Rabu, 09 Desember 2009

SISTEM NEGARA KHILAFAH ISLAMIYAH: SOLUSI ALTERNATIF SISTEM NEGARA INDONESIA

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab


Pada tahun 2007, 2 tahun lalu, Hizbut Tahrir bersama ummat mengadakan Konferensi Khilafah Internasional (KKI) di Gelora Bung Karno Jakarta, dengan memenuhi setiap tempat duduk didalamnya. Sebagai bukti bahwa Hizbut Tahrir sebagai partai politik tidak pernah main-main dengan solusi sistem pemerintahan yang dibawanya.

Sebagai pembawa isu Khilafah Islam, Hizbut Tahrir telah menyiapkan setiap detil rancang bangun sistem negara yang akan menggantikan sistem pemerintahan yang saat ini sedang berjalan, sistem Republik. Adapun rancang bangun yang telah disusun sudah dituangkan dalam buku-buku yang resmi dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, seperti rancang bangun: [1]

1. Sistem Politik

a. Politik Dalam Negeri
1) Sistem Pemerintahan
Khilafah islamiyah adalah sistem pemerintahan yang diusung Hizbut Tahrir yang berbentuk sistem kesatuan, dan bukan dalam bentuk federal.[2] Khilafah Islamiyah adalah sebuah sistem yang berbeda sama sekali dengan sistem-sistem pemerintahan yang ada didunia, seperti Monarchi, Republik, kekaisaran maupun Federasi, bukan pula berbentuk Teokrasi. Berbeda dengan sistem lainnya dari segi aspek asas yang menjadi landasan berdirinya, pemikiran, konsep, standar serta undang-undang dasar dan undang-undang yang diberlakuakannya.[3]

Sistem Khilafah yang diemban Hizbut Tahrir adalah sistem Khilafah sebagaimana pada masa Khulafaturrasyidin, yaitu Khilafah yang berdasar metode kenabian yang kaum muslimin seluruhnya berlindung pada satu kepala negara. Pada masa pemerintahan Umayyah, Abbasyiyah dan Turki Utsmani, walaupun sistem pemerintahannya adalah Khilafah Islam, namun era tersebut adalah era sejarah/fakta yang hanya menjadi objek hukum dan bukan sebagai sumber hukum. Dengan demikian, era sistem kekhilafahan tersebut bukanlah sistem kenegaraan yang dicita-citakan Hizbut Tahrir.[4]

2) Kepala Negara
Gelar yang digunakan untuk menyebut kepala pemerintahan Islam adalah gelar Khalifah, atau Imam, atau Amir al-Mu’minin. Gelar-gelar ini telah dinyatakan dalam hadis-hadis shahih dan ijmak shahabat Rasul sebagai dasar Hizbut Tahrir dalam menyebut seorang kepala negara Islam.[5]

Pengangkatan seorang Khalifah harus melalui proses baiat, yaitu hak yang diberikan kaum muslimin untuk bersumpah taat kepada seorang khalifah dalam menerapkan syariat Islam.[6] Setidaknya ada tujuh syarat tetap agar seseorang dapat sah menjabat sebagai Khalifah, yaitu; Muslim, Laki-laki, Dewasa (Baligh), Berakal, Adil, Merdeka dan mampu melaksanakan amanat Khalifah. Ada juga syarat keutamaan sebagai syarat tambahannya, yaitu; keturunan suku Quraisy, Mujtahid dan politikus ulung.[7] Ketidakharusan Mujtahid bagi seorang Khalifah disebabkan hukum ijtihad sendiri adalah wajib kifayah, sehingga Khalifah dapat merujuk pada salah seorang Mujtahid dalam pengadopsian hukum-hukum Islam bagi warga negaranya.[8]

Masa jabatan seorang Khalifah tidak ditentukan berdasarkan jumlah tahun. Selama Khalifah masih tetap menjaga syara’ (hukum Islam), menerapkan hukum-hukumnya serta mampu untuk melaksanakan urusan-urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan, maka ia tetap sah menjadi Khalifah.[9]

3) Undang-Undang
Aqidah Islam adalah dasar negara. Aqidah Islam menjadi asas undang-undang dasar dan perundang-undangan syar’i. Segala sesuatu yang berkaitan dengan undang-undang dasar dan perundang-undangan terpancar dari aqidah Islam.[10]

Khalifah yang melegislasi hukum-hukum syara’ tertentu yang dijadikan sebagai undang-undang dasar dan undang-undang negara. Undang-undang dasar dan undang-undang yang telah disahkan oleh Khalifah menjadi hukum syara’ yang wajib dilaksanakan dan menjadi perundang-undangan resmi yang wajib ditaati oleh setiap individu.[11]
 
Khalifah tidak melegislasi hukum syara’ apapun yang berhubungan dengan ibadah, kecuali masalah zakat dan jihad. Khalifah juga tidak melegislasi pemikiran apapun yang berkaitan dengan aqidah Islam. Negara memberlakukan syariat Islam atas seluruh rakyat yang berkewarganegaraan (Khilafah) Islam, baik muslim maupun non muslim. Negara akan membiarkan non muslim untuk memeluk aqidah dan menjalankan ibadahnya dibawah perlindungan peraturan umum.[12]

4) Majelis Ummat
Anggota Majelis Ummat dipilih melalui pemilihan umum.[13] Majelis Ummat adalah majelis yang beranggotakan orang-orang yang mewakili kaum muslim dalam memberikan pendapat sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta masukan/nasehat mereka dalam berbagai urusan. Mereka juga mewakili ummat dalam melakukan muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-Hukkam). Orang non muslim yang menjadi warga negara Islam boleh menjadi anggota Majelis Ummat, namun hak mereka hanyalah sebatas mengoreksi dan mengadukan atas kedzaliman yang menimpa mereka (muhasabah), dan bukan dalam hal pendapat (syura).[14]
 
5) Mahkamah Madzalim
Mahkamah Madzalim dibentuk oleh seorang Khalifah. Qodli (hakim) Madzalim adalah orang yang mengurusi Mahkamah ini. Qodli Madzalim bisa diangkat oleh Khalifah atau Qadli Qudlat. Koreksi, pemberian peringatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Khalifah, atau Mahkamah Madzalim, atau Qadli Qudlat jika Khalifah memberikan wewenang tersebut kepada keduanya.

Wewenang Qadli Madzalim adalah untuk mengadili dan menghilangkan kedzaliman yang dilakukan oleh penguasa, sehingga Qadli Madzalim memiliki wewenang untuk memberhentikan pejabat pemerintah (hakim) dan pegawai negeri, sebagaimana dia juga memiliki wewenang untuk memberhentikan Khalifah.[15] Pemberhentian Qadli Madzalim tidak dapat dilakukan jika tengah mengadili kasus (antara rakyat dengan) Khalifah, atau dengan Mu’awin Tafwidl (pembantu Khalifah), atau dengan Qadli Qudlat.[16]

b. Politik Luar Negeri
Politik luar negeri menurut Hizbut Tahrir adalah pengaturan urusan umat di luar negeri yang dilakukan negara dengan mengadakan hubungan dengan berbagai negara, bangsa, dan umat lain, serta menyebarkan ideologi Islam keseluruh dunia.[17] Politik luar negeri ini berdiri diatas pemikiran yang tetap dan tidak akan berubah, yaitu penyebarluasan Islam ke seluruh dunia pada setiap umat dan bangsa. Inilah asas yang tidak berubah selamanya, juga tidak berbeda-beda meski pemegang kekuasaanya kelak berbeda-beda.[18]

Daulah Islam (Khilafah Islam) adalah sebuah negara idiologis yang aktivitas pokoknya adalah mengemban dakwah Islam keseluruh dunia. Maka, merupakan bagian integral dari pembentukannya, bahwa Daulah Islam harus memiliki kedudukan internasional serta memberikan pengaruh terhadap interaksi-interaksi internasional.[19]

Dakwah dan jihad merupakan metode politik luar negeri yang mendasar yang digunakan Khilafah Islam dalam menyebarkan idiologi Islam ke seluruh penjuru dunia.[20] Menurut Hizbut Tahrir, jihad ofensif (memulai melancarkan serangan militer setelah panggilan dakwah diserukan dan kemudian ditolak) adalah fardu kifayah (wajib kifayah), artinya negara wajib melaksanakannya. Sedangkan jihad defensif (bertahan dari serangan musuh) merupakan fardhu ‘ain (wajib individu).[21]

2. Sistem Sanksi
Hukum Islam hanya terdiri dari wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Namun hanya wajib dan haram yang membawa implikasi hukum. Sebab wajib menurut syara’ adalah sesuatu yang dituntut oleh Syari’ (Allah) untuk dikerjakan oleh Mukallaf dengan suatu tuntutan yang mengharuskan, dan keharusan mengerjakannya ditunjuki oleh apa yang terdapat pada sejumlah nash, berupa pengenaan siksaan terhadap Mukallaf yang meninggalkannya.[22] Haram menurut syara’ adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, dimana pelakunya akan dikecam, dikenai sanksi ketika di dunia dan adzab ketika di akhirat.[23]
 
Sanksi di dunia bagi pelaku pelanggaran syariat Islam dapat menghapuskan sanksinya di akhirat. Hal itu karena ‘uqubat (sanksi-sanksi balasan) di dunia berfungsi sebagai zawajir (pencegah agar manusia tidak dengan mudah melakukan tindak kriminal/pelanggaran syariat disebabkan hukum pidana yang menakutkan) dan jawabir (penebus agar di akhirat kelak tidak lagi mendapat sanksi balasan dari Allah).[24]

a. Hudud
Hudud adalah sanksi yang telah ditetapkan kadarnya oleh syara’ bagi suatu tindak kemaksiyatan, untuk mencegah pelanggaran pada kemaksiyatan yang sama. Tindakan maksiyat yang sanksinya termasuk bagian dari hudud, dan yang wajib dikenai sanksi had ada beberapa macam; yaitu zina, homo seksual (liwath), menuduh berzina (qadzaf), minum khamar, pencurian, murtad, perompak/pembegal, dan pemberontakan terhadap negara.[25]

Termasuk dalam hudud disebabkan karena sanksi-sanksinya telah ditentukan dalam nash. Sanksi zina berupa rajam atau cambukan, homo seksual berupa hukuman mati, qadzaf berupa 80 kali cambukan, meminum khamar berupa 40 atau 80 kali cambukan, pencurian berupa potong tangan, murtad berupa hukuman mati, perompak/pembegal berupa hukuman mati atau disalib atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang atau dibuang, dan sanksi pemberontakan terhadap negara berupa diperangi hingga tunduk.[26]

b. Jinayat
Jinayat adalah pelanggaran terhadap badan yang didalamnya mewajibkan qishash atau harta (diyat). Qishash juga bermakna sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap tindak penganiayaan. Dengan demikian, tindak penganiayaan itu sendiri dan sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan terhadap badan disebut dengan jinayat. Pematahan terhadap gigi, begitu pula pembunuhan yang mirip dengan sengaja disebut pula dengan jinayat, begitu pula sanksi bagi masing-masing penganiayaan itu disebut dengan jinayat.[27]

c. Ta’zir
Ta’zir adalah sanksi-sanksi yang ditetapkan atas tindakan maksiyat yang didalamnya tidak ada had dan kifarat. Semua yang belum ditetapkan kadar sanksinya oleh syari’, maka sanksinya diserahkan kepada penguasa untuk menetapkan jenis sanksinya. Sanksi semacam inilah yang disebut dengan ta’zir.[28] Seperti tidak melaksanakan shalat karena malas, pemalsuan surat/tanda tangan, korupsi, penipuan dan lain sebagainya merupakan kemaksiatan yang belum ditentukan kadar sanksinya, sehingga berhak untuk ditetapkan ta’zir bagi pelakunya.

d. Mukhalafat
Mukhalafat adalah sanksi yang ditetapkan karena melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan perintah dan larangan yang telah ditetapkan negara. Misalnya, Khalifah menetapkan memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan lalu lintas, menetapkan jarak halaman rumah, melarang masyarakat untuk membangun atau menanam disampingnya sesuatu pada jarak sekian meter, jika seseorang melanggar ketentuan tersebut Khalifah akan memberi sanksi kepadanya dengan denda atau jilid atau penjara dan lain sebagainya.[29]

3. Sistem Pergaulan
Sistem pergaulan (nizham al-ijtima’i) adalah sistem yang dibuat untuk mengatur ijtima’ (pergaulan, interaksi) pria wanita dan mengatasi berbagai problem yang timbul sebagai implikasi dari interaksi tersebut.[30]

Kehidupan Islam adalah kehidupan yang memisahkan antara kaum pria dan kaum wanita. Namun ada ketetapan yang membolehkan adanya interaksi di antara keduanya, baik dalam kehidupan khusus maupun kehidupan umum. Dalam konteks ini, telah dibolehkan bagi kaum wanita untuk melakukan jual beli serta mengambil dan menerima barang, mewajibkan mereka untuk menunaikan ibadah haji, membolehkan mereka untuk hadir dalam shalat berjamaah, berjihad melawan orang-orang kafir, memiliki harta dan mengembangkannya, dan sejumlah aktivitas lain yang memang dibolehkan atas mereka, demikian juga dalam hubungannya dengan pendidikan, paramedis, kedokteran, jual beli, perburuhan, pertanian, industri dan lain sebagainya, maka dibolehkan apabila ada interaksi dengan kaum pria.[31]

Berkaitan dengan berbagai aktivitas yang tidak mengharuskan adanya interaksi lawan jenis, seperti berjalan bersama-sama dijalanan umum, bersama-sama pergi ke masjid, ke pasar, mengunjungi sanak famili, atau bertamasya, makan-minum bersama dan lain sebagainya, maka interaksi pria-wanita yang seperti itu dilarang menurut sistem pergaulan Hizbut Tahrir.[32]

Sebuah keharusan bagi kaum wanita dalam kehidupan umum untuk menutup auratnya. Melarang perzinahan termasuk berdua-duaan pria dan wanita tanpa ada kepentingan yang dibolehkan syara’ dan dijatuhkan sanksi bagi pelanggarnya. melarang pria-wanita melakukan perbuatan-perbuatan yang membahayakan akhlak dan merusak masyarakat, termasuk pornografi dan pornoaksi. Karena Islam melarang seorang pria dan wanita melakukan kegiatan dan pekerjaan yang menonjolkan sensualitasnya.[33]

4. Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan negara Khilafah adalah sistem yang bertujuan untuk menciptakan kondisi ideal yang akan dicapai peserta didik. Pendidikan Islam adalah upaya sadar yang terstruktur, terprogram, dan sistematis, yang bertujuan mengembangkan manusia yang berkepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam (seperti bahasa Arab, Tafsir, ilmu al-Qur’an dan Hadits Nabi, Akidah, Fiqh, Sejarah Islam, Pemikiran Dakwah dan lain-lain) dan juga menguasai ilmu kehidupan (sains teknologi dan seni) yang memadai, yang selalu menyelesaikan masalah kehidupannya sesuai dengan syariat Islam.[34]

a. Pendidikan Sekolah
Jenjang pendidikan sekolah dikelompokkan berdasarkan fakta anak didik di setiap angkatan, apakah dia seorang anak kecil ataukah seseorang yang sudah dewasa (baligh). Selain itu harus merujuk pada dalil syar’i dan hukum-hukum yang terkait dengan urusan anak kecil ataupun anak yang sudah baligh dari sisi perlakuan yang harus diberikan pemerintah, pengajar atau pendidik.[35]

Berdasarkan dalil dan hukum-hukum, maka jenjang pendidikan sekolah di negara Khilafah dibagi berdasarkan usia anak didik, bukan berdasarkan materi pelajaran yang diajukan sekolah. Pada jenjang pertama (ibtidaiyah) berdasarkan dari usia 6 hingga 10 tahun. Pada jenjang kedua (mutawasithoh) berdasarkan dari usia 10 hingga 14 tahun. Pada jenjang ketiga (Tsanawiyah) berdasarkan dari usia 14 hingga jenjang sekolah berakhir.[36] Periode waktu sekolah juga ditentukan berdasarkan penanggalan bulan-bulan Islam (hijriyah).[37]

b. Pendidikan Tinggi
1) Akademi Teknik
Urgensi akademi ini adalah untuk mempersiapkan sekumpulan teknisi spesialis dalam teknologi modern, seperti memperbaiki peralatan elektronik, peralatan komunikasi dan komputer, dan profesi lainnya yang membutuhkan ilmu yang lebih mendalam daripada ilmu yang dibutuhkan untuk keterampilan yang sederhana.[38]

2) Akademi Fungsional
Pentingnya akademi ini adalah untuk mempersiapkan sekumpulan orang yang kompeten melakukan tugas-tugas pekerjaan, yang tidak memerlukan pendidikan di universitas.[39]

3) Universitas
Universitas menyediakan jurusan seperi jurusan tsaqafah Islam, ilmu bahasa Arab, jurusan teknik (sipil, mesin, listrik, elektronika, komunikasi, penerbangan, komputer dan lain-lain), ilmu komputer, sains (matematika, kimia, fisika, astronomi, geografi, geologi dan lain-lain), ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu keuangan dan ekonomi dan lain sebagainya.[40]

4) Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pentingnya pusat pendidikan dan pengembangan adalah sebagai tempat aktivitas penelitian yang bersifat khusus dan mendalam dalam berbagai bidang tsaqafah dan keilmuan.[41]

5) Akademi Militer
Pentingnya pusat penelitian dan akademi militer ini adalah untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin militer dan untuk pengembangan sarana dan teknik militer yang digunakan untuk memerangi musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kaum muslimin.[42]

c. Hak Cipta dan Penerbitan
Penulis yang menyelesaikan sebuah tulisannya, ia berhak menjual hasil usahanya hanya untuk satu kali, kecuali apabila ia mencurahkan tenaganya lagi sehingga berhak mendapatkan hak untuk yang kedua kali.[43]

Penerbitan suatu naskah diperoleh setiap orang yang mencurahkan tenaga dan hak miliknya untuk menerbitkannya. Apabila pengarang buku atau penerbitnya menghendaki cetak ulang, maka ia lebih diutamakan dibanding yang lainnya. Akan tetapi apabila pengarang dan penerbit tidak menghendaki cetak ulang, maka seluruh kaum muslimin memiliki hak yang sama untuk mencetak dan menerbitkannya, sebab buku tersebut setelah diterbitkan menjadi hak milik bersama yang dapat dimanfaatkan setiap orang.[44]


[1] Hizbut Tahrir, Manifesto Hizbut Tahrir Untuk Indonesia; Indonesia, Khilafah, dan Penyatuan Kembali Dunia Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, 2009.
[2] Taqyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam, PTI, Bogor, 2003, hal. 134.
[3] Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, al-Izzah, Jawa Timur, 2002, hal. 25-30 dan hal. 135.
[4] Abdul Qadim Zallum, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah, al-Izzah, Jawa Timur, hal. 196-197.
[5] Hizbut Tahrir, Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi), HTI Press, 2006, hal. 32.
[6] Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, al-Izzah, Jawa Timur, 2002, hal. 72.
[7] Ibid., hal. 55-60.
[8] Taqyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir, Hizbut Tahrir Indonesia, 2004, hal. 85.
[9] Abdul Qadim Zallum, Ibid., hal. 103.
[10] Taqyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam, Ibid., hal. 131
[11] Ibid.
[12] Ibid., hal. 132.
[13] Ibid., hal. 157.
[14] Ibid., hal. 247-250.
[15] Abdul Qadim Zallum, ibid., hal. 249.
[16] Taqyuddin an-Nabhani, ibid., hal. 151.
[17] Taqyuddin an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, HTI Press, Jakarta, 2006, hal. 7
[18] Taqyuddin an-Nabhani, Daulah Islam, HTI Press, Jakarta 2006, hal. 197.
[19] Taqyuddin an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, HTI Press, Jakarta, 2006, hal. 225.
[20] Hizbut Tahrir, Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi), HTI Press, 2006, hal 129.
[21] Mengenal Hizbut Tahrir Partai Politik Islam ideologis, PTI, Bogor, 2002, hal. 111.
[22] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama Semarang, Semarang, 1994, hal. 152-153.
[23] Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’i, al-Azhar Press, Bogor, 2003, hal. 43.
[24] Abdurrahman Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, PTI, Bogor, 2002, hal. 4.
[25] Ibid., hal 19-20.
[26] Ibid., 30-134.
[27] Ibid., hal. 135.
[28] Ibid., 239-241.
[29] Ibid., 311-313.
[30] Taqyuddin an-Nabhani, Sistem Pergaulan dalam Islam, PTI, Bogor, 2003, hal. 1
[31] Ibid., hal. 39
[32] Ibid.
[33] http://hizbut-tahrir.or.id/2009/12/01/solusi-islam-menghentikan-laju-hivaids/
[34] Majalah al-Wa’ie Edisi Juli 2005, Kapitalisasi Pendidikan - Politik Pendidikan Islam, Hizbut Tahrir, Jakarta, hal. 14.
[35] Abu Yasin, Strategi Pendidikan Negara Khilafah, PTI, Bogor, 2008, hal. 28.
[36] Ibid., hal. 33.
[37] Ibid., hal. 35
[38] Ibid., hal. 80
[39] Ibid., hal. 81
[40] Ibid., hal. 83-84.
[41] Ibid.
[42] Ibid. hal 85.
[43] Abdurrahman al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, al-Izzah, Surabaya, 1996, hal. 139-140.
[44] Ibid.

Tidak ada komentar: