Selasa, 19 Januari 2010

BAZNAS MELUNCURKAN PROGRAM GERAKAN KELUARGA CINTA ZAKAT (Analisis Media: Surat Kabar Harian REPUBLIKA, Selasa 30 Juni 2009)

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab



Pedahuluan
Zakat merupakan salah satu rukun Islam dan salah satu kewajiban yang sudah masyhur keberadaannya dalam Islam. Zakat diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal pada tahun II Hijriyah, setelah diwajibkannya puasa Ramadhan dan zakat fitrah. Kewajiban zakat wajib berdasarkan Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma’ Shahabat.


“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (QS. Al Baqarah : 110)
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. At Taubah : 103)  

“Islam dibangun di atas lima perkara :  syahadat bahwa tidak ada tuhan selan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi  SAW pernah mengutus Mu’adz keYaman dan beliau berpesan kepada Mu’adz, ”… beritahukanlah mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka.” (HR. Jama’ah dari Ibnu Abbas, Lihat Nailul Authar, Asy Syaukani, Juz IV, hal. 114)  

Ijma’ shahabat juga menyepakati kewajiban zakat. Para shahabat bersepakat memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat karena zakat hukumnya wajib, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq dan para shahabat.

Orang yang tidak mau membayar zakat tergolong telah melakukan dosa besar. Bahkan, seseorang  yang tak mau menunaikan zakat itu karena menolak kewajiban zakat dianggap telah murtad dan diperlakukan sebagai orang murtad. Dia akan diminta bertaubat dalam jangka waktu 3 (tiga) hari. Jika dalam jangka waktu itu dia bertaubat, zakat diambil darinya, dan tidak dijatuhkan sanksi apa pun atasnya. Jika dia tetap menolak kewajiban zakat setelah jangka waktu tersebut, dia dijatuhi hukuman mati. Inilah yang dijadikan alasan bagi para shahabat memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Untuk itu, negara akan memaksa seseorang yang tidak mau membayar zakat sementara dia meyakini kewajibannya. Negara akan memerangi mereka sebagai orang-orang pembangkang (bughat).

Hukum ini berbeda berkenaan dengan seseorang yang menolak membayar zakat karena dia tidak tahu adanya kewajiban zakat. Perlakuan kepadanya adalah memberitahukan kewajiban zakat dan tidak dikafirkan serta tidak dijatuhi sanksi berupa ta’zir (sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh qadhi/hakim). Sebab, ketidaktahuannya itu merupakan udzur syariah. Setelah dia mengetahuinya, zakat akan diambil darinya.


Pembahasan
“Digagas, Gerakan Keluarga Cinta Zakat”, demikian kalimat yang tertulis pada judul berita ini. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Panasonic Gobel Indonesia lah yang menggagas dan meluncurkan program tersebut. Anggota Badan pelaksana Baznas, Muzaffar Daud, menuturkan bahwa gerakan keluarga cinta zakat yang digulirkan kedua belah pihak tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan peran UPZ (Unit Pelayanan Zakat) dalam penghimpunan zakat, infaq dan sedekah (ZIS) di lingkungan Panasonic Gobel.

Tampak ada unsur penyelewengan maksud sebenarnya dari tujuan awal untuk apa program gerakan ini diluncurkan. Mengingat atas apa yang disampaikan Achmad Daniri (ketua UPZ Matsushita Gobel Foundation), yang menyambut baik sinergi antara zakat dan pajak tersebut dengan mengatakan “semoga dengan bekerjasama dengan Baznas dan mendapatkan kemudahan pengurangan nilai pajak, para muzakki di keluarga besar Panasonic Gobel akan semakin terpacu, untuk meningkatkan pengumpulan dana ZIS”. Penyelewengan tersebut adalah bahwa tujuan awal dari penggagasan program ini adalah untuk mengurangi pendapatan kena pajak, namun untuk menghindari dari manipulasi laporan keuangan, maka zakat menjadi solusinya. Jadi, yang menjadi sasaran tembak awal adalah untuk mengurangi nilai pendapatan kena pajak, baru kemudian nilai spiritual (zakat) mengiringinya. Bukan sebagaimana yang terdengar, yaitu mengoptimalkan peran UPZ. Karena sebenarnya, pengoptimalan peran UPZ hanyalah efek yang diangkat menjadi tujuan utama, agar tampak lebih berjiwa sosial. Semua kecurigaan ini muncul tidak lain karena pandangan bahwa keadaan masyarakat saat ini yang pragmatis yang selalu mengedepankan asas manfaat, yang tidak lagi sebagaimana keadaan masyarakat pada abad-abad pertama agama ini ada di muka bumi.
 
Asas manfaat yang menjangkiti fikiran masyarakat saat ini, tidak lain karena sistem politik yang menaungi negara ini memang muncul dari peradaban barat, yang tentu saja hanya cocok hidup di Barat. Karena sistem politik lah yang menaungi sistem-sistem kehidupan lainnya, seperti sistem ekonominya, sistem pendidikannya, sistem pidananya, sistem sosialnya, sehingga pola pikir masyarakat umum akan terbentuk sesuai dengan sistem politik negaranya.

Jika, sistem politik yang menaungi negara ini adalah sistem politik yang berdasarkan wahyu, sebagaimana yang pernah ada pada masa Nabi hingga beberapa puluh tahun lalu, tentu usaha-usaha individual maupun kelompok untuk meningkatkan penggalangan dana ZIS tidak akan diperlukan, karena semuanya akan dilaksanakan oleh negara, yang sifatnya memaksa, bukan sukarela. Sistem pendidikannya akan menanamkan keimanan untuk taat pada kewajiban zakat, sistem ekonominya akan membuat orang tidak masalah apabila mengeluarkan zakat, sistem pidananya akan membuat orang jera untuk melakukan kecurangan dalam pembayaran zakat, sistem sosialnya akan membuat merasa malu apabila tidak membayar zakat, dan lain sebagainya.

Tentu saja ini bukan sekedar hayalan, sebab hal ini pernah terjadi pada masa dua Umar (Umar ibn Khattab dan cucunya, Umar ibn Abdul Aziz). Bahkan dalam masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz, masyarakat telah demikian makmur sehingga tak ada lagi orang-orang fakir yang berhak mendapat zakat. Yahya bin Sa’id, seorang petugas amil zakat pada masa Umar ibn Abdul Aziz, menuturkan, ”Khalifah Umar ibn Abdul Aziz telah mengutusku untuk mengumpulkan zakat orang Afrika. Lalu aku menariknya dan aku minta dikumpulkan  orang-orang fakirnya untuk kuberi zakat. Tapi ternyata tidak ada seorang pun dari kalangan itu yang mengambilnya. Sesungguhnya Umar ibn Abdul Aziz telah membuat orang-orang berkecukupan. Akhirnya harta zakat itu kupergunakan untuk membeli budak-budak belian, lalu kumerdekakan.”. demikianlah apabila yang diterapkan adalah sistem politik Islam yaitu keKhilafahan, dan bukan demokrasi.

Dilain pihak, penerapan zakat saat ini pun telah menyalahi aturan sebenarnya, yang itu disebabkan karena mulai bangkitnya kembali semangat keislaman masyarakat muslim saat ini, namun dengan rendah dan lemahnya pemahaman mereka tentang agama mereka. Setidaknya ada dua macam kesalahan yang sering diterapkan, yaitu zakat profesi dan zakat berkaitan dengan pajak.

Pada zakat profesi yang menjadi kesalahan adalah karena dalam zakat profesi tidak terpenuhi syarat-syarat yang menjadikan harta itu wajib dizakati. Yaitu syarat bahwa harta tersebut terpenuhi nishab (jumlah) dan haul (jangka waktu)nya. Zakat profesi adalah zakat yang diterapkan pada gaji bulanan, jelas ini kekeliruan fatal, sebab harta yang wajib dizakati adalah harta yang tersimpan/tersisa/tertabung, bukan harta yang masih dalam hitungan konsumsi. Harta yang wajib dizakati juga adalah harta yang tersimpan selama satu tahun atau lebih, bukan hitungan bulanan sebagaimana yang diterapkan pada gaji PNS selama ini.

Pada masalah kedua, yaitu berkaitan dengan pajak. Sebenarnya pajak dan zakat adalah dua hal yang berbeda, maka tidak dapat satu sama lain saling mempengaruhi dan saling mengurangi jumlahnya sebagaimana praktik saat ini. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah karakteristik dari keduanya (pajak dan zakat) yang lemah pemahaman tentang keduanya akan berlanjut pada kesalahan dalam praktiknya. Pajak dan zakat adalah wajib, tetapi wajibnya tidak sama dalam penerapannya. Zakat diwajibkan hanya untuk kaum muslim kaya saja, demikian juga pajak hanyalah berlaku bagi kaum muslimin yang kaya. Zakat ditarik setiap tahun, sedangkan pajak ditarik temporal, yaitu pada saat-saat dibutuhkan saja, yaitu suatu keadaan dimana kas negara tidak terdapat harta, sedangkan kebutuhan negara saat itu wajib untuk direalisasikan dan mendesak, misalnya keperluan untuk dakwah dengan jihad baik ofensif maupun defensif.


Kesimpulan
Semangat keislaman saat ini mulai tumbuh kembali, baik individual maupun kelembagaan, dari perbankan, asuransi, pegadaian hingga rumah zakat. Namun perlu pemahaman yang tidak sedikit untuk berpraktek secara benar menurut syar’i. diperlukan pemahaman fiqh yang mendalam juga harus disertai kemampuan secara politik untuk memahami sebab akibat jangka pendek dan panjang dari sebuah permasalahan. Allhua’lam bishshowab.

Tidak ada komentar: