Sabtu, 09 Januari 2010

SISTEM EKONOMI ISLAM HIZBUT TAHRIR (Produksi, Distribusi, Konsumsi dan Sistem Moneter)

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab


A. Pilar-Pilar Sistem Ekonomi Islam Hizbut Tahrir
Sebagaimana pandangan aliran ekonomi Klasik dan ekonom modern, Hizbut Tahrir juga memandang persoalan pokok ekonomi terdiri dari persoalan produksi, distribusi dan konsumsi. Namun demikian, sistem produksi, sistem distribusi dan sistem konsumsi yang dimiliki Hizbut Tahrir berbeda jauh dengan sistem produksi, distribusi dan konsumsi yang dimiliki oleh sistem ekonomi pasar (Kapitalisme) maupun sistem ekonomi Sosialisme.

1.      SISTEM PRODUKSI (Konsep Kepemilikan)
Sebagaimana dalam teori yang diterangkan, bahwasanya hal yang terkait dengan produksi adalah tentang barang apa yang akan diproduksi (what), bagaimana barang tersebut diproduksi (how), dan siapa pelaku produksi tersebut (who). Namun dari ketiga pertanyaan yang terkait dengan produksi tersebut, menurut penulis pertanyaan how tidaklah terkait dengan sistem ekonomi, sebab Hizbut Tahrir memandang tata cara (how) merupakan bagian dari ilmu ekonomi, dan bukan bagian sistem ekonomi yang memiliki ciri khas tersendiri. sedangkan ilmu ekonomi merupakan hal yang universal yang kesemua dari sistem-sistem ekonomi dapat menggunakannya menurut efisiensi dan efektifitasnya.


Adapun terkait dengan barang apa yang akan diproduksi dan siapa pelaku produksi tersebut, Hizbut Tahrir memandang ini merupakan bagian yang inheren dengan sebuah sistem ekonomi. Terkait harta yang menjadi objek produksi (modal dan sumber daya alam) maka Hizbut Tahrir membaginya kedalam tiga kategori jenis kepemilikan, sehingga untuk menjawab pertanyaan siapakah pelaku produksi dalam sistem produksi tersebut haruslah dikaitkan dengan masing-masing jawaban berdasarkan jenis kepemilikannya. 

a.       Kepemilikan Negara
Menurut Hizbut Tahrir, harta milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin, sementara pengelolaannya menjadi wewenang kepala negara (Khalifah), dimana dia bisa mengkhususkan sesuatu kepada sebagian kaum muslimin, sesuai dengan apa yang menjadi pandangannya. Makna pengelolaan oleh Khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki Khalifah untuk mengelolanya. Karena makna kepemilikan adalah adanya kekuasaan pada diri seorang atas harta miliknya. Atas dasar inilah maka tiap hak milik yang pengelolaannya tergantung pada pandangan dan ijtihad Khalifah, maka hak milik tersebut dianggap sebagai hak milik negara. Demikian juga apabila negara ingin memberikan harta yang menjadi haknya seperti tanah, kendaraan, uang dan lain sebagainya kepada individu masyarakatnya berdasarkan pandangan tertentu seorang Khalifah, maka yang demikian itu adalah sah menurut pandangan syara’.


Allah telah menjadikan harta-harta tertentu sebagai milik negara, dimana Khalifah berhak untuk mengelolanya sesuai dengan pandangan dan ijtihadnya, semisal harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya. Sebab hukum Islam tidak pernah menentukan objek yang akan diberi harta tersebut. Sementara kalau syara’ telah menentukan objek yang akan diberi harta tersebut, dan tidak diserahkan kepada pandangan dan ijtihad Khalifah, maka harta tersebut bukan merupakan hak milik negara. Namun, semata menjadi hak milik objek yang telah ditentukan oleh syara’. Oleh karena itu zakat tidak termasuk hak milik negara, melainkan milik ashnaf delapan yang telah ditentukan oleh syara’. Baitul mal hanya menjadi tempat penampungannya, sehingga bisa dikelola mengikuti objek-objeknya. 

b.      Kepemilikan Umum
Kepemilikan umum adalah izin syari’ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh syari’ bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas, dimana mereka masing-masing saling membutuhkan, dan syari’ melarang benda tersebut dikuasai oleh hanya seorang saja. Benda-benda ini tampak pada tiga macam, yaitu:


Pertama, yang merupakan fasilitas umum, dimana kalau tidak ada di dalam suat negeri atau suatu komunitas, maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya. Kedua, bahan tambang yang tidak terbatas. Ketiga, sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.

Benda yang terkategori fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia sebara umum. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dari abu Daud, “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang dan api (energi)”.

Mengenai bahan tambang, maka benda tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bahan tambang yang terbatas jumlahnya, yang tidak termasuk berjumlah besar menurut ukuran individu, serta bahan tambang yang tidak terbatas jumlahnya. Maka bahan tambang yang jumlahnya terbatas masuk klasifikasi harta yang dapat dimiliki oleh individu, sedangkan pada barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas maka bahan tambang tersebut masuk termasuk milik umum, dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.

Adapun benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah hanya dimiliki oleh pribadi, maka benda tersebut merupakan benda yang mencakup kemanfaatan umum. Maka, meskipun benda-benda tersebut termasuk dalam kelompok pertama, karena merupakan fasilitas umum, namun benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama, dari segi sifatnya, bahwa benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. Berbeda dengan kelompok pertama yang memang boleh dimiliki oleh individu. Zat air misalnya, mungkin saja dimiliki oleh individu, namun individu tersebut dilarang memilikinya apabila komunitas membutuhkannya. Berbeda dengan jalan, sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.

Semua harta yang terkategori kepemilikan umum dan kepemilikan negara, pengelolanya adalah negara. Meskipun negara yang mengelola pemilikan umum dan juga mengelola milik negara akan tetapi terdapat perbedaan diantara dua pemilikan tersebut. Setiap benda yang tergolong milik umum, seperti minyak bumi, gas dan barang tambang yang jumlahnya sangat banyak, laut sungai, mata air, lapangan, hutan belukar, padang gembalaan, dan masjid. Semua itu tidak boleh bagi Khalifah mngalihkan kepemilikannya untuk siapapun, baik individu maupun kelompok. Karena semua itu milik seluruh masyarakat. Khalifah mengelolanya sehingga memberi peluang seluruh manusia dapat memanfaatkan pemilikan ini, sesuai dengan ijtihadnya dalam mengatur urusan mereka dan dalam rangka meraih kemaslahatan mereka. Khalifah dapat menjadikan tanah maupun bangunan yang termasuk milik negara dimiliki oleh orang-orang tertentu, baik bendanya maupun manfaatnya, atau manfaatnya saja tanpa memiliki bendanya, atau mengijinkan untuk menghidupkan dan memilikinya. Khalifah mengatur hal itu dengan melihat kebaikan dan kemaslahatan bagi kaum muslim.[1] 

c.       Kepemilikan Individu
Kepemilikan individu adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan (utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain seperti sewa, ataupun karena konsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti beli – dari barang tersebut.

Kepemilikan individu misalnya hak milik seseorang atas roti dan rumah, sehingga orang tersebut bisa saja memiliki roti untuk dimakan, dijual serta diambil keuntungan dari harganya, demikian juga dengan rumah. Hukum syara’ yang berhubungan dengan roti, adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zatnya, yaitu izin untuk menghabiskannya. Sedangkan hukum syara’ yang berhubungan dengan rumah, adalah hukum syara’ yang berlaku bagi kegunaannya, yaitu izin menempatinya.

Hukum-hukum syara’ telah menentukan sebab-sebab yang dapat membawa seseorang sehingga ia dapat memiliki harta dengan sah, dan sebab itu hanya terdiri dari lima bagian, yaitu: bekerja, mendapat warisan, kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup, harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat, dan harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.


2.      SISTEM DISTRIBUSI
a.       Mekanisme Ekonomi
Pertanian, perdagangan (barang dan jasa) dan industri (manufaktur), ketiganya merupakan sesuatu yang lazim dipergunakan oleh orang untuk menghasilkan harta atau mengembangkannya. Sebab ketiga hal inilah yang disebut sebagai yang harta padamulanya, tanah (pertanian), harta yang diperoleh dari pertukaran (perdagangan) dan harta yang diperoleh dari merubah bentuk benda dari satu bentuk ke bentuk lainnya (industri). Jadi, mekanisme untuk meningkatkan pemilikan seseorang atas harta inilah yang menjadi topik pembahasan di dalam sistem ekonomi. Oleh karena itu, hukum-hukum yang terkait dengan pertanian, perdagangan dan industri itulah yang sebenarnya menjelaskan tentang mekanisme yang dipergunakan oleh seseorang untuk mengembangkan pemilikannya atas harta tersebut.[2]

Pendistribusian harta tersebut yang terkait dengan ketiganya (pertanian, perdagangan, industri) adalah terikat dengan hukum-hukum yang telah dibawa oleh syara’, yaitu hukum-hukum pertanahan, hukum-hukum jual-beli, hukum-hukum tentang ajiir dan mustajir dalam produksi,  dan terutama hukum-hukum tentang perseroan dan lain sebagainya.[3]

Hukum pertanahan dalam Islam menunjukkan bahwa tanah dapat dimiliki melalui sebab membeli, warisan, hibah, menghidupkan tanah mati, memagari tanah dan pemberian negara secara cuma-cuma. Hal yang pokok dalam pertanahan tersebut adalah pelarangan sewa-menyewa dalam pertanahan, juga hal yang dapat menghilangkan hak kepemilikan tanah tersebut. 3 (tiga) tahun adalah masa tenggang bagi pemilik tanah untuk menelantarkan tanahnya, namun setelah itu warga lain/negara berhak mengambil alih dan memberikannya kepada orang lain.[4]

Sistem perseroan juga menjadi hal yang penting dalam sistem distribusi, sebab sistem perseroan lah yang mengatur perekonomian secara mikro. Sistem perseroan Islam menurut Hizbut Tahrir adalah sistem perseroan yang berlandaskan hukum Islam (fiqh). Sistem yang perseroan yang dimaksud adalah sistem perseroan Inan, Abdan, Mudlarabah, Wujuh, dan Mufawadlah.[5]
 
b.      Mekanisme Non Ekonomi
Pendistribusian melalui mekanisme non ekonomi dalam islam disebut juga sebagai pendistribusian melalui infaq. Sedangkan yang dimaksud dengan menginfaqkan harta adalah memberikan dengan tanpa kompensasi apapun. Sistem pendistribusian dengan mekanisme ini terbagi dua menurut siapa yang mendistribusikannya.[6] Pertama, negara sebagai pelaku yang memiliki wewenang dalam mendistribusikan harta kepada masyarakatnya. Harta yang dimaksud tidak lain adalah zakat. Sebab zakat adalah kepemilikan individu yang kewajibannya dibebankan kepada masing-masing individu sebagai taklif dari Allah, sehingga pelaksana/pemungut dari kewajiban ini adalah negara, yang kemudian didistribusikan juga oleh negara kepada rakyat yang menurut syara’ rakyat tersebut membutuhkannya.[7]

Kedua, rakyat sendiri sebagai pelaku pendistribusiannya, namun negara tetap mengontrol pendistribusian ini agar tidak sampai menyalahi aturan-aturan Islam yang sudah ditetapkan negara. Harta yang dimaksud adalah harta yang diberikan seseorang kepada orang lain, kepada dirinya sendiri maupun kepada orang yang nafkahnya menjadi kewajibannya. Pendistribusian ini juga bisa dilaksanakan ketika masih hidup seperti hibah, hadiah, sedekah, serta nafkah, dan juga bisa dilaksanakan ketika sudah meninggal, seperti wasiat.[8]
 
3.      SISTEM KONSUMSI (Konsep Pengelolaan Harta)
Sebagaimana yang diuraikan dalam bab II, bahwa sistem konsumsi merupakan permasalahan yang menyangkut apakah benda pemuas kebutuhan yang diproduksi memang benda yang dapat dimiliki oleh konsumen. Ternyata permasalahan ini juga sebagaimana pandangan Hizbut Tahrir, hanya saja Sistem Ekonomi Islam Hizbut Tahrir menambahkan peran negara dalam mengawal rakyatnya ketika mengkonsumsi suatu barang ataupun jasa berdasarkan hak dan kewajiban dari masing-masing individu masyarakatnya.


Masalah pembelanjaan harta adalah masalah ketika masyarakat dalam mengelola hartanya berupa pembelanjaan habis pakai (konsumsi). Ketika seseorang memiliki harta, maka esensinya dia memiliki harta tersebut hanya untuk dimanfaatkan, sehingga dia terikat dengan hukum-hukum syara’ dan bukan bebas mengelola secara mutlak. Demikian juga dia tidak bisa bebas mengelola zat barang tersebut secara mutlak meskipun ia mamiliki zatnya. Alasannya adalah  bahwa ketika dia mengelola dalam rangka memanfaatkan harta tersebut dengan cara yang tidak sah menurut syara’, misalnya dengan menghambur-hamburkannya, atau mempergunakannya untuk suatu kemaksiyatan, maka negara wajib mengawalnya dan melarang untuk mengelola, juga merampas wewenang yang telah diberikan oleh negara kepadanya.


B.     SISTEM MONETER

1.      Mata Uang
Mata uang yang digunakan dalam kebijakan moneter menurut Hizbut Tahrir adalah kebijakan moneter yang berpijak pada standar emas dan perak secara bersamaan. Artinya, uangnya harus berupa emas dan perak, baik yang secara hakiki dipergunakan dalam pertukaran, maupun dalam pertukarannya mempergunakan uang kertas, dengan cadangan emas dan perak, di tempat-tempat tertentu.[9]

2.      Pasar Uang
Pada pasar uang, adakalanya pertukaran mata uang tersebut merupakan pertukaran mata uang dengan mata uang lain yang sejenis, seperti pertukaran emas dengan emas, perak dengan perak. Adakalanya pertukaran mata uang yang berbeda jenisnya, seperti pertukaran emas dengan perak, atau perak dengan emas.[10]

Syarat dalam pertukaran mata uang dengan mata uang lain yang sejenis adalah sama persis (berat dan jenisnya) dan sama sekali tidak boleh melebihkan satu dengan yang lain. Sebab tindakan seperti ini merupakan riba, dan hukumnya haram, seperti pertukaran emas dengan emas yang lain, termasuk pertukaran antara uang kertas yang nilainya bisa ditukar menjadi emas dengan emas. Oleh sebab dalam keadaan seperti ini tidak berlaku kurs pertukaran mata uang. Sedangkan pertukaran mata uang dengan mata uang lain yang berbeda jenisnya, seperti pertukaran emas dengan perak, pertukaran poundsterling dengan dolar, rupiah dengan gulden hukumnya mubah dengan syarat sama-sama diserahkan di tempat. Perhitungan yang satu dengan yang lain inilah yang disebut sebagai kurs pertukaran mata uang.


[1] Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2002, hal. 90-91.
[2] Ibid., hal. 129.
[3] Ibid.
[4] Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, al-Izzah, Jawa Timur, 2001, hal. 59-67.
[5] Taqyuddin, ibid., hal. 153-165.
[6] Ibid., hal. 215.
[7] Ibid., hal. 256.
[8] Op.cit.
[9] Ibid., hal. 308.
[10] Ibid., 315.

Tidak ada komentar: