Oleh: Muhammad Baiquni Syihab
Latarbelakang Masalah
Pengadilan atas ‘Ali ‘Abdul Raziq di Mesir dilaksanakan pada tahun 1925. Pengadilan itu dilakukan oleh tokoh-tokoh alim ulama Al-Azhar di bawah pimpinan almarhum Muhammad Abul Fadhal Al-Jiwazi dalam rapat khusus dengan 24 anggota alim ulama, tanggal 22 Muharram 1344 H bertepatan dengan 12 Agustus 1925M.
‘Ali ‘Abdul Raziq tiba dan mengucapkan “Assalamu'alaikum”, tetapi tak seorangpun yang menjawab salamnya itu. Sesudah diadakan tanya jawab yang cukup lama, akhirnya rapat para alim ulama itu memutuskan, menghukum tertuduh (‘Ali Abdul Raziq) dengan mengeluarkannya dari barisan alim ulama Islam.
Sebagai tindak lanjut dari hukuman itu: (Rapat khusus para ulama ini) menghapus nama ‘Ali ‘Abdul Raziq dari daftar Universitas Al-Azhar Mesir dan lembaga-lembaga Islam lainnya, memecat dari semua jabatan, memutuskan gaji-gajinya dari tempat kerjanya dan menyatakan tidak layak untuk melakukan pekerjaan sebagai pegawai, baik agama maupun non agama.
Pemecatan ‘Ali ‘Abdul Raziq itu sesuai dengan undang-undang Al-Azhar tahun 1911, yang memberikan mandat kepada Hai'ah Kibaril 'Ulama (Badan Ulama Terkemuka) untuk mengeluarkan ulama yang tidak sesuai sifat kealimannya dari barisan ulama, dengan kesepakatan 19 kibaril 'ulama. Undang-undang itu baru sekali diterapkan yaitu untuk ‘Ali ‘Abdul Raziq yang kitabnya membentuk arus sekularisme.
Adapun alasan-alasan dijatuhkannya hukuman tersebut menyangkut isi buku al-Islam wa Ushulul Hukm (Islam dan dasar-dasar hukum) yang ’Ali ‘Abdul Raziq karang di antaranya:
’Ali menjadikan syari’at Islam sebagai syari’at rohani semata, tidak ada hubungannya dengan pemerintahan dan pelaksanaan hukum dalam urusan duniawi.
’Ali menganggap jihad Nabi saw itu untuk mencapai kerajaan. Zakat, jizyah, ghonimah dan lain-lain pun demi mencapai kerajaan juga, dengan demikian semua itu dianggap keluar dari batas-batas risalah Nabi saw, bukan peristiwa wahyu dan bukan perintah Allah SWT. Forum ulama membacakan ayat-ayat yang berkenaan dengan jihad fi sabilillah, ayat-ayat khusus zakat, cara pengaturan uang sedekah, pembagian ghonimah (harta rampasan perang).
Berkenaan dengan anggapannya bahwa tatanan hukum di zaman Nabi saw tidak jelas, meragukan, tidak stabil, tidak sempurna dan menimbulkan berbagai tanda tanya. Kemudian ia menetapkan bagi dirinya suatu madzhab, katanya: “Sebenarnya pewalian Muhammad saw atas segenap kaum mukminin itu ialah wilayah risalah, tidak bercampur sedikitpun dengan hukum pemerintahan.” Ini cara berbahaya yang ditempuhnya, melucuti Nabi saw dari hukum pemerintahan. Anggapan ’Ali itu bertentangan dengan ayat: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan (membawa) kebenaran, supaya engkau menghukum antara manusia dengan apa yang diperlihatkan (diturunkan) Allah kepadamu itu.” (QS An-Nisa’: 105).
’Ali menganggap tugas Nabi hanya menyampaikan syari’at lepas dari hukum pemerintahan dan pelaksanaannya. Kalau anggapannya itu benar, tentulah ini merupakan penolakannya terhadap semua ayat-ayat hukum pemerintahan yang banyak terdapat dalam Al-Qur’anul Karim dan bertentangan dengan Sunnah Rasul saw. yang jelas dan tegas.
Ia mengingkari kesepakatan (ijma’) para sahabat Rasulullah saw untuk mengangkat seorang Imam dan bahwa menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk mengangkat orang yang mampu mengurus permasalahan agama dan dunia.
Ia tidak mengakui kalau peradilan itu suatu tugas syari’at.
Ia beranggapan bahwa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq dan pemerintahan Khulafaur Rasyidin sesudahnya tidak agamis. Ini justru kelancangan ’Ali yang tidak agamis.
Hal-hal demikianlah yang pada akhirnya membuat Dhiya ’Uddin menerbitkan sebuah buku yang memiliki judul diatas untuk menyanggah buku yang diterbitkan atas nama ’Ali ’Abdul Raziq yang memiliki judul asli ”Islam wa Ushulul Hukm”.
Realitas Pendapat Dhiya ’Uddin terhadap ”Islam wa Ushulul Hukm”
Sebenarnya ’Ali ’Abdul Raziq hadir tampil sebagai sosok kontroversial di tengah-tengah semaraknya persekongkolan persekutuan Nasrani Barat berupaya mengenyahkan kekhilafahan Islam Turki, di tengah-tengah munculnya gelombang nasionalisme untuk menghapus bekas pengaruh Islam, menghapus Khilafah Islam dan menumpas gerakan pendukung Khilafah.
Di antara penganjur/pendukung nasionalisme modern di Mesir adalah Luthfi as-Sayyid (dari Partai Rakyat Hizb Ummah), Sa’ad Zaghlul (pemimpin dan pejuang Mesir yang berpengaruh/kharisma dari Partai Nasionalis Wafd) yang dengan gigih berupaya menghilangkan pengaruh Islam dari politik Mesir, dengan slogan “Agama untuk Tuhan dan negara untuk rakyat”. “Mesir adalah bagian Eropa, pewaris/pelanjut peradaban Laut Tengah/Mediteranian”
Kemal Attaturk, seorang pengagum berat nasionalisme yang setia, patuh menjalankan instruksi Perkumpulan Rahasia (Fremasonry) di Paris dan melaksanakan syarat-syarat Perjanjian Perdamaian Lausanne, Swiss, yang ditandatangani bulan Juli 1923 yang menghapuskan sistem kapitulasi (penguasaan daerah taklukan) di Turki, sehingga Turki melepaskan kedaulatannya atas negara-negara Arab, dan lenyapnya kekhilafahan Islam dan tumpasnya gerakan pendukung kekhilafahan.
Terwujudlah salah satu langkah yang diambil Barat Nasrani untuk menghancurkan, melenyapkan Timur Islam (setelah gagal dalam Perang Salib) adalah dengan berupaya melenyapkan, memusnahkan khilafah Islam, dengan anteknya Mustafa Kemal dan pendukung anteknya, ’Ali ’Abdul Raziq.
Menurut Dhiya, ’Ali jelas telah melanggar batas lantaran mengatakan bahwa Islam tidak memiliki kaitan dengan ─dan mempunyai ajaran tentang─ kekhilafahan, bahkan dikatakannya bahwa kekhilafahan itu bertentangan dengan ajaran Islam. ’Ali ’Abdul Raziq selalu berpandangan seperti ini, dan berikut sebagian pandangannya yang dikutip Dhiya dari bukunya ”Islam wa Ushulul Hukm” agar dengan demikian tidak ada seorangpun yang menuduh kita belebih-lebihan dalam mengomentarinya. Ia antara lain mengatakan: ”kekhilafahan selamanya menjadi petaka bagi Islam dan kaum muslimin, serta merupakan sumber kejahatan dan kerusakan”, dan ”kalau seandainya dalam kehidupan ini ada sesuatu yang mendorong manusia berlaku sewenang-wenang dan zhalim serta demikian mudah membangkitkan permusuhan dan pertentangan, maka sesuatu itu tidak lain adalah jabatan kekhilafahan”. Juga ia mengatakan: ”kenyataan sebenarnya adalah bahwa Islam itu terbebas dari ajaran kekhilafahan seperti yang selama ini dikenal oleh kaum muslimin”, dan ”kekhilafahan itu bukan tugas keagamaan dan juga tidak berkaitan dengan masalah peradilan maupun aspek lain yang berkenaan dengan masalah pemerintahan dan ketatanegaraan” ... ”sebagaimana halnya pula dengan masalah organisasi militer Islam, tatapraja dan pemerintahan daerah yang sama sekali tidak ada kaitannya sedikitpun dengan masalah agama”. Selanjutnya ’Ali ’Abdul Raziq juga mengatakan bahwa: ”dari apa yang telah saya kemukakan terdahulu, kiranya dapat menjadi pegangan pembaca bahwa apa yang selama ini dinyatakan sebagai kekhilafahan atau al-imamah al-’uzma bukanlah sesuatu yang dibangun atas pijakan ajaran agama maupun logika yang benar”.
’Ali ’Abdul Raziq mengatakan bahwa kekhilafahan itu bukan bagian dari ajaran Islam, malahan dikatakannya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam, sebab ”kekhilafahannya itu jahat, buruk, zalim, sewenang-wenang dan penindasan”, dan ”ia tidak berpijak pada ajaran Islam atau didasarkan atas logika yang sehat”, dan bahwasanya ”Islam terbebas dari semuanya itu”. Artinya, dengan demikian, kekhilafahan itu haram dan dosa. Karena itu ummat Islam wajib meruntuhkan dan memeranginya. Jadi, persoalannya adalah bukan lagi berkenaan dengan apakah ia merupakan bagian dari ajaran Islam yang hukumnya ja’iz, mubah atau baik untuk dilakukan, melainkan ’Ali ’Abdul Raziq telah mengatakan bahwa kekhilafahan itu haram, kedurhakaan dan kejahatan. Sedangkan perbedaan antara fardhu dan haram jelas amat besar. Selain itu, jihad dikatakannya sebagai tindakan yang tidak memiliki tujuan keagamaan yang bersifat mendasar, dan jihad Rasulullah saw. pun bukanlah merupakan bagian dari tugas kenabiannya.
Hal-hal diatas adalah apa yang dinyatakan ’Ali ’Abdul Raziq dalam bukunya Islam wa Ushulul Hukm, namun mengherankan dalam bukunya yang terakhir, ’Ali terlihat bergabung dan memegangi pandangan ulama salaf serta berpijak dengan sempurna pada asas syari’at. Secara akurat dan bisa dipercaya, ia mengemukakan pandangan-pandangan para ulama dalam bukunya itu seraya menyatakan bahwa ijma’ itu telah ditetapkan kebenarannya dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw., dan bahwasanya ijma’ ini merupakan argumentasi yang kuat. Sementara itu ijma’ para shahabat ditempatkannya sejajar dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits mutawatir (otentik). Selain itu ia mengemukakan dalil-dalil lain berupa nash-nash lantaran ia mengimani kebenarannya, dan bahwasanya kekhilafahan itu telah ditetapkan melalui ijma’. Dan demikian seterusnya, berupa ketetapan-ketetapan ulama tentang hal itu yang tidak menampakkan keraguan maupun pertentangan dengannya, artinya ia seakan-akan telah membantah dirinya sendiri.
Maha suci Allah yang telah memberikan petunjuk setelah adanya kesesatan, dan memperlihatkan bahwa pandangan-pandangan yang termuat dalam buku yang pertama hanyalah didorong oleh usia muda dan kurangnya pengetahuan. Selain daripada itu Dhiya ’uddin pun menganggap bahwa ’Ali ’Abdul Raziq bukanlah pengarang sebenarnya dari buku Islam wa Ushulul Hukm melainkan seorang orientalis misionaris asing yang diduga memiliki hubungan dengan ’Abdul Raziq.
Salah satu buktinya adalah bahwa pengarangnya selalu berbicara tentang ”kaum muslimin” seakan-akan ia (pengarangnya) tidak termasuk di kalangan ummat ini, sehingga ia menyebut mereka dengan menggunakan zhamir ghaib (kata ganti orang ketiga) dan tidak menggunakan ungkapan kalangan kita atau kalangan bagsa Arab, dan ungkapan lain seperti itu – seperti lazimnya ucapan seorang muslim. Contoh-contoh itu berserakan di sepanjang halaman buku itu. Seperti: ”kekhilafahan menurut istilah kaum muslimin” yang bila dipergunakan ungkapan Arab akan memberi kesan ”dan kekhilafahan menurut mereka”. ”agama menurut kaum muslimin”, ”tetapi mereka”, ”dan mereka berbeda pendapat”, ”dalam hal ini terdapat dua madzhab di kalangan kaum muslimin”, dan ”madzhab yang meluas di kalangan kaum muslimin”, ”mereka menduga dengan bergitu telah menerapkan istilah Islam”, dan seterusnya. Juga ”mereka berpandangan seperti itu, padahal wahyu telah terputus dari mereka”, ”kita tidak melihat seorang pengarangpun di antara mereka”, ”orang-orang muslim itu”, ”sesungguhnya kaum muslimin, apabila kita anggap mereka sebagai satu masyarakat, maka mereka bercerai-berai dengan sendirinya”, barangkali itulah yang paling sesuai dengan aspirasi kaum muslimin” – dan tidak mengatakan ”sesuai dengan aspirasi kami”, ”dan barangkali hal ini akan ganjil dalam pendengaran kaum muslimin”, ”dan anda akan melihat mereka seperti itu manakala anda kemukakan hal ini”, ”tidak pernah dipergunakan dalam istilah kaum muslimin”, dan seterusnya.
Sebagai akhir penutup – ungkapan Dhiya ’Uddin, ’Ali ’Abdul Raziq bukanlah orang yang dikenal sebagai seorang penulis yang terampil dan terlatih menulis dengan teknik semacam buku itu yang melancarkan fitnahan terhadap Islam, sejarah dan tokoh-tokohnya. Tidak pernah diketahui adanya buku atau artikel-artikel yang dituli oleh ’Ali sebelum buku ini yang mempergunakan metode dan pokok bahasan semacam dibukunya yang kotor ini, yaitu politik dan sejarahnya. Malahan yang ada sebelum ini hanyalah brosur-brosur kecil tentang bahasa atau ilmu bayan, dan semuanya itulah karyanya selama empat belas tahun sesudah lulus dari al-Azhar, dan setelah penerbitan bukunya ini ia tidak menghasilkan buku yang lain lagi sepanjang empat puluh tahun, baik yang berkenaan dengan pokok kajian serupa itu maupun topik yang lain. yang dihasilkan selama empat puluh tahun itu hanyalah sebuah brosur kecil lain berkenaan dengan fiqh yang sekedar membahas ijma’ belaka dan beberapa artikel kecil.
Landasan Normatif Khilafah
Kaum muslimin mengetahui bahwa khalifah pertama dalam sejarah Islam adalah Abu Bakar ra, akan tetapi mayoritas kaum muslimin saat ini, tidak mengetaui bahwa
Sultan ’Abdul Majid II adalah khalifah terakhir yang dimiliki oleh umat Islam,
pada masa lenyapnya Daulah Khilafah Islamiyyah akibat ulah Musthafa Kamal yang
menghancurkan sistem khilafah dan runtuhnya Dinasti ’Utsmaniyyah. Fenomena
ini terjadi pada tanggal 27 Rajab 1342 H.
Sultan ’Abdul Majid II adalah khalifah terakhir yang dimiliki oleh umat Islam,
pada masa lenyapnya Daulah Khilafah Islamiyyah akibat ulah Musthafa Kamal yang
menghancurkan sistem khilafah dan runtuhnya Dinasti ’Utsmaniyyah. Fenomena
ini terjadi pada tanggal 27 Rajab 1342 H.
Ketika membicarakan Khilafah dalil-dalil wajibnya Khilafah, Ad-Dumaiji ternyata menemukan enam macam dalil. Dalil pertama, Al-Qur`an: yaitu "Hai orang-orang yang berfirman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu." (QS An-Nisa: 59), QS Al-Ma`idah: 48-49, QS Al Hadid: 25, dan ayat-ayat hudud, qishash, zakat, dan lain-lain yang pelaksanaannya dibebankan kepada khalifah.
Dalil kedua, As-Sunnah, baik sunnah qauliyah maupun sunnah fi’liyah. Seperti: Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya tidak ada Nabi setelah aku, dan akan ada
para khalifah, dan banyak (jumlahnya)”. Para sahabat bertanya, ”Apa yang engkau
perintahkan kepada kami?” Nabi SAW menjawab, ”penuhilah bai'at yang pertama, dan
yang pertama. Dan Allah akan bertanya kepada mereka apa-apa yang mereka pimpin”.
(HR. Muslim). Rasulullah SAW juga bersabda: ”Jika kalian menyaksikan seorang khalifah, hendaklah kalian taat, walaupun (ia) memukul punggungmu. Sesungguhnya jika tidak ada khalifah, maka akan terjadi kekacauan” (HR. Thabrani).
para khalifah, dan banyak (jumlahnya)”. Para sahabat bertanya, ”Apa yang engkau
perintahkan kepada kami?” Nabi SAW menjawab, ”penuhilah bai'at yang pertama, dan
yang pertama. Dan Allah akan bertanya kepada mereka apa-apa yang mereka pimpin”.
(HR. Muslim). Rasulullah SAW juga bersabda: ”Jika kalian menyaksikan seorang khalifah, hendaklah kalian taat, walaupun (ia) memukul punggungmu. Sesungguhnya jika tidak ada khalifah, maka akan terjadi kekacauan” (HR. Thabrani).
Dalil ketiga, Ijma’ Shahabat setelah wafatnya Rasul dan menjelang wafatnya ’Umar. Bersegera membai’at Khalifah ketika kekhilafahan kosong adalah para sahabat yang bersegera pergi untuk urusan itu di Saqifah Bani Sa’idah setelah wafatnya Rasul SAW pada hari yang sama, sebelum Rasul SAW dikebumikan dan pada hari itu juga bai’at pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah dilakukan. kemudian batas masa 3 hari 3 malam ketika Khalifah ’Umar saat beliau merasa hampir tiba ajalnya akibat ditikam pisau, beliau menunjuk ahlus syura dan memberi tempo masa seperti diatas, kemudian berwasiat kepada mereka apabila dalam jangka masa tersebut terlewati tanpa kesepakatan mengangkat seorang khalifah, maka hendaknya orang yang tidak dalam kesepakatan dibunuh setelah hari ketiga. Hal ini diketahui oleh ahlus syura dan para sahabat terkemuka (Contoh; ’Ali bin Abu Thalib dan ’Utsman) namun mereka tidak menyangkal hal tersebut. Ini termasuk dalil Ijma’ Shahabat.
Dalil keempat, kaidah syar’iyah berbunyi maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib (suatu kewajiban yang tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya). Menegakkan syariah secara total (sebagai suatu kewajiban) tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya Khilafah, maka Khilafah wajib hukumnya.
Dalil kelima, kaidah dharar, yaitu hadits laa dharara wa laa dhiraara (tidak boleh menimbulkan kemudharatan pada diri sendiri maupun orang lain). Bahwa tanpa Khilafah, umat berada dalam kemudharatan, maka Khilafah wajib ada untuk menghilangkan kemudharatan.
Dalil keenam, bahwa khilafah termasuk perkara yang dituntut oleh fitrah dan adat manusia (Ad-Dumaiji, al-Imamah Al-‘Uzhma, hal. 49-64).
Implementasi Khilafah Islam
Sistem pemerintahan Islam tidak sama dengan semua jenis sistem pemerintahan di dunia ini. Pemerintahan Islam Bukan Monarki (Monarchi), Bukan Republik, Bukan Kekaisaran (Empayer), melainkan kekhilafahan yang memiliki ciri sebagai berikut:
Kedaulatan ditangan syara’ (As siyadah lis syar’i). Pertama, menjadikan pengendalian dan penguasa adalah hukum syara’. Kedua, mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum syara’ tanpa membedakan penguasa (khalifah) maupun rakyat (umat). Ketiga, ketaatan kepada khalifah terikat dengan ketentuan hukum syara’, bukannya ketaatan secara mutlak, Tidak pada perkara kemaksiatan. Keempat, wajib mengembalikan masalah kepada hukum syara’ apabila berlaku perselisihan antara umat dengan khalifah. Kelima, adanya institusi yang bertugas untuk menghilangkan penyimpangan terhadap hukum syara’ yaitu mahkamah mazhalim. Keenam, mengangkat senjata untuk mengambil alih kekuasaan apabila khalifah menyimpang dari hukum syara’, maka mengangkat senjata tidak dihukumi sebagai tindakan pembangkang.
Kekuasaan Ditangan umat (as-sulthan lil ummat). Pertama, tiada kekuasaan yang diperolehi oleh seorang muslim kecuali diberikan oleh umat, dengan cara bai’at. Oleh karena itu hukum fardhu kifayah untuk mengangkat khalifah dan hukum fardhu ’ain untuk mentaati khalifah. Kedua, umat mempunyai hak untuk mengangkat khalifah dengan rido, seperti Muawiyah yang mulanya mengambil dengan paksa dari khalifah ’Ali bin Abu thalib. Ketiga, Pemerintahan Islam tidak berbentuk kerajaan yang diperoleh dengan warisan, melainkan dengan baiat. Keempat, meskipun umat berhak mengangkat penguasa namun kedudukannya bukan sebagai mustajir (majikan) dan khalifah bukan sebagai ajir (buruh), tidak seperti sistem demokrasi, rakyat (majikan) memilih/mengangkat pemimpin (buruh), rakyat pembuat undang-undang dan pemimpin melaksanakan undang-undang tersebut. Kelima, umat berhak melakukan koreksi kepada khalifah, meskipun tidak mempunyai hak untuk melucuti jabatan khalifah.
Pengangkatan satu khalifah untuk seluruh muslimin hukumnya wajib (wujub nashbi al-khalifah al-wahid li al-muslimin). Pertama, Khalifah Islam wajib hanya ada satu, tidak boleh ada lebih dari satu khalifah dalam satu zaman, seperti pada zaman Abbasiyah merupakan suatu kesalahan yang tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum syara’. Kedua, bentuk negara kekhalifahan Islam adalah berbentuk kesatuan. Hanya dibenarkan ada satu ketua negara (khalifah), satu undang-undang dan hanya satu negara. Ketiga, sistem pemerintahan khilafah islam mengikuti sistem pusat. Pemerintahan merupakan kekuasaan khalifah dan kekuasaan dalam satu negara adalah tunggal. Dalam dunia ini hanya ada satu negara Islam saja. Keempat, Khilafah adalah negara. Ahli politik barat mendefisikan negara adalah kumpulan daripada wilayah, rakyat dan pemerintahan. Islam menggambarkan negara sebagai kekuasaan karena wilayah islam sentiasa berkembang.
Khalifah mempunyai hak untuk mengambil dan menetapkan hukum syara’ untuk menjadikannya sebagai undang-undang (li al-Khalifah wahdah haq at-tabanni). Pertama, mengambil dan menetapkan hukum harus terikat dengan hukum syara’. Hanya menggunakan Al-Quran, Al-hadis, Ijma’ sahabat dan Qiyash sebagai landasannya. Kedua, untuk menghilangkan perselisihan ditengah masyarakat. Ketiga, kepimpinan secara tunggal, tiada lembaga lain yang setanding kekuasaannya dengan khalifah. Keempat, tiada hak membuat undang-undang kecuali khalifah. Termasuk majlis umat tidak memiliki hak membuat undang-undang dan juga tidak ada lembaga legislatif didalam khilafah. Tiada konsep pemisahan kekuasaan seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. Hanya khalifah saja yang memiliki hak untuk itu. Wallahu a’lam bis shawab.
Kesimpulan
Pembahasan diatas menunjukkan kebenaran fakta tentang buku yang dibedah/diresume ini, yaitu yang dikarang oleh Dhiya ’Uddin ini bahwa beliau menyatakan apa-apa saja yang dikatakan oleh ’Abdul Raziq dituangkan dalam bukunya ini, Islam dan Khilafah.
Adapun untuk jawaban dari rumusan yang tersusun dalam bagian awal makalah ini adalah, Khilafah tidaklah seperti apa yang dikatakan oleh ’Ali sebagai sesuatu yang tidak memiliki hubungannya dengan Islam, bahkan kebalikan dari itu semua bahwa Khilafah merupakan sesuatu yang inheren dengan Islam itu sendiri, sehingga tidak akan ada kemulian Islam tanpa Syari’ah, dan tidak akan ada Syari’ah tnapa Khilafah yang menjaganya.
Daftar Pustaka
Anonim, Bunga Rampai Syariat Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, Tanpa Tempat, 2002.
Baltaji, Muhammad, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, terj., Khalifa, Jakarta, 2005.
Khalil, ’Atha bin, Ushul Fiqh: Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis, terj. Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2008.
Rais, Dhiya’ ad-Din, Islam dan Khilafah; Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam ’Ali ’Abdul Razik, Terj.,
Tahrir, Hizbut, Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi), HTI-Press, Jakarta, 2006.
Zallum, Abdul Qadim, Sistem Pemerintahan Islam, terj., al-Izzah, Jawa Timur, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar