Kamis, 18 Februari 2010

PENINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP SISTEM PRODUKSI EKONOMI INDONESIA

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab

Masalah pokok sistem ekonomi adalah sebagaimana yang telah disinggung pada bab-bab sebelum ini, sehingga peninjauan yang dibahas pada pilar-pilar sistem ekonomi indonesia adalah pada pilar-pilarnya, yaitu sistem produksi, sistem distribusi dan sistem konsumsi.

Sistem Produksi

Faktor-faktor produksi dalam sistem ekonomi Indonesia hanya terbagi menjadi dua, yaitu jenis faktor-faktor produksi yang dimiliki negara dan faktor-faktor produksi yang dimiliki individu. Tanah (SDA), modal, mesin dan SDM adalah faktor-faktor produksi yang dimaksud. Sebagaimana dalam sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, tidak ada batasan khusus yang menetapkan perbedaan kedua jenis kepemilikan tersebut (kepemilikan negara dan kepemilikan privat). Semua pembedaaanya terletak pada kebijakan negara. Sebab harta kekayaan yang dimiliki negara, akan menjadi hak negara untuk memberikan atau menjualnya kepada individu atau kelompok masyarakatnya, sehingga ketika negara sudah memberikan maupun menjualnya kepada warganya baik individu maupun kelompok, maka kepemilikan tersebut berubah menjadi kepemilikan individu, bukan kepemilikan negara lagi. Satu-satunya pembeda antara sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir dengan sistem ekonomi Indonesia dari jenis kepemilikan negara dan kepemilikan privatnya adalah dari sumber pendapatannya. Bahwa dalam sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, sebagian sumber pendapatan negaranya adalah sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh dalil-dalil syara’, sedangkan dalam sistem ekonomi Indonesia sama sekali tidak ada batasan tetapnya, yaitu batasan yang membuat jenis kepemilikan bersifat saklek, baik melalui UUD apalagi melalui dalil-dalil syara’, sebab Indonesia tidak mengadopsi dalil-dalil syara’. Saat kekayaan alam atau faktor-faktor produksi tersebut masih menjadi milik negara Indonesia, maka pendapatannya akan masuk dalam kas negara/APBN, namun saat faktor-faktor produksi tersebut sudah berubah menjadi status kepemilikan individu/kelompok maka negara hanya akan mendapat pemasukan negaranya melalui jalur yang lain, yaitu pajak dan atau bagi hasil atas pengelolaannya.

Sistem produksi dalam sistem ekonomi Indonesia tidak mengenal jenis kepemilikan umum atau kepemilikan masyarakat. Berbeda dengan sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir yang memiliki jenis kepemilikan umum/masyarakat dalam faktor-faktor produksinya.

Ketiadaan jenis kepemilikan umum dalam sistem produksi pada sistem ekonomi Indonesia, membuat kekayaan alam yang menurut sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir adalah termasuk jenis kepemilikan umum, menjadi mudah berubah status kepemilikannya dalam sistem ekonomi Indonesia, yaitu dari jenis kepemilikan negara menjadi kepemilikan privat. Perubahan status kepemilikan tersebut dalam sistem ekonomi Indonesia dapat melalui privatisasi (penjualan). Ketiadaan jenis kepemilikan umum inilah yang membuat slogan “demi kepentingan rakyat” bisa digunakan oleh siapa saja walaupun sebenarnya justru malah membuat rakyat semakin menderita, termasuk pemakai slogan tersebut adalah pemerintah.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah fakta usaha negara yang menunjukkan tidak adanya pembedaan secara jelas antara faktor-faktor produksi dari jenis kepemilikan individu/privat, kepemilikan umum dan kepemilikan negara menurut sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, dan melalui proses kebijakan privatisasi Indonesia tidak mempertahankan antara yang termasuk kepemilikan negara dan kepemilikan pribadi. BUMN di Indonesia adalah badan usaha yang faktor-faktor produksi pembentuknya adalah milik negara. Berdasarkan status jenis kepemilikan negara tersebutlah maka negara Indonesia memiliki hak, dan memilih kebijakan privatisasi dengan segala pertimbangannya, yaitu pertimbangan efisiensi dan lain sebagainya, sehingga di mata warga negaranya hal tersebut menjadi sah. Sebab negara berdasarkan ayat ke-4 dalam pasal 33 UUD 45 menyatakan bahwa bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sehingga privatisasi dengan dalih efisiensi dapat dibenarkan.

Faktor-faktor produksi dalam BUMN negara Indonesia yang menurut sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir termasuk dalam jenis kepemilikan umum/masyarakat, adalah seperti minyak bumi (PT. Pertamina), gas (PT. Perusahaan Gas Negara), barang tambang non migas (PT. Tambang Batubara Bukit Asam Tbk, PT. Timah, PT. Antam Tbk, PT. Krakatau Steel), energi (PT. PLN) dan lain sebagainya[1] sebagaimana kriteria yang terkategori dalam jenis kepemilikan umum dalam sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir. Adapun yang bukan dalam kekuasaan BUMN namun tetap tergolong dalam jenis kepemilikan umum adalah seperti jalan kecil maupun jalan raya, pulau, pantai, danau dan lain sebagainya. Adapun faktor-faktor produksi kekayaan alam Indonesia yang juga termasuk dalam jenis kepemilikan umum/rakyat yang berada dibawah kendali perusahaan swasta nasional maupun swasta asing adalah seperti Blok Cepu yang pengelolaannya dibawah ExxonMobil,[2] Minyak dan gas bumi di Sidoarjo dibawah pengelolaan PT. Lapindo Brantas,[3] minyak dan gas bumi di Aceh sebagian dibawah kendali Gulf Resources Aceh, Mobil Oil-B, Mobil Oil-NSO, dan Mobil Oil-Pase, barang pertambangan logam mulia di Papua dikelola oleh PT. Freeport, dan lain sebagainya, yang kesemua dari perusahaan swasta nasional maupun asing tersebut melakukan kontrak kerjasama dengan pemerintah RI yang memiliki faktor-faktor produksi tersebut.[4]

Menurut sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, kekayaan faktor-faktor produksi yang tergolong dalam jenis kepemilikan umum adalah milik rakyat secara keseluruhan, walaupun negara yang dilimpahi tanggung jawab dalam pengeksplorasiannya, namun tetap bukan milik negara, sehingga negara tidak berhak untuk memberikan dan menjualnya (memprivatisasi) kepada individu dan kelompok dari warga negaranya maupun kepada swasta asing, yang hal itu membuat negara hanya dapat menarik pajak dan royalti dari pengolahan faktor-faktor produksi tersebut. Negara juga tidak memiliki hak ketika mengelola faktor-faktor produksi tersebut menggunakan metode penjualan (saham) sebagian hak kepemilikannya, sehingga membuat hasil dari pengekplorasian tersebut harus dibagihasilkan dengan pemilik saham lainnya. Cara-cara demikian menurut sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir menyalahi ketentuan ekonomi yang berlandaskan hukum Islam dan juga mengabaikan kepentingan rakyat. Sebab, Indonesia telah menjadikan kekayaan alam yang menurut ketentuan dalil-dalil syara’ adalah milik umum/masyarakat, menjadi berstatus kepemilikan negara. Dengan demikian pasal 33 UUD 45 yang dijadikan sebagai dasar bagi perekonomian Indonesia adalah batal menurut dalil-dalil syara’ perspektif Hizbut Tahrir.

Indonesia juga pernah memberikan sesuatu (kekayaan alam) yang belum menjadi miliknya menurut UUD 45 kepada perusahaan asing. Yaitu konsesi pertambangan emas di Papua telah diberikan Indonesia kepada PT. Freeport McMoran, sebuah perusahaan pertambangan milik Amerika pada tahun 1967, padahal penentuan kehendak rakyat Papua baru dilakukan pada tahun 1969, dengan demikian Indonesia telah menyalahi perundang-undangannya sendiri. [5]

Perundang-undangan mengenai penanaman modal asing (PMA) juga terus mengalami perubahan dari awal dikeluarkannya pada tahun 1967, yang pada awalnya memiliki persyaratan maksimal saham yang bisa dikuasai oleh asing pada BUMN sebesar 49 % pada tahun 1968, pada tahun 1994 meningkat menjadi 95 %.[6] Demikianlah apabila faktor-faktor produksi dari kekayaan alam yang seharusnya berstatus kepemilikan umum, menjadi kepemilikan negara, maka negara memiliki hak penuh bagaimanapun cara pemanfaatannya dan memiliki dalih apapun dalam kebijakannya dan semuanya akan tetap legal di mata hukum, walaupun bertentangan dengan dalil hukum Islam dan kepentingan rakyat.

Hizbut Tahrir dalam sistem ekonominya memisahkan antara faktor-faktor produksi yang menjadi kepemilikan umum dan kepemilikan negara. BUMN dalam perekonomian negara dalam pandangan Hizbut Tahrir hanya khusus untuk faktor-faktor produksi yang tergolong dalam jenis kepemilikan negara saja, dan bukan untuk faktor-faktor produksi yang tergolong dalam jenis kepemilikan umum/masyarakat, seperti yang telah diuraikan diatas. Sebab, pengalokasian hasil usaha milik umum adalah untuk masyarakat, sedangkan pengalokasian hasil usaha milik negara adalah untuk negara. Menurut Hizbut Tahrir apabila negara belum mampu secara mandiri untuk mengeksplorasi dan mengksploitasi kekayaan alamnya yang menjadi kepemilikan umum, maka negara bisa menyewa tenaga kerja dari luar negeri yang ahli dalam bidang tersebut dengan kontrak sewa-menyewa (ijaratu ajiir), bukan kontrak kerjasama yang hasilnya harus dibagi bersama (mudharabah). Kedua jenis kontrak inilah yang secara gamblang dan tegas menunjukkan siapa pemilik dari barang faktor-faktor produksi tersebut.

BUMN dalam pandangan Hizbut Tahrir adalah badan usaha yang mengolah faktor-faktor produksi dari jenis kepemilikan negara,  bukan dari jenis kepemilikan umum, sedangkan harta kepemilikan negara adalah sebagaimana kepemilikan individu. Badan usaha yang dapat didirikan oleh negara antara lain dalam bidang transportasi darat, laut dan udara, bidang jasa konstruksi perumahan, pertanian, pupuk, telekomunikasi, industri alat-alat, industri teknologi, industri farmasi, pariwisata, dan lain sebagainya, sehingga tidak menutup kemungkinan individu rakyat akan bersaing dengan negara dalam kegiatan bisnis. Sebab bidang-bidang tersebut juga termasuk dalam jenis kepemilikan individu yang membolehkan individu untuk memiliki usaha bisnis.

Adapun pertambangan migas dan non migas, jalan raya, energi, mineral, kehutanan, pelabuhan, dan lain sebagainya yang tergolong pada jenis kepemilikan umum, maka negara tidak boleh memiliki badan bisnis usaha produksi dalam bidang-bidang tersebut, demikian juga dalam hal pelayanan yang menjadi tanggung jawab negara seperti pendidikan dan kesehatan, negara juga tidak boleh berbisnis dalam bidang-bidang tersebut. Negara hanya boleh berbisnis mengelola faktor-faktor produksi dari jenis kepemilikan umum hanya dalam statusnya sebagai wakil dari yang memilikinya, yaitu rakyat.

Demikianlah negara mengelola barang-barang yang termasuk kepemilikan umum. Begitu pula negara seharusnya memiliki usaha bisnis pada setiap barang faktor produksi yang termasuk kepemilikan individu, dengan tujuan untuk menambah pendapatan negaranya. Hanya saja barang yang dimiliki negara diantara barang yang termasuk kepemilikan individu tidak berubah menjadi kepemilikan umum, dengan sebab dimiliki negara. Barang yang termasuk kepemilikan umum ditentukan dengan sifat dan karakteristiknya oleh syara’, dan bukan sebab kepemilikan negara. Tetapi ia menjadi kepemilikan negara seperti harta benda lain yang dimiliki negara, misalnya pajak, kharaj, jizyah dan sebagainya. Terhadap harta kepemilikan negara ini, negara boleh menjualnya, menghibahkannya atau memberikan kelebihannya kepada individu-individu, berbeda dengan barang yang termasuk kepemilikan umum seperti yang tersebut diatas, ia adalah kepemilikan seluruh rakyat, maka negara tidak boleh menjualnya, menghibahkannya atau memberikan kelebihannya kepada siapapun juga.[7]



[1] http://id.wikipedia.org/ wiki/ Daftar_badan_usaha_milik_negara_Indonesia#Energi.
[2] Deddy Novrandianto, Exxon Kuasai Blok Cepu, http://www.bojonegoro.com/ 2006/03/14/ exxon-kuasai-blok-cepu/, diakses tanggal 21 Januari 2010.
[3] id.wikipedia.org/wiki/Lapindo_Brantas_Inc.
[4] Sumber Daya Alam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, http://www.indonesia.go.id/ id/ index.php?option=com_content&task=view&id=3524&Itemid=1948, diakses tanggal 21 Januari 2010.
[5] Dandhy Dwi Laksono, Indonesia For Sale, Pedati, Surabaya, 2009, hal. 217-218.
[6] Ibid.
[7] Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, al-Izzah, Jawa Timur, 2001, hal. 97-98.

Tidak ada komentar: