A. Pilar-Pilar Sistem Ekonomi Indonesia
Secara normatif landasan idiil sistem ekonomi Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945. Karena itu, sistem ekonomi Pancasila lebih tepatnya bersumber langsung dari Pancasila sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila kelima ini menjelaskan bahwa keadilan merupakan titik-tolak, proses dan tujuan sekaligus. Ekonomi Pancasila juga dibangun dari UUD Pasal 33 ; Pertama, Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Kedua, Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh negara. Ketiga, Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Keempat, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Ekonomi Indonesia yang diatur oleh pasal 33 UUD 45, menunjukkan secara konstitusional sistem ekonomi Indonesia bukan Kapitalisme dan bukan Sosialisme. Negara-negara berkembang atau Negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia, pada umumnya menerapkan sistem ekonomi campuran. Beberapa diantara negara-negara berkembang tersebut cukup konsisten meramu resep campurannya, dalam arti kadar Kapitalismenya selalu lebih tinggi, atau bobot sosialismenya senantiasa lebih besar. Sistem ekonomi campuran yang diterapkannya ibarat pendulum (bandul jam dinding), kadang-kadang condong kapitalistik sementara di lain waktu cenderung sosialistik, mengikuti rezim pemerintah yang sedang berkuasa.
Ekonomi Pancasila hanyalah teori ekonomi yang diperuntukkan bagi ekonomi Indonesia, sedangkan sistem ekonomi dunia hanyalah terdiri dari sistem ekonomi Kapitalisme, sistem ekonomi Sosialisme dan Sistem ekonomi campuran. Adapun sistem ekonomi campuran sebagaimana yang tertuang dalam paragrap diatas menunjukkan posisinya tergantung pada rezim yang sedang berkuasa. Sehingga untuk melihat sistem ekonomi Indonesia yang sebenarnya, hanya dapat dilihat dari praktik yang sedang dijalankan.
Pembeda sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya terletak pada masalah pokok ekonomi menurut teori ilmu ekonomi klasik dan ekonomi modern, masalah pokok tersebut adalah masalah produksi, distribusi dan konsumsi. Selanjutnya empat masalah fundamental perekonomian yang terlahir dari masalah pokok ekonomi tersebut adalah pertanyaan atas barang dan jasa apa yang akan diproduksi (What), bagaimana cara proses produksi dilakukan (How), siapa pelaku produksi (Who) dan untuk siapa barang dan jasa hasil produksi tersebut (For Whom). Maka dari masalah-masalah pokok ekonomi tersebutlah kita dapat melihat sistem ekonomi apakah yang sedang diterapkan di Indonesia ini.
1. Sistem Produksi
Telah dipaparkan tentang faktor-faktor produksi. Bahwasanya faktor-faktor produksi hanya terdiri dari empat macam, yakni tanah (Sumber Daya Alam), sumber daya manusia (SDM), mesin dan manajemen. Disebutkan juga masalah produksi adalah masalah pembahasan pada tiga awal masalah pokok ekonomi, yaitu barang dan jasa apa yang akan diproduksi (What), bagaimana cara proses produksi dilakukan (How), dan siapa pelaku produksi (Who) yang akan memproses produksi dari input hingga menjadi output, dan seberapa besar kewenangan pelaku produksi dalam mengambil manfaat (laba) dari hasil penjualan output produksi. Maka dari pemaparan tersebut kita dapat melihat dan kemudian mengkategorikan sistem produksi di indonesia melalui jawaban dari tiga pertanyaan mendasar dalam sistem produksi tersebut.
Menurut penulis, dari pertanyaan seputar sistem produksi tersebut diatas, penulis melihat jenis kepemilikan dari faktor-faktor produksi di Indonesia hanya terbagi menjadi dua jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan negara dan kepemilikan privat (individu). Ayat-ayat dalam pasal 33 UUD 45 menunjukkan arah umum sistem ekonomi Indonesia, namun praktik ekonomi yang dijalankan akan memudahkan untuk melihat secara spesifik bagaimana sistem ekonomi yang diterapkan oleh bangsa dan negara Indonesia. Sehingga disini penulis menyajikan praktek produksi riil dari ekonomi Indonesia sehingga terbagi menjadi fungsi faktor produksi berdasarkan kepemilikan negara dan kepemilikan privat.
a. Kepemilikan Negara
Praktek yang dijalankan oleh negara Indonesia pada faktor-faktor produksi yang tergolong dalam kepemilikan negara, adalah tercermin dari ayat tiga dan empat dari pasal 33 UUD 45. ayat tersebut berbunyi; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pada ayat keempat; perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Sebagaimana yang terkandung dalam ayat-ayat pasal 33 UUD 45, pemberlakuan terhadap faktor-faktor produksi dalam sistem produksi di Indonesia juga mencerminkan hal yang serupa. Bahwasanya bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai dan dimiliki oleh negara, yang berarti semuanya adalah kepemilikan negara. Konsekwensi logis dari kepemilikan negara tersebut adalah, menjadi kewenangan penuh bagi negara bagaimana cara memaksimalkan pemanfaatan dari faktor-faktor produksi tersebut. Baik dengan dikelola sendiri maupun diprivatisasi adalah kebijakan yang dimiliki penuh oleh negara untuk memutuskannya, disebabkan faktor-faktor produksi tersebut adalah milik negara.
Faktor-faktor produksi yang menjadi kepemilikan negara tersebut seperti minyak, gas bumi, mineral, batubara, timah, baja, hutan, logam mulia, dan kekayaan lainnya yang menjadi hasil produksi dari BUMN, seperti dalam perbankan (PT. BNI, PT. BRI, PT. Bank Mandiri), asuransi (PT. Jamsostek, PT. Asuransi Jasa Raharja), jasa pembiayaan (Perum Pegadaian, PT. Danareksa), jasa konstruksi (Perum Pengembangan Perumahan Nasional), penunjang konstruksi (PT. Jasa Marga), perjan rumah sakit (Perjan RS Sardjito, perjan RS Cipto Mangunkusumo), pelabuhan (PT. Pelabuhan Indonesia), pelayaran (PT. Bahtera Adhiguna), kebandarudaraan (PT. Angkasa Pura I dan II), angkutan darat (Perum DAMRI, PT. KAI), logistik (Perum Bulog, PT. Pos Indonesia), industri farmasi (PT. Kimia Farma Tbk.), pariwisata (PT. Hotel Indonesia Natour), kawasan industri (PT. PDI Pulau Batam), usaha penerbangan (PT. Garuda Indonesia), Dok dan perkapalan (PT. Industri Kapal Indonesia), perkebunan (PT. Rajawali Nusantara Indonesia), pertanian (PT. Pertani), perikanan (PT. Perikani), pupuk (PT. Pupuk sriwidjaja), kehutanan (Perum Perhutani), pertambangan (PT. Pertamina, PT. Tambang Batubara Bukit Asam Tbk, PT. Timah, PT. Antam Tbk), energi (PT. PLN, PT. Perusahaan Gas Negara), industri teknologi (PT. Batan Teknologi), baja dan konstruksi baja (PT. Krakatau Steel), telekomunikasi (Perjan RRI, PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk), semen (PT. Semen Baturaja dan Gresik), aneka industri (PT. Garam), dan lain sebagainya.
Privatisasi BUMN adalah kebijakan yang menjadi hak negara dikarenakan badan-badan usaha tersebut adalah milik negara. Privatisasi dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk penyehatan atau peningkatan efisiensi BUMN, dengan diprivatisasinya BUMN maka diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan karena anggapan apabila sektor swasta yang mengelola tentu akan lebih efektif dan optimal. Selain itu alasan diprivatisasinya perusahaan negara tersebut juga dapat menarik masuknya modal asing, membantu kesulitan keuangan negara dan memecahkan problematika perekonomian nasional umumnya.
Selain privatisasi, pemerintah juga memproduksi Undang-Undang yang menunjukkan hak penuhnya dalam kepemilikan kekayaan alam yang ada di Indonesia. UU Migas salah satunya, UU ini dianggap sebagai UU yang baik yang akan mendorong Pertamina untuk memperbaiki kinerjanya dalam pemasaran BBM, sebab Pertamina akan mendapat pesaing tangguh dalam distribusi minyak di tanah air. Perusahaan-perusahaan MNC (multinasional corporation) seperti Caltex, Esso, Shell dan lain sebagainya, yang selama ini mendapat izin dari pemerintah dalam pengeksplorasian minyak dan kekayaan alam lainnya yang ada di Indonesia secara langsung (hulu), juga pasti akan masuk dalam industri hilir, bahkan sebagian sudah melakukannya, dan ini dianggap sebagai lawan tanding yang baik bagi Pertamina sebagai perusahaan minyak nasional agar terus meningkatkan kinerjanya di industri hilir.
Kebijakan pemerintah untuk menjual perusahaan negara kepada swasta (privatisasi), dengan segala pertimbangannya, mulai gencar dilakukan sejak pertengahan tahun 1980-an, namun untuk status kekayaan alam Indonesia adalah milik negara, sudah terbentuk sejak berdirinya negara ini (Orde Lama). Presiden Soekarno sebagai founding fathers juga telah mengeluarkan kebijakan dengan indikasi serupa, bahwasanya kekayaan alam Indonesia adalah milik negara. Kebijakan tersebut adalah mengizinkan kontraktor asing ketika mereka menginginkan untuk mengeksploitasi minyak bumi di Indonesia, walaupun hanya terbatas. Pengizinan tersebut dilakukan, menurut Soekarno disebabkan bangsa Indonesia belum mempunyai cukup insinyur-insisyurnya sendiri, sehingga kekayaan alam Indonesia akan dieksploitasi sendiri oleh bangsa Indonesia saat negara ini telah memiliki SDM yang cukup untuk mengeksploitasinya.
Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi ini sebenarnya adalah rezim pemerintah yang berkuasa yang sama-sama memahami bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah milik dan dibawah kekuasaan negara. Perbedaan kebijakan diantara kedua rezim tersebut adalah, bahwa pada era Orde Lama sangat anti dengan kebijakan privatisasi, berbeda halnya dengan Orde Baru yang justru condong dengan kebijakan privatisasi. Bahkan era reformasi saat ini lebih giat lagi dengan kebijakan tersebut.
b. Kepemilikan Individu
Sistem ekonomi Indonesia mengakui kepemilikan individu. Ayat keempat pada pasal 28H UUD 45 menyebutkan bahwa Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Berkaitan dengan faktor-faktor produksi, Era Orde Lama adalah era dimana individu tidak mudah untuk memiliki kekayaan yang menjadi kepemilikan negara, sehingga Orde Lama memang tampak lebih konsisten dibanding dengan Orde Baru dan Era Reformasi dalam mempertahankan faktor-faktor produksi dan kekayaan lainnya yang menjadi kepemilikan negara untuk tetap menjadi milik negara, dan faktor-faktor produksi yang bisa dimiliki individu untuk tetap berada pada lingkarannya. Walaupun menjadi hak negara sebagai pemilik kekayaan alam tersebut untuk menjualnya atau tidak.
Lahirnya Orde Baru adalah awal perubahan struktur (penguasaan) ekonomi Indonesia. Hanya dalam waktu yang relatif singkat, pemerintah mulai menggalakkan sektor swasta terutama melalui perundang-undangan Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967, dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 1968. kedua undang-undang inilah yang mengubah secara radikal struktur perekonomian Indonesia baik sektor perusahaan negara maupun swasta (privat).
2. Sistem Distribusi
Sistem distribusi dalam sistem ekonomi Indonesia sepenuhnya menggunakan pendistribusian dengan mekanisme ekonomi. Artinya, jika ada kegiatan produksi, maka berbagai kelompok masyarakat akan memperoleh pendapatan. Pemilik tanah akan menerima sewa, pemilik modal memperoleh bunga, buruh menerima upah, pegawai memperoleh gaji dan pengusaha memperoleh laba.
Sistem perseroan juga menjadi hal yang penting dalam sistem pendistribusian ini, sebab sistem perseroanlah yang membuat kegiatan ekonomi tersebut berjalan. Sistem perseroanlah yang mengumpulkan faktor-faktor produksi seperti pengusaha, tanah, modal, mesin dan pekerja berada dalam satu atap guna menjalankan kegiatan usaha yang kemudian membuat roda perekonomian di suatu negara tetap berputar. Sistem perseroan yang dilegalkan dan dilindungi undang-undang dalam perekonomian Indonesia adalah Perseroan Terbatas (PT), Comanditer Veenonscaft (CV), Firma, Koprasi dan Yayasan.
Regulasi juga sebagai alat pemerintah untuk menjaga agar proses pendistribusian pendapatan tersebut tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya. Upah Minimum Regional (UMR) adalah regulasi yang dimaksud untuk menjamin agar pekerja tetap dapat hidup layak, walaupun seringkali perusahaan tidak dapat memenuhi ketetapan UMR tersebut dengan alasan biaya produksi, sehingga tidak jarang menimbulkan demonstrasi kaum pekerja yang ditujukan kepada perusahaan maupun pemerintah sebagai bentuk kecewa dan ketidakpuasan mereka.
3. Sistem Konsumsi
telah disinggung mengenai teori konsumsi, bahwa pada tingkat makro beberapa penelitian statistik memperlihatkan bahwa pendapatan merupakan faktor utama dalam menentukan konsumsi nasional. Konsumsi seseorang berbanding lurus dengan pendapatannya. Demikian juga secara makroagregat, pengeluaran konsumsi masyarakat berbanding lurus dengan pendapatan nasional. Semakin besar pendapatan maka semakin besar pengeluaran konsumsi, demikian juga perilaku tabungan. Pada masyarakat yang belum mapan biasanya angka MPC-nya relatif besar, dan angka MPS-nya relatif kecil. MPC/MPS (Marginal Propensity to Consume/to Save) atau hasrat untuk berkonsumsi/menabung adalah perbandingan besarnya mengkonsumsi/menabung terhadap pendapatan. Selain angka MPC dan MPS, pola konsumsi pada barang primer, sekunder dan tersier juga menentukan apakah masyarakat tersebut tergolong mapan atau tidak.
Data statistik yang dikeluarkan resmi oleh BPS menunjukkan tingkat konsumsi masyarakat pedesaan Indonesia sebesar 63,58 % dari total pendapatan digunakan untuk makanan (padi, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayur, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, minuman, bumbu-bumbuan, makanan jadi, minuman beralkohol, tembakau dan sirih), sedangkan masyarakat perkotaan sebesar 49,81 % dari total pendapatannya digunakan untuk mengkonsumsi makanan, dan sisanya digunakan untuk mengkonsumsi bukan makanan (perumahan, bahan bakar, biaya pendidikan, biaya kesehatan, pakaian, alas kaki, pajak, premi asuransi, keperluan pesta dan upacara).
Selain tingkat besarnya pengeluaran, pola konsumsi (primer, sekunder dan tersier) masyarakat Indonesia antara masyarakat perkotaan dan pedesaan juga berbeda. Dengan demikian angka-angka perbandingan ini mengesahkan adanya ketimpangan tingkat kemakmuran antara penduduk perdesaan dan perkotaan di Indonesia.
B. Sistem Moneter
1. Mata Uang
Mata uang yang dinyatakan berlaku di awal kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945 adalah mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang De Javasche Bank. Barulah pada tanggal 26 Oktober 1946 pemerintah RI memberlakukan mata uang baru ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai alat tukar yang sah di seluruh wilayah RI. Sejak saat itu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda dan mata uang De Javasche Bank dinyatakan tidak berlaku lagi. Barulah kemudian dengan UU No. 11 tahun 1953, bank central Indonesia mengeluarkan Rupiah sebagai mata uang resmi Negara Indonesia sebagai pemersatu mata uang yang ada di masing-masing daerah.
2. Pasar Uang
Pengaturan nilai tukar ORI dengan valuta asing yang ada di Indonesia, dilakukan pada tahun 1946 dengan mengubah Yayasan Pusat Bank menjadi Bank Negara Indonesia (BNI), mengubah bank pemerintah Jepang Shomin Ginko menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Tyokin Kyoku menjadi Kantor Tabungan Pos (KTP) yang berubah nama pada tahun 1950 menjadi Bank Tabungan Negara (BTN). Semua bank ini berfungsi sebagai bank umum yang dijalankan oleh pemerintah RI. Fungsi utamanya adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta pemberi jasa di dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan bank sentral Indonesia (BI) adalah hasil dari menasionalisasi bank sentral (bank sirkulasi) milik Belanda, DJB (De Javasche Bank) pada tanggal 1 Juli 1953, yang sebelumnya DJB ditetapkan sebagai bank sentral Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949.
Kebijakan moneter adalah bagian dari kebijakan ekonomi makro yang meliputi pula kebijakan lain. Selain moneter, kebijakan ekonomi pemerintah RI adalah kebijakan fiskal (anggaran), perdagangan luar negeri, peraturan dan perizinan, investasi, pasar modal serta sektor produksi.
Sejak Amerika Serikat melepaskan keterkaitan dolarnya terhadap emas tahun 1973, nilai tukar kebanyakan mata uang mengalami fluktuasi tajam, sehingga perubahan kurs berbagai mata uang kuat dunia dari hari ke hari merupakan salah satu ajang spekulasi, termasuk Indonesia. Selain variabel-variabel ekonomi (inflasi dan lain-lain), ternyata nilai tukar Rupiah juga ditentukan oleh faktor-faktor non ekonomi seperti perkembangan politik, peperangan, dan faktor-faktor sosial lainnya. Sebab, mata uang Indonesia adalah mata uang yang nilai tukarnya tidak merepresentasikan nilai fisiknya.
Sebelum tahun 1997, Indonesia menggunakan kurs mengambang terkendali, namun karena tekanan yang begitu besar dan demikian cepatnya terhadap melemahnya nilai tukar Rupiah oleh sebab krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun tersebut, membuat Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 menganut sistem nilai tukar mengambang.
Salah satu sebab melemahnya nilai tukar Rupiah (devaluasi) terhadap mata uang lain adalah inflasi, sedangkan salah satu sebab terjadinya inflasi adalah karena banyaknya jumlah uang yang beredar, sehingga pemerintah dalam hal ini akan melakukan kebijakan moneter dengan menaik-turunkan suku bunga bank. Menaikkan suku bunga diharapkan dapat menarik sejumlah uang beredar kedalam perbankan sehingga jumlah uang beredar akan berkurang.
Dampak dari devaluasi akan langsung dirasakan oleh para importir dalam negeri, sebab mereka memerlukan dolar sebagai mata uang yang diterima oleh negara pengekspor. Sebuah negara yang kebutuhan dalam negerinya masih banyak mengimpor dari luar negeri, tentu perekonomiannya akan mudah goyah disebabkan cadangan devisa yang akan cepat terkuras apabila terjadi perubahan/ penurunan nilai tukar mata uang negaranya.
Referensi
1. Sri-Edi Swasono, Sistem Ekonomi Indonesia, http://www.ekonomirakyat.org/ edisi_2/ artikel_9.htm, diakses tanggal 14 Desember 2009
2. Ginandjar Kartasasmita, Membangun Ekonomi Pancasila, Makalah pada Rakernas AMPI, Jakarta 26 Agustus 1997. http://www.ginandjar.com/ public/ 21MembangunEkonomiPancasila. pdf., diakses tanggal 23 Desember 2009
3. Dumairy, Perekonomian Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1996
4. Sukwiaty, Sudirman Jamal dan Slamet Sukamto, Ekonomi SMA Kelas X, Yudistira, 2002
5. Tim Abdi Guru (Wahyu Adji, Suwerli dan Suratno), Ekonomi SMA untuk SMA Kelas X, Erlangga, Jakarta, 2004
6. Daftar Badan Usaha Milik Negara, http://id.wikipedia.org/ wiki/ Daftar_badan_usaha_milik_negara_Indonesia#Energi
7. Ismantoro Dwi Yuwono, Boediono dan Neoliberalisme, Bio Pustaka, Yogyakarta, 2009
8. Mubyarto, Ekonomi Pancasila Lintasan Pemikiran Mubyarto, Aditya Media, Yogyakarta, 1997
9. M. Dawam Rahardjo, Tantangan Indonesia Sebagai Bangsa (Esai-esai Kritis Tentang Ekonomi, Sosial dan Politik), UII Press, Yogyakarta, 1999
10. Edy Suandi Hamid dan M.B. Hendrie anto, Ekonomi Indonesia Memasuki Millenium III, UII Press, Yogyakarta, 2000
11. Edy Suandi Hamid, Perekonomian Indonesia Masalah dan Kebijakan Kontemporer, UII Press, Yogyakarta, 1999
12. Prijono Tjiptoherijanto, Prospek Perekonomian Indonesia Dalam Rangka Globalisasi, Rineka Cipta, Jakarta, 1997
13. Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Ekonomi – jilid 1, Erlangga, Jakarta, 1989
14. Bank Indonesia, Sejarah Uang Indonesia, http://www.uang-kuno.com/ 2008/03/ sejarah-uang-indonesia-1.html
15. Mugi Rahardjo, Ekonomi Moneter, UNS Press, Surakarta, 2009
16. Sjahrir, Persoalan Ekonomi Indonesia, Moneter, Perkreditan dan Neraca Pembayaran, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995
17. Syafril Hadis, Ekonomi Internasional, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar