ilmu ekonomi, yaitu ekonomi pembangunan. Sebelum tahun 1960, suara masyarakat tanah jajahan hanya terdengar melalui mulut negara penjajahnya. Bahwa tempat tanah jajahan itu dalam ekonomi dunia adalah sebagai penghasil bahan mentah atau semi-manufaktur untuk dimanfaatkan oleh negara industri maju. Sudah diketahui bahwa penduduk asli tanah jajah itu selalu dirundung kemiskinan, tetapi itu selalu dipandang sebagai akibat dari kondisi kelembagaan dan perilaku yang internal. Tidak ada upaya untuk mengkaitkan kemiskinan itu dengan tempat si miskin dalam area ekonomi global dan dengan ketimpangan distribusi pendapatan global.
2. Fenomena Pesatnya Pertumbuhan Perusahaan Multi-Nasional
Perusahaan yang aktif di berbagai Negara sebetulnya bukan fenomena baru. Baru menarik perhatian para ilmuan dan analis ketika perusahaan multi-nasional menjadi begitu besar sehingga secara politik tidak bisa diabaikan. Pada pertengahan tahun 1950, kegiatan perusahaan multi-nasional sudah mulai menimbulkan perdebatan mengenai hakikat kedaulatan negara, konsep penetrasi ke dalam sistem politik suatu negara, dan tentang hakekat kekuatan ekstra nasional.
3. Fenomena Kenaikan Harga Minyak
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan kelangkaan bahan dasar dan energi. Ketika kenaikan harga minyak pada era tahun 1970, ilmuwan ekonomi masih yakin bahwa yang dilakukan oleh negara-negara OPEC bisa dijelaskan dengan perangkat analis ekonomi konvensional. Negara-negara pengekspor minyak itu sekedar menerapkan kebijakan ekonomi, yaitu kartel, yang berhasil menaikkan harga dengan membatasi supply pada kurva permintaan tidak elastis. Namun untuk melihat sebab diluncurkannya kebijakan kartel oleh negara-negara OPEC tentu memerlukan bantuan analis politik internasional, sebab hal tersebut terkait dengan embargo ekonomi negara-negara OPEC terhadap Amerika yang mendukung pendudukan Israel terhadap Palestina.
4. Fenomena Stagflasi Negara Industri Maju
Stagflasi yang terjadi pada tahun 1970-an menimbulkan crisis of control. Banyak pemerintah tidak bisa mengendalikan perkembangan dunia. Manajemen ekonomi makro tidak mampu menangani stagflasi. Upaya berbagai pemerintah untuk menyelesaikan persoalan domestik di arena internasional, karena yakin bahwa disanalah sumbernya. Membuat mereka yang semula sudah berhasil membangun kerjasama internasional, seperti dalam MEE atau antara Amerika Serikat dan Jepang, menjadi saling bertikai.
[1] Mohtar Mas’oed, Ekonomi-Politik internasional dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta , 2003, hal. 9
[2] Ibid., hal. 12-18.
[1]Sukwiaty, Sudirman Jamal, Slamet Sukamto, Ekonomi SMA Kelas X, Yudistira, 2002, hal. 14.
[2] Tim Abdi Guru (Wahyu Adji, Suwerli dan Suratno), Ekonomi SMA untuk SMA Kelas X, Erlangga, Jakarta, 2004, hal. 34-36.
[3] Ibid. hal. 3-4.
[4] http://id.wiki.detik.com/wiki/Pendapatan_nasional
[5] Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Ekonomi – jilid 2, Erlangga, Jakarta, 1992, hal. 235.
[6] Soediyono Reksoprayitno, Pengantar Ekonomi Makro, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta , 2000, hal. 19-21.
[7] Tim Penyusun Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (Pribadi setiyanto dan Ayudha D. Prayogo), Ekonomi Kelas X Semester 2, LPFE UI, 21-22.
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatan_perkapita
[9] Tim Abdi Guru, Ibid. Hal. 36.
[10] http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=6&fname=eko202_07.htm
[11] Irawan dan M. Suparmoko, Ekonomika Pembangunan, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2008, hal. 295.
[12] Tim Abdi Guru, Ibid. Hal. 33.
[13] Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Ekonomi – jilid 1, Erlangga, Jakarta, 1989, hal. 169-170.
[14] http://organisasi.org/rumus-menghitung-pdb-pnb-pnn-pendapatan-nasional-individu-dan-pendapatan-dapat-dibelanjakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar