Tidak ada kemuliaan tanpa Islam, tiada Islam tanpa Syari'ah, tiada Syari'ah tanpa negara, dan tidak ada negara yang diridhoi Allah kecuali NKRI (Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah)
Zakat merupakan salah satu rukun Islam dan salah satu kewajiban yang sudah masyhur keberadaannya dalam Islam. Zakat diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal pada tahun II Hijriyah, setelah diwajibkannya puasa Ramadhan dan zakat fitrah. Kewajiban zakat wajib berdasarkan Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma’ Shahabat.
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (QS. Al Baqarah : 110)
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. At Taubah : 103)
“Islam dibangun di atas lima perkara : syahadat bahwa tidak ada tuhan selan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi SAW pernah mengutus Mu’adz keYaman dan beliau berpesan kepada Mu’adz, ”… beritahukanlah mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka.” (HR. Jama’ah dari Ibnu Abbas, Lihat Nailul Authar, Asy Syaukani, Juz IV, hal. 114)
Ijma’ shahabat juga menyepakati kewajiban zakat. Para shahabat bersepakat memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat karena zakat hukumnya wajib, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq dan para shahabat.
Orang yang tidak mau membayar zakat tergolong telah melakukan dosa besar. Bahkan, seseorang yang tak mau menunaikan zakat itu karena menolak kewajiban zakat dianggap telah murtad dan diperlakukan sebagai orang murtad. Dia akan diminta bertaubat dalam jangka waktu 3 (tiga) hari. Jika dalam jangka waktu itu dia bertaubat, zakat diambil darinya, dan tidak dijatuhkan sanksi apa pun atasnya. Jika dia tetap menolak kewajiban zakat setelah jangka waktu tersebut, dia dijatuhi hukuman mati. Inilah yang dijadikan alasan bagi para shahabat memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Untuk itu, negara akan memaksa seseorang yang tidak mau membayar zakat sementara dia meyakini kewajibannya. Negara akan memerangi mereka sebagai orang-orang pembangkang (bughat).
Hukum ini berbeda berkenaan dengan seseorang yang menolak membayar zakat karena dia tidak tahu adanya kewajiban zakat. Perlakuan kepadanya adalah memberitahukan kewajiban zakat dan tidak dikafirkan serta tidak dijatuhi sanksi berupa ta’zir (sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh qadhi/hakim). Sebab, ketidaktahuannya itu merupakan udzur syariah. Setelah dia mengetahuinya, zakat akan diambil darinya.
Pembahasan
“Digagas, Gerakan Keluarga Cinta Zakat”, demikian kalimat yang tertulis pada judul berita ini. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Panasonic Gobel Indonesia lah yang menggagas dan meluncurkan program tersebut. Anggota Badan pelaksana Baznas, Muzaffar Daud, menuturkan bahwa gerakan keluarga cinta zakat yang digulirkan kedua belah pihak tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan peran UPZ (Unit Pelayanan Zakat) dalam penghimpunan zakat, infaq dan sedekah (ZIS) di lingkungan Panasonic Gobel.
Tampak ada unsur penyelewengan maksud sebenarnya dari tujuan awal untuk apa program gerakan ini diluncurkan. Mengingat atas apa yang disampaikan Achmad Daniri (ketua UPZ Matsushita Gobel Foundation), yang menyambut baik sinergi antara zakat dan pajak tersebut dengan mengatakan “semoga dengan bekerjasama dengan Baznas dan mendapatkan kemudahan pengurangan nilai pajak, para muzakki di keluarga besar Panasonic Gobel akan semakin terpacu, untuk meningkatkan pengumpulan dana ZIS”. Penyelewengan tersebut adalah bahwa tujuan awal dari penggagasan program ini adalah untuk mengurangi pendapatan kena pajak, namun untuk menghindari dari manipulasi laporan keuangan, maka zakat menjadi solusinya. Jadi, yang menjadi sasaran tembak awal adalah untuk mengurangi nilai pendapatan kena pajak, baru kemudian nilai spiritual (zakat) mengiringinya. Bukan sebagaimana yang terdengar, yaitu mengoptimalkan peran UPZ. Karena sebenarnya, pengoptimalan peran UPZ hanyalah efek yang diangkat menjadi tujuan utama, agar tampak lebih berjiwa sosial. Semua kecurigaan ini muncul tidak lain karena pandangan bahwa keadaan masyarakat saat ini yang pragmatis yang selalu mengedepankan asas manfaat, yang tidak lagi sebagaimana keadaan masyarakat pada abad-abad pertama agama ini ada di muka bumi.
Asas manfaat yang menjangkiti fikiran masyarakat saat ini, tidak lain karena sistem politik yang menaungi negara ini memang muncul dari peradaban barat, yang tentu saja hanya cocok hidup di Barat. Karena sistem politik lah yang menaungi sistem-sistem kehidupan lainnya, seperti sistem ekonominya, sistem pendidikannya, sistem pidananya, sistem sosialnya, sehingga pola pikir masyarakat umum akan terbentuk sesuai dengan sistem politik negaranya.
Jika, sistem politik yang menaungi negara ini adalah sistem politik yang berdasarkan wahyu, sebagaimana yang pernah ada pada masa Nabi hingga beberapa puluh tahun lalu, tentu usaha-usaha individual maupun kelompok untuk meningkatkan penggalangan dana ZIS tidak akan diperlukan, karena semuanya akan dilaksanakan oleh negara, yang sifatnya memaksa, bukan sukarela. Sistem pendidikannya akan menanamkan keimanan untuk taat pada kewajiban zakat, sistem ekonominya akan membuat orang tidak masalah apabila mengeluarkan zakat, sistem pidananya akan membuat orang jera untuk melakukan kecurangan dalam pembayaran zakat, sistem sosialnya akan membuat merasa malu apabila tidak membayar zakat, dan lain sebagainya.
Tentu saja ini bukan sekedar hayalan, sebab hal ini pernah terjadi pada masa dua Umar (Umar ibn Khattab dan cucunya, Umar ibn Abdul Aziz). Bahkan dalam masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz, masyarakat telah demikian makmur sehingga tak ada lagi orang-orang fakir yang berhak mendapat zakat. Yahya bin Sa’id, seorang petugas amil zakat pada masa Umar ibn Abdul Aziz, menuturkan, ”Khalifah Umar ibn Abdul Aziz telah mengutusku untuk mengumpulkan zakat orang Afrika. Lalu aku menariknya dan aku minta dikumpulkan orang-orang fakirnya untuk kuberi zakat. Tapi ternyata tidak ada seorang pun dari kalangan itu yang mengambilnya. Sesungguhnya Umar ibn Abdul Aziz telah membuat orang-orang berkecukupan. Akhirnya harta zakat itu kupergunakan untuk membeli budak-budak belian, lalu kumerdekakan.”. demikianlah apabila yang diterapkan adalah sistem politik Islam yaitu keKhilafahan, dan bukan demokrasi.
Dilain pihak, penerapan zakat saat ini pun telah menyalahi aturan sebenarnya, yang itu disebabkan karena mulai bangkitnya kembali semangat keislaman masyarakat muslim saat ini, namun dengan rendah dan lemahnya pemahaman mereka tentang agama mereka. Setidaknya ada dua macam kesalahan yang sering diterapkan, yaitu zakat profesi dan zakat berkaitan dengan pajak.
Pada zakat profesi yang menjadi kesalahan adalah karena dalam zakat profesi tidak terpenuhi syarat-syarat yang menjadikan harta itu wajib dizakati. Yaitu syarat bahwa harta tersebut terpenuhi nishab (jumlah) dan haul (jangka waktu)nya. Zakat profesi adalah zakat yang diterapkan pada gaji bulanan, jelas ini kekeliruan fatal, sebab harta yang wajib dizakati adalah harta yang tersimpan/tersisa/tertabung, bukan harta yang masih dalam hitungan konsumsi. Harta yang wajib dizakati juga adalah harta yang tersimpan selama satu tahun atau lebih, bukan hitungan bulanan sebagaimana yang diterapkan pada gaji PNS selama ini.
Pada masalah kedua, yaitu berkaitan dengan pajak. Sebenarnya pajak dan zakat adalah dua hal yang berbeda, maka tidak dapat satu sama lain saling mempengaruhi dan saling mengurangi jumlahnya sebagaimana praktik saat ini. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah karakteristik dari keduanya (pajak dan zakat) yang lemah pemahaman tentang keduanya akan berlanjut pada kesalahan dalam praktiknya. Pajak dan zakat adalah wajib, tetapi wajibnya tidak sama dalam penerapannya. Zakat diwajibkan hanya untuk kaum muslim kaya saja, demikian juga pajak hanyalah berlaku bagi kaum muslimin yang kaya. Zakat ditarik setiap tahun, sedangkan pajak ditarik temporal, yaitu pada saat-saat dibutuhkan saja, yaitu suatu keadaan dimana kas negara tidak terdapat harta, sedangkan kebutuhan negara saat itu wajib untuk direalisasikan dan mendesak, misalnya keperluan untuk dakwah dengan jihad baik ofensif maupun defensif.
Kesimpulan
Semangat keislaman saat ini mulai tumbuh kembali, baik individual maupun kelembagaan, dari perbankan, asuransi, pegadaian hingga rumah zakat. Namun perlu pemahaman yang tidak sedikit untuk berpraktek secara benar menurut syar’i. diperlukan pemahaman fiqh yang mendalam juga harus disertai kemampuan secara politik untuk memahami sebab akibat jangka pendek dan panjang dari sebuah permasalahan. Allhua’lam bishshowab.
Karya: Dhiya’ ad-Din ar-RaisBedah Buku
Oleh: Muhammad Baiquni Syihab
Latarbelakang Masalah
Pengadilan atas ‘Ali ‘Abdul Raziq di Mesir dilaksanakan pada tahun 1925. Pengadilan itu dilakukan oleh tokoh-tokoh alim ulama Al-Azhar di bawah pimpinan almarhum Muhammad Abul Fadhal Al-Jiwazi dalam rapat khusus dengan 24 anggota alim ulama, tanggal 22 Muharram 1344 H bertepatan dengan 12 Agustus 1925M.
‘Ali ‘Abdul Raziq tiba dan mengucapkan “Assalamu'alaikum”, tetapi tak seorangpun yang menjawab salamnya itu. Sesudah diadakan tanya jawab yang cukup lama, akhirnya rapat para alim ulama itu memutuskan, menghukum tertuduh (‘Ali Abdul Raziq) dengan mengeluarkannya dari barisan alim ulama Islam.
Sebagai tindak lanjut dari hukuman itu: (Rapat khusus para ulama ini) menghapus nama ‘Ali ‘Abdul Raziq dari daftar Universitas Al-Azhar Mesir dan lembaga-lembaga Islam lainnya, memecat dari semua jabatan, memutuskan gaji-gajinya dari tempat kerjanya dan menyatakan tidak layak untuk melakukan pekerjaan sebagai pegawai, baik agama maupun non agama.
Pemecatan ‘Ali ‘Abdul Raziq itu sesuai dengan undang-undang Al-Azhar tahun 1911, yang memberikan mandat kepada Hai'ah Kibaril 'Ulama (Badan Ulama Terkemuka) untuk mengeluarkan ulama yang tidak sesuai sifat kealimannya dari barisan ulama, dengan kesepakatan 19 kibaril 'ulama. Undang-undang itu baru sekali diterapkan yaitu untuk ‘Ali ‘Abdul Raziq yang kitabnya membentuk arus sekularisme.
Adapun alasan-alasan dijatuhkannya hukuman tersebut menyangkut isi buku al-Islam wa Ushulul Hukm (Islam dan dasar-dasar hukum) yang ’Ali ‘Abdul Raziq karang di antaranya:
’Ali menjadikan syari’at Islam sebagai syari’at rohani semata, tidak ada hubungannya dengan pemerintahan dan pelaksanaan hukum dalam urusan duniawi.
’Ali menganggap jihad Nabi saw itu untuk mencapai kerajaan. Zakat, jizyah, ghonimah dan lain-lain pun demi mencapai kerajaan juga, dengan demikian semua itu dianggap keluar dari batas-batas risalah Nabi saw, bukan peristiwa wahyu dan bukan perintah Allah SWT. Forum ulama membacakan ayat-ayat yang berkenaan dengan jihad fi sabilillah, ayat-ayat khusus zakat, cara pengaturan uang sedekah, pembagian ghonimah (harta rampasan perang).
Berkenaan dengan anggapannya bahwa tatanan hukum di zaman Nabi saw tidak jelas, meragukan, tidak stabil, tidak sempurna dan menimbulkan berbagai tanda tanya. Kemudian ia menetapkan bagi dirinya suatu madzhab, katanya: “Sebenarnya pewalian Muhammad saw atas segenap kaum mukminin itu ialah wilayah risalah, tidak bercampur sedikitpun dengan hukum pemerintahan.” Ini cara berbahaya yang ditempuhnya, melucuti Nabi saw dari hukum pemerintahan. Anggapan ’Ali itu bertentangan dengan ayat: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan (membawa) kebenaran, supaya engkau menghukum antara manusia dengan apa yang diperlihatkan (diturunkan) Allah kepadamu itu.” (QS An-Nisa’: 105).
’Ali menganggap tugas Nabi hanya menyampaikan syari’at lepas dari hukum pemerintahan dan pelaksanaannya. Kalau anggapannya itu benar, tentulah ini merupakan penolakannya terhadap semua ayat-ayat hukum pemerintahan yang banyak terdapat dalam Al-Qur’anul Karim dan bertentangan dengan Sunnah Rasul saw. yang jelas dan tegas.
Ia mengingkari kesepakatan (ijma’) para sahabat Rasulullah saw untuk mengangkat seorang Imam dan bahwa menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk mengangkat orang yang mampu mengurus permasalahan agama dan dunia.
Ia tidak mengakui kalau peradilan itu suatu tugas syari’at.
Ia beranggapan bahwa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq dan pemerintahan Khulafaur Rasyidin sesudahnya tidak agamis. Ini justru kelancangan ’Ali yang tidak agamis.
Hal-hal demikianlah yang pada akhirnya membuat Dhiya ’Uddin menerbitkan sebuah buku yang memiliki judul diatas untuk menyanggah buku yang diterbitkan atas nama ’Ali ’Abdul Raziq yang memiliki judul asli ”Islam wa Ushulul Hukm”.
Realitas Pendapat Dhiya ’Uddin terhadap ”Islam wa Ushulul Hukm”
Sebenarnya ’Ali ’Abdul Raziq hadir tampil sebagai sosok kontroversial di tengah-tengah semaraknya persekongkolan persekutuan Nasrani Barat berupaya mengenyahkan kekhilafahan Islam Turki, di tengah-tengah munculnya gelombang nasionalisme untuk menghapus bekas pengaruh Islam, menghapus Khilafah Islam dan menumpas gerakan pendukung Khilafah.
Di antara penganjur/pendukung nasionalisme modern di Mesir adalah Luthfi as-Sayyid (dari Partai Rakyat Hizb Ummah), Sa’ad Zaghlul (pemimpin dan pejuang Mesir yang berpengaruh/kharisma dari Partai Nasionalis Wafd) yang dengan gigih berupaya menghilangkan pengaruh Islam dari politik Mesir, dengan slogan “Agama untuk Tuhan dan negara untuk rakyat”. “Mesir adalah bagian Eropa, pewaris/pelanjut peradaban Laut Tengah/Mediteranian”
Kemal Attaturk, seorang pengagum berat nasionalisme yang setia, patuh menjalankan instruksi Perkumpulan Rahasia (Fremasonry) di Paris dan melaksanakan syarat-syarat Perjanjian Perdamaian Lausanne, Swiss, yang ditandatangani bulan Juli 1923 yang menghapuskan sistem kapitulasi (penguasaan daerah taklukan) di Turki, sehingga Turki melepaskan kedaulatannya atas negara-negara Arab, dan lenyapnya kekhilafahan Islam dan tumpasnya gerakan pendukung kekhilafahan.
Terwujudlah salah satu langkah yang diambil Barat Nasrani untuk menghancurkan, melenyapkan Timur Islam (setelah gagal dalam Perang Salib) adalah dengan berupaya melenyapkan, memusnahkan khilafah Islam, dengan anteknya Mustafa Kemal dan pendukung anteknya, ’Ali ’Abdul Raziq.
Menurut Dhiya, ’Ali jelas telah melanggar batas lantaran mengatakan bahwa Islam tidak memiliki kaitan dengan ─dan mempunyai ajaran tentang─ kekhilafahan, bahkan dikatakannya bahwa kekhilafahan itu bertentangan dengan ajaran Islam. ’Ali ’Abdul Raziq selalu berpandangan seperti ini, dan berikut sebagian pandangannya yang dikutip Dhiya dari bukunya ”Islam wa Ushulul Hukm” agar dengan demikian tidak ada seorangpun yang menuduh kita belebih-lebihan dalam mengomentarinya. Ia antara lain mengatakan: ”kekhilafahan selamanya menjadi petaka bagi Islam dan kaum muslimin, serta merupakan sumber kejahatan dan kerusakan”, dan ”kalau seandainya dalam kehidupan ini ada sesuatu yang mendorong manusia berlaku sewenang-wenang dan zhalim serta demikian mudah membangkitkan permusuhan dan pertentangan, maka sesuatu itu tidak lain adalah jabatan kekhilafahan”. Juga ia mengatakan: ”kenyataan sebenarnya adalah bahwa Islam itu terbebas dari ajaran kekhilafahan seperti yang selama ini dikenal oleh kaum muslimin”, dan ”kekhilafahan itu bukan tugas keagamaan dan juga tidak berkaitan dengan masalah peradilan maupun aspek lain yang berkenaan dengan masalah pemerintahan dan ketatanegaraan” ... ”sebagaimana halnya pula dengan masalah organisasi militer Islam, tatapraja dan pemerintahan daerah yang sama sekali tidak ada kaitannya sedikitpun dengan masalah agama”. Selanjutnya ’Ali ’Abdul Raziq juga mengatakan bahwa: ”dari apa yang telah saya kemukakan terdahulu, kiranya dapat menjadi pegangan pembaca bahwa apa yang selama ini dinyatakan sebagai kekhilafahan atau al-imamah al-’uzma bukanlah sesuatu yang dibangun atas pijakan ajaran agama maupun logika yang benar”.
’Ali ’Abdul Raziq mengatakan bahwa kekhilafahan itu bukan bagian dari ajaran Islam, malahan dikatakannya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam, sebab ”kekhilafahannya itu jahat, buruk, zalim, sewenang-wenang dan penindasan”, dan ”ia tidak berpijak pada ajaran Islam atau didasarkan atas logika yang sehat”, dan bahwasanya ”Islam terbebas dari semuanya itu”. Artinya, dengan demikian, kekhilafahan itu haram dan dosa. Karena itu ummat Islam wajib meruntuhkan dan memeranginya. Jadi, persoalannya adalah bukan lagi berkenaan dengan apakah ia merupakan bagian dari ajaran Islam yang hukumnya ja’iz, mubah atau baik untuk dilakukan, melainkan ’Ali ’Abdul Raziq telah mengatakan bahwa kekhilafahan itu haram, kedurhakaan dan kejahatan. Sedangkan perbedaan antara fardhu dan haram jelas amat besar. Selain itu, jihad dikatakannya sebagai tindakan yang tidak memiliki tujuan keagamaan yang bersifat mendasar, dan jihad Rasulullah saw. pun bukanlah merupakan bagian dari tugas kenabiannya.
Hal-hal diatas adalah apa yang dinyatakan ’Ali ’Abdul Raziq dalam bukunya Islam wa Ushulul Hukm, namun mengherankan dalam bukunya yang terakhir, ’Ali terlihat bergabung dan memegangi pandangan ulama salaf serta berpijak dengan sempurna pada asas syari’at. Secara akurat dan bisa dipercaya, ia mengemukakan pandangan-pandangan para ulama dalam bukunya itu seraya menyatakan bahwa ijma’ itu telah ditetapkan kebenarannya dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw., dan bahwasanya ijma’ ini merupakan argumentasi yang kuat. Sementara itu ijma’ para shahabat ditempatkannya sejajar dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits mutawatir (otentik). Selain itu ia mengemukakan dalil-dalil lain berupa nash-nash lantaran ia mengimani kebenarannya, dan bahwasanya kekhilafahan itu telah ditetapkan melalui ijma’. Dan demikian seterusnya, berupa ketetapan-ketetapan ulama tentang hal itu yang tidak menampakkan keraguan maupun pertentangan dengannya, artinya ia seakan-akan telah membantah dirinya sendiri.
Maha suci Allah yang telah memberikan petunjuk setelah adanya kesesatan, dan memperlihatkan bahwa pandangan-pandangan yang termuat dalam buku yang pertama hanyalah didorong oleh usia muda dan kurangnya pengetahuan. Selain daripada itu Dhiya ’uddin pun menganggap bahwa ’Ali ’Abdul Raziq bukanlah pengarang sebenarnya dari buku Islam wa Ushulul Hukm melainkan seorang orientalis misionaris asing yang diduga memiliki hubungan dengan ’Abdul Raziq.
Salah satu buktinya adalah bahwa pengarangnya selalu berbicara tentang ”kaum muslimin” seakan-akan ia (pengarangnya) tidak termasuk di kalangan ummat ini, sehingga ia menyebut mereka dengan menggunakan zhamir ghaib (kata ganti orang ketiga) dan tidak menggunakan ungkapan kalangan kita atau kalangan bagsa Arab, dan ungkapan lain seperti itu – seperti lazimnya ucapan seorang muslim. Contoh-contoh itu berserakan di sepanjang halaman buku itu. Seperti: ”kekhilafahan menurut istilah kaum muslimin” yang bila dipergunakan ungkapan Arab akan memberi kesan ”dan kekhilafahan menurut mereka”. ”agama menurut kaum muslimin”, ”tetapi mereka”, ”dan mereka berbeda pendapat”, ”dalam hal ini terdapat dua madzhab di kalangan kaum muslimin”, dan ”madzhab yang meluas di kalangan kaum muslimin”, ”mereka menduga dengan bergitu telah menerapkan istilah Islam”, dan seterusnya. Juga ”mereka berpandangan seperti itu, padahal wahyu telah terputus dari mereka”, ”kita tidak melihat seorang pengarangpun di antara mereka”, ”orang-orang muslim itu”, ”sesungguhnya kaum muslimin, apabila kita anggap mereka sebagai satu masyarakat, maka mereka bercerai-berai dengan sendirinya”, barangkali itulah yang paling sesuai dengan aspirasi kaum muslimin” – dan tidak mengatakan ”sesuai dengan aspirasi kami”, ”dan barangkali hal ini akan ganjil dalam pendengaran kaum muslimin”, ”dan anda akan melihat mereka seperti itu manakala anda kemukakan hal ini”, ”tidak pernah dipergunakan dalam istilah kaum muslimin”, dan seterusnya.
Sebagai akhir penutup – ungkapan Dhiya ’Uddin, ’Ali ’Abdul Raziq bukanlah orang yang dikenal sebagai seorang penulis yang terampil dan terlatih menulis dengan teknik semacam buku itu yang melancarkan fitnahan terhadap Islam, sejarah dan tokoh-tokohnya. Tidak pernah diketahui adanya buku atau artikel-artikel yang dituli oleh ’Ali sebelum buku ini yang mempergunakan metode dan pokok bahasan semacam dibukunya yang kotor ini, yaitu politik dan sejarahnya. Malahan yang ada sebelum ini hanyalah brosur-brosur kecil tentang bahasa atau ilmu bayan, dan semuanya itulah karyanya selama empat belas tahun sesudah lulus dari al-Azhar, dan setelah penerbitan bukunya ini ia tidak menghasilkan buku yang lain lagi sepanjang empat puluh tahun, baik yang berkenaan dengan pokok kajian serupa itu maupun topik yang lain. yang dihasilkan selama empat puluh tahun itu hanyalah sebuah brosur kecil lain berkenaan dengan fiqh yang sekedar membahas ijma’ belaka dan beberapa artikel kecil.
Landasan Normatif Khilafah
Kaum muslimin mengetahui bahwa khalifah pertama dalam sejarah Islam adalah Abu Bakar ra, akan tetapi mayoritas kaum muslimin saat ini, tidak mengetaui bahwa
Sultan ’Abdul Majid II adalah khalifah terakhir yang dimiliki oleh umat Islam,
pada masa lenyapnya Daulah Khilafah Islamiyyah akibat ulah Musthafa Kamal yang
menghancurkan sistem khilafah dan runtuhnya Dinasti ’Utsmaniyyah. Fenomena
ini terjadi pada tanggal 27 Rajab 1342 H.
Ketika membicarakan Khilafah dalil-dalil wajibnya Khilafah, Ad-Dumaiji ternyata menemukan enam macam dalil. Dalil pertama, Al-Qur`an: yaitu "Hai orang-orang yang berfirman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu." (QS An-Nisa: 59), QS Al-Ma`idah: 48-49, QS Al Hadid: 25, dan ayat-ayat hudud, qishash, zakat, dan lain-lain yang pelaksanaannya dibebankan kepada khalifah.
Dalil kedua, As-Sunnah, baik sunnah qauliyah maupun sunnah fi’liyah. Seperti: Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya tidak ada Nabi setelah aku, dan akan ada
para khalifah, dan banyak (jumlahnya)”. Para sahabat bertanya, ”Apa yang engkau
perintahkan kepada kami?” Nabi SAW menjawab, ”penuhilah bai'at yang pertama, dan
yang pertama. Dan Allah akan bertanya kepada mereka apa-apa yang mereka pimpin”.
(HR. Muslim). Rasulullah SAW juga bersabda: ”Jika kalian menyaksikan seorang khalifah, hendaklah kalian taat, walaupun (ia) memukul punggungmu. Sesungguhnya jika tidak ada khalifah, maka akan terjadi kekacauan” (HR. Thabrani).
Dalil ketiga, Ijma’ Shahabat setelah wafatnya Rasul dan menjelang wafatnya ’Umar. Bersegera membai’at Khalifah ketika kekhilafahan kosong adalah para sahabat yang bersegera pergi untuk urusan itu di Saqifah Bani Sa’idah setelah wafatnya Rasul SAW pada hari yang sama, sebelum Rasul SAW dikebumikan dan pada hari itu juga bai’at pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah dilakukan. kemudian batas masa 3 hari 3 malam ketika Khalifah ’Umar saat beliau merasa hampir tiba ajalnya akibat ditikam pisau, beliau menunjuk ahlus syura dan memberi tempo masa seperti diatas, kemudian berwasiat kepada mereka apabila dalam jangka masa tersebut terlewati tanpa kesepakatan mengangkat seorang khalifah, maka hendaknya orang yang tidak dalam kesepakatan dibunuh setelah hari ketiga. Hal ini diketahui oleh ahlus syura dan para sahabat terkemuka (Contoh; ’Ali bin Abu Thalib dan ’Utsman) namun mereka tidak menyangkal hal tersebut. Ini termasuk dalil Ijma’ Shahabat.
Dalil keempat, kaidah syar’iyah berbunyi maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib (suatu kewajiban yang tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya). Menegakkan syariah secara total (sebagai suatu kewajiban) tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya Khilafah, maka Khilafah wajib hukumnya.
Dalil kelima, kaidah dharar, yaitu hadits laa dharara wa laa dhiraara (tidak boleh menimbulkan kemudharatan pada diri sendiri maupun orang lain). Bahwa tanpa Khilafah, umat berada dalam kemudharatan, maka Khilafah wajib ada untuk menghilangkan kemudharatan.
Dalil keenam, bahwa khilafah termasuk perkara yang dituntut oleh fitrah dan adat manusia (Ad-Dumaiji, al-Imamah Al-‘Uzhma, hal. 49-64).
Implementasi Khilafah Islam
Sistem pemerintahan Islam tidak sama dengan semua jenis sistem pemerintahan di dunia ini. Pemerintahan Islam Bukan Monarki (Monarchi), Bukan Republik, Bukan Kekaisaran (Empayer), melainkan kekhilafahan yang memiliki ciri sebagai berikut:
Kedaulatan ditangan syara’ (As siyadah lis syar’i). Pertama, menjadikan pengendalian dan penguasa adalah hukum syara’. Kedua, mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum syara’ tanpa membedakan penguasa (khalifah) maupun rakyat (umat). Ketiga, ketaatan kepada khalifah terikat dengan ketentuan hukum syara’, bukannya ketaatan secara mutlak, Tidak pada perkara kemaksiatan. Keempat, wajib mengembalikan masalah kepada hukum syara’ apabila berlaku perselisihan antara umat dengan khalifah. Kelima, adanya institusi yang bertugas untuk menghilangkan penyimpangan terhadap hukum syara’ yaitu mahkamah mazhalim. Keenam, mengangkat senjata untuk mengambil alih kekuasaan apabila khalifah menyimpang dari hukum syara’, maka mengangkat senjata tidak dihukumi sebagai tindakan pembangkang.
Kekuasaan Ditangan umat (as-sulthan lil ummat). Pertama, tiada kekuasaan yang diperolehi oleh seorang muslim kecuali diberikan oleh umat, dengan cara bai’at. Oleh karena itu hukum fardhu kifayah untuk mengangkat khalifah dan hukum fardhu ’ain untuk mentaati khalifah. Kedua, umat mempunyai hak untuk mengangkat khalifah dengan rido, seperti Muawiyah yang mulanya mengambil dengan paksa dari khalifah ’Ali bin Abu thalib. Ketiga, Pemerintahan Islam tidak berbentuk kerajaan yang diperoleh dengan warisan, melainkan dengan baiat. Keempat, meskipun umat berhak mengangkat penguasa namun kedudukannya bukan sebagai mustajir (majikan) dan khalifah bukan sebagai ajir (buruh), tidak seperti sistem demokrasi, rakyat (majikan) memilih/mengangkat pemimpin (buruh), rakyat pembuat undang-undang dan pemimpin melaksanakan undang-undang tersebut. Kelima, umat berhak melakukan koreksi kepada khalifah, meskipun tidak mempunyai hak untuk melucuti jabatan khalifah.
Pengangkatan satu khalifah untuk seluruh muslimin hukumnya wajib (wujub nashbi al-khalifah al-wahid li al-muslimin). Pertama, Khalifah Islam wajib hanya ada satu, tidak boleh ada lebih dari satu khalifah dalam satu zaman, seperti pada zaman Abbasiyah merupakan suatu kesalahan yang tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum syara’. Kedua, bentuk negara kekhalifahan Islam adalah berbentuk kesatuan. Hanya dibenarkan ada satu ketua negara (khalifah), satu undang-undang dan hanya satu negara. Ketiga, sistem pemerintahan khilafah islam mengikuti sistem pusat. Pemerintahan merupakan kekuasaan khalifah dan kekuasaan dalam satu negara adalah tunggal. Dalam dunia ini hanya ada satu negara Islam saja. Keempat, Khilafah adalah negara. Ahli politik barat mendefisikan negara adalah kumpulan daripada wilayah, rakyat dan pemerintahan. Islam menggambarkan negara sebagai kekuasaan karena wilayah islam sentiasa berkembang.
Khalifah mempunyai hak untuk mengambil dan menetapkan hukum syara’ untuk menjadikannya sebagai undang-undang (li al-Khalifah wahdah haq at-tabanni). Pertama, mengambil dan menetapkan hukum harus terikat dengan hukum syara’. Hanya menggunakan Al-Quran, Al-hadis, Ijma’ sahabat dan Qiyash sebagai landasannya. Kedua, untuk menghilangkan perselisihan ditengah masyarakat. Ketiga, kepimpinan secara tunggal, tiada lembaga lain yang setanding kekuasaannya dengan khalifah. Keempat, tiada hak membuat undang-undang kecuali khalifah. Termasuk majlis umat tidak memiliki hak membuat undang-undang dan juga tidak ada lembaga legislatif didalam khilafah. Tiada konsep pemisahan kekuasaan seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. Hanya khalifah saja yang memiliki hak untuk itu. Wallahu a’lam bis shawab.
Kesimpulan
Pembahasan diatas menunjukkan kebenaran fakta tentang buku yang dibedah/diresume ini, yaitu yang dikarang oleh Dhiya ’Uddin ini bahwa beliau menyatakan apa-apa saja yang dikatakan oleh ’Abdul Raziq dituangkan dalam bukunya ini, Islam dan Khilafah.
Adapun untuk jawaban dari rumusan yang tersusun dalam bagian awal makalah ini adalah, Khilafah tidaklah seperti apa yang dikatakan oleh ’Ali sebagai sesuatu yang tidak memiliki hubungannya dengan Islam, bahkan kebalikan dari itu semua bahwa Khilafah merupakan sesuatu yang inheren dengan Islam itu sendiri, sehingga tidak akan ada kemulian Islam tanpa Syari’ah, dan tidak akan ada Syari’ah tnapa Khilafah yang menjaganya.
Daftar Pustaka
Anonim, Bunga Rampai Syariat Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, Tanpa Tempat, 2002.
Baltaji, Muhammad, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, terj., Khalifa, Jakarta, 2005.
Secara historis perkembangan kapitalisme merupakan bagian dari gerakan individualisme. Gerakan ini juga menimbulkan dampak dalam bidang yang lain. Dalam bidang keagamaan gerakan ini menimbulkan reformasi. Dalam hal penalaran melahirkan ilmu pengetahuan alam. Dalam hubungan masyarakat memunculkan ilmu-ilmu sosial. Dalam bidang ekonomi melahirkan sistem kapitalisme. Oleh karena itu peradaban kapitalis sah (legitimate) adanya. Di dalamnya terkandung pengertian bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar tipe tertentu dalam perekonomian. Sistem ini berkembang di Inggris pada abad 18 masehi dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat Laut dan Amerika Utara (Ebenstein & Fogelman, 1994: 148).
Perjalan sejarah kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari bumi Eropa, tempat lahir dan berkembangnya kapitalisme. Tahun 1648 (tahun tercapainya perjanjian Westphalia) dipandang sebagai tahun lahirnya sistem negara modern. Perjanjian itu mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (antara Katholik dan Protestan di Eropa) dan menetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katholik Roma (Papp, 1988: 17). Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itu aturan main kehidupan dilepaskan dari gereja (yang merupakan wakil Tuhan), dengan anggapan bahwa negara itu sendiri yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya, sementara Tuhan (agama) diakui keberadaannya tetapi dibatasi hanya di gereja (hubungan manusia dengan Tuhannya).
Prinsip dasar sekular tersebut adalah menempatkan manusia (negara/kerajaan) sebagai pembuat peraturan atau hukum. Permasalahan berikutnya adalah siapa atau apa yang berwenang membuat aturan yang menjamin terciptanya kehidupan yang damai, tentram dan stabil. Kenyataannya, Eropa sampai abad ke-19 merupakan kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh kaisar, raja dan para bangsawan (aristokrat). Sampai masa itu, peran politik rakyat sangatlah minim bahkan tidak ada. Rakyat secara pasif patuh pada raja dan undang-undang yang dibuat oleh raja, tanpa melibatkan diri dalam proses politik (pembuatan keputusan). Dan ternyata raja selalu tidak bisa memenuhi kepentingan dan kebutuhan warganya secara adil dan menyeluruh.
Selanjutnya terdapat tiga perkembangan penting yang mempengaruhi perubahan situasi di Eropa, yaitu: revolusi industri (1760 - 1860), revolusi Perancis (1775 - 1799) dan tingkat melek huruf (literasi) (abad ke-19). Ketiga peristiwa tersebut telah mendorong munculnya keterlibatan rakyat (di luar raja dan kaum bangsawan) di dalam politik (pengaturan urusan rakyat) (Robert & Lovecy, 1984: 7) .
Revolusi industri telah memunculkan kelas menengah yang mempunyai kekuatan ekonomi, sehingga dengan kekuatannya tersebut mereka menuntut derajat kekuatan politik yang berimbang. Revolusi Perancis telah mendorong tuntutan akan nasionalisme (ide bahwa rakyat bisa memerintah dirinya sendiri, bukan diperintah oleh yang lain), libelarisme (ide bahwa otoritas politik harus disahkan lebih dahulu secara konsensus dan tidak secara turun temurun, serta dibatasi oleh hukum dan konstitusi) dan equalitas (ide bahwa partisipasi politik tidak hanya di tingkat elit aristokrat saja, tetapi terbuka untuk semua penduduk). Sedangkan meningkatnya derajat melek huruf di kalangan rakyat telah menyebabkan mereka dapat membaca peristiwa-peristiwa dan pemikiran-pemikiran yang berkembang di Eropa dan sekaligus mempengaruhi mereka.
Kemajuan sosial (social progress), yang berupa sejumlah perbaikan kondisi ekonomi, intelektualitas, sosial budaya dan politik yang terjadi di Eropa Barat antara abad ke-18 sampai abad ke-19, dapat dilihat sebagai penyebab berkembangnya demokrasi, di mana demokrasi membatasi kesewenangan dan mendorong manusia menjadi lebih sempurna dan adil dalam mengatur kehidupannya (Palma, 1990: 17) . Dari sini kita bisa menyebut bahwa pada abad ke-19 telah terjadi transisi politik di Eropa Barat dari bentuk otokrasi dinasti tradisional menjadi demokrasi liberalmodern.
Meskipun demikian, ada kesamaan dalam dua kondisi tersebut, yaitu sekularime. Konsekuensi dari Tuhan (agama) tidak boleh campur tangan dalam pengaturan urusan kehidupan manusia adalah pembuatan aturan main (keputusan/hukum) oleh manusia. Ketika keputusan/hukum dibuat oleh seseorang secara otoriter, dan terbukti tidak mampu menangkap kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, maka dituntutlah keikutsertaan rakyat seluruh rakyat dalam membuat keputusan. Dengan demikian diharapkan mampu menciptakan aturan main yang lebih bisa memenuhi keinginan dan kepentingan rakyat banyak.
Sedangkan mengenai penamaan ideologi ini dengan nama Kapitalisme, An-Nabhani dalam kitabnya Nidzom Al-Islam (1953) memberikan pendapat dan uraian sebagai berikut: bahwa munculnya kapitalisme berawal pada kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia yang menjadikan agama sebagai alat pemeras, penganiaya dan penghisap darah rakyat. Para pemuka agama pada waktu itu dijadikan sebagai perisai untuk memenuhi keinginan mereka. Dari kondisi seperti itu, maka berikutnya menimbulkan pergolakan yang sengit, yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan cendikiawan. Sebagian dari mereka mengingkari adanya agama secara mutlak, sedangkan sebagian yang lain mengakui adanya agama tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia. Sampai akhirnya pendapat mayoritas dari kalangan filosof dan cendekiawan itu lebih cenderung memilih ide yang memisahkan agama dari kehidupan, yang kemudian menghasilkan usaha pemisahan antara agama dengan negara. Disepakati pula pendapat untuk tidak mempermasalahkan agama, dilihat dari segi apakah diakuai atau ditolak, sebab yang menjadi masalah adalah agama itu harus dipisahkan dari kehidupan (An-Nabhani, 1953: 25).
Ide pemisahan agama dari negara tersebut dianggap sebagi jalan kompromi antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka (yang mengatasnamakan agama) dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama. Dengan demikian ide sekularisme ini sama sekali tidak mengingkari adanya agama, akan tetapi juga tidak menjadikannya berperan dalam kehidupan. Yang mereka lakukan tidak lain adalah memisahkannya dari kehidupan (An-Nabhani, 1953: 25).
Atas landasan pandangan hidup seperti di atas, mereka berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak untuk membuat peraturan hidupnya. Mereka juga mengharuskan pula untuk mempertahankan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan beragama, kebebasan berpendapat (berbicara), kebebasan individu (pribadi) dan kebebasan kepemilikan (hak milik). Dari kebebasan hak kepemilikan itulah dihasilkan sistem ekonomi kapitalis, yang merupakan hal yang paling menonjol pada ideologi ini. Oleh karena itu ideologi ini dinamakan kapitalisme, sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dalam ideologi ini (An-Nabhani, 1953: 24).
Demokrasi sebagaimana telah diuraikan di atas, sebenarnya juga berasal dari ideologi ini, akan tetapi masih dianggap kurang menonjol dibanding dengan sistem ekonominya. Hal itu dapat dibuktikan bahwa sistem ekonomi kapitalis di Barat ternyata sangat mempengaruhi elite kekuasaan sehingga mereka tunduk kepada para kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Bahkan hampir-hampir dapat dikatakan bahwa para Kapitalislah yang menjadi penguasa sebenarnya di negara-negara yang menganut ideologi ini. Di samping itu demokrasi bukanlah menjadi ciri khas dari ideologi ini, sebab sosialispun ternyata juga menyuarakan dan menyatakan bahwa kekuasan berada di tangan rakyat. Oleh karena itu lebih tepat jika ideologi ini dinamakan ideologi Kapitalisme (An-Nabhani, 1953: 24-25).
Oleh karena itu kapitalisme saat ini sudah tidak bisa disebut sebagai hanya sebuah "isme" biasa atau sebuah pemikiran filsafat belaka, bahkan tidak bisa juga hanya dikatakan sebagai sebuah teori ekonomi . Akan tetapi kapitalisme telah menjadi sebuah ideologi dunia yang mencengkeram dan mengatur semua sendi-sendi kehidupan manusia secara menyeluruh dan sistemik. Lester C. Thurow dalam bukunya The Future of Capitalism (1996) menggambarkan tentang perjalanan kapitalisme sebagai berikut:
Since the onset of the industrial revolution, when success came to be defined as rising material standards of living, no economic system other than capitalism has been made to work anywhere. No one knows how to run successful economies on any other principles. The market, and the market alone, rules. No one doubts it. Capitalism alone taps into modern beliefs about individuality and exploits what some would consider the baser human motives, greed and self-interest, to produce rising standards of living. When it comes to catering to the wants and desires of every individual, no matter how trivial those wants seem to others, no system does it even half so well. Capitalism’s nineteenth and twentieth-century competitors - fascism, sosialism and comunism - are all gone (Thurow, 1996: 1).
Adapun mengenai kelahiran ekonomi kapitalis itu sendiri, hal ini tidak bisa dipisahkan dengan Adam Smith, seorang pemikir terkemuka di abad 18 yang telah membidani kelahiran ilmu ekonomi lewat karyanya yang monumental “Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of the Nations” pada tahun 1776 (Saefuddin, 1992: xvi).
Smith, dengan sistem pasarnya memunculkan pengetahuan tingkah laku ekonomi yang belum pernah ditemui sebelumnya yang kemudian menjadi bahan analisa bagi terbentuknya sebuah tubuh ilmu yang makin utuh. Pandangan, pemikiran, analisa dan teori-teorinya yang tertuang secara detail dalam bukunya tersebut mendasari lahirnya sebuah sistem ekonomi yang sampai sekarang berlaku, yakni sistem ekonomi kapitalis. Buku Smith sesungguhnya merupakan gambaran, kupasan dan sekaligus ramalan tentang kehidupan ekonomi pada zamannya. Dengan ketajaman dan kekuatan nalar, kekayaan gagasan serta keyakinan seorang filsuf pada jamannya, Smith melihat di balik gejala yang menjadi pusat perhatiannya, sesuatu yang kemudian disebutnya sebagai hukum-hukum sistem pasar. Dasar analisanya semata-mata obyektif yang mendasari tindakan ekonomi seseorang sebagaimana yang ia tulis dalam bukunya (Saefuddin, 1992: xvi): “It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest”.
Meskipun telah begitu banyak mengalami perubahan, ternyata teori Smith-lah yang sampai kini mendasari perkembangan ilmu ekonomi liberal yang melahirkan sistem ekonomi kapitalisme. Kapitalisme yang telah mulai berjangkit sejak revolusi industri dan makin berkembang dengan penemuan Smith, pada suatu masa dalam sejarahnya telah melahirkan “anak haram”nya yang kemudian memberontak. Meskipun benih nilai-nilai filsafatnya berasal dari masa pemunculan sejaman, “anak haram” yang memberontak dalam wujud komunisme itu baru muncul setelah kapitalisme merajalela di mana-mana menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat buruh yang diperas dan dihisap. Karl Marx, bidan yang di”nabi”kan oleh pengikutnya pada masa selanjutnya, menulis tentang kapitalisme, mengupas kemudian meramalkan keruntuhan sistem tersebut dalam bukunya “Das Kapital”. Kapitalisme memang tidak segera mati seperti yang diramalkan oleh Marx, tetapi pemikiran Marx sendiri tentang komunisme memunculkan kekuatan baru yang tidak kalah besarnya. Dewasa ini pertarungan masih dengan sengit terjadi antara kedua paham tersebut dalam skala dan gelanggang yang tidak tanggung-tanggung luasnya: mondial (Saefuddin, 1995: xvii).
Ajaran Smith dan Marx, sesungguhnya tidak lagi diikuti secara murni. Tetapi dalam berbagai ranting dan cabang pemikiran yang diturunkan daripadanya masih dapat ditemui dasar-dasar ajaran kedua tokoh tersebut. Ekonomi yang kini berlaku dan terus mengalami perkembangan di sebagian besar negara di dunia bersumber dari kedua ajaran tersebut, yakni kapitalisme dan sosialisme (Saefuddin, 1995: xvii).
Rais, dalam bukunya “Cakrawala Islam” (1996), secara lebih spesifik menjelaskan hubungan antara ekonomi kapitalis dengan kapitalisme sebagai sebuah ideologi yang juga biasa dikenal dengan nama libelarisme. Ekonomi kapitalisme pada hakekatnya hanyalah suatu “byproduct” dari filsafat politik libelarisme yang berkembang di zaman pencerahan (Enlightenment) pada abad 18. Semangat libelarisme itu mengajarkan bahwa pada dasarnya manusia sama sekali tidak jahat dan sejarah ummat manusia dapat disimpulkan sebagai sejarah kemajuan (progress) yang menuju pada suatu tatanan rasional dalam kehidupan, sehingga tuntutan spiritual dari lembaga agamapun tidak diperlukan lagi (Rais, 1996: 91).
Ekses semangat liberalisme di Perancis pada zaman Pencerahan itu nampak pada semboyan ecrasez l ‘infame yang berarti “lenyapkan hal yang memalukan itu”. Dalam hal ini gereja katolik dan berbagai “supertisi yang diorganisasikan oleh gereja” dianggap sebagai hal yang memalukan. Filsafat politik liberalisme dengan didorong oleh rasionalisme, -yang mengatakan bahwa rasio manusia dapat menerangkan segala hal di dunia ini secara komprehensip-, kemudian melahirkan kapitalisme. Sesuai dengan prinsip “laissez faire, laissez passer”, mekanisme pasar yang terdiri dari “supply dan demand” akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat sebaik-baiknya. Tangan yang tidak kelihatan (the invisible hands) dalam mekanisme pasar itu akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat secara paling rasional, sehingga dapat menciptakan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat (Rais, 1996: 91).
Akan tetapi, ternyata kapitalisme justru menimbulkan suatu masyarakat yang tidak egalitarian. Ia menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat banyak, di samping menyebabkan munculnya keserakahan kaum kapitalisme dan individualisme yang menyebabkan alienasi. Sebagai anti thesis terhadap kapitalisme, muncul marxisme pada abad 19 yang dipandang dapat melahirkan sosialisme ilmiah. Berbagai bentuk sosialisme di Eropa sebelum kehadiran marxisme dianggap sebagai sosialime utopia. USSR merupakan negara sosialisme marxis pertama, otomatis negara sosialis ilmiah, yang berhasil didirikan dan kemudian diikuti oleh RRC maupun negara Eropa Timur (Rais, 1995: 92).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi kapitalis sebenarnya merupakan bagian dari kerangka ideologi liberalis atau juga biasa disebut ideologi kapitalis.
Secara normatif landasan idiil sistem ekonomi Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945. Karena itu, sistem ekonomi Pancasila lebih tepatnya bersumber langsung dari Pancasila sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila kelima ini menjelaskan bahwa keadilan merupakan titik-tolak, proses dan tujuansekaligus.[1] Ekonomi Pancasila juga dibangun dari UUD Pasal 33 yang berbunyi; Pertama, Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Kedua, Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh negara. Ketiga, Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Keempat, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.[2]
Ekonomi Indonesia yang diatur oleh pasal 33 UUD 45, menunjukkan secara konstitusional sistem ekonomi Indonesia bukan Kapitalisme dan bukan Sosialisme. Negara-negara berkembang atau Negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia, pada umumnya menerapkan sistem ekonomi campuran. Beberapa diantara negara-negara berkembang tersebut cukup konsisten meramu resep campurannya, dalam arti kadar Kapitalismenya selalu lebih tinggi, atau bobot sosialismenya senantiasa lebih besar. Sistem ekonomi campuran yang diterapkannya ibarat pendulum (bandul jam dinding), kadang-kadang condong kapitalistik sementara di lain waktu cenderung sosialistik, mengikuti rezim pemerintah yang sedang berkuasa.[3]
Ekonomi Pancasila hanyalah teori ekonomi yang diperuntukkan bagi ekonomi Indonesia, sedangkan sistem ekonomi dunia hanyalah terdiri dari sistem ekonomi Kapitalisme, sistem ekonomi Sosialisme dan Sistem ekonomi campuran. Adapun sistem ekonomi campuran sebagaimana yang tertuang dalam paragrap diatas menunjukkan posisinya tergantung pada rezim yang sedang berkuasa. Sehingga untuk melihat sistem ekonomi Indonesia yang sebenarnya, hanya dapat dilihat dari praktik yang sedang dijalankan.
Pembeda sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya terletak pada masalah pokokekonomi menurut teori ilmu ekonomi klasik dan ekonomi modern, masalah pokok tersebut adalah masalah produksi, distribusi dan konsumsi.[4] Selanjutnya empat masalah fundamental perekonomian yang terlahir dari masalah pokok ekonomi tersebut adalah pertanyaan atas barang dan jasa apa yang akan diproduksi (What), bagaimana cara proses produksi dilakukan (How), siapa pelaku produksi (Who) dan untuk siapa barang dan jasa hasil produksi tersebut (For Whom). Maka dari masalah-masalah pokok ekonomi tersebutlah kita dapat melihat sistem ekonomi apakah yang sedang diterapkan di Indonesia ini. Kemudian dari pemaparan tersebut kita lebih dapat melihat secara spesifik dan kemudian mengkategorikan sistem ekonomi di indonesia melalui jawaban dari prakteknya terutama dalam sistem produksi tersebut.
Ekonomi Pancasila saat ini masih dalam bentuk teori yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia, namun praktek yang dijalankan saat ini perlu menjadi acuan untuk mempertanyakan kembali apakah Pancasila sebagai idiologi bangsa tersebut sepadan dengan idiologi Kapitalisme dan idiologi Sosialisme yang mampu melahirkan sistem-sistem pengatur kehidupan manusia (sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial).
[2]Ginandjar Kartasasmita, Membangun Ekonomi Pancasila, Makalah pada Rakernas AMPI, Jakarta 26 Agustus 1997. http://www.ginandjar.com/ public/ 21MembangunEkonomiPancasila. pdf.
[3]Dumairy, Perekonomian Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1996, hal. 32-33.
[4]Sukwiaty, Sudirman Jamal dan Slamet Sukamto, Ekonomi SMA Kelas X, Yudistira, 2002, hal. 14.
struktur APBN Sistem Ekonomi Islam Hizbut Tahrir disusun berdasarkan pendapatan dan belanja negara yang tetap dan tidak tetap
P
E
N
D
A
T
A
N
N
E
G
A
R
A
P
E
N
D
A
P
A
T
A
N
T
E
T
A
P
N
E
G
A
R
A
Zakat
Zakat Ternak
Zakat Uang (Emas dan Perak)
Zakat Hasil Pertanian
Zakat Perdagangan
Pajak Tanah Taklukan (Kharaj)
Kharaj adalah hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan maupun perjanjian damai. Oleh sebab itu ada kharaj ‘unwah (kharaj paksaan) dan kharaj sulhi (kharaj damai)
Jizyah
Apabila orang-orang kafir telah memberikan jizyah, maka wajib bagi kaum muslim melindungi jiwa dan harta mereka. Jizyah hanya ditetapkan untuk lelaki yang sudah baligh, jadi tidak untuk wanita dan anak-anak, demikian juga jizyah tidak lagi dipungut apabila seseorang yang berkewajiban membayar jizyah tersebut telah masuk Islam
Laba BUMN
negara juga memiliki hak untuk memproduksi menurut jenis kepemilikannya, sedangkan sebagian kepemilikan negara juga sama sebagaimana kepemilikan individu. Maka negara dapat melakukan usaha untuk menambah pemasukannya melalui pembangunan industri yang hasil produksinya tidak termasuk dalam kepemilikan umum. BUMN yang dapat dibangun pemerintah dan kemudian dapat bersaing dengan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) adalah meliputi industri pabrik peralatan, pabrik mobil, pabrik generator, pabrik semen, industri jasa transportasi darat, laut dan udara, dan badan usaha lainnya. Apabila negara memiliki barang-barang industri ini, maka profitnya untuk negara. Dengan demikian profit ini diletakkan di kas negara (Baitul Mal) dalam kelompok pemasukan harta negara yang sifatnya tetap
P
E
N
D
A
P
A
T
A
N
T
I
D
A
K
T
E
T
A
P
N
E
G
A
R
A
Fai dan 1/5 Ghanimah
Berbeda dengan ghanimah, kendati harta tersebut sama-sama didapatkan melalui proses peperangan, fai adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum Muslim dari harta orang kafir dengan tanpa pengerahan pasukan militer, juga tanpa kesulitan serta tanpa melakukan peperangan
Ghanimah (Anfal) adalah harta yang diperoleh kaum Muslimin dari harta orang kafir melalui peperangan di medan perang. Harta tersebut dapat berupa uang, senjata dan alat perang, barang-barang dagangan, bahan pangan dan lain-lain. Pada harta ghanimah, yang menjadi kepemilikan negara adalah khumus (1/5 dari ghanimah), sedang sisanya (4/5) menjadi hak kaum muslim yang turut serta dalam peperangan tersebut
Bagian Kepemilikan Rakyat (Migas dan Non Migas)
Barang tambang seperti migas (minyak dan gas) dan non migas, status kepemilikannya adalah kepemilikan umum, yang berarti itu adalah milik rakyat. Tapi meluasnya tanggung jawab dan bertambahya perkara-perkara yang harus disubsidi oleh negara, kadangkala pendapatan dalam anggaran belanja negara yang merupakan hak baitul mal tidak lagi mampu menopang pembiayaan-pembiayaan yang menjadi kewajiban negara untuk membiayainya, maka negara dapat mengambil sebatas kebutuhan dari harta kepemilikan umum ini.
Pajak
Pajak Dalam Negeri
Apabila harta kepemilikan negara telah mampu membiayai hal-hal yang wajib dibelanjakan oleh negara, maka kewajiban warga untuk mengeluarkan pajak kepada pemerintah juga hilang. Namun yang menjadi wajib pajak disini adalah hanya pada orang-orang tertentu saja, yaitu orang-orang muslim yang tergolong kaya, dan tidak diwajibkan pada warga negara yang beragama non muslim, dan tidak pula pada warga negara muslim namun perekonomiannya tergolong menengah kebawah
Pajak Perdagangan Internasional (Bea Masuk)
Pajak ini adalah bentuk pembalasan terhadap negara asal wajib pajak, yang mengenakan bea cukai terhadap pedagang muslim dari warga negara Khilafah yang dikenakan bea masuk ke wilayah negara tersebut. Selama negara asing tersebut masih mengenakan bea masuk, maka negara Khilafah juga tetap memberlakukan tarif bea masuk yang besarnya sama dengan yang negara-negara asing tersebut berlakukan terhadap pedagang warga negara Khilafah
Pendapatan Tidak Tetap Lainnya
warga yang tidak memiliki ahli waris
harta yang berasal dari orang-orang murtad
khumus rikaz (1/5 barang temuan)
harta hasil denda dan harta hasil korupsi pejabat dan kecurangan lainnya
Dan lain sebagainya
B
E
L
A
N
J
A
N
E
G
A
R
A
B
E
L
A
N
J
A
T
E
T
A
P
N
E
G
A
R
A
Belanja Umum
Belanja-belanja yang menjadi kewajiban negara tersebut antara lain yang meliputi gaji pegawai negeri dan tentara, anggaran kantor-kantor pemerintah, santunan bagi para penguasa, belanja militer, belanja penyediaan barang, memperbanyak persediaan air, membangun jalan, mendirikan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, membangun masjid-masjid dan rumah sakit dan lain sebagainya
Belanja Khusus
Belanja khusus adalah belanja yang pos-pos pengeluaran dan pemasukan hartanya sudah ditetapkan oleh dalil-dalil syara’. Sehingga negara tidak memiliki hak untuk membelanjakannya pada pihak-pihak lain selain yang sudah ditetapkan oleh syara’. Belanja yang dimaksud adalah zakat. Harta zakat diambil oleh negara dari kepemilikan individu warga negaranya yang muslim, dan kemudian akan disalurkan pada delapan ashnaf, dan bukan pada yang lain. Harta zakat juga akan tetap ditarik dari warga negaranya walaupun delapan ashnaf tersebut sudah tidak ada lagi, sehingga harta tersebut akan tertahan sampai beberapa dari delapan ashnaf tersebut muncul kembali, dan harta tersebut akan diperuntukkan baginya
B
E
L
A
N
J
A
T
I
D
A
K
T
E
T
A
P
N
E
G
A
R
A
Misi utama negara Khilafah Islamiyah adalah dakwah, jihad dan ekspansi wilayah, namun misi tersebut tidak dapat dilakukan secara rutin dalam jangka waktu tertentu. Misi tersebut dilaksanakan tergantung kebijakan Khalifah memilih momen yang tepat, sehingga biaya untuk melaksanakan misi tersebut juga bersifat tidak tetap, dengan demikian pembiayaan belanjanya terkategori pada belanja yang tidak tetap. Belanja negara lainnya yang sifat pembelanjaannya tidak tetap adalah seperti penanggulangan bencana alam dan lain sebagainya