Kamis, 18 Februari 2010

PENINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP SISTEM DISTRIBUSI, SISTEM KONSUMSI DAN SISTEM MONETER EKONOMI INDONESIA

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab


Sistem Distribusi

Tehadap faktor-faktor produksi yang berimplikasi pada sistem distribusi, seperti tanah yang menghasilkan jasa sewa, modal yang mengasilkan bunga dan tenaga kerja yang menghasilkan upah, Hizbut Tahrir memiliki pandangannya sendiri. Terhadap tanah (lahan), Hizbut Tahrir memandang bahwa tanah tidak memiliki sifat seperti uang yang dapat disimpan tanpa memiliki tujuan. Tanah dalam pandangan Islam adalah pemaksaan terhadap pemiliknya untuk mengelolanya, sehingga Islam memiliki batasan waktu bagi pemiliknya ketika ia tidak mengelolanya, yaitu selama jangka waktu tiga tahun berturut-turut. Apabila bila jangka waktu tersebut telah lewat, maka orang lain atas izin negara berhak mengambil hak kepemilikan dari pemilik asalnya. Dengan demikian aturan Islam yang seperti ini akan menjamin sebuah dan semua tanah di suatu negeri untuk tetap produktif.

Pertanahan yang dipraktekkan di Indonesia menurut Hizbut Tahrir telah menyalahi ketentuan sistem ekonomi Islam, sebab kepemilikan tanah oleh warga Indonesia dijamin oleh sertifikat sebagai bukti kepemilikan yang tidak memiliki jangka waktu saat tanah tersebut tidak dikelola. Sehingga ketika ada pihak lain yang mengolahnya baik dengan maupun tanpa izinnya (baik untuk pertanian maupun membangun bangunan), saat tanah tersebut tidak diolah pemiliknya selama lebih dari tiga tahun berturut-turut, maka ketika pemilik asal ingin mengambil alih tanah tersebut maka orang yang memanfaatkan tanah tersebut tidak dapat berbuat apa-apa kecuali hanya pasrah dan merelakannya ketika saat dieksekusi. Sebab tanah tersebut sudah disertifikasi, sehingga membuat hukum yang ada di Indonesia berpihak kepadanya, sebagaimana persengketaan tanah yang sering terjadi saat ini.

Sebagaimana lahan, praktek permodalan di Indonesia juga menurut Hizbut Tahrir telah menyalahi ketentuan syara’, sebab perbankan nasional menetapkan suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman saat dananya digunakan nasabahnya baik untuk kegiatan produktif maupun konsumtif. Pada kegiatan produktif, selain hal tersebut bersifat riba yang diharamkan, suku bunga juga tidak berprinsip keadilan dan akan merugikan produsen, sebab saat hasil keadaan usaha bisnis sedang merugi maka peminjam tetap dikenakan kewajiban mengembalikan modal beserta bunganya. Dilain pihak perbankan mendapatkan dana tersebut juga memiliki kewajiban pengembaliannya beserta bunganya kepada pemilik dana tersebut. Sehingga hal inilah yang sering mengakibatkan keruntuhan perbankan di Indonesia oleh sebab kredit macet, sebab kredit macet timbul adalah akibat diterapkannya suku bunga, yang memiliki slogan “berani untung dan tidak mau rugi”. Faktor inilah yang membuat APBN Indonesia harus selalu menyisihkan sebagian hartanya untuk dialokasikan pada BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Namun apabila permodalan usaha bisnis menggunakan kontrak kerjasama bagi hasil, maka kredit macetpun dapat dihindari, sebab kegiatan kontrak kerjasama bagi hasil (mudharabah) adalah suatu kegiatan usaha bisnis yang mengedepankan slogan “berani untung dan berani rugi”.

Adapun terkait tenaga kerja, maka hal ini sangat erat kaitannya dengan sistem perseroan (syirkah) yang semua dari faktor-faktor produksi tersebut terkumpul didalamnya. Menurut Hizbut Tahrir, Islam mengharamkan perseroan saham (Perseroan Terbatas) dan mengharamkan berkumpulnya beberapa perseroan saham dalam satu perseroan, seperti perserikatan perusahaan (trust) dan kartel. Sebab syirkah (perseroan) dalam Islam termasuk kategori aqad, seperti penjualan dan sewa. Syirkah tidak seperti wakaf dan wasiat yang dilakukan melalui kehendak sendiri. Oleh karena itu tidak ada perseroan kecuali perseroan-perseroan yang mereka sendiri secara langsung mengelola perseroan itu, atau dengan harta mereka bersama-sama sekutunya mengelola perseroan secara langsung.[1]

Sistem perseroan di Indonesia yang banyak dipakai dalam BUMN maupun BUMS adalah PT (Perseroan Terbatas). PT menyalahi ketentuan ekonomi Islam sebab bertentangan dengan perseroan dalam Islam, yaitu mudharabah. Mudharabah memiliki ketentuan bagi pengelola (direktur) mendapat bagi hasil bersama pemodal (pemilik saham), dan bukan diberi gaji (aqad ajiratul ajiir). Setiap pemilik saham dalam perseroan mudharabah juga tidak sebagaimana pemilik saham dalam perseroan terbatas, pemilik saham dalam mudharabah memiliki hak suara dalam menentukan kebijakan perusahaan baik penyertaan modalnya sedikit maupun banyak.

Perseroan mudharabah tersebut secara alami tidak akan bisa mengumpulkan modal dalam jumlah besar. Dengan demikian tidak mungkin menurut hukum-hukum perseroan dalam Islam membangun sebuah perseroan (usaha bisnis) yang memiliki modal besar, sehingga mampu membangun perusahaan-perusahaan perdagangan dan industri-industri besar dan dengan mudahnya mengalahkan pesaing-pesaing bisnisnya yang masih dalam skala menengah kebawah, sehingga membuat jumlah perusahaan menjadi lebih sedikit dibanding jumlah tenaga kerja. Dengan demikian tidak akan ada monopoli industri dan produksi pabrik sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme.[2]

Menurut Hizbut Tahrir apabila sistem perseroan Islam yang diterapkan, maka BUMN yang selama ini mengelola faktor-faktor produksi dari jenis kepemilikan yang boleh dimiliki individu tentu hanya dapat dikelola oleh negara, sehingga masyarakat tidak mungkin mampu bersaing dengan usaha milik negara. Sebab usaha dalam skala besar tersebut jelas membutuhkan modal besar yang tidak mungkin dicapai oleh perseroan model mudharabah dan perseroan Islam lainnya. Dengan demikian, usaha dalam faktor-faktor produksi dari jenis kepemilikan individu yang memerlukan modal besar seperti industri alat, industri mobil, industri kapal dan pesawat, jasa transportasi darat, laut dan udara, dan lain sebagainya hanya akan dapat dimiliki negara, walaupun tetap ada kemungkinan swasta untuk bersaing dengan negara, walaupun kemungkinan itu kecil.[3]

Perusahaan dalam siklus ekonomi berperan sebagai pencipta demand tenaga kerja, dan rumah tangga berperan sebagai supplier tenaga kerja. Jumlah perusahaan sebagai penampung tenaga kerja semakin sedikit disebabkan persaingan usaha antar Perseroan Terbatas (PT.), dimana pemenangnya selalu berpihak pada perusahaan yang memiliki modal besar, sedangkan disisi lain pertumbuhan tenaga kerja terus meningkat. Sebagaimana hukum dalam kurva permintaan dan penawaran, tingkat penawaran tenaga kerja yang terus menerus meningkat yang tidak diikuti dengan pertumbuhan jumlah perusahaan sebagai penampung tenaga kerja, akan mengakibatkan tingkat harga tenaga kerja menjadi turun. Demikianlah yang terjadi di Indonesia dan banyak negara lain di dunia, dan ketetapan UMR di Indonesia adalah sebagai bentuk usaha pemerintah untuk menjaga tingkat upah, melindungi tenaga kerja agar pendapatan tenaga kerja tidak turun sampai pada titik yang sama sekali tidak mampu menutupi kebutuhan primer tenaga kerja.

Namun, dikeluarkannya UU No. 13 Tahun 2003 sebagai legalisasi bisnis jasa Outsourcing, membuat kaum pekerja menjadi hanya berstatus sebagai pekerja kontrak yang tidak ada jaminan dalam keberlangsungan pekerjaannya (status pekerja tetap),[4] disaat kesempatan kerja menjadi kecil dan disaat 10% penduduk Indonesia berstatus sebagai pengangguran terbuka, yang berarti bahwa banyaknya jumlah orang yang siap menggantikannya sebagai pekerja. Maka menjadi hal yang lumrah apabila di Indonesia sering terjadi demonstrasi kaum buruh.

Berbeda dengan sistem pengupahan sistem ekonomi Indonesia, sistem pengupahan ekonomi Islam Hizbut Tahrir tidak mengenal dan apalagi sampai mematok Upah Minimum Regional (UMR), akan tetapi menggunakan asas kontrak kerja, baik dari sisi statusnya sebagai pekerja kontrak ataukah pekerja tetap maupun dari sisi besaran tingkat upahnya. Namun hal penting yang ditekankan dalam masalah ini adalah sistem perseroan, bahwa turunnya harga tenaga kerja di Indonesia adalah sebab turunnya jumlah supply/penyedia lapangan kerja (perusahaan) akibat menerapkan sistem perseroan yang menyalahi hukum Islam, sedangkan apabila suatu negara menerapkan sistem perseroan dalam Islam, menurut Hizbut Tahrir jumlah penyedia lapangan kerja dan jumlah penyedia tenaga kerja akan stabil, sehingga tingkat harga tenaga kerja akan mencapai tingkat equilibrium.

Adapun UMR menurut Hizbut Tahrir adalah bentuk pelimpahan tanggung jawab kesejahteraan masyarakat, yang dilimpahkan negara kepada perusahaan sebagai tempat seorang pekerja bekerja, yaitu agar pendapatan pekerja tidak sampai mencapai titik yang membuatnya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup layak. Tingkat upah dalam sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir tidak ada batas minimal sebagaimana UMR, sehingga tampak bahwa besaran upah dimungkinkan bisa akan berada dibawah garis sebagaimana yang ditetapkan UMR. Namun demikian, tingkat equilirium yang dicapai atas supply dan demand tenaga kerja diprediksi tidak akan sampai berada dibawah kebutuhan hidup layak seorang pekerja. Sehingga tanggung jawab negara atas kesejahteraan para pekerja bukan ditentukan dengan menetapkan tingkat pengupahan, melainkan dengan cara yang menunjukkan bahwa negara adalah pelayan dari rakyatnya. Misalnya seperti apabila ada seorang tua yang tidak sanggup lagi bekerja dan dia diabaikan oleh keluarganya, maka negara akan memaksa kerabat terdekatnya tersebut untuk menyantuninya, dan bukan hanya sekedar himbauan sosial belaka kepada kerabatnya tersebut, melainkan pemaksaan agar kubutuhan ekonominya tercukupi.

Menetapkan batas upah sebagaimana UMR dan penetapan-penetapan harga lainnya seperti harga barang, menurut Hizbut Tahrir adalah bentuk kezaliman. Sebab penetapan upah menjadikan salah satu biaya produksi menjadi tetap, padahal hasil produksi belum tentu laku dipasaran, sedangkan perusahaan harus menetapkan upah sebagaimana yang ditetapkan pemerintah, maka dari sini terlihat bahwa tingkat upah terjadi bukan dari kontrak kesepakatan antara pekerja dan perusahaan, melainkan dengan apa yang ditetapkan negara, dan ini adalah bentuk kezaliman bagi perusahaan. Sebab perusahaan memiliki hak untuk menurunkan biaya produksinya.

Pendapatan nasional yang dijadikan negara Indonesia sebagai tolak ukur kemajuan ekonomi, menurut sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir hal tersebut tidak mampu mencerminkan kemakmuran ekonomi bangsa ini. Sebab perekonomiannya sudah menciptakan ketimpangan diantara masyarakatnya. Pendapatan nasional hanya menunjukkan kekayaan yang dimiliki oleh segelintir orang saja, tanpa melihat kekayaan tersebut merata atau tidak.

Sistem Konsumsi
Sistem konsumsi merupakan permasalahan yang menyangkut apakah benda pemuas kebutuhan yang diproduksi memang benda yang layak dan dapat dimiliki oleh konsumen atau tidak. Sistem konsumsi dalam sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir adalah berlandaskan hukum syara’, yaitu halal-haram. Sehingga barang halal adalah barang yang dapat dimiliki konsumen tertentu, dan barang haram adalah barang yang tidak boleh diproduksi, didistribusi dan dikonsumsi oleh konsumen tertentu. Sedangkan sistem ekonomi Indonesia dalam pandangan Hizbut Tahrir tidak menjadikan halal-haram sebagai asasnya. Sebab tidak ada sebuah undang-undang yang menetapkan sangsi bagi warganya yang muslim saat mengkonsumsi barang haram.

Adapun fatwa MUI pada hal-hal yang berkaitan dengan barang-barang konsumsi, menurut Hizbut Tahrir hal tersebut hanyalah berstatus sebagai fatwa atau opini bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, namun fatwa tetap bukan sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat setiap warga negaranya dengan sanksi hukum tertentu bagi pelanggarnya. Dengan demikian wajar apabila minuman beralkohol dalam sistem konsumsi ekonomi Indonesia yang telah dipaparkan sebelumnya dalam bab V, menjadi barang yang tergolong makanan yang dikonsumsi baik pada mayarakat perkotaan maupun pedesaan di Indonesia.

Berkaitan dengan sertifikasi halal, sistem ekonomi Islam memandang bahwa sertifikasi tersebut hanya ada ditengah-tengah sistem konsumsi yang memang tidak menjadikan halal-haram sebagai peraturannya. Adapun dalam sistem konsumsi ekonomi Islam, kemungkinan yang terjadi adalah sertifikasi haram yang berlanjut pada tulisan khusus bagi agama-agama tertentu saja selain Islam, karena negara Khilafah tidak akan melarang agama lain mengkonsumsi barang yang halal menurut mereka namun haram menurut Islam. Adapun kebijakan tata cara teknisnya akan menjadi kewengan penuh Khalifah saat barang-barang konsumsi yang haram dalam pandangan Islam tersebut didistribusikan ditengah-tengah masyarakat.


Sistem Moneter
a.      Mata Uang
Mata uang Indonesia adalah Rupiah, dan Rupiah di Indonesia secara fisik bukanlah emas maupun perak, melainkan kertas, Rupiah juga tidak berstandar atau dijamin oleh logam mulia seperti emas maupun perak. Dengan demikian menurut sistem ekonomi yang diadopsi Hizbut Tahrir mata uang yang dipakai dalam sistem ekonomi Indonesia telah menyalahi ketentuan dalil-dalil syara’ dalam pandangan sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, sebab tuntutan dalam Islam bagi sebuah negara seharusnya menggunakan mata uang emas maupun perak dalam pertukarannya secara fisik, maupun mata uang substitusi yang dijamin oleh emas maupun perak.

b.      Pasar Uang
Kurs pertukaran mata uang dalam sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir menggunakan kurs mengambang, sebab hal ini dianalogikan (qiyash) dengan larangan menetapkan harga barang oleh negara (ta’sir). Sebagaimana dalam sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, Indonesia juga membiarkan kurs pertukaran mata uangnya bebas mengambang terhadap mata uang lainnya.[5]

Mata uang emas dan perak memiliki nilai intrinsik didalamnya, yaitu emas dan perak, sehingga mata uang emas dan perak bernilai disebabkan zatnya dan kemampuan daya tukarnya dimunculkan oleh sebab zat fisiknya. Jadi tidak memerlukan jaminan negara agar mata uang tersebut bisa berlaku ditengah-tengah perekonomian masyarakat suatu negara. Adapun Rupiah berbeda dengan mata uang emas dan perak, sebab Rupiah secara fisik adalah kertas tak bernilai, dan kertas tersebut (Rupiah) tidak dijamin oleh emas dan perak yang secara fisik mempunyai nilai tukar, sehingga Rupiah memerlukan jaminan negara agar memiliki daya tukar didalam perekonomian suatu negara. Hal inilah yang membuat kurs pertukaran mata uang Rupiah terhadap mata uang lain, selain ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi juga bisa ditentukan oleh faktor-faktor non ekonomi seperti kondisi sosial dan politik negara Indonesia, sehingga Rupiah bisa devaluasi saat kondisi politik sedang tidak stabil atau seringnya terjadi huru-hara ditengah-tengah masyarakat. Tingginya angka import barang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga berperan penting untuk kestabilan perekonomian Indonesia, sebab Indonesia akan membutuhkan mata uang negara asal pengekspor untuk pembayaran, yang masing-masing negara tersebut mata uangnya bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor selain ekonomi.

Spot, forward, Option dan Swap adalah jenis-jenis transaksi pertukaran mata uang yang lazim dalam perekonomian Indonesia.[6] Keempat jenis transaksi tersebut memiliki persamaan, yaitu sama-sama penyerahan hasil transaksinya tidak memenuhi syarat kontan dalam pertukaran mata uang menurut ekonomi Islam. Adapun jenis spot yang penyerahannya paling cepat daripada jenis transaksi lainnya, namun tetap dalam penyerahannya paling cepat adalah dua hari, padahal perubahan kurs mata uang di Indonesia terhadap mata uang lainnya selalu berubah setiap harinya. Dengan demikian kesemuanya adalah batil menurut pertukaran mata uang dalam Islam, karena semuanya menimbulkan selisih nilai saat transaksi berlangsung dan saat penyerahan barangnya. Selain itu, negara Indonesia juga membiarkan warga negaranya untuk berspekulasi dalam pertukaran mata uang sebagai ajang bisnis. Dengan demikian sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir memandang sistem moneter yang diterapkan Indonesia menyalahi ketentuan dasar-dasar hukum Islam.

Oleh sebab belum adanya negara yang menerapkan sistem moneter Islam perspektif Hizbut Tahrir, maka jumlah hari penyerahan hasil pertukaran mata uang agar memenuhi syarat kontan tersebut dapat ditentukan saat sudah adanya negara yang menerapkan sistem moneter menurut Hizbut Tahrir, sehingga jumlah hari yang riil yang dapat ditetapkan dapat terlihat melalui jumlah hari terjadinya perubahan kurs mata uang luar negeri terhadap mata uang dalam negeri.



[1] Ibid., hal 97.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Dhaniswara K. Harjono, Aspek Hukum dalam Outsourcing, http:// www.majalahpengusaha.com/ content/view/868/93/, diakses Tanggal 16 Februari 2010.
[5] Ibid., hal. 130-133.
[6] Pengenalan Bertransaksi, http://www.forex.co.id/ forex-trading-pengenalan-bertraksaksi.htm, diakses tanggal 28 Januari 2010.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

saya mau tannya tentang sistem kerja outsourching hukumnya dalam islam seperti apa