Oleh: Muhammad Baiquni Syihab
A. Pendahuluan
Peradaban barat mengungguli dunia pasca renaissance, kemudian dilanjutkan revolusi perancis hingga kemudian muncul revolusi industri di Inggris. Sejak revolusi industri tersebut kehidupan barat penuh dengan teknologi dan kemajuan disebabkan alat-alat bantu kehidupan dan segala fasilitasnya dapat tercipta dengan mesin-mesin canggih. Padahal sebelumnnya sejarah mencatat ketertinggalan barat yang berada jauh di belakang dari peradaban Islam, sebagaimana yang ditulis oleh Philip K Hitti dalam History of the Arab bahwa masyarakat eropa menganggap jam buatan kaum muslimin terdapat jin didalamnya karena dapat berbunyi setiap jamnya. Tentu ini sebuah keterbelakangan.
Nampaknya kemajuan ekonomi dan teknologi barat ini yang saat ini sedang berusaha ditiru sebagian kaum muslimin dengan mengikuti langkah-langkah sejarahnya sebagaimana barat dalam mencapai hal tersebut. Yakni: Renaissance – revolusi perancis – revolusi industry. Adapun langkahnya adalah apa yang terdapat didalam setiap step sejarah barat tersebut, yaitu renaissance. Dimana didalam renaissance terdapat metode ilmiah sebagai ruhnya, dan positivisme sebagai langkahnya. Sedangkan revolusi perancis terdapat sekularisme sebagai intinya, yaitu memisahkan doktrin agama dari politik. Dengan begitu revolusi industry dianggap sebagai hasilnya. Dan ini yang sedang diangkat untuk ditiru sebagian kaum muslimin .
Maka reinterpretasi (penafsiran ulang) hukum Islam dari sumbernya al Qur’an dan hadits Nabi saw adalah cara yang dianggap tepat bagi kaum muslimin untuk mendapatkan kehidupan yang maju sebagaimana kehidupan barat, tanpa meninggalkan aqidahnya. Sebab barat mencapai titik revolusi perancis adalah dengan meninggalkan agamanya dalam urusan bidang politik, ekonomi dan hukum. Salah satu tokoh kaum muslimin yang giat melakukan reinterpretasi dan dialog terhadap hukum Islam ini adalah Jasser Auda, dan ini yang menjadi latar belakang penelitian ini. Telaah kritis terhadap pemikiran Jasser Auda dalam bukunya yang terkenal: Maqashid al Shariah as Philosophy of Islamic Law a Systems Approach.
Beberapa peneliti sebelum ini telah mengungkapkan pemikiran Jasser Auda, sebagian besar memiliki pemikiran yang tidak berbeda dengan Auda sehingga mendukungnya dalam pemikirannya. Sebagian kecil lainnya kontra dan memahami bahwa pemikiran Jasser Auda hanyalah sebuah upaya opini dalam reinterpretasi teks nash (Al Quran dan Hadits Nabi) dengan dalih maqashid syariah, seperti hasil penelitian Ainol Yaqin yang berjudul: Rekonstruksi Maqâshid al-Syarî`ah dalam Pengembangan Metodologi Hukum Islam: Kajian Eksploratif Pemikiran Jasser Auda (Yaqin, 2018), penelitian Arfan Abbad: Maqasid al-Syariah sebagai Sumber Hukum Islam Analisis Terhadap Pemikiran Jasser Auda (Arfan, 2013), penelitian Retna Gumanti: Maqasid Al-Syariah Menurut Jasser Auda (Pendekatan Sistem dalam Hukum Islam) (Gumanti, 2018), penelitian Muhammad Fauzan dan rekan: Maqāṣid Al-Syarī’Ah Dalam Tinjauan Pemikiran Ibnu ‘Āsyūr Dan Jasser Auda (Ni’ami & Bustamin, 2021), dan penelitian Sahrul Sidiq: Maqashid Syariah & Tantangan Modernitas: Sebuah Telaah Pemikiran Jasser Auda (Sidiq, 2017).
Beberapa penelitian diatas adalah penelitian yang berkaitan dengan pemikiran pokok Jasser Auda, yaitu Maqashid Syariah. Namun dalam penelitian ini penulis kemukakan hal yang lebih mendalam dari peneliti sebelumnya, yaitu latar belakang masalah pemikiran Jasser Auda (reinterpretasi teks nash) dan orang-orang yang memiliki pemikiran serupa dengan Jasser Auda, dan bagaimana memposisikan pemikiran tersebut dan juga meluruskannya dari kekeliruan yang membahayakan.
B. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), karena sumber atau bahan penelitian merupakan naskah-naskah kepustakaan seperti buku, surat kabar, majalah, jurnal atau karya ilmiah dan data-data yang dianggap relevan dengan pembahasanPenelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif (J, 2013).
Sumber data kualitatif adalah tampilan yang berupa kata-kata lisan atau tulisan yang dicermati oleh peneliti, dan benda-benda yang diamati sampai detilnya (Sugiyono, 2016). Dengan demikian kaitannya dengan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan literatur yaitu studi pustaka dari buku primer objek penelitiannya, yaitu pemikiran Jasser Auda dalam bukunya berjudul “Maqasid al Shariah as Philosophy of Islamic Law A Systems Approach”, yang diterbitkan oleh The International Institute Of Islamic Thought, London – Washington, pada tahun 2007 dengan teknik analisis konten (Sugiyono, 2016).
C. Hasil dan Pembahasan
1. Meluruskan Sikap Terhadap Sumber-sumber Hukum Islam
Satu-satunya sumber informasi bahwa Allah swt tuhan pencipta alam adalah al-Qur’an, benar-benar ucapan tuhan karena al-Qur’an sendiri menantang bagi siapa saja yang menuduh al-Qur’an bukan berasal dari tuhan untuk membuat satu surat saja seperti yang ada dalam al-Qur’an, dan tidak ada satupun yang mampu menjawab tantangannya.
“Katakanlah: maka cobalah datangkan sebuah surat semisalnya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil untuk membuatnya selain Allah, jika kamu orang yang benar” (QS. Yunus: 38)
Kemudian dari al-Qur’an ini kita mengetahui bahwa ada wahyu Allah diluar al-Qur’an:
“Dan tidaklah setiap yang dikatakannya (Rasulullah) berasal dari hawa nafsunya, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya” (QS. An Najm: 4)
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al Ahzab: 21)
Terkait perintah dan larangan dari Rasulullah:
“Apa yang diberikan kepadamu oleh Rasulullah maka terimalah, dan apa yang dilarang kepadamu dari Rasulullah maka tinggalkanlah (QS. Al Hasyr: 7)
Kemudian al-Qur’an juga Rasulullah saw mengisaratkan legalitasnya akan perbuatan sebuah kelompok manusia, sehingga sikap dari sekelompok manusia tersebut (pasca rasulullah saw wafat) bisa menjadi salah satu sumber hukum Allah swt bagi manusia lain setelahnya.
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga” (QS. At Taubah: 100)
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka” (HR. Bukhori)
Dengan demikian sebagaimana dikutib oleh Hafidz Abdurrahman dari kitab ar Risalah karya Imam asy Syafi’i bahwa kesepakatan (ijma) atas sebuah hukum yang dilakukan oleh orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu yang senantiasa bergaul dengan baik bersama Rasulullah (shahabat nabi) adalah riwayat yang tidak teriwayatkan, artinya ijma shahabat adalah ijma yang dijelaskan oleh dalil yang tidak teriwayatkan (Abdurrahman, 2003). Sehingga ijma shahabat nabi adalah wahyu Allah selain dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah.
Contoh, berijma’nya mereka untuk mendahulukan mengurus pengganti rasulullah saw sebagai kepala negara, daripada mengurus penguburan jenazah rasulullah saw selama 3 hari.
Adapun Qiyas (analogi) pada dasarnya bukanlah sumber hukum, melainkan cara atau metode untuk mengambil hukum dari sumber-sumber hukum Islam (metode ijtihad). Namun karena ini dilegalkan oleh pembawa wahyu maka para ulama memasukkannya sebagai sumber hukum Islam yang keempat setelah al-Qur’an, Hadits dan Ijma Shahabat. Artinya tidak diakui hukum yang lahir dari qiyas (ijtihad) jika 3 sumber hukum Islam sebelumnya telah menetapkan sebuah hukum.
Namun demikian hasil ijtihad seorang faqih dapat menjadi hukum publik yang harus ditaati oleh segenap kaum muslimin jika hukum tersebut ditetapkan oleh ulil amri minkum sebagai hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, walaupun hasil ijtihad tersebut berbeda dengan hasil ijtihad faqih lainnya. Sesuai kaidah: amrul imam yarfa’ul khilaf (keputusan imam menghilangkan perbedaan pendapat hukum)
Contoh, saat Umar bin Khatab menjadi Khalifah, beliau menetapkan hukum pembagian harta negara kepada rakyat dengan komposisi berbeda diantara mereka. Sedangkan saat jabatan kepala negara dipimpin oleh Abu Bakar Shiddiq, pembagian harta dengan komposisi yang sama rata diantara rakyat (Baltaji, 2005). Namun rakyat menjadi tunduk patuh dengan hukum pembagian harta setelah amirul mukminin menetapkannya berbeda satu sama lain.
Semua isi dari al-Qur’an sampai pada pembukuannya teriwayatkan secara mutawatir dengan jumlah periwayat minimal 3 orang. Saat pengumpulan al-Qur’an oleh Abu Bakar, beliau memerintahkan pada Umar dan Zaid bin Tsabit: “Duduklah didepan gerbang pintu masjid nabawi, jika ada orang membawa anda tentang sepotong ayat dari Kitab Allah dengan dua orang saksi, maka tulislah” (A’zomi, 2005).
Sedangkan hadits Nabi saw sampai dibukukannya hadits tersebut ada yang teriwatkan secara mutawatir dan sebagian besarnya adalah ahad, namun demikian kaum muslimin yang membukukan hadits nabi tersebut mewariskan ilmu periwayatan al-Qur’an yang dilakukan para shahabat nabi dalam menyaring keotentikan sebuah hadits nabi. Yaitu dengan memperhatikan kualitas periwayatan baik dari segi ketersambungan sanad maupun kualitas perowinya, dengan demikian lahirlah klasifikasi kualitas hadits menjadi shohih, hasan dan dhoif. sehingga kemudian hadits nabi yang layak disebut wahyu Allah dan dijadikan dasar hukum adalah hadits dengan kualifikasi Shohih dan Hasan.
Wahyu Allah turun di Mekkah dalam keadaan ditolak oleh mayoritas masyarakat (Quraisy), namun demikian sikap Nabi yang membawa wahyu Allah tersebut tetap tegar menyampaikan agar masyarakat mau mengikuti wahyu Allah dan merubah kehidupannya. Demikian juga sikap segelintir orang yang telah menjadi pengikut Nabi Muhammad saw, bersikap siap menerima dan merubah kebiasaan hidupnya langsung dengan apa yang disampaikan Nabi saw. tanpa mendialogkan terlebih dahulu antara wahyu Allah dengan kebiasaan hidup masyarakat Quraisy, juga tanpa melakukan re-interpretasi atas wahyu Allah dengan kebiasaan dan cara hidup masyarakat Arab, juga tanpa melakukan pendekatan ini dan itu agar tecipta harmonisasi wahyu dan adat.
“Al Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang” (QS. An Nahl: 103)
“Ialah al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (didalamnya) supaya mereka bertakwa” (QS. Az Zumar: 28)
“Sesungguhnya kami jadikan al Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya” (QS. Az Zukhruf: 3)
Contoh, diriwayatkan dari Aisyah ia berkata: semoga Allah merahmati kaum wanita yang hijrah pertama kali, ketika Allah menurunkan firmanNya, ‘dan hendaklah mereka mengenakan kain kerudung mereka diulurkan ke kerah baju mereka (QS. An Nur: 31). Maka kaum wanita itu merobek kain sarung mereka (untuk dijadikan kerudung) dan menutup kepala mereka dengannya (HR. Bukhori).
Dari Anas bin Malik: suatu hari aku memberi minum kepada kepada Abu Thalhah al Anshory, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan Ubay bin Ka’ab dari Fadhij, yaitu perasan kurma. Kemudian ada seseorang yang datang, ia berkata, “sesungguhnya khamr telah diharamkan”. Maka Abu Thalhah berkata, “wahai Anas berdirilah dan pecahkanlah kendi itu” Anas berkata “maka akupun berdiri mengambil tempat penumbuk biji-bijian milik kami, lalu memukul kendi itu pada bagian bawahnya hingga pecahlah kendi itu.” (HR. Bukhori)
Berikutnya, Ibnu Ishak berkata, az Zuhry telah menceritakan bahwa al Asy’ats bin Qois datang bersama bani Kindah kepada Rasulullah, mereka memakai jubah bagus dilapisi sutra, maka beliau saw berkata: ‘apa kalian sudah masuk Islam?” mereka menjawab ‘benar’, Rasul saw berkata, ‘kenapa sutra itu masih melekat di leher kalian?’ az Zuhry berkata, ‘maka mereka pun merobek-robek sutra tersebut dan melemparkannya’.
Hal yang demikianlah yang kemudian membuat peradaban masyarakat Arab mampu mengungguli peradaban besar yang lebih dahulu maju, seperti kekaisaran Romawi di Barat dan Persia di timur, yaitu ketika kaum muslimin dipimpin oleh Umar bin Khatab. Semuanya diawali dan ditandai dengan pembuatan penanggalan Islam yang dimulai dari tahun hijrah nabi dari Mekah ke Madinah, yaitu sebagai tanda awal berdirinya negara Islam.
2. Mengenal Jasser Auda
Jasser Auda adalah tokoh muslim terkini (lahir. 1966) yang memperoleh ilmu agama dengan belajar secara klasik di Masjid Jami’ al Azhar, Kairo, Mesir. Berupa kegiatan menghafal al Qur’an, mengkaji kitab-kitab hadits Bukhori dan Muslim (dengan penjelasan Ibnu Hajar dan al Nawawi), fiqih, Isnad dan Takhrij dan Ushul Fiqih. Sedangkan formalnya, ia menempuh pendidikan di bidang Teknik hingga memperoleh gelar sarjana dari Universitas Kairo, Mesir. Kemudian pada tingkat yang sama (sarjana), ia tempuh di Universitas Islam Amerika, Amerika Serikat dalam bidang studi Islam (Auda, 2007).
Jasser Auda kemudian menempuh pendidikan strata 2 di kampus yang sama tempat ia ia memperoleh gelar sarjananya di Amerika Serikat hingga memperoleh gelar magister Perbandingan Mazhab. Tidak puas dengan memperoleh gelar Magister, ia kemudian melanjutkan studinya di strata 3 di Universitas Waterloo, Kanada. Hingga ia memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang Analisis Sistem. Bahkan tidak hanya satu gelar Ph.D. yang ia peroleh, gelar Ph.D lain juga ia peroleh dari Universitas Wales Lampeter, Inggris, dalam bidang Teologi dan Studi Agama.
Bukan hanya jenjang pendidikan yang panjang dan tinggi saja yang ia peroleh, jabatan profesi yang adiguna pun ia duduki. Yaitu sebagai wakil ketua Pusat Studi Legislasi Islami dan Etika (Qatar Foundation), Qatar. Selain itu juga sebagai Guru Besar Program Kebijakan Publik dalam Islam, Fakultas Studi Islam, Qatar Foundation, Qatar. Dan banyak lagi jabatan adiguna lainnya yang pernah ia jabati sebelum itu, maupun afiliasi terkini.
3. Analisis Pemikiran Jasser Auda: Maqasid Sebagai Pendekatan Sistem
a. Prawacana Maqasid Sebagai Sarana Pendekatan Sistem
Jasser Auda said: How can we utilize the proposed ‘Islamic systems philosophy’ in the juridical theory, in order for the Islamic law to stay ‘renewable’ and ‘alive’? How can a systems approach utilise the system features of cognition, holism, multi-dimensionality, and openness in the theory of Islamic law? (Auda, 2007)
Pada sub bab Overview, Jasser memberi pengantar bahwa A syistem approach to Islamic juridical Theories adalah untuk menjawab beberapa permasalahan, dengan mengatakan: “bagaimana kita dapat memanfaatkan usulan filsafat sistem Islam dalam teori hukum, agar hukum Islam tetap dapat diperbaharui dan senantiasa hidup? Bagaimana pendekatan sistem dapat memanfaatkan fitur-fitur kognitif, holistik, multidimensi dan keterbukaan dalam teori hukum Islam”
Dengan demikian kita memahami bahwa inti semua pembahasan dari teori maqasid yang diajukan oleh Jasser Auda dalam hukum Islam pada bab ini dimaksudkan agar hukum Islam tetap dapat berlaku dan diperbaharui sesuai perkembangan zaman. Latarbelakangnya adalah anggapan ia akan hukum Islam yang berasal dari al Qur’an dan hadits Nabi selama ini terlalu saklek dan tertinggal, dan juga karena ketertutupannya maka hukum Islam banyak tidak berlaku lagi di tengah-tengah masyarakat modern. Dan ia menginginkan agar hukum Islam di interpretasi menyesuaikan dengan perubahan zaman. Ia pun menganggap keterbelakangan dunia Islam saat ini disebabkan hukum Islam itu sendiri, yaitu hukum Islam sebagaimana tersebut apa adanya dalam Qur’an dan Hadits Nabi saw.
Padahal menurut penulis, keterbelakangan umat Islam saat ini justru disebabkan oleh dibuangnya hukum-hukum Islam yang bersifat publik dan menggantinya dengan hukum-hukum publik yang berasal dari peradaban barat. Hukum-hukum publik Islam yang dibuang tersebut seperti hukum politik Islam berupa sistem Khilafah, hukum ekonomi Islam yang mengatur mata uang logam (emas dan perak) dan aturan harta berkepemilikan umum atas barang tambang, dan pemerintahan Islam yang mengatur kedaulatan Qur’an dan hadits Nabi, kemudian hukum sosial Islam yang mengatur pergaulan lawan jenis dan pakaian penutup aurat, dan lain sebagainya. Semuanya diganti dengan hukum barat yang tidak memberikan manfaat positif terhadap umat Islam.
Akibat dibuangnya hukum Islam dalam bidang-bidang tersebut diatas, justru mengakibatkan kaum muslimin terjajah secara militer dan secara pemikiran dan budaya oleh bangsa Eropa dan Amerika, hingga akhirnya menjadi kelompok yang terbelakang dan tertinggal. Jadi permasalahannya bukan karena hukum Islam yang tidak mau terbuka dengan pengaruh barat, melainkan karena kaum muslim meninggalkan hukum Islam. Sejarah adidaya Islam pada era bani Abbasyiah dan Utsmani adalah buktinya, dimana hukum Islam masih diterapkan.
b. Sub bab Ijtihad Ilahiah (Revealed Ijtihad)
Jasser Auda said: Addressed implications and interpretation show that although the script is heavenly, its interpretation is subject to the exegete’s or jurist’s worldview. Nonetheless, interpretations are often presented as ‘God’s commands’ in order to be (mis)used for the interests of a powerful few (Auda, 2007).
Therefore, even in clear cases of ijtihad via analogical reasoning, some jurists considered themselves to be ‘speaking in God’s name.’ This was a ‘disaster,’ to quote Garoudi, ‘in which the limits between the words of God and the words of humans were erased. (Auda, 2007)
Pada sub bab ini Jasser mengatakan: para faqih mendefinisikan fikih sebagai pemahaman, persepsi dan kognisi (idrak) manusia. Akan tetapi metode dan hasil fiqih sering digambarkan sebagai ‘hukum Allah’. Meskipun nas itu bersifat ilahi, interpretasi nas tunduk pada penafsiran atau pandangan dunia seorang fakih. Meskipun demikian interpretasi tersebut sering dinyatakan sebagai perintah Allah agar disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan minoritas yang berkuasa.
Selanjutnya Jasser mengatakan: adalah sebuah bencana, jika dalam kasus ijtihad yang sudah jelas memakai qiyas kemudian seorang fakih berbicara atas nama tuhan. Mengutip Garaudy, ‘ketika sekat-sekat antara firman tuhan dan kata-kata manusia telah dihapus.
Dengan demikian maksud dari Jasser Auda; bahwa kebenaran itu bersifat relatif. Wahyu Allah secara teks adalah benar, namun ketika itu menjadi hukum yang siap diterapkan pada manusia maka itu adalah hasil interpretasi manusia, sehingga tidak layak seorang faqih mengatakan bahwa fatwanya adalah fatwa tuhan.
Menurut kami Ini ungkapan yang tidak dapat dibenarkan, sebab Allah swt sendiri melalui utusanNya telah melegalkan hasil dari proses ijtihad para faqih: bahwasanya Rasulullah SAW mengutus Mu’adz ke Yaman. Beliau SAW bersabda, “Bagaimana kamu memutuskan perkara ?”. (Mu’adz menjawab), “Saya memutuskan dengan hukum yang ada di dalam kitab Allah”. Rasulullah SAW bersabda, “Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah ?”. Mu’adz berkata, “Saya akan memutuskan dengan sunnah Rasulullah”. Rasulullah SAW bersabda, “Kalau tidak terdapat di dalam sunnah Rasulullah SAW ?”. Mu’adz menjawab, “Saya berijtihad dengan pendapatku”. Rasulullah SAW bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah”. (HR. Tirmidzi)
Rasulullah saw bersabda: Jika seorang hakim berijtihad dalam menetapkan suatu hukum, ternyata hukumnya benar, maka hakim tersebut akan mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihad dalam menetapkan suatu hukum, namun dia salah, maka dia akan mendapatkan satu pahala. (HR. Muslim)
Oleh karena itu kesalahan pemahaman Jasser Auda pada dasarnya tidak terletak pada klaim faqih atas ijtihad mereka, melainkan pada realitas kehidupan yang mempengaruhi Jasser Auda saat ini. Yaitu ketika hasil ijtihad yang cenderung digunakan untuk kepentingan penguasa. Mungkin lingkungan tersebutlah yang mempengaruhi Jasser mengatakan demikian, padahal jika Jasser melihat sejarah umat Islam di masa shahabat Nabi saw dimana perbedaan pendapat para faqih tidak membuahkan kekuasaan yang zalim, tentu akan berbeda ceritanya.
Jika kekuasaan tersebut adalah kekuasaan yang sah menurut hukum Islam (baca: Khilafah), dan bukan seperti demokrasi atau republik, maka tidak ada yang dapat dilakukan rakyat kecuali tunduk patuh atas hukum yang diadopsi penguasa dari sumber-sumber hukum Islam, sebab tunduk kepada penguasa Islam adalah bentuk ketundukan pada Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri minkum” (QS. An Nisa: 59)
Jasser Auda said: I argue, however, that consensus is not a ‘S/source of law,’ but is merely a mechanism of consultation or, to use systems terminology, multiple-participant decision making. (Auda, 2007)
Selanjutnya Jasser mengatakan: saya menganjurkan bahwa ijma bukan suatu sumber hukum, melainkan semata-mata sebuah mekanisme konsultasi, atau menggunakan terminologi sistem, pembuatan keputusan multi-partisipan. Ijma untuk dimanfaatkan sebagai mekanisme untuk membuat fatwa kolektif.
Menurut kami anjuran Jasser tersebut adalah anjuran yang tidak dapat diterima. Sebab telah menjadi kesepatan para imam mazhab dan mereka dari golongan tabiut tabi’in, bahwa sumber hukum Islam terdiri dari al Qur’an, Hadits, Ijma shahabat dan qiyas sebagaimana penjelasan kami sebelum ini, yaitu semuanya atas legalitas yang diberikan al Qur’an dan hadits Nabi saw. Adapun ijma selain ijma shahabat nabi pada dasarnya bukanlah sebuah sumber hukum Islam.
Dengan demikian Jasser Auda memberikan usulan dengan maksud menggoyahkan petunjuk Allah swt bahwa ada petunjuk selain dari apa yang ada di al Qur’an dan Hadits Nabi saw, yaitu Ijma.
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga” (QS. At Taubah: 100)
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka” (HR. Bukhori)
Dari dalil-dalil tersebut kemudian Imam asy Syafi’i mendefinisikan Ijma Shahabat Nabi adalah riwayat (hadits Nabi) yang tidak teriwayatkan. Dengan demikian kami katakan bahwa usulan Jasser Auda adalah agar khalayak tidak mengakui ijma sebagai sumber hukum, dan ini tidak dapat diterima.
Namun jika yang dimaksud Jasser adalah ijma para faqih dalam menetapkan suatu fatwa,[1] maka kami katakan bahwa fatwa bukanlah hukum maupun sumber hukum, melainkan hanya himbauan. Himbauan tersebut bisa dipakai rakyat dan bisa juga dipakai penguasa, atau bisa diabaikan oleh rakyat dan penguasa. Bisa juga fatwa para faqih tersebut berupa pesanan penguasa untuk digunakan sebagai alat melanggengkan kekuasaan. Demikian fakta tentang ijma penetapan fatwa, untuk meluruskan uangkapan Jasser diatas.
c. Sub bab Ketidakpastian Dalil Individual
Jasser Auda said: *) There is a possibility that the ruling that we conclude from the single nash has been restricted to certain circumstances, without our knowledge. *) There is a possibility that one or more of the words of the single hadits have been altered, over time, in a way that alters the original meaning. *) There is a range of possibilities of error in conveying dhadith narrations, which comprise most of the prophetic narrations. (Auda, 2007)
Pada sub bab ini Jasser mengemukakan mengapa dalil linguistik (dalil khitob) individual bersifat zanni (tsubut). Menurutnya hal tersebut diantaranya karena: a) kemungkinan nas tersebut dibatasi pada kondisi-kondisi tertentu, tanpa sepengetahuan kita. b) kemungkinan satu kalimat atau lebih dalam nas tunggal mengalami perubahan, seiring waktu, dalam cara tertentu yang mengubah makna asalnya. c) ada banyak kemungkinan kesalahan dalam penyampaian riwayat hadis ahad, yang merupakan mayoritas hadis.
Segala kemungkinan apa yang disangkakan oleh Jasser ini tidak dapat dibenarkan, bahkan cenderung mengada-ada. Sebab sebagaimana penjelasan kami sebelum ini, bahwa wahyu turun dalam bentuk al Quran dan hadits Nabi saw dengan bahasa Arab yang jelas, juga berfungsi untuk merubah cara hidup masyarakat. Al Qur’an telah dibukukan oleh orang-orang yang al Qur’an sendiri memuji kepribadian mereka. Sedangkan Hadits dibukukan melalui penyeleksian atas orang-orang yang tergolong sebagai shahabat nabi, tabi’in dan tabiut tabi’in, semuanya mendapat pujian dari Rasulullah saw sebagai: khoirul quruni qarni – summa yalunahum – summa yalunahum.
Adapun wahyu-wahyu tersebut sampai dibukukannya telah melalui proses seleksi yang ketat dari orang-orang yang berkualitas dalam agama, perilakunya, hafalannya, keamanahannya, nama baiknya, dan segala hal ukuran baik lainnya. Adapun ilmu yang telah dirumuskan dalam membahas perkara tersebut adalah ilmu Mustholahul Hadits – jarh wa ta’dil. Dengan demikian memunculkan berbagai kemungkinan untuk menggoyahkan kredibiltas hadis ahad yang merupakan hasil seleksi para imam hadis adalah sebuah bentuk pertunjukan akan buta dan tulinya ia terhadap tradisi Islam dan sejarahnya.
Abu Hurairoh ketika ditanya mengapa ia yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi saw ketimbang shahabat Nabi yang lainnya, sementara ia bersama Rasulullah hanya sekitar 4 tahun hingga Nabi wafat, ia mengatakan: “sungguh, saudara-saudaraku dari muhajirin disibukkan dengan jual beli di pasar, sedangkan saudara-saudaraku dari Anshar disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti rasulullah selama perutku terisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan faham saat mereka lupa” (HR Bukhori dan muslim)
Jadi ungkapan shahabat Nabi Abu Hurairah yang mulia ini melemahkan ungkapan Jasser Auda, bahwa yang benar adalah hadits zanni tsubut semata karena pihak yang mendengar dan menyaksikan suatu ketetapan dari Nabi saw adalah orang yang jumlahnya sedikit. Hal ini yang membuat hadits menjadi hadits ahad. Jadi zanni tsubut bukanlah seperti ungkapan Jasser yang menuduh bahwa dalam proses periwayatan terdapat perubahan sehingga terjadi kesalahan. Menurut kami tuduhan Jasser Auda ini adalah tuduhan yang tidak pantas.
d. Sub bab Perbaruan Hukum dengan Kultur
Pada sub bab ini Jasser mengatakan banyak hukum Islam yang masih mengandung uruf Arab pada dua atau tiga abad hijriah, seperti batas-batas politik, geografi, makanan, sumber-sumber ekonomi dan sistem sosial era tersebut. Seperti bentuk zakat fitrah pada akhir ramadhan, masih ditentukan berdasarkan bahan makanan abad ke-7 M yang disebutkan dalam hadits terkait, yaitu kurma, kismis dan gandum.
Jasser Auda said: Thus, many Islamic rulings remained coupled with Arabic customs of the first two or three Islamic centuries and that era’s political borders, geography, food, economic resources, and social system, i.e., worldview. (Auda, 2007)
Ia mengatakan bahwa zakat fitrah diletakkan dibawah kategori ibadah, dan maqasidnya untuk membantu orang miskin. Sehingga ketika perubahan geografis semakin luas, anggur, kurma dan kismis tidak lagi berguna bagi orang miskin, sehingga maqasidnya tidak akan tercapai.
Pernyataan Jasser ini menurut kami tidak dapat dibenarkan, sebab zakat fitrah pada dasarnya adalah bahan makanan, tidak mutlak dalam bentuk kurma, kismis dan gandum. Dan sepertinya Jasser Auda tidak mengetahui hadis Nabi saw ini:
Dari Abu Said al Khudri ra. Ia berkata, “dahulu kami mengeluarkan zakat fitri dengan satu sho’ to’am (makanan). Abu Said berkata: dahulu yang menjadi makanan kami adalah gandum, anggur, keju dan kurma (HR. Bukhori)
Jadi, zakat fitrah itu tidak seperti yang dikatakan Jasser Auda yang dikatakannya mengandung urf Arab sehingga tidak relevan lagi dengan dunia dan wilayah yang meluas. Sebab zakat fitrah pada dasarnya adalah bahan makanan (to’am), artinya memang tergantung wilayah masing-masing menggunakan bahan makanannya apa. Adapun dari segi waktu pembayaran zakat, shahabat Rasulullah telah mengajarkannya.
“ibnu Umar ra biasanya menyerahkan zakat fitri kepada yang berhak menerima satu atau dua hari sebelumnya (HR.Bukhori)
Jasser Auda said: Similar prejudices exist in almost every nation and ethnic group. However, they led Ibn Taymiyah to issue rulings that were ‘discriminatory,’ despite the well-known principle of equality of races in numerous Qur’anic verses and prophetic narrations. He disapproved of non-Arabs leading Arabs in governments or even collective prayers, prescribed Arabic attires for all Muslims and made non-Arabic styles ‘detested,’ favored Arabs in government allowances, and rendered non-Arab men ‘incompetent’ (aqallu kafa’ah) to marry Arab women. These views are obviously contrary to the maqasid equality of human beings expressed in numerous scripts. (Auda, 2007)
Selanjutnya ia mengatakan: tersebut dalam karya imam Ibn Taimiyah, iqtida’ al Sirot al Mustaqim. Ia (ibnu Taimiyah) mengklaim bahwa ras Arab lebih baik daripada ras non Arab - Orang non Arab tidak boleh memimpin orang Arab dalam pemerintahan - Busana non Arab adalah makruh - Pakaian Arab untuk seluruh umat muslim. sebagai sebuah bentuk ketertutupan, oleh karena itu pandangan faqih diajukan sebagai ekspansi (perluasan) terhadap metode uruf untuk mengakomodasi perubahan-perubahan dari adat kebiasaan baku bangsa Arab.
Menurut kami pernyataan Ibnu Taimiyah yang dijadikan contoh ketertutupan oleh Jasser Auda adalah tidak tepat. Benar bahwa ada hadits Nabi saw berikut: “Sesungguhnya Allah mengangkat Kinanah dari putra Ismail, mengangkat dari Kinanah Quraisy, mengangkat dari Quraisy Bani Hasyim, dan mengangkat aku dari Bani Hasyim.” (Hr. Muslim)
Dari hadits diatas kemudian Abu Hanifah berkata, “Orang non-Arab tidak kafa’ah dengan orang Arab. Orang Arab tidak kafa’ah dengan Quraisy. Semua kaum Quraisy itu kafa’ah.”
Pernyataan ini adalah pendapat ulama, dan pendapat ulama bukan sumber hukum Islam. Tidak dapat diterima pendapat ini sebab bertentangan dengan sumber hukum Islam yang tinggi:
“Sesungguhnya di antara kalian yang paling mulia di sisi Allah, adalah kalian yang paling bertakwa.” (QS. al-Hujurat: 13)
“Tidak ada kelebihan bagi bangsa Arab terhadap non-Arab kecuali dengan ketakwaannya.” (Hr. Ahmad)
Sedangkan soal kepemimpinan dalam kekuasaan, keutamaannya benar demikian, namun bukan berarti tidak boleh:
Dari ibnu Umar: kekuasaan ini selalu berada di Quraisy, selama masih ada dua orang di antara mereka (HR. Bukhori)
Adapun terkait pakaian, bahwasanya pakaian Islam adalah kerudung dan jilbab (gamis), sebab sebagaimana telah dijelaskan sebelum ini bahwa pakaian adat orang Arab sebelum datangnya al-Qur’an adalah tidak berkerudung, tidak menggunakan penutup rambut.
e. Sub bab Perbaruan Hukum Via Keterbukaan Filosofis
Jasser Auda said: Therefore, for the system of Islamic law to maintain its selfrenewal, it is necessary to adopt Averröes’s openness to all philosophical investigation and to extend this openness to the theories of the fundamentals ushul themselves. (Auda, 2007)
Pada sub bab ini Jasser mengatakan: demi perbaruan hukum kita perlu mengadopsi keterbukaan ibnu Rusyd (Averroes) terhadap seluruh investigasi filosofis dan memperluas keterbukaan ini pada teori-teori ushul fiqih itu sendiri. Ibnu Rusd (1189 M) adalah tokoh yang melanggar fatwa Ibn al Salah yang menyatakan bahwa Filsafat merupakan akar kedunguan, sehingga buku-bukunya dibakar.
Menurut kami apa yang dilakukan penguasa saat itu terhadap pelanggaran ibnu Rusyd adalah tepat. Sebab demikian pula yang dilakukan Umar bin Khatab terhadap filasafat. Disebutkan dalam kitab Muqoddimah ibnu Khaldun, bahwa Saad bin Abi Waqos ketika menaklukan Persia mendapati banyak buku-buku filsafat. Kemudian beliau izin kepada Umar bin Khattab sebagai Khalifah untuk bisa menyalin dan memanfaatkan buku-buku tersebut. Dengan tegas Umar mengatakan:
“Campakkan buku-buku itu ke air. Jika apa yang terkandung dalam buku-buku tersebut adalah petunjuk yang besar, maka Allah telah memberikan kepada kita petunjukNya yang lebih besar (al Qur’an dan as Sunnah). Jika ia berisi kesesatan, Allah telah memelihara kita dari bencana tersebut. (Abdurrahman, 2003)"
Apa yang menimpa kaum muslimin di era Abbasyiah juga menunjukkan bahwa filsafat merupakan ilmu yang tidak berguna. Contoh: zat Allah adalah pembahasan yang menjadi polemik bagi mutakallimin dan para filosof muslim. Sedangkan pembahasan seperti ini tidaklah ada gunanya, padahal memperdebatkan perkara ini telah banyak menguras energi dan waktu kaum muslimin sehingga memalingkan mereka dari perkara yang lebih urgen, yaitu dakwah dan penerapan hukum Islam.
Jahm bin Sofwan misalkan berpendapat bahwa Allah swt tidak dapat disebut dengan syay’, karena menurutnya syay’ adalah makhluk. Menurut Asy’ari, sebagaimana pendapat mayoritas adalah syay’. Dalam konteks ini Abu Hanifah mengatakan bahwa Allah adalah sesuatu tapi tidak sama dengan segala sesuatu (syay’ la kal asyya’). Al Juwaini mengatakan bahwa Allah itu bukan substansi (jawhar), bukan aksiden dan jism. Hisyam al Hakam dan al Jawaliq menyatakan bahwa Allah adalah jism yang tidak sama dengan jism-jism lainnya dalam pengertian dan zat, sedangkan Muhammad bin Karram dan al Farabi menyatakan bahwa Allah adalah substansi (Maghfur, 2002). Ini adalah contoh pengaruh filsafat terhadap kaum muslimin, dan menurut kami ini adalah pengaruh yang buruk, sebab pengaruh tersebut tidak bermanfaat, bahkan cenderung melalaikan perhatian kaum muslimin dari perkara yang penting.
Dengan demikian menurut kami, bahwa filsafat tidak boleh masuk dalam kehidupan masyarakat muslim, apalagi sampai mempengaruhi ushul fiqih sebagaimana yang disarankan oleh Jasser Auda. Oleh karena itu kami katakan bahwa Jasser Auda termasuk orang yang tidak percaya diri terhadap sumber-sumber hukum Islam, dan ia silau dengan peradaban asing.
f. Sub bab Spektrum Kepastian
Pada sub bab ini Jasser mengatakan: berkaitan dengan membantu perkembangan budaya toleransi dan hidup berdampingan setidak-tidaknya perlu memisahkan hadis-hadis ahad dari dasar-dasar agama. Jasser berargumentasi bahwa Ibnu Taimiyah dan Ibnu Salah yang meyakini hadis yang disepakati Bukhari dan Muslim adalah autentik secara pasti. Jika hadis tersebut terkait dasar-dasar agama diyakini secara pasti maka akan menghantarkan kepada konflik dan perang serius sebagaimana terjadi dalam sejarah, seperti ‘menunjukkan kesabaran terhadap pemimpin dari kabilah Nabi saw – quraisy.
Jasser Auda said: Therefore, it is pertinent to foster a culture of tolerance and mutual co-existence to, at the very least, separate ahad narrations from fundamentals of faith. (Auda, 2007)
Menurut kami jika apa yang dimaksud oleh Jasser Auda dengan hadis-hadis ahad sebagai dasar agama adalah hadis-hadis terkait aqidah dan ibadah, maka kami setuju dengan itu. Oleh karenanya penguasa dalam pemerintah Islam sebaiknya tidak mengatur perkara-perkara tersebut sebagai hukum publik. Sebab aqidah dan ibadah adalah persoalan individu, keyakinan pribadi dan tidak mempengaruhi manusia lainnya. Misalkan terkait hadis ahad tentang, siksa kubur, keyakinan al Qur’an makhluk atau hanya kalam, tata cara sholat, dan lain sebagainya.
Adapun jika yang dimaksud hadis ahad sebagai dasar agama adalah soal kekuasaan yang terletak pada orang Quraisy, maka itu tidak dapat dijadikan alasan untuk meningkatkan budaya toleransi dan hidup berdampingan dengan mengeyampingkan hadis-hadis ahad. Sebab permasalahan intoleransi di antara kaum muslimin pada dasarnya bukan disebabkan oleh itu.
(tambah: penyebab intoleransi di Indonesia)
Adapun hadis-hadis ahad adalah hadis mayoritas dari hadis Rasulullah, jika kemudian hadis-hadis ahad ini dikesampingkan maka tidak akan ada lagi petunjuk Rasulullah sebagai pelajaran.
g. Sub bab Strategi Pemecahan Pertentangan Dalil
Jasser Auda said: Therefore, a large number of evidences are cancelled, one way or the other, for no good reason other than that the jurists’ failing to understand how they could fit them in a unified perceptual framework. Thus, invalidating these evidences is more or less arbitrary. For example,’ the wording related to the Prophet happened to be more ‘metaphoric,’ or a narrator happened to be female –in which case the male’s ‘opposing’ narration takes precedence. (Auda, 2007)
Pada sub bab ini Jasser mengatakan: bahwa kemansukhan dan tarjih adalah metode yang paling banyak digunakan untuk menyelesaikan pertentangan antara dalil. Sehingga banyak dalil-dalil menjadi tidak sah, dan ini adalah tindakan sewenang-wenang. Misalkan hadis yang diriwayatkan laki-laki yang bertentangan dengan dalil yang diriwayatkan oleh wanita yang kemudian yang diutamakan adalah dalil yang diriwayatkan oleh laki-laki. Menurut Jasser ini pembatalan sejumlah ayat dan hadits demi kemasukhan dan tarjih menunjukkan kekakuan dalam hukum Islam, yaitu ketidakmampuan untuk menghadapi berbagai situasi secara memadai.
Apa yang diungkapkan Jasser diatas adalah sebagai bentuk pengobrak-abrikan metode pengambilan hukum dalam ushul fiqih dengan mengatasnamakan gender. Sebab metode mansukh dan tarjih adalah satu metode dalam ushul fiqih itu sendiri yang tidak terkait gender. Contoh mansukh dan tarjih:
Dari Aisyah ra. Demi Allah, tangan beliau tidak pernah menyentuh tangan perempuan sama sekali dalam baiat. Beliau tidak membaiat para wanita kecuali dengan perkataan saja (HR. Bukhori)
Namun ada hadits lain yang maknanya bertentangan namun dianggap lebih kuat kebenarannya disebabkan alasan ruang kerjanya. Yaitu karena Aisyah ra. Mengatakan demikian lantaran kehidupannya tidak selalui menyertai Rasulullah, sehingga ada kemungkinan hal yang tidak diketahui Aisyah ra.
Dari Ummu Athiyah: kami membaiat Rasulullah saw ... beliau melarang kami melakukan nihayah, karena itulah seorang wanita dari kami menarik tangannya, wanita itu kemudian berkata, dan Rasulullah tidak berkata apa-apa. (HR. Bukhori).
Adapun hadis-hadis dari Aisyah ra. Yang berkaitan dengan rumah tangga Islami, seperti mandi janabat hubungan suami istri, maka hadis-hadis dari beliau akan lebih diutamakan dari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh wanita lain atau bahkan diriwayatkan oleh laki-laki.
Dengan demikian metode tarjih dan mansukh pada dasarnya bukan membuang hadis sebagaimana yang dikatakan oleh Jasser Auda, melainkan mengkompromikan kedua hadis melalui metode tarjih dan mansukh. Bahkan al Qur’an sendiri membenarkan metode naskh – mansukh tersebut yang Jasser Auda sendiri menganggapnya sebagai sebuah kesewenang-wenangan dan ketidakmampuan hukum Islam dalam menghadapi berbagai situasi.
“Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya (QS. Al Baqarah: 106)
“Allah menghapuskan yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki) (QS. Ar Ra’d: 39)
h. Sub bab Adat dan Maqasid Universalitas
Pada sub bab ini Jasser banyak mengutip pendapat Ibnu Asyur yang menjadi panutannya dari bukunya, misalkan: istri-istri orang mukmin: hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka...(al Ahzab)...ini adalah legislasi yang mempertimbangkan tradisi Arab, dan oleh karena itu, tidak harus diterapkan kepada kaum wanita yang tidak menggunakan model pakaian ini.
Similarly, we read: ... ‘believing women should draw over themselves some of their outer garments’ (Surat al-Ahzab) … This is a legislation that took into consideration an Arab tradition, and therefore does not necessarily apply to women who do not wear this style of dress (Auda, 2007)
Menurut kami ungkapan seperti ini adalah ungkapan tanpa disertai pengetahuan semua hadis Rasulullah saw. sebab pakaian kerudung dan gamis pada dasarnya adalah pakaian menurut wahyu, bukan pakaian menurut adat Arab. Seperti hadits dari Aisyah ra yang menceritakan reaksi muslimah pasca mendengar turunnya wahyu Allah dalam QS. An Nur: 31 tentang kewajiban kerudung. Bahwa mereka yang sebelumnya tidak memakai kerudung tiba-tiba merobek sarung mereka untuk dipasang di kepala mereka setelah menerima perintah Allah terkait kerudung tersebut.
4. Memahami Problem Kemunduran Peradaban Islam
Peradaban Islam mulai mengungguli dunia terhitung sejak amiril mukminin Umar bin Khattab sekitar tahun 640 M menguasai wilayah kekaisaran Persia dan sebagian wilayah kekaisaran Romawi Timur di Syam, hingga kemudian sejarah masih mencatat kejayaan peradaban Islam pada tahun 1526 M, ditandai dengan dimenangkannya perang Mohacs, yaitu perang tehadap nasrani seluruh Eropa oleh Khalifah Sulaiman al Qonuni. Hingga kemudian musuh-musuh Islam menyadari bahwa Islam tidak mungkin dihancurkan melalui perang militer.
Pada abad 17 M kafir barat merubah metode serang kepada kaum muslimin dengan membangun mega proyek, yaitu invasi misionaris dan serangan budaya ke wilayah Islam. Misionaris adalah organisasi yang didirikan oleh Perancis, Inggris dan Amerika untuk membuat kaum muslimin melepaskan keteguhannya memegang Islam dan sumber-sumber hukumnya. Aktivitas misionaris ini berawal dari pinggiran wilayah Utsmani hingga ke jantung negara Utsmani (Zallum, 2001).
Program misionaris yang mengorbankan tenaga, fikiran, dana dan waktu mereka yang dicurahkan selama ratusan tahun akhirnya membuahkan hasil. Kemudian banyak bermunculan pemuda dari kaum muslimin yang memuja peradaban barat, mereka mempengaruhi lainnya untuk mencontoh sistem kehidupan barat. Dan kemudian akhirnya kaum muslimin mulai mengadopsi dan menerapkan UU Barat, menerapkan sistem parlemen dalam tubuh Khilafah Utsmani. Sebagai contoh, tahun 1870 negara menjadikan lembaga peradilan menjadi dua macam, yaitu peradilan syara’ dan peradilan umum. Syaikhul Islam dan sejumlah ulama lainnya pun melakukan kesalahan dengan mengeluarkan fatwa yang isinya memperbolehkan mengadopsi hukum-hukum barat dengan alasan bahwa hukum-hukum itu tidak bertentangan dengan Islam.
Pada akhirnya Turki Utsmani dibubarkan pada tanggal 3 Maret 1924, berganti menjadi Republik Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kamal At Turk. Maka kemudian Mustafa Kamal seketika mengumumkan sekulerisme dengan melarang muslimah menutup aurat, memerintah lelaki Turki untuk mengenakan pakaian orang Eropa, mendirikan industri minuman keras milik negara, melarang penggunaan huruf Arab, dan upaya-upaya penghilangan ruh Islam lainnya .
Dengan demikian kita memahami bahwa permasalahan umat Islam ini adalah ketika kaum muslimin mulai memuja peradaban barat, kaum muslimin mulai terpecah-pecah dalam nasionalisme Arab dan non Arab, dan kemudian kerusakan itu ditegaskan dengan runtuhnya institusinya yang membuat hukum Islam tidak kita dapati lagi dalam realitas kehidupan.
D. Kesimpulan
Sebagian kaum muslimin yang masih memiliki keimanan yang baik berusaha agar hukum Islam tetap hidup, yaitu hidup namun tanpa institusi yang menopang hukum-hukum Islam tersebut (baca: Khilafah). Sehingga upaya-upaya tersebut bukannya membuat Islam bangkit dan berjaya, justru semakin membuat pemahaman umat Islam jauh dari Islam itu sendiri. Contoh dari upaya-upaya tersebut adalah seperti apa yang dilakukan Jasser Auda ini, yaitu mendialogkan, mereinterpretasi, melakukan tafsir ulang, dan menggoyahkan kemapanan sumber-sumber hukum Islam yang telah dibangun oleh para ulama pendahulu yang hanif.
Jika saja kaum muslimin bersedia menerima sistem pemerintahan sebagaimana sistem pemerintahan yang diterapkan khoirul qurun (para shahabat Nabi), maka dialog filsafati, reinterpretasi hadits non ibadah dan tafsir ulang akan sumber-sumber hukum Islam tidak kita perlukan. Sehingga Islam dapat kita terapkan secara kaffah, dan kejayaan kaum muslimin akan kembali lagi. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar