Oleh: Muhammad Baiquni Syihab
Sejarah Yogyakarta
Diketahui bersama bahwa sejarah pemerintahan Islami pertama di tanah Jawa ini ada di tangan Kesultanan Demak yang berdiri pada tahun 1475, pada saat yang sama, peradaban Islam yang maju di Asia Barat dan Eropa Timur berada dibawah kepemimpinan Sultan Mehmed II (Alfatih) W 1481. Adapun Raden Patah walaupun bukan sebagai Khalifah kaum muslimin jawa namun ia sebagai kepala negara pertama kesultanan demak yang diangkat oleh walisongo dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar pada tahun 1478. Beliau adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit yang beragama Hindu.
Menurut Filolog UIN Syarif Hidayatullah, Oman Fathurahman menyatakan bahwa berdasarkan sumber-sumber sejarah primer di arsip turki tidak ada bukti bahwa kerajaan-kerajaan islam nusantara selain Aceh merupakan vazal atau bawahan Ottoman. Kalau hanya terpengaruh kebesaran ottoman menurutnya sangat mungkin. Menurut Oman, Turki Utsmani menjadi Khilafah yang sah untuk seluruh kaum muslim baru pada tahun 1517, Sebab tahun tersebut keluarga Utsmaniyah di Konstantinopel berhasil menaklukkan Turki Mamluk di Kairo oleh Sultan Salim 1. Dengan takluknya Turki Mamluk kepada Turki Ottoman maka tanah suci Mekkah dan Madinah jatuh ke tangan Ottoman, dan yang jauh lebih penting, Khalifah Umat Islam Sedunia Abbasyiah, Al-Mutawakkil III jatuh ke kekuasaan Ottoman.
Adapun raja-raja Yogyakarta adalah keturunan Panembahan Senopati (Danang Sutawijaya) yang merupakan anak angkat Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) menantu Sultan Trenggana cucu dari Raden Patah. Jadi raja-raja jogja pada dasarnya bukan pewaris kepemimpinan darah raja-raja Majapahit.
Sultan Hamengkuwono X yang merupakan keturunan Panembahan Senopati pernah berpidato: “Pada 1479 Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan Kekhalifahan Islam Turki untuk Tanah Jawa dengan menyerahkan bendera Laa Ilaaha Illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain kiswah Ka’bah dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Keraton Yogyakarta sebagai pusaka penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat sebagai wakil Kekhalifahan Turki.”
Namun pada kesempatan lain Sri Sultan Hamengku Buwono X saat menjadi narasumber Dialog Kebangsaan di Gedung Negara Grahadi Surabaya pada tanggal 14 Januari 2023, beliau menyatakan tidak punya bukti bahwa Demak dan Mataram merupakan bawahan Turki Utsmaniyah. Ya, ini bisa difahami mungkin disebabkan arti kata “wakil” dan “bawahan” adalah dua arti kata yang berbeda, atau ada persepsi lain yang silahkan saja masyarakat menilainya.
Gelar yang melekat pada raja Jogja, “Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah” yang gelar tersebut tertulis dalam UU No.1 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta adalah gelar yang telah lama dipakai sejak Sultan Hamengkubuwono I yang membangun Keraton Yogyakarta pada 1756. Namun oleh keturunannya yang ke-9, Hamengkubuwono X gelar tersebut dirubah dengan menghilangkan kata ‘Khalifatullah”, hal ini memunculkan berbagai macam persepsi termasuk diantaranya persepsi fobia dengan istilah Khalifah yang memang identik dengan pemerintahan bercorak Islam, bisa juga karena beliau merasa bahwa arti kata Khalifatullah tersebut tidak bisa lagi terealisasi sejak dibawah Republik Indonesia, atau bisa jadi karena beliau sedang mempersiapkan peralihan kekuasaan untuk anaknya yang semuanya perempuan dan enggan melepaskan kekuasaan kepemimpinan keraton ke saudara kandungnya yang laki-laki, wallahua’lam.
Gelar Hamengkubuwono I adalah gelar yang disematkan pada Pangeran Mangkubumi setelah ia mendapatkan kekuasaan atas wilayah barat Kesultanan Mataram Islam, sedangkan wilayah timurnya dikuasai keponakan kandung Mangkubumi, yaitu Pakubuwono III. Perpecahan wilayah kesultanan Mataram Islam ini dilahirkan dari perjanjian Giyanti yang prakarsai oleh kafir penjajah VOC
Sebelum perjanjian Giyanti, telah terjadi Konflik saudara yang melibatkan Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa. Berdasarkan silsilahnya, Pakubuwana II (pendiri dari Kasunanan Surakarta) dan Pangeran Mangkubumi adalah kakak beradik, yang merupakan sama-sama putra dari Amangkurat IV (1719-1726). Sedangkan Raden Mas Said merupakan salah satu cucu Amangkurat IV, atau lebih tepatnya ialah keponakan dari Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi. Raden Said sendiri meminta haknya sebagai pewaris tahta Mataram yang diduduki oleh pamannnya yakni, Pakubuwana II. Alasan utamanya ialah bahwa ayah Raden Mas Said, Pangeran Arya Mangkunegara merupakan putra sulung dari Amangkurat IV. Oleh karenanya, Arya Mangkunegara lah yang seharusnya menjadi raja Mataram meneruskan Amangkurat IV. Namun, karena Arya Mangkunegara sering menentang kebijakan VOC akhirnya berimbas harus diasingkan ke Srilanka hingga meninggal dunia. VOC pun kemudian menaikkan putra Amangkurat IV lainnya, yakni Pangeran Prabusuyasa, sebagai penguasa Mataram selanjutnya dan bergelar Paku Buwana II.
Ketika Pakubuwana II memangku tampuk kepemimpinan Mataram Islam, ia memindahkan ibu kota kerajaan tersebut dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Febuari 1745. Perpindahan tersebut terjadi setelah Keraton Kartasura hancur akibat adanya pemberontakan yang dipimpin Mas Garendi atau Sunan Kuning pada 1742 dan mengakibatkan istana Mataram Islam di Kartasura rusak. Hal ini semakin memperkuat Raden Mas Said ingin merebut tahta Mataram Islam dari pamannya Pakubuwana II. Karena memiliki tujuan yang sama, akhirnya Raden Mas Said bekerjasama dengan Pangeran Mangkubumi untuk merebut tahta Mataram Islam dari Pakubuwana II yang dibantu oleh VOC.
Pada 20 Desember 1749 Pakubuwono II wafat. Kekosongan pemerintahan ini membuat Pangeran Mangkubumi mengangkat dirinya sebagai raja baru Mataram Islam. Mengetahui hal tersebut maka VOC tidak mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai penguasa dari Mataram Islam karena sebelum Pakubuwana II wafat ia memberikan wewenang pengangkatan raja baru kepada VOC. Situasi memanas ketika VOC mengangkat putra Pakubuwana II, Raden Mas Soerjadi menjadi raja Mataram Islam dengan gelar Pakubuwana III. Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi kembali melancarkan serangan pada VOC dan Pakubuwana III.
Untuk mengatasi serangan dari Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi, VOC kemudian menyusun siasat adu domba kedua tokoh tersebut. VOC mengirimkan utusan khusus untuk menghasut Raden Mas Said agar berhati-hati terhadap Pangeran Mangkubumi yang bisa mengkhianatinya. Politik adu domba yang dilancarkan VOC membuahkan hasil, pada 1752 terjadi perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh VOC untuk berunding dengan Mangkubumi. VOC membujuk Mangkubumi dengan menjanjikan setengah wilayah kekuasaan Mataram yang dipegang Pakubuwono III.
Pada 22-23 September 1754 VOC mengadakan perundingan dengan mengundang Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi (tanpa Raden Mas Said) untuk membahas pembagian wilayah kekuasaan Mataram, gelar yang akan digunakan, dan kerja sama VOC dengan kesultanan. Perundingan ini akhirnya mencapai kesepakatan dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi kesultanan Mataram Islam menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani, maka Pangeran Mangkubumi pun mendapat setengah wilayah Mataram Islam yang kemudian memunculkan kerajaan baru bernama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi lalu mendeklarasikan sebagai raja dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa wilayah kekuasaan Kraton Ngayogyokarto adalah pemberian VOC kepada Hamengkubuwono I, disebabkan wilayah tersebut nyatanya berstatus Badan Hukum Swapraja[1] di bawah kedaulatan VOC. Selain itu karena kepemimpinan wilayah Mataram Islam pada dasarnya ada pada anak sulung Amangkurat IV dan keturunannya (Raden Mas Said), atau pada Pakubuwono III putra dari Pakubuwono II yang telah lebih dulu berkuasa sebelumnya, namun akhirnya pangeran Mangkubumi berhasil mendapatkan kekuasaan atas sebagian wilayah melalui perjanjian Giyanti yang diprakarsai VOC.
Sultan Ground di Yogyakarta
Pada 5 September 1945 Kesultanan Yogyakarta bergabung dengan Negara Indonesia, dengan begitu Yogyakarta yang sebelumnya adalah sebuah negara tak berdaulat berubah menjadi hanya sebuah propinsi di wilayah Indonesia yang secara umum tunduk pada hukum Indonesia. Hanya saja Yogyakarta diberi keistimewaan oleh pemerintah pusat dalam beberapa bidang termasuk didalamnya hukum pertanahan, salah satunya terkait tanah sultan (Sultan Ground).
Berdasarkan UU Keistimewaan DIY (UU No. 13 Tahun 2012), Sultan Ground adalah tanah adat yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta dan tidak diatur dalam UU Pokok Agraria (UUPA). Tanah ini berstatus khusus, dan kepemilikannya hanya bisa dibuktikan melalui dokumen resmi dari Keraton.
Sultan Ground dibagi menjadi dua kategori utama: Crown Domain (Tanah Mahkota) dan Sultanaad Ground. Namun lebih spesifik hal ini tertuang dalam Pergub DIY Nomor 33 Tahun 2017 yang menyebutkan bahwa Tanah Kasultanan adalah tanah hak milik Kasultanan meliputi Tanah Keprabon dan Tanah Bukan Keprabon atau Dede Keprabon yang terdapat di kabupaten/kota dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam hal ini, tanah keprabon adalah tanah yang digunakan untuk bangunan istana dan kelengkapannya, seperti Pagelaran, Kraton, Sripanganti, tanah untuk makam Raja dan kerabatnya (di Kotagede, Imogiri, dan Giriloyo), alun-alun, masjid, taman sari, pesanggrahan, dan petilasan. Tanah bukan keprabon terdiri atas dua jenis tanah, yaitu tanah yang digunakan penduduk atau lembaga dengan hak (magersari, ngindung, hak pakai, hutan, kampus, rumah sakit, dan lain-lain) dan tanah yang digunakan penduduk tanpa alas hak.
Sejarah Tanah Kasultanan bermula pada 1918, di mana Pemerintah Kolonial Belanda secara resmi melalui Rijksblad (Lembaran Negara) mengakui Sultanaat Grond sebagai tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini tertuang melalui yaitu Rijksblad Kasultanan No 16 tahun 1918 yang menjadi dasar hukum status tanah yang dikenal sebagai Sultanaat Grond (SG).
Setelah terbentuknya Republik Indonesia, status badan hukum swapraja berakhir dengan dikeluarkannya Amanat 5 September 1945. Dan sebagai bentuk penghargaan, pemerintah pusat menerbitkan UU No 3 Tahun 1950 dan UU No 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU Pembentukan DIY).
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Sultan Ground dalam hukum Indonesia adalah tanah pemerintah daerah (propinsi) yang diberi wewenang sendiri untuk mengaturnya dan tidak mengikuti aturan umum Indonesia secara keseluruhan oleh pemerintah pusat (otonomi). Hanya saja kepemimpinan pemerintah daerah Yogyakarta ini didasarkan pada anak atau hubungan keluarga keturunan Hamengkubuwono. Berbeda dengan propinsi lainnya di Indonesia, walaupun di propinsi-propinsi tersebut masih ada bekas kesultanan dan keturunan sultan-sultannya juga masih ada namun setelah bergabung dengan Indonesia, kepemimpinan atas propinsi-propinsi tersebut tidak terletak pada anak keturunan sultannya melainkan dengan sistem hukum Indonesia pada umumnya, seperti kesultanan Palembang, Banten dan lain sebagainya.
Sekedar informasi data bahwa tanah Kasultanan (Sultan Ground) Yogyakarta memiliki luas total 27.352.573 meter persegi yang tersebar di lima kabupaten dan kota. Rinciannya, di Kota Yogyakarta seluas 2.195.775 meter persegi, di Kulon Progo seluas 6.842.138 meter persegi, di Gunungkidul seluas 3.403.944 meter persegi, dan di Sleman seluas 3.142.251 meter persegi. Sementara Tanah Kasultanan yang paling luas berada di wilayah Bantul yaitu seluas 11.768.465 meter persegi.
Pandangan Islam
Berdasarkan fakta saat ini yang merujuk pada Amanat 5 September 1945 maka sejatinya keraton adalah pemerintah daerah (propinsi) di wilayah negara Indonesia dan bukan negara sendiri yang berdaulat sebagaimana masa Mataram Islam era Sultan Agung, hanya saja keraton diberi otonomi dalam hukum pertanahannya. Tentu (otonomi) ini tidak dibenarkan mengingat bahwa kepala negara dalam pandangan Islam bertanggungjawab atas semua rakyat yang dipimpinnya, tidak boleh kepala negara menyerahkan tanggungjawab sebuah wilayah kekuasaannya pada seseorang (kepala daerah) kemudian ia berlepas diri dari tanggung jawab dan dan tidak melakukan kontrol atas kepemimpinan bawahannya.
Sebagaimana diriwayatkan dari Umar bin Khattab bahwa ia pernah berkata kepada orang-orang di sekitarnya, “bagaimana pendapat kalian jika aku mengangkat amil (kepala daerah) bagi kalian dari orang yang terbaik yang aku ketahui, lalu aku perintahkan ia berlaku adil, apakah aku telah menunaikan apa yang dibebankan kepadaku?” mereka menjawab “benar”, Umar berkata, “tidak, hingga aku melihat aktivitas-aktivitas mereka, apakah ia melakukannya sesuai dengan yang aku perintahkan atau tidak.”
Dengan demikian tidak ada daerah istimewa dalam pandangan Islam (negara Khilafah), karena semua daerah diberlakukan dengan hukum Islam yang sama. Selain itu bahwa kepala daerah dipilih dan dicopot oleh kepala negara, bukan dipilih oleh rakyat atau dipilih karena hubungan keluarga dari pemimpin sebelumnya, sebab kepala negaralah yang dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat dan bukan rakyat, dan juga harus memenuhi syarat menjadi kepala daerah, yaitu muslim, adil, laki-laki, berakal, merdeka, baligh, dan mampu, sehingga tidak ada kata Sultanah (sultan wanita) dalam Islam.
Berkaitan dengan sultan ground, maka kepemilikan tanah dalam Islam memiliki beberapa kemungkinan, jika tanah tersebut menjadi milik pribadi maka sumbernya bisa berasal dari ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati), warisan, hibah, atau melalui transaksi ekonomi seperti jual beli. Jika tanah tersebut milik negara maka sumbernya bisa berasal dari hasil perang yaitu ghanimah (tanah kharaj) atau hima (penguasaan tanah oleh negara) seperti padang pasir, tanah mati seperti hutan rimba, hutan kota juga termasuk kantor negara (istana). Adapun tanah milik umum tidak didapat kecuali karena hukum Islam menetapkannya berdasarkan pada karakternya, seperti padang rumput, jalan umum, pantai, pulau dan masjid. Jadi semua jenis tanah tersebut (milik individu, umum dan negara) menjadi sah kepemilikannya hanya berdasarkan pada hukum Islam.
Bahwa isi dari Sultan Ground milik kesultanan Yogyakarta yang didalamnya terdapat alun-alun, hutan kota, tanah pemakaman imogiri, istana kraton, taman sari, masjid gede Kauman, RS sarjito, Bandara dan Terminal (jika tidak keliru), rumah penduduk setempat didalam benteng, UGM, UNY dan lain sebagainya maka itu sah menurut hukum Indonesia yang membolehkan propinsi Yogyakarta memilikinya. Namun jika tanah jawa ini dikembalikan kepada kepemimpinan pemerintahan Islam yang sah (Khilafah), maka status kepemilikan semua tanah tersebut akan dikembalikan sesuai dengan hukum Islam.
Bahwa alun-alun yang pada awalnya memiliki fungsi sebagai ruang terbuka perluasan halaman masjid untuk menampung luapan jamaah dan merupakan halaman depan dari bangunan istana keraton, maka dari sifatnya yang demikian menjadikan alun-alun sejatinya berstatus kepemilikan negara yang bertujuan untuk syiar agama Islam. Dengan demikian tidak dibenarkan jika putri penguasa melarang penggunaan alun-alun sebagai tempat sholat hari raya kaum muslimin.
Demikian juga hutan kota, gembira loka, kampus UGM, sekolah, rumah sakit Sarjito, istana keraton, taman sari (kebun istana), pesanggrahan, maka bangunan dan tanahnya berstatus kepemilikan negara sebagaimana saat ini yang sudah dimiliki pemprov keraton. Namun bandara, terminal dan masjid gede Kauman tidak boleh dimiliki negara, melainkan menjadi milik umum karena sifat masjidnya, sama halnya dengan tanah pemakaman imogiri (raja-raja) yang merupakan milik umum sehingga tidak dibenarkan hanya boleh diisi oleh jenazah para mantan kepala pemerintah. Kecuali jika tanah tersebut bisa dibuktikan sebagai tanah milik pribadi sehingga bisa diisi oleh keluarga tertentu dan atas izin keluarga tertentu. Dasarnya adalah bahwa Umar bin Khatab ra. meminta izin kepada Aisyah untuk bisa dimakamkan disamping makam Rasulullah.
Berbeda halnya dengan rumah-rumah hunian warga di dalam benteng Yogyakarta yang saat ini sebagian darinya berstatus sultan ground alias milik negara (pemprov otonomi). Namun oleh karena tanah dalam benteng bukan bagian dari bangunan istana keraton maka status kepemilikannya berdasarkan pada faktanya, yaitu telah didiami oleh warga setempat secara turun temurun sehingga menjadikan statusnya adalah milik individu, bukan milik negara atau milik umum. Sehingga tidak boleh negara mengusir penghuninya untuk pembangunan bangunan budaya tanpa kerelaan mereka dan tanpa jual beli dengan mereka. Dasarnya adalah Rasulullah saw yang membiarkan kepemilikan pribadi atas rumah penduduk Madinah dan tetap menjadi kepemilikan pribadi mereka walaupun itu didalam wilayah benteng khandaq sewaktu perang Ahzab.
Dengan demikian tidak ada sultan ground yang tersebut diatas adalah milik pribadi keluarga Hamengkubuwono yang sah menurut Islam kecuali tanah pemakaman Imogiri, hampir keseluruhan tanah tersebut adalah milik negara atau milik individu rakyat yang tidak bisa diakui milik keluarga tertentu. Oleh karena itu mengambil tanah yang bukan haknya menurut Islam adalah sebuah kezaliman.
diriwayatkan dari Sa’id bin Zayd, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Barangsiapa yang mengambil sejengkal tanah dengan dzalim maka pada hari Kiamat tanah tersebut akan dikalungkan padanya sebanyak tujuh lapis”. (HR: Bukhari Muslim)
Kesimpulan
Mari kita kembali pada Islam, sesungguhnya hidup ini sebentar. Tidak ada bentuk kezaliman kecuali akan dibayar kelak di akhirat. Tidak ada harta yang dibawa mati kecuali amal sholih. Istri dan anak-anak akan menjalani kehidupan mereka sendiri-sendiri setelah kematian kita. Di akhirat pun mereka tidak akan bertanggungjawab dengan amal buruk yang pernah kita lakukan. Semoga Khilafah segera kembali tegak.
[1] Hukum tanah swapraja adalah hukum tanah adat yang diciptakan oleh pemerintah swapraja dan sebagian diciptakan oleh Hindia Belanda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar