Minggu, 13 Juli 2025

ANALISIS SYARIAH PRODUK PASAR MODAL SYARIAH: SAHAM SYARIAH DAN SUKUK

 Oleh: Muhammad Baiquni Syihab

A.    Pendahuluan

Pasar Modal adalah salah satu dari lembaga keuangan terpokok yang membuat uang dalam skala besar dapat terus berputar dalam perekonomian nasional. Analogi urgensitas pasar modal ini seperti darah yang mengalir dalam tubuh manusia. Tanpa pasar modal dan juga lembaga pendukungnya yaitu perbankan, uang tidak akan mudah berputar lancar, karena produksi barang akan turun disebabkan perusahaan tidak mendapatkan pasokan uang (modal) dengan mudah dari pengumpulnya, yaitu bank dan pasar modal. Namun, konsep perputaran uang seperti ini tentu saja baru ada dalam konsep negara bangsa (Muhith, 2012).

 

Pasar modal sebagai lembaga keuangan tidak dikenal di dalam Islam dan sejarah peradaban Islam. Lembaga pasar modal justru lebih dekat keberadaannya dengan peradaban barat. Khususnya di Indonesia pasar modal lahir di era kolonial penjajah Belanda dengan VOC sebagai perusahaan dagangnya (Rorizki et al., 2022). Sedangkan keberadaan pasar modal syariah memang nyatanya muncul karena tuntutan pasar, bukan tuntutan dari hukum di sebuah sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sebagai contoh yaitu Bank Muamalat Indonesia, yang memerlukan izin yang tidak mudah dalam pendiriannya ketika mengawali kemunculannya sebagai perbankan syariah di Indonesia (Muhith, 2012). Dengan demikian ini menguatkan bahwa keberadaan lembaga keuangan syariah lebih dulu ada daripada regulasinya, yang berarti bahwa keinginan pasar menjadi sebab keberadaan sebuah lembaga keuangan, dan bukan regulasi yang menjadi sebab keberadaan lembaga keuangan. Maka demikian pula pasar modal syariah sebagai sub lembaga dari pasar modal konvensional, yaitu berdiri disebabkan karena tuntutan pasar.

Disebabkan karena pasar modal syariah adalah lembaga rekonstruksi dari induknya, yaitu pasar modal konvensional. Maka produk-produk jasa keuangan dari lembaga ini disinyalir juga hasil rekonstruksi dari produk-produk jasa keuangan konvensional. Demikianlah yang menjadi latar belakang penelitian ini, yaitu menganalisis secara fiqih akan produk-produk jasa keuangan di pasar modal syariah tersebut yaitu saham syariah dan sukuk. Adapun penelitian sebelumnya tidak pernah menyinggung pasar modal dari sisi produknya, melainkan hanya sebatas rasio keuangan saham syariah (Prasetyo, 2017), sebatas telaah yuridis sukuk (Farah et al., 2019), sebatas peran sukuk terhadap pertumbuhan ekonomi (Latifah, 2020) dan yang semisalnya. Oleh karena itu penelitian ini begitu urgen untuk diperdalam demi urgensitas dan konsekwensi istilah syariah yang dipakai oleh lembaga-lembaga keuangan..

 

B.     TELAAH LITERATUR

Pasar modal menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang dengan jangka waktu lebih dari satu tahun, seperti saham, surat utang (obligasi), reksa dana, dan berbagai instrumen derivatif dari efek atau surat berharga.

Pasar modal syariah (OJK) dapat diartikan sebagai kegiatan dalam pasar modal sebagaimana yang diatur dalam undang-undang pasar modal yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Oleh karena itu, pasar modal syariah bukanlah suatu sistem yang terpisah dari sistem pasar modal secara keseluruhan. Secara umum kegiatan Pasar Modal Syariah tidak memiliki perbedaan dengan pasar modal konvensional, namun terdapat beberapa karakteristik khusus Pasar Modal Syariah yaitu bahwa produk dan mekanisme transaksi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

Saham syariah adalah saham sebagaimana umumnya menurut OJK, yaitu surat berharga bukti penyertaan modal kepada perusahaan dan dengan bukti penyertaan. Pemegang saham berhak untuk mendapatkan bagian hasil dari usaha perusahaan tersebut (deviden). Menurut OJK Konsep penyertaan modal dengan hak bagian hasil usaha ini merupakan konsep yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, sebab prinsip syariah mengenal konsep ini sebagai kegiatan musyarakah atau syirkah. Maka berdasarkan analogi tersebut, secara konsep saham merupakan efek yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Namun demikian tidak semua saham yang diterbitkan oleh Emiten dan Perusahaan Publik dapat disebut sebagai saham syariah, kecuali memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan.

Sukuk adalah istilah yang dikenalkan sebagai pengganti dari istilah obligasi syariah (islamic bonds). Sukuk adalah bentuk jamak dari kata "sakk" dalam bahasa Arab yang berarti sertifikat.

Sukuk memiliki karakteristik yang berbeda dengan obligasi. Sukuk bukan merupakan surat utang, melainkan bukti kepemilikan bersama atas suatu aset/proyek. Setiap sukuk yang diterbitkan harus mempunyai aset yang dijadikan dasar penerbitan (underlying asset ). Klaim kepemilikan pada sukuk didasarkan pada aset/proyek yang spesifik. Penggunaan dana sukuk pun harus digunakan untuk kegiatan usaha yang halal. Adapun Imbalan bagi pemegang sukuk dapat berupa imbalan, bagi hasil, atau marjin, sesuai dengan jenis akad yang digunakan dalam penerbitan sukuk.

 

C.    METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data kualitatif merupakan sumber dari deskripsi yang luas dan berlandaskan kokoh, serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup setempat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu untuk memahami lebih mendalam mengenai kesyariahan produk-produk jasa keuangan pada pasar modal syariah.

Langkah analisis yang dilakukan yaitu memahami fakta, teori dan regulasi produk pasar modal berupa instrument keuangan berbentuk saham syariah dan sukuk. Fakta akan instrument keuangan tersebut berdasar regulasi Otorits Jasa Keuangan, Bapepam dan fatwa DSN MUI tentang saham syariah dan sukuk, kemudian dianalisis dengan fiqih sebagai kajian hukum Islam.

 

D.    HASIL DAN PEMBAHASAN

1.      PASAR MODAL SYARIAH

Pasar modal sebagaimana pasar pada umumnya, yaitu didalamnya terdapat transaksi jual beli. Hanya saja objek transaksi jual beli dalam pasar modal adalah surat-surat berharga, seperti surat tanda bukti penyertaan investasi (saham) dan surat tanda bukti hutang-piutang (obligasi), atau unit penyertaan reksadana yang bisa jadi gabungan dari saham dan obligasi (Sulviani et al., 2022).

Sedikit berbeda dengan pasar modal konvensional, objek transaksi di pasar modal syariah adalah instrument keuangan syariah (saham syariah dan sukuk) yang merupakan surat berharga hasil transformasi dari saham dan obligasi.

Saham, saham syariah, obligasi dan sukuk sama-sama dapat diperjualbelikan di pasar primer dan pasar sekunder. Jual beli di pasar primer adalah jual beli antara lembaga penerbit dengan investor, sedangkan jual beli di pasar sekunder adalah jual beli antara investor dengan investor lainnya untuk mendapatkan capital gain atau capital loss, yaitu selisih harga jual dan harga beli.

 

a.      Analisis Saham Syariah

Saham syariah adalah saham yang diterbitkan oleh perusahaan (emiten) yang masuk dalam Daftar Efek Syariah (DES), DES sendiri diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK menerbitkan DES secara periodik yaitu 2 kali dalam setahun (Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2015). menurut fatwa DSN MUI, penerbitan dan pengalihan Saham Syirkah Musahamah (Perseroan Terbatas) dalam pasar sekunder boleh dilakukan.

Adapun sebuah emiten penerbit efek dibolehkan masuk dalam DES jika memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

1)      Kegiatan usaha utama perusahaan tidak bertentangan dengan prinsip syariah, misalnya memproduksi atau mendistribusi barang yang secara zatnya haram, jasa keuangan ribawi, jual beli resiko (asuransi konvensional), dsb.

2)      Memenuhi rasio keuangan dengan total hutang berbasis bunga dibandingkan total aset tidak lebih dari 45%

3)      Memenuhi Rasio keuangan dengan total pendapatan bunga dan total pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan total pendapatan usaha dan total pendapatan lainnya tidak lebih dari 10%.

Demikian kriteria saham yang terkategori syariah menurut lembaga yang legal di negeri ini, namun aturan-aturan diatas menunjukkan bahwa saham syariah sejatinya tidak syariah, dan masih mentolelir kepemilikan harta dengan jalan haram. Regulasi diatas juga termuat dalam penelitian sebelumnya (Prasetyo, 2017).

Emiten masih dianggap syar’i selama pendapatan haramnya tidak melebihi angka 10%. Juga hartanya yang berasal dari hutang ribawi tidak lebih dari 45% dari keseluruhan harta yang ada di perusahaannya. Artinya menghutang dengan jalan haram sebenarnya masih diperbolehkan menurut lembaga pemerintah yang mengatur pasar modal ini. Mungkin aturan ini adalah proses menuju syar’i yang 100%, namun kami tidak yakin dengan anggapan tersebut oleh karena aturan ini adalah perubahan dari aturan sebelumnya yang nyatanya justru semakin longgar dalam menyeleksi emiten yang dianggap syariah.

Pada aturan sebelumnya, terkait rasio hutang tersebut adalah total hutang berbasis bunga dibandingkan total ekuitas (modal) tidak lebih dari 82%. Peraturan ini secara persentase telihat memang mengecil dari 82% menjadi 45%, jadi seolah tampak aturan emiten untuk menjadi emiten syariah menjadi semakin ketat. Namun pembandingnya (pembaginya) ternyata berubah, dari total modal menjadi todal aset, tentu saja rasio ini justru semakin melonggarkan aturan kesyariahannya.

Kita berikan contoh sebagai berikut:

Tabel 1.

Ilustrasi neraca perusahaan

 

PT. XYZ

neraca

AKTIVA

PASIVA

Harta

Utang

Kas

20 juta

     Utang gaji

10 juta

Barang dagang

90 juta

     Utang Dagang

15 juta

Piutang

20 juta

  Utang Jangka Panjang

Aset Tetap

     Utang Hipotik

45 juta

Gedung

40 juta

     Utang Obligasi

50 juta

Tanah

40 juta

Modal

Mobil

20 juta

     Saham dan Laba

110 juta

Total

230 juta

Total

230 juta

 

Dari contoh satu laporan keuangan neraca diatas, jika menggunakan aturan saham syariah yang baru maka rasio hutang berbasis bunga dibanding total aset berjumlah 41,3%.[1] Sedangkan jika menggunakan aturan yang lama yaitu rasio hutang berbasis bunga dibanding total modal akan berjumlah 86,3%.

Terlihat bahwa jika menggunakan aturan saham syariah yang baru maka perusahaan diatas dapat masuk dalam perusahaan yang boleh menerbitkan saham syariah karena rasionya dibawah 45%, sebab dengan aturan yang lama perusahaan tersebut tidak bisa masuk dalam kategori emiten syariah karena rasionya masih diatas 82%. Oleh karena itu terlihat bahwa aturan pasar modal syariah sebagai screening emiten yang syar’i justru mengalami kemunduran dan pelonggaran aturan.

Lebih jauh bahwa fatwa kesyariahan selama ini tidak pernah menyentuh bahwa jual beli saham akan terkait dengan hukum syirkah (perseroan), sedangkan PT merupakan bentuk perseoran yang tidak memenuhi rukun syirkah dengan lengkap menurut Islam. sedangkan telah diketahui bahwa mayoritas emiten di pasar modal konvensional dan syariah adalah berbentuk Perseroan Terbatas (Sinaga, 2018) (Supriyatin Ukilah dan Nina, 2020) (Kurniawan, 2014).

Ketidakislamian Perseroan Terbatas setidaknya dapat kita nilai dengan indikasi berikut:

1)      Tidak memiliki pengelola

Rukun dalam perseroan (syirkah) Islam adalah aqidain, yaitu 2 pihak yang berakad. Wujud 2 pihak yang berakad tersebut adalah pengelola dan pemodal/investor. Kompensasi bagi keduanya adalah persentase bagi hasil yang telah ditetapkan oleh mereka diawal perjanjian. Jadi keuntungan dibagi bersama diantara mereka, sedangkan kerugian hanya ditanggung oleh investor sebagai pemodal.

Kompensasi bagi hasil tentu saja berbeda dengan kompensasi berupa gaji atau upah. Besaran bagi hasil berubah sesuai dengan berubahnya keuntungan yang didapat, sedangkan besaran upah bersifat tetap dan tidak terpengaruh oleh naik turunnya keuntungan yang didapat sebuah bisnis. Prihal gaji ini tidak ubahnya seperti biaya listrik dan biaya-biaya operasional perusahaan lainnya yang tidak berubah mengikuti hasil penjualan perusahaan.

Pada pasal 1 ayat 1 UU. No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa PT adalah persekutuan pemodal/modal (baca: bukan persekutuan pemodal dan pengelola). Kemudian dalam pasal 96 ayat 1 dan pasal 113 UU. No. 40 tahun 2007 menguatkan, bahwa yang disebut persero dalam perseroan terbatas hanya pemodal saja. Sebab dalam pasal-pasal diatas menegaskan bahwa direktur dan dewan komisaris bukan persero dalam perseroan terbatas. Oleh sebab kompensasi yang diterima oleh direktur dan dewan komisaris adalah gaji/upah yang ditetapkan dalam Rapat Umum para Pemegang Saham (Pemodal). Dengan demikian tidak ada pengelola yang syar’i didalam PT.

Demikian kesimpulan yang penulis dapat berdasarkan apa-apa yang telah diutarakan, juga berdasarkan pengetahuan dari peneliti lain terkait saham ini sepert choirunnisa (Choirunnisak, 2019) dam Rizki dan Adib (Rizki Fauzi, Ahmad Adib Nasution, 2022) dan lain sebagainya.

2)      Tidak terdapat akad

Akad dalam setiap muamalah diwujudkan dengan ijab qabul. Oleh karena itu Akad dalam perusahaan Islam adalah keharusan, dalam arti bahwa seseorang tidak boleh turut menjadi bagian sebuah perusahaan kecuali bila telah disetujui oleh seluruh orang (persero) yang terdapat didalam perseroan tersebut, dan tanpa ada persetujuan oleh seluruh persero maka perseroan tersebut tidak dapat dan tidak boleh dijalankan. Sehingga pilihannya hanya dua, yaitu pihak yang tidak disetujui tersebut tidak turut bergabung didalamnya, atau pihak yang tidak menyetujui keluar dari tubuh perseroan.

Demikanlah kedudukan akad di dalam perusahaan Islam, yaitu menjadikan setiap individu persero diperhitungkan kepala per kepalanya tanpa melihat seberapa besar kontribusi dana dari masing-masing kepala tersebut. Hal yang demikian itu tentu tidak terdapat dan tidak terjadi dalam sistem perusahaan dengan bentuk Perseroan Terbatas. Selain itu, bahwa di dalam PT jumlah pemodalnya berjumlah ratusan hingga ribuan pemegang saham, lalu bila demikian bagaimana mungkin orang baru yang ingin bergabung kedalam perusahaan tersebut bisa mendapat persetujuan dan izin dari setiap pemegang saham yang jumlahnya ribuan tersebut? Tentu menjadi sebuah kesukaran yang luar biasa bila tidak ingin dianggap mustahil.

Dengan demikian berdasarkan kriteria saham beserta emitennya diatas dapat penulis simpulkan, bahwa saham dengan label syariah pada dasarnya tidak syariah secara penuh.

 

b.      Analisis Sukuk Ritel

Sukuk adalah istilah pengganti dari istilah Obligasi Syariah (islamic bonds), dan menurut AAOIFI sukuk adalah sertifikat bernilai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dapat dibagikan atas suatu aset, hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu.

Sukuk juga sering didefinisikan sebagai bukti kepemilikan proporsional didalam bagian yang tidak terbagi atas aset itu, sehingga pemegang sukuk memiliki seluruh hak dan kewajiban atas aset tersebut.Maka sukuk diklaim bukan sebagai surat utang, melainkan bukti kepemilikan bersama atas suatu aset/proyek, karena setiap sukuk yang diterbitkan akan mempunyai aset yang dijadikan dasar penerbitan (underlying asset) dan imbalannya adalah imbalan sewa, bukan bunga.

Pembeda antara sukuk dengan obligasi adalah akadnya. Obligasi menjadi haram semata karena akadnya adalah pinjam meminjam dengan tambahan bunga yang dilarang Islam, sedangkan sukuk menggunakan akad ijarahsale and lease back[2] dan sejalan waktu kemudian bertambah lagi dengan produk baru yaitu akad ijarah Asset to be Leased[3]. Perbedaan keduanya hanya terletak pada underlying assetnya saja, sedangkan mekanisme dan akadnya pada dasarnya memiliki prinsip yang sama.

Maka mari kita lihat bagaimana proses sebuah akad sukuk:ijarahsale and lease back;

 

Gambar 1.

Sukuk ijarah sale and lease back

 

6.

Pemerintah membayar aset dengan lunas

 

1.

Pemerintah menjual barang (aset negara)

 

4.

Pemerintah membayar uang sewa atas aset

 

2.

Masyarakat menyerah-kan uang pembelian aset negara

 

3.

Pemerintah menyewa aset milik masyarakat

 

5.

Masyarakat menyerah-kan/jual asetnya kepada pemerintah

 

Pemerintah /korporasi

Masyarakat investor

 

Sedangkan contoh perhitungan sukuk ritel sebagai berikut:

 

Table 2.

Ijarah sale and lease back

 

Seri SR-003

SBSN tanpa warkat

Akad

Ijarah – sale and lease back

Underlying Asset

Barang Milik Negara (BMN) berupa tanah dan/atau bangunan.

Minimum beli

1 unit = Rp.1 juta

Tenor

3 tahun

Imbalan

Fixed Coupon 7%, dibayarkan setiap bulan

 

Contoh perhitungan Sukuk:

Budi membeli sukuk ritel di pasar perdana sebesar Rp. 70 juta, dengan tingkat imbalan 7% per tahun. Jika kemudian sukuk tersebut ia jual di pasar sekunder 10 bulan setelah ia beli dengan harga 102%, maka hasil yang diperoleh:

Imbalan/kupon = 70 juta x 7% x 1/12 = Rp. 408.333 (diterima setiap bulan),

sehingga selama 10 bulan ia mendapat Rp. 4.083.333

Capital gain = 70 juta x (102 – 100)% = Rp. 1,4 juta

Total hasil yang diterima adalah

Rp. 70.000.000 + Rp 1.400.000 + Rp.4.083.333 = Rp.75.483.333

Perhitungan jual beli sukuk diatas menunjukkan persamaannya dengan obligasi berbasis bunga, namun demikian sukuk ritel menggunakan akad ijarah – sale and lease back yang telah difatwakan oleh DSN - MUI sebagai SBSN yang berprinsip syariah pada fatwa Nomor 72/DSN-MUI/VI/2008.

Namun begitu tidak salah jika penulis mencermati lebih dalam akad dan perhitungan sukuk tersebut. Dari gambar proses akad sukuk dan juga sifatnya diketahui bahwa jual beli aset antara lembaga penerbit sukuk dengan investor pembelinya memiliki batas waktu, hal ini yang kemudian dibahasakan dengan tenor atau jatuh tempo. Artinya pada waktu yang telah ditetapkan aset yang telah dijual harus dibeli kembali oleh penjualnya, selain itu sebelum aset tersebut dibeli kembali maka aset tersebut harus disewakan pada penjualnya, yang uang sewa aset tersebut diberikan pada pemilik sementaranya.

Dengan demikian kami katakan bahwa akad sukuk ijarah sale and lease back ini didalamnya terdapat 3 (tiga) akad dalam satu transaksi (akad), dan bukan hanya 2 akad saja. Sebab jual beli dengan syarat akan dibeli kembali adalah menggabungkan 2 akad jual beli (jual beli yang memiliki syarat jual beli), ditambah keharusan barang yang dibeli akan disewa oleh penjualnya adalah tambahan akadnya yang lain. Sehingga didalam sukuk ini memiliki 3 akad dalam satu transaksi yang diharamkan sebagaimana banyak tersebut dalam hadits nabi saw yang melarang terjadinya 2 akad dalam satu akad. 2 akad dalam satu transaksi saja dilarang Nabi saw, apalagi dengan muamalah 3 transaksi, Nabi saw bersabda:

Dari Ibnu Mas’ud RA, bahwasanya Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan. (HR Ahmad).

Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasa-i dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang melakukan dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli. (dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Selain itu jika kita lihat lebih cermat, bahwa Sukuk dengan akad ijarah – sale and lease back ini adalah hillah (rekayasa akad) transaksi, yaitu demi memberi nuansa islami pada surat berharga jenis obligasi yang diharamkan karena mengandung riba berupa kupon berbentuk persentase. Yaitu pinjam meminjam uang dengan kompensasi (riba) diubah sebutan katanya dengan akad ijarah (sewa-menyewa) barang yang didalam Islam memang dibolehkan, sehingga diharapkan menjadi akad yang dibolehkan karena ada barangnya (underlying asset). Selain itu Penulis juga melihat bahwa jual beli (sale) dalam akad ijarah – sale and lease back tidak benar-benar terjadi jual beli sebenarnya sebagaimana jual beli yang difahami dalam transaksi, yaitu serah terima barang dengan perubahan nama pemilik pada sertifikat aset yang menjadi objek jual beli. Dengan demikian ini membenarkan adanya hillah dalam surat berharga ini.

Demikian kesimpulan yang penulis dapat berdasarkan apa-apa yang telah diutarakan, juga berdasarkan pengetahuan dari peneliti lain terkait sukuk, seperti penelitian berjudul peran sukuk terhadap pertumbuhan ekonomi (Latifah, 2020), sukuk ritel Negara investasi halal untuk membangun negeri (Mulyani & Setiawan, 2020), pengaruh penerbitan sukuk terhadap kinerja perusahaan (Hamzah, 2023), telaah yuridis sukuk sebagai instrument investasi syariah (Farah et al., 2019) dan akuntansi transaksi sukuk (Arianty & Qodri, 2021)

 

2.      ANALISIS DALIL MUAMALAH KONTEMPORER

Pada dasarnya kaidah fiqih secara teks bukanlah wahyu Allah swt (al-Qur’an dan Hadits), namun demikian kaidah fiqih diambil (digali) dari wahyu Allah tersebut. Disebut kaidah karena ia memiliki posisi sebagai panduan untuk melihat hukum, jadi kaidah fiqih pada dasarnya bukanlah sumber hukum, melainkan hukum pokok yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits .

Kaidah adalah kerangka yang ada pada al-Qur’an maupun hadits Nabi saw yang digali oleh seorang ahli hukum Islam yang tergolong mujtahid[4] sebagai panduan bagi muqallid[5] untuk mendapatkan hukum atas realitas yang tidak ada teksnya dalam wahyu Allah.

Dengan demikian kaidah fiqih antar satu ulama bisa berbeda tergantung tingkat keluasan ilmu yang dimilikinya dalam melahirkan kaidah tersebut, sehingga kebenaran sebuah kaidah fiqih memiliki kemungkinan salah baik bunyi teksnya maupun salah dalam penggunaannya.

Kaidah-kaidah dibawah ini adalah kaidah-kaidah yang menurut penulis perlu diluruskan kembali ketepatan bentuknya maupun dalam penggunaannya pada muamalah:

a.       Kaidah fiqih 1

Kaidah fiqih yang seringkali dijadikan dasar pembolehan atas jasa keuangan modern seperti pasar modal syariah adalah:

Al Ashlu fii muamalah ibahah hatta yadullu dalilu ala tahrimiha

Artinya: hukum asal dalam bermuamalah itu adalah mubah, sampai ada dalil yang mengharamkannya.

 

Kaidah diatas bertentangan dengan banyak nash syariah sehingga tidak dapat diamalkan. Dengan kata lain kaidah diatas mengalami salah penyimpulan ketika diambil dari al-Qur’an maupun hadits nabi saw.

Sebab sebenarnya Allah swt. telah menetapkan hukum atas perbuatan manusia secara lengkap didalam al-Qur’an maupun hadits Nabi saw, sehingga tidak ada perbuatan manusia yang tidak ada hukum asalnya. Dimulai dari bangun tidur hingga manusia tidur kembali bisa dikatakan hukum syara’ telah menjelaskan aturan hukumnya, baik ia berstatus hukum wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Jadi, hukum asal perbuatan manusia itu bukan mubah, melainkan ada yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Sehingga lebih tepat kaidah tersebut berbunyi demikian:

 

Al-ashlu fi muamalah aw fil af’al taqoyyudu bi hukmi syar’i

Artinya: hukum asal dari muamalah/perbuatan itu terikat dengan hukum Islam

 

Sedangkan yang tepat dengan hukum asalnya mubah adalah benda, dan bukan perbuatan manusia. Sebab benda itu berkembang dan beraneka ragam, tidak semua benda di belahan dunia ini ada di waktu wahyu sedang turun di tanah Arab. Sehingga Allah menetapkan hukum mubah pada benda sampai ada dalil yang mengharamkannya, sebagaimana terkandung dalam surat al Baqarah ayat 29: “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…”.Dan dari ayat tersebut kemudian ulama menggali kaidah fiqih dengan bunyi:

 

Al ashlu fil asyya ibaahah maa lam yarid dalilut tahrim

Artinya: hukum asal segala sesuatu (benda) adalah boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.

 

Dari kaidah bahwa ‘hukum asal benda itu mubah’ maka kita dapat menghukumi bahwa buah duku, durian, manggis, motor, handphone, pesawat, dsb. adalah mubah,walaupun benda-benda tersebut tidak ada di tanah Arab waktu Rasulullah saw masih hidup, sebab semua itu adalah benda. Namun berbeda dengan perbuatan yang telah Allah tetapkan hukum-hukumnya secara keseluruhan, Sebagaimana ketetapan dari salah satu sabda Nabi saw:

Hakim bin Hizam ra. Berkata: Nabi saw telah melarangku dari empat macam jual-beli yaitu: menggabungkan salaf dan jual beli, dua syarat dalam satu jual beli, menjual apa yang tidak ada pada dirimu, mengambil laba dari apa yang tak kamu jamin (kerugiannya) (HR. Thabrani)

Selain itu kaum muslimin selalu bertanya pada Rasulullah Saw akan status hukum perbuatannya mereka:

Hakim bin Hizam ra. berkata: “aku pernah bertanya, ‘wahai Rasulullah saw., sesungguhnya aku banyak melakukan jual beli, apa yang halal bagi diriku dan yang haram bagi diriku?’ Rasulullah saw menjawab, ‘jika kamu membeli suatu barang, jangan kamu menjual barang itu lagi hingga kamu menerima barang tersebut. (HR. Ahmad)

Bahkan Nabi saw mencela orang yang tidak suka bertanya:

Dari jabir ra. Bahwa suatu ketika jabir dan beberapa shahabat pergi ke suatu tempat, kepala salah seorang diantara mereka terluka karena lemparan batu, lukanya ituterus mengeluarkan darah darah. Setelah beberapa lama ia jatuh tidur dan saat bangun ia merasa harus mandi wajib. Ia bertanya kepada kawan-kawannya, “dengan luka yang kuderita ini, bolehkah aku bertayamum sebagai pengganti mandi wajib?. Teman-temannya menjawab, “kami kira kau tidak berhak mendapat keringanan karena di sekitar kita masih ada air.” Berdasar pendapat mereka laki-laki melakukan mandi wajib, namun tidak lama kemudian ia meninggal. Ketika jabir dan para shahabat lainnya sampai di Madinah, mereka segera menemui Nabi saw dan menceritakan peristiwa tersebut. Mendengar penuturan mereka, Rasulullah saw bersabda, “mereka telah membunuhnya, mudah-mudahan Allah membunuh mereka! Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu?! Obat bagi orang yang tidak tahu adalah bertanya.”  (HR. Abu Dawud)

Pada konteks jasa keuangan, kaidah ‘hukum asal dari muamalah itu mubah’ sering digunakan untuk menjustifikasi bahwa praktek keuangan modern seperti pasar saham atau sukuk tidak pernah ada di waktu turunnya wahyu atau masa Nabi saw hidup. Sehingga menganggap bahwa saham dan sukuk adalah mubah sampai ada kondisi yang mengharamkannya. Maka penggunaan kaidah ini jelas salah oleh karena kaidahnya sendiri yang salah, demikian juga pemahaman bahwa saham dan sukuk belum ditetapkan hukumnya di masa Rasulullah saw.

Yang benar adalah bahwa saham dan sukuk telah ada statusnya hukumnya, telah ada hadits nabi saw yang menetapkannya, sebab praktek saham jelas terkait dengan masalah rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam perserikatan (syirkah) perseroan.

 

b.      Kaidah fiqih 2

Kaidah fiqih yang juga sering dijadikan dasar pembolehan atas jasa keuangan modern adalah:

«ماَ لاَ يُدْرَكُ كُلُّهُ لاَ يُتْرَكُ جَلُّهُ»

Maa la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu

Artinya: apa yang tidak bisa dilaksanakan semua, maka jangan ditinggalkan semuanya.

 

Kaidah ini sering digunakan agar masyarakat tetap menggunakan jasa-jasa keuangan lembaga keuangan syariah (yang diakui belum bisa 100% sesuai syariah) lantaran belum ada perbankan syariah dan pasar modal syariah yang sesuai syariah 100%. Oleh karena itu apa yang ada untuk digunakan sebisanya.

Menurut as-Suyuthi, kaidah di atas digali dari Hadis Nabi saw. yang artinya berbunyi demikian: “Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu urusan, tunaikanlah urusan itu (mâ-statha‘tum)sesuai dengan kemampuan kalian” (HR. Bukhori dan Muslim).

Makna mâ-statha‘tum itu adalah usaha yang sesuai dengan kemampuannya, jadi jika seseorang memliki kemampuan 100 tapi hanya melakukan usaha pada level 90 atau 80, maka ia tidak dapat dikatakan telah melakukan usaha mâ-statha‘tum.

Pelajaran lainnya adalah bahwa hadits ini berbicara tentang perbuatan-perbuatan yang bersifat perintah, sehingga kaidah ini menjadi sebuah panduan untuk dapat digunakan pada semua hukum-hukum Allah lainnya yang bersifat perintah pada manusia. Misalkan kaidah ini dapat diterapkan pada seseorang yang sedang digips anggota badannya karena patah tulang, sedangkan gipsnya terkena najis air seninya, maka ia tetap wajib melaksanakan solat walaupun dengan gips yang tidak suci. Sebab sesuai kaidah, yaitu jika tidak bisa menggunakan pakaian suci maka tetap jangan tinggalkan solat. Dengan kata lain kewajiban melaksanakan solat tetap harus dilaksanakan walaupun ada bagian-bagian dari solat yang tidak bisa dilaksanakan.

Jadi kaidah ini hanya dapat berlaku ketika seorang muslim menghadapi perintah Allah sedangkan ia memiliki satu halangan, dan bukan saat menghadapi pilihan perbuatan. adapun menghadapi produk-produk keuangan lembaga keuangan sebenarnya adalah pilihan, bukan kewajiban. Sehingga tidak tepat jika seorang muslim menggunakan jasa keuangan syariah yang tidak syariah sementara ia memiliki pilihan lain yang halal untuk digunakan dan kemudian berdalil dengan kaidah ini.

Misalkan seseorang ingin memiliki mobil, dan karena ia tidak memiliki uang tunai maka ia mengajukan persoalannya ini pada lembaga keuangan. Daripada ia berhutang riba pada bank konvensional lebih baik ia mengajukan pembiayaan murabahah pada bank syariah yang juga tidak 100% syar’idengan kaidah maa la yudraku kulluhu la yutroku jalluhu. Maka penggunaan kaidah dalam kasus ini tentu tidak tepat dan tidak dapat dibenarkan. Sebab memiliki mobil adalah pilihan hidup, dan bukan kewajiban hidup apalagi perintah dari Allah. Sementara disisi lain, jalan untuk mendapat bantuan keuangan dapat ia tempuh dengan menabung beberapa waktu, dan bukan memaksakan keinginannya tepenuhi dengan cepat.

Kaidah ini juga tidak tepat digunakan oleh pihak lembaga keuangan yang meluncurkan produk jasa keuangannya. Sebab pasar modal syariah dalam kapasitasnya sebagai lembaga, sebenarnya mampu untuk menciptakan produk yang murni syariah, tanpa mengandung unsur-unsur yang diharamkan seperti 2 akad dalam satu transaksi. Namun usaha untuk menerapkan ijarah dan jual beli yang murni syariah dalam pasar modal syariah belum pernah dilakukan, artinya usaha yang dilakukan belum sampai pada tingkat kemampuannya.

 

E.     KESIMPULAN

Pembahasan diatas menjelaskan bahwa produk jasa keuangan dari lembaga keuangan pasar modal syariah tidak bebas dari penyimpangan dari ketentuan yang telah digariskan dalam fiqih muamalah. Keberadaan label syariah pada pasar modal sementara ini hanya karena tuntutan pasar, bahwa masyarakat Indonesia pada dekade terakhir ini adalah masyarakat yang memiliki semangat untuk hidup dengan cara Islam, termasuk ekonomi. Sehingga terciptalah produk jasa keuangan yang bernuansa Islam agar dapat diterima pasar.

Seandainya lembaga-lembaga keuangan syariah seperti pasar modal dan lainnya menggunakan akad muamalah investasi, jual beli dan sewa menyewa yang diambil dari akad muamalah murni (apa adanya), tentu tidak akan kita temui kesamaan antara satu produk jasa keuangan dengan produk jasa keuangan lainnya dan juga tidak akan kita temui sisi penyimpangannya dari ketentuan syar’i. hal ini yang penulis temukan dalam pasar modal syariah, bahwa ketentuan penerbitan saham syariah terdapat sisi dimana penyimpangan dalam muamalah Islam masih ditolerir disebabkan ketidakmungkinan emiten di Indonesia 100% lepas dari muamalah yang menyimpang. Selain ada objek muamalah yang tidak tersentuh oleh dewan fatwa di Indonesia yaitu PT. Sama halnya dengan sukuk yang didalamnya terlihat jelas hillah-nya.

Terlepas dari itu semua, lembaga keuangan syariah modern adalah hasil transformasi dan rekonstruksi dari lembaga keuangan konvensional, sehingga awal mula keberadaannya akan sulit lepas dari pengaruh induknya. Namun demikian perubahan aqad muamalah dalam operasionalnya tetap harus bisa menjadi syar’i sepenuhnya. Sehingga baik perbankan syariah maupun pasar modal syariah dapat menjadi pemutar roda perekonomian yang bermanfaat bukan hanya secara materil tapi juga mampu meningkatkan spiritual masyarakat muslim.

 



[1]Secara umum hutang yang berbasis bunga adalah hutang yang berasal dari obligasi dan hutang hipotik

[2] Fatwa DSN MUI Nomor 72/DSN-MUI/VI/2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara Ijarah Sale and Lease Back

[3] Fatwa DSN Nomor 76/DSN-MUI/VI/2010 Tentang SBSN Ijarah Asset to be Leased

[4]Orang yang memiliki kemampuan menggali hukum Islam dari sumber-sumber hukum Islam

[5]Pengikut mujtahid

Tidak ada komentar: