Kamis, 18 Februari 2010

PERBANDINGAN SISTEM EKONOMI INDONESIA DAN SISTEM EKONOMI ISLAM HIZBUT TAHRIR

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab


SISTEM EKONOMI

No
Sistem Ekonomi
Indonesia
Sistem Ekonomi Islam
Hizbut tahrir
1.

Pilar-Pilar Sistem Ekonomi
a.

Sistem Produksi

Sistem Produksi

Kepemilikan Negara
Apapun yang bisa dimiliki negara dan dimiliki individu
Kepemilikan Negara
Apapun yang bisa dimiliki negara dan dimiliki individu

Kepemilikan Individu
Apapun yang bisa dimiliki individu dan dimiliki negara
Kepemilikan Individu
Apapun yang boleh dimiliki individu



Kepemilikan Umum
Tidak boleh dimiliki negara maupun individu
b.

Sistem Distribusi

Sistem Distribusi

Lahan
Pembolehan Sewa
Ekonomi
Lahan
Larangan Sewa dan Pembatasan Menganggurkan Lahan

Modal
Bunga
Modal
Bagi Hasil/Pinjaman

Tenaga Kerja
Upah (UMR)
Tenaga Kerja
Upah
(Kontrak)

Sistem Perseroan (Manajemen)
Perseoan Terbatas, CV., Firma, Yayasan, dan Koprasi
Sistem Perseroan (Manajemen)
Mudharabah, Inan, Abdan, Wujuh dan Mufawadhah



Non Ekonomi
Zakat
c.

Sistem Konsumsi

Sistem Konsumsi

Perundang-undangan konsumsi berdasarkan asas manfaat (Pragmatisme)
Perundang-undangan konsumsi berdasarkan asas halal-haram (Hukum Islam)
2.

Sistem Moneter
a.
Mata Uang
Rupiah (Fiat Standard atau  standard Kepercayaan)
Mata Uang
Dinar dan Dirham (Standar barang/Emas dan Perak
b.
Pasar Uang
Kurs Mengambang
Pasar Uang
Kurs Mengambang


Pertukaran dengan Tempo

Pertukaran secara Kontan


Asas Pertukaran dan Spekulasi

Asas Pertukaran


STRUKTUR APBN

No
Sistem Ekonomi Indonesia
Sistem Ekonomi Islam Hizbut Tahrir
1.
Pendapatan Negara

a.
Pendapatan Pajak
Pendapatan Tetap

Pajak dalam negeri
PPN
PPh
PBB
BPHTB
Cukai
Hibah, dll.
Kharaj
Kharaj ‘Unwah
Kharaj Sulhi
Zakat
Zakat Ternak
Zakat Perdagangan
Zakat Uang (Emas dan Perak)
Zakat Pertanian
Pajak Perdagangan Internasional
Bea Masuk dan Tarif Ekspor
Jizyah

Laba BUMN

b.
Pendapatan Bukan Pajak
Pendapatan Tidak Tetap

Penerimaan SDA
Fa’i dan 1/5 Ghanimah

Laba BUMN
Bagian Kep. Rakyat (Migas dan Non Migas)

dan lain-lain
Pajak dalam Negeri, dll.

2.
Belanja Negara

a.
Belanja Pemerintah Pusat
Belanja Tetap

Belanja Pegawai
Belanja Barang
Pembiayaan Bunga Utang
Subsidi BBM dan Non BBM
Belanja Sosial
Belanja Modal
dll.
Belanja Umum
Belanja Pegawai, Belanja Tentara, Santunan Penguasa,
Pendirian Sekolah, Rumah Sakit,
Masjid, , dll.


Belanja Khusus
8 Ashnaf Mustahiq

b.
Belanja Daerah
Belanja Tidak Tetap

Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Khusus, Dana Otonomi Khusus

Dakwah, Jihad dan ekspansi wilayah, Penanggulangan Bencana, dll.

TINJAUAN

Pada tahun 2008 total pendapatan negara Indonesia sebesar Rp. 781,35 triliun, dan pendapatan dari sektor pajak sebesar Rp. 591,98 triliun, atau sebesar 75,76 % dari total penerimaannya. Sedangkan tahun 2009 total pendapatan negara sebesar Rp. 976,45 triliun dan pendapatan pada sektor pajak sebanyak Rp. 744,30 triliun atau sebesar 76,22% dari total penerimaannya.[1] Artinya, sektor pajak selalu memberikan pemasukan negara Indonesia yang paling besar dari sektor pemasukan lainnya seperti penerimaan SDA yang terdiri dari hasil hutan, barang tambang migas dan non migas dan lain sebagainya, maupun pemasukan dari BUMN.

Pajak perspektif ekonomi Islam Hizbut Tahrir berbeda dengan pajak yang selama ini diterapkan di Indonesia. Menurut Hizbut Tahrir, sistem perpajakan di Indonesia adalah batil. Sebab pajak dalam Islam hanya diberlakukan kepada warga negaranya yang muslim secara temporal, sekedar untuk memenuhi kewajiban yang tidak mampu dipenuhi oleh Negara saat mengurus ketatanegaraan, sehingga kewajiban tersebut kembali pada warga negaranya yang muslim. Tentu saja ini berkaitan dengan sistem politik yang dianut oleh suatu negara, dan dalam pandangan Hizbut Tahrir, sistem politik yang sah menurut Islam adalah Khilafah Islamiyah. Pengalokasian pajak dalam ekonomi Islam Hizbut Tahrir adalah untuk membiayai kebutuhan yang diwajibkan kepada warga negaranya yang muslim, yaitu untuk membiayai sekolah-sekolah, jembatan, jalan-jalan dan lain sebagainya, sehingga tidak akan dipungut bea apapun untuk keperluan mahkamah, intansi-instansi serta keperluan-keperluan lainnya.

Menurut Ekonomi Islam Hizbut Tahrir, perpajakan dalam sistem ekonomi Indonesia seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak kendaraan bermotor, pajak bumi dan bangunan, dan lain sebagainya, bahwa negara tidak memiliki hak untuk memungutnya dari warga negaranya baik muslim maupun kafir dzimmi, sebab perpajakan tersebut menyalahi ketentuan dalil-dalil syara’ dalam pandangan sistem ekonomi Islam perspektif Hizbut Tahrir.

Pendapatan negara indonesia dari sektor non-pajak di era reformasi ini berkisar sebesar 25% dari total pendapatan negara. Pendapatan sektor non-pajak adalah berasal dari SDA dan BUMN. Sedangkan kekayaan alam Indonesia yang berasal dari barang tambang begitu melimpah. Bahkan di era orde baru sekitar tahun 1970-an, penerimaan negara yang berasal dari royalti dan ekspor barang tambang seperti minyak mentah melebihi proporsi dari penerimaan negara yang berasal dari sektor pajak. Berbeda pandangan dengan rezim orde baru, rezim era orde lama memandang bahwa kekayaan barang tambang yang ada di perut bumi harus tetap berada di perut bumi Indonesia sampai negara ini memiliki insinyur-insinyurnya sendiri yang mengeksploitasinya dari perut bumi. Sehingga penerimaan negara era orde lama dari sektor barang tambang memang tidak sebesar penerimaan negara dari sektor barang tambang di era orde baru.

Menurut sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, perubahan yang terjadi dalam proporsi pendapatan negara Indonesia antara rezim orde lama, orde baru dan era reformasi adalah hal yang wajar, sebab Indonesia memandang kekayaan alam yang berasal dari barang tambang merupakan milik negara dan dikuasai oleh negara, sehingga menjadi hak negara bagaimanapun caranya dalam memanfaatkannya, yaitu tergantung oleh pandangan rezim penguasanya, dan pandangan era orde lama dan era pasca orde lama (orde baru dan era reformasi) bertolak belakang. Seharusnya menurut ekonomi Islam Hizbut Tahrir, kekayaan barang tambang adalah harta yang berjenis kepemilikan umum. Arti dari jenis kepemilikan umum adalah, bahwa harta tersebut bukanlah harta milik negara yang dengan harta tersebut negara memiliki hak untuk memanfaatkannya berdasarkan pandangannya. Melainkan harta tersebut adalah milik segenap rakyat yang negara hanya berstatus sebagai wakil yang mengelola harta tersebut, dan bukan memiliknya.
Pendapatan negara menurut ekonomi Islam Hizbut Tahrir dalam kerangka negara Khilafah Islamiyah yang penerimaannya bersifat tetap hanyalah berasal dari jizyah, kharaj, dan BUMN perspektif Hizbut Tahrir. Adapun pendapatan negara yang bersifat tidak tetap adalah dari ghanimah, fa’i dan pajak perspektif ekonomi Islam Hizbut Tahrir. Maka dari sumber pendapatan tersebut seperti adanya ghanimah, fa’i, kharaj, dan jizyah, maka terlihat bahwa ketatanegaraan sistem politik menurut Hizbut Tahrir bukanlah ketatanegaraan nation state seperti ketatanegaraan Indonesia. Artinya, wilayah kekuasaan negara Khilafah Islamiyah yang diusung Hizbut Tahrir tidak akan stagnan, akan tetapi cenderung meluas dan meluaskan diri dan merambah ke penjuru dunia, yang tujuan utamanya adalah menyebarkan Islam.



[1] Kanwil DJP Sulselbaltra Genjot Sektor Pajak, http://vibiznews.com/ journal. Php ?id= 434&page=tax, diakses Tanggal 16 Februari 2010.







Tidak ada komentar: