Oleh: Muhammad Baiquni Syihab
A. Pendahuluan
Maqasid Syariah menurut Abdul Wahab Khallaf adalah kaidah-kaidah tasyri’iyyah yang diungkapkan oleh ulama ushul fiqih Islam dari penelitian hukum-hukum syar’iyyah dan dari penelitian tentang illat-illatnya dan berbagai hikmah dari pembentukan hukumnya, serta dari berbagai nash yang menetapkan berbagai dasar-dasar pembentukan hukum secara umum dan prinsip-prinsip hukum yang umum.[1]
Tujuan umum syar’i dalam mensyariatkan hukum-hukumnya ialah mewujudkan kemaslahatan manusia dengan:
1. Menjamin hal-hal yang dharuri (kebutuhan pokok) bagi mereka
2. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka (hajiyat) dan
3. Kebaikan-kebaikan mereka (tahsiniyat)
Sesuatu yang bersifat tahsini tidaklah dipelihara jika didalamnya terdapat pelalaian terhadap sesuatu yang bersifat kebutuhan hajiyat. Demikian pula tidak dipelihara sesuatu yang bersifat hajiyat dan tahsiniyat, jika didalamnya terdapat pelalaian terhadap yang dharuriyat.
Bahwa hal-hal yang yang dharuri bagi manusia kembali kepada lima hal: agama (hifzu din), jiwa (hifzu nafs), akal (hifzu akl), kehormatan (hifzu nasl) dan harta (hifzu maal).
Adapun hal-hal yang bersifat hajiy bagi manusia mengacu pada sesuatu yang menghilangkan kesulitan dari mereka, meringankan beban taklif dari mereka, dan mempermudah bagi mereka berbagai macam muamalah dan pertukaran. Agama Islam telah mensyariatkan sejumlah hukum pada berbagai bab muamalah, ibadah dan hukuman yang maksudnya ialah menghilangkan kesulitan dan memberikan kemudahan bagi manusia.
Sedangkan hal yang bersifat tahsini mengacu kepada segala sesuatu yang memperindah keadaan manusia dan menjadikannya sesuai dengan hal yang dituntut muru’ah dan akhlak yang mulia. Agama Islam telah mensyariatkan dalam berbagai bab ibadah, muamalah dan hukuman sejumlah hukum yang dimaksudkan untuk perbaikan dan keindahan serta membiasakan manusia dengan adat dan istiadat yang terbaik sekaligus menunjuki mereka menuju jalan yang terbaik dan terlurus.[2]
B. Menempatkan Fiqih diatas Maqasid
Perintis teori maqasid adalah Imam Al-Ghazali yang lahir pada tahun 1058 M. Artinya sebelum era imam Ghazali tidak ada teori maqasid. Namun demikian keberadaan akan maqasid syar’i jelas telah ada sejak adanya wahyu Allah tersebut, yaitu turun bersama turunnya al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
Dengan demikian para Shahabat Nabi SAW, seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Saad bin Abi Waqos, Zaid bin Tsabit dan lain sebagainya, atau Tabiin seperti Abu Hanifah, Hasan Basri, Said bin Musayib, Umar bin Abdul Aziz dan lain sebagainya, atau tabiut tabi’in seperti Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Sufyan Al Tsauri, Al Auzai dan lain sebagainya, dalam berfatwa terkait hukum Islam tidaklah menggunakan teori maqasid, sebab mereka hidup sebelum era pencetus teori Maqasid Imam Ghazali. Namun demikian fatwa-fatwa mereka sering dianggap oleh tokoh Islam Mutaakhirin sebagai fatwa yang lahir dengan mempertimbangkan maqasidu syar’i. Apakah benar demikian, ataukah mereka berfatwa secara murni menggunakan kaidah dalam ushul fiqh atau kaidah dalam berfatwa, dan apakah fatwa-fatwa mereka bisa kita jadikan sandaran dalam berhukum?, dengan demikian untuk memperjelas masalah tersebut kita perlu menjernihkan runtutan sumber hukum Islam sebagai dasar pengambilan fatwa hukum.
Runtutan sumber hukum Islam yang bisa dijadikan dasar hukum adalah Al-Qur’an (karena seluruhnya qoth’i tsubut), Hadits (karena perintah al-Qur’an), Ijma Shahabat Nabi (karena indikasi wahyu yang tidak teriwayatkan) dan Qiyas (metode berhukum). Adapun maqasid bukan termasuk sumber hukum Islam, melainkan sebuah pelajaran yang tersirat dari hukum Islam yang diambil dari 4 sumber hukum Islam tersebut. Oleh karenanya, tidak bisa dianggap maqasid yang syar’i jika bertentangan dengan makna teks yang ada pada Qur’an, Hadits dan Ijma Shahabat. Bahkan Qiyas pun tidak dianggap dan diakui jika sebuah hukum telah ditetapkan dalam al-Qur’an, Hadits dan Ijma Shahabat Nabi saw (kaidah: laa ijtihada ‘ala maulidin nash), apalagi jika hanya pengungkapan sebuah maqasid yang bertolak belakang dengan teks wahyu.
Terkait Ijma Shahabat sebagai sumber hukum Islam yang ketiga, maka perlu kami tekankan, bahwa yang menjadi sumber hukum adalah ijma (kesepakatan) oleh orang-orang yang terdefinisi sebagai shahabat Nabi saw., dan bukan sekedar pendapat salah satu shahabat Nabi saja, seperti pendapat/fatwa Umar bin Khatab saja, atau fatwa Ali bin Abi Thalib saja. Sebab jika pendapat tersebut adalah pendapat seorang diantara mereka saja dan berbeda pendapatnya dengan shahabat Nabi yang lain, maka fatwa tersebut adalah Mazhab Shahabat, beserta orang-orang yang mengikuti fatwa tersebut. Sekali lagi hal demikian disebut bukan Ijma Shahabat.
Terlebih lagi jika fatwa hukum Islam berasal dari seorang tabi’in atau tabiut tabiin seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, Said bin Musayib, Ahmad bin Hanbal, dan lain sebagainya. Pendapat-pendapat fatwa mereka tidak layak dijadikan sumber hukum Islam. Oleh karenanya pendapat-pendapat mereka (para imam) adalah hukum Islam bagi mereka beserta orang-orang yang mengikuti mereka, namun bukan sumber hukum Islam, sebab fatwa mereka adalah hasil ijtihad mereka. Sedangkan sumber hukum Islam adalah Qur’an, Hadits, Ijma Shahabat dan Qiyas
Sebagai contoh, tokoh tabi’in Said bin Musayyib pernah berfatwa bahwa boleh penguasa menetapkan harga atas barang dengan maksud (maqasid) untuk melindungi pembeli. Sedangkan jika dilihat fatwa tersebut nyatanya bertentangan dengan makna teks hadits Nabi saw tentang tas’ir (penetapan harga). oleh karenanya fatwa ini bukanlah sumber hukum Islam, melainkan sekedar fatwa seorang ulama besar, tokoh tabiin yang dalam berfatwa (berijtihad) memiliki kemungkinan salah dan keliru. Selain bukan shahabat Nabi saw, beliau Said bin Musayib juga dalam berfatwa terkait ini kemungkinan tidak menggunakan teori maqasid Imam Ghazali, sebab beliau wafat sebelum lahirnya imam Gahazali. Oleh karena itu mencontoh dan melaksanakan kebijakan sebagaimana ketetapan Said bin Musayyib tentang tas’ir dengan alasan Maqasid adalah tidak tepat, keliru dan tidak dapat dibenarkan.
Umar bin Khatab juga pernah berfatwa bahwa wanita dari keturunan yang mulia (bani Hasyim: Syarifah) tidak boleh menikah kecuali dengan laki-laki yang setaraf dengannya (Sayyid). Namun demikian fatwa ini adalah fatwa Umar bin Khatab yang berbeda dengan pendapat Shahabat Nabi lainnya, walaupun imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Syafii juga berpendapat demikian. Oleh karena itu fatwa Umar beserta orang-orang yang mengikuti fatwa tersebut disebut mazhab Shahabat, bukan Ijma Shahabat sebagai sumber hukum Islam.
Maqasid juga berbeda dengan illat hukum dalam Qiyas. Illat hukum adalah sifat yang mengikat (sifat mundhabitoh) yang menyatukan antara kasus hukum asal yang dijadikan pijakan analogi (al muqoyyas alaih) dengan derivat (al muqoyyas) yang akan dihukumi.[3] Sedangkan maqasid adalah tujuan dari hukum. Illat dapat digunakan untuk menghukumi kasus yang belum tersebut hukumnya didalam al-Qur’an dan Hadits, sedangkan Maqasid tidak dapat digunakan seperti itu, sebab maqasid adalah ibroh.
Contoh kasus berikut: hukum tidak berpuasa pada bulan ramadhan bagi pekerja berat di pelabuhan adalah boleh, sementara orang-orang yang boleh untuk tidak berpuasa ramadhan yang tersebut dalam Al-Qur’an hanya orang sakit dan musafir. Mengapa kesimpulan hukumnya demikian, sebab memiliki kesamaan illat, yaitu keadaan payah (masaqqoh) yang dialami orang sakit dan musafir sebagaimana payahnya keadaan pekerja berat sehingga bisa mendapatkan rukhsoh yang sama. Artinya hukum bolehnya tidak berpuasa bagi pekerja berat adalah karena illat hukum dalam qiyas melalui illat istinbath[4], atau seperti yang diungkapkan oleh Imam Ghazali adalah illat munasabah. Jadi, bolehnya berbuka puasa bagi pekerja berat bukan karena maqasid (tujuan) dari hukum bolehnya tidak berpuasanya bagi orang sakit dan musafir, sebab maqasid hanyalah sebuah ibroh yang diterangkan oleh nash, tidak lebih. Jika nash tidak menyebut maqasid penetapan hukum, maka kita tidak akan tahu apa tujuan Syari’ menetapkan hukum tersebut. Contoh: disyaritakannya wudu dan mandi junub tidak disertai maqasid, oleh karena itu kita tidak tahu apa tujuannya dari ditetapkannya hukum tersebut oleh as-Syari’. Oleh karena itu perlu dibedakan antara illat dengan maqasid.
Adapun contoh maqasid namun tidak bisa dijadikan illat, seperti yang dijelaskan dalam nash.
Contoh:
Kutiba ‘alaikum syiam kama kutiba ala llazina min qoblikum la’allakum tattaqun (artinya: diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa)
Maqasid dari kewajiban syiam adalah agar kalian bertaqwa, namun maqasid ini tidak bisa diartikan sebagai illat. Sebab jika dijadikan illat maka akan ia memiliki fungsi demikian dalam hal qiyas: berzikir, i’tikaf, sodaqoh secara sembunyi-sembunyi, semuanya dapat membuat kita bertaqwa, sehingga hukumnya menjadi wajib, jelas ini tidak dapat dibenarkan. Bahkan lebih fatal jika seperti ini: hasil observasi dan eksperiment dalam metode ilmiah, yoga, matigeni, puasa mutih, berbagi angpao, meditasi, nyepi adalah aktivitas yang tidak tersebut dalam nash namun dapat membuat orang jadi berkelakuan baik dan bertakwa, lalu apa hukumnya? Hingga kemudian aktivitas tersebut dihukumi wajib. Ini adalah logika jauh dari kebenaran.
Dengan demikian cara peng-qiyas-an menggunakan maqasid justru membuat hukum Islam jatuh pada metode filsafat – mantiq (logika), dan ini tidak dapat dibenarkan.
Namun demikian maqasid sebuah hukum walaupun tidak disebutkan dalam nash, mengungkapkan maqasid (tujuan hukum) tersebut tetap boleh dilakukan. Namun maqasid yang diungkapkan tersebut memiliki sifat, selain tidak dapat dijadikan sebagai illat hukum, maqasid tersebut juga tidak mutlak kebenarannya. Dengan demikian maqasid tersebut lebih cenderung sebagai sebuah hikmah dan atau argumentasi tujuan hukum. Sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an.
“Serulah manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan jalan yang baik” (QS an Nahl: 125)
C. Definisi dan Dasar Hukum Riba
Riba menurut pengertian bahasa berarti tambahan (az ziyadah), berkembang (an numuw), meningkat (irtifa’), dan membesar (al ‘uluw).[5] Dengan kata lain riba adalah penambahan, perkembangan, peningkatan dan pembesaran atas pinjaman pokok yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan karena menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu.[6]
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab fiqih sunnah, yang dimaksud riba adalah tambahan atas modal baik penambahan itu sedikit atau banyak. Demikian juga menurut Ibnu Hajar al Asqolani, riba adalah kelebihan, baik dalam bentuk barang maupun uang. Sedangkan menurut Allama Mahmud al Hasan Taunki, riba adalah kelebihan atau pertambahan; dan jika dalam suatu kontrak penukaran barang lebih dari satu barang yang diminta sebagai penukaran satu barang yang sama.
1. Al-Quran
"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shaleh, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (daripengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak akan menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS Al Baqarah : 275 – 280).
"Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang yang melipatgandakan." (QS Ar Ruum : 39).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (QS. Ali Imron: 130)
2. Hadits
“Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan mengetahui bahwa itu adalah uang riba dosanya lebih besar dari pada berzina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad)
“Riba Itu Ada 73 Pintu. Yang Paling Ringan Adalah Semisal Dosa Seseorang Yang Menzinai Ibu Kandungnya Sendiri.” (HR. Al Hakim Dan Al Baihaqi)
D. Jenis-jenis Riba
Terdapat dua jenis riba yang dipraktekkan dan kemudian dilarang oleh Islam, yaitu riba nasi’ah dan riba fadhl. Riba nasi’ah dikenal sebagai tambahan yang dipersyaratkan akan diambil oleh kreditur (pemberi pinjaman) dari debitur (peminjam) sebagai imbalan pengangguhan waktu yang diberikan oleh pihak kreditur untuk melunasi hutang, baik ketika akaqd hutang itu dilakukan maupun ketika debitur meminta penangguhan. Sedangkan riba fadhl yaitu kelebihan yang dihasilkan karena perbedaan barang yang diperjualbelikan.[7]
1. Riba Nasiah
Nasi’a secara bahasa berarti menunda, mengangguhkan atau menunggu, dan mengacu kepada waktu yang diberikan kepada pengutang untuk membayar kembali hutang dengan memberikan tambahan. Karena itu, riba nasi’ah mengacu kepada bunga dan utang.[8] Dalam arti inilah, istilah riba dalam alqur’an “...dan Allah mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah : 275). Arti ini juga yang ditunjukkan dalam hadits Raulullah saw. ketika beliau mengatakan, “Tidak ada riba kecuali nasi’ah”. (HR. Bukhari).
Riba ini secarta tegas dilarang dalam al-Qur’an dengan larangan yang keras. Semua ulama sepakat tanpa adanya perselisihan mengenai hal ini. Tidak ada ruang untuk berkilah bahwa riba yang dimaksud adalah yang berlipat ganda (usury) dan bukan bunga (interest), sebab Rasulullah saw. telah melarang ummatnya mengambil hadiah, pelayanan, atau tanda mata sekecil apapun sebagai syarat pinjaman, lebih dari pokok.
Dari Abu Burdah bin Salam, ia berkata, “Kamu hidup dalam sebuah negeri di mana riba tersebar luas. Karena itu, jika salah seorang berutang kepadamu dan ia memberikan sekeranjang rumput atau gandum atau jerami, janganlah engkau terima karena itu adalah riba.” (HR. Bukhari)
Jenis riba ini sudah tersebar luas dan telah dikenal pada zaman Rasulullah. Transaksi dalam bentuk seperti ini sudah biasa terjadi di negara Arab pada waktu itu. Ketika "si peminjam tidak dapat membayar uang pokok bersama tambahannya pada saat jatuh tempo, saat itu pula ia diberi perpanjangan waktu, tetapi jumlah pinjamannya pun menjadi berlipat ganda.”
Contoh-contoh yang terjadi pada zaman Rasulullah berikut ini mungkin dapat membantu memperjelas arti riba nasi’a (bunga dalam transaksi uang) sebagaiman yang diungkapkan dalam kitab al Muwatha’.
Pertama, Abu Saleh berkata bahwa ia pernah menjual kain pada warga Dar al-Nakhla dengan perjanjian akan membayarnya pada tanggal tertentu. Tetapi, ketika ia pergi menuju Kufa, mereka meminta agar mengurangi jumlah harga yang sudah ditentukan dengan alasan mereka ingin membayar kontan pada saat itu juga. Kemudian Abu Saleh menghubungi Zaid ibn Tsabit untuk menanyakan hal tersebut. Namun Zaid melarang untuk menerima tawaran tersebut karena di dalamnya terdapat unsur riba.
Kedua, Abdullah ibn 'Umar pernah ditanya tentang seseorang yang meminjamkan sejumlah uang pada orang lain dengan jangka waktu pengembalian yang telah ditentukan; peminjam memohon pada kreditor untuk mengurangi jumlah uang pinjamannya dengan alasan ia akan membayar sebelum waktunya, tetapi Abdullah tidak menyetujui tawaran tersebut karena mungkin di dalamnya terdapat unsur riba.
Ketiga, menurut Zaid ibn Asian, pada masyarakat Arab lama, riba terjadi dalam bentuk seperti ini: ketika seseorang berhutang pada orang lain dan masa pinjamannya telah habis, orang yang memberikan pinjaman akan meminta sejumlah uang pokok yang dipinjamkannya. Jika peminjam tidak mampu membayarnya maka pemberi pinjaman akan memberikan perpanjangan waktu dengan syarat ia nanti harus membayarnya bersama tambahan modalnya. Maka jangka waktunya diperpanjang dengan menaikkan hutangnya (sebagai imbalan atas perpanjangan jangka waktunya itu). Maka hal itu kurang lebih, merupakan imbalannya karena menunggu daiam jangka waktu yang lebih lama untuk menerima kembali uang pokoknya dari di peminjam, dan bunga yang diminta lebih banyak dari uang pokok yang dipinjarnkan, itulah yang dinamakan nba (atau bunga).
Keempat, Imam Malik berkata bahwa ada persetujuan penuh di antara para pakar ekonomi Muslim yang berkaitan dengan seluruh transaksi kredit yang dilarang. Transaksi itu ialah jika seseorang memberikan pinjaman pada orang lain dengan jangka waktu yang telah ditentukan, telapi peminjam berjanji akan membayarnya sebelum tanggal yang telah dijanjikan jika kreditor mengurangi jumlah pinjamannya: atau jika kreditor menambah waktu pembayarannya setelah jatuh tempo yang telah dijanjikan dan peminjam berjanji akan menambah uang pinjamannya dengan tambahan yang ditentukan. Menurut Imarn Malik itulah yang dinamakan bunga yang murni dan ini tidak diragukan lagi.
2. Riba Fadhl
Riba fadhl berasal dari kata al-fadhl yang berarti tambahan pada salah satu dari kedua barang yang dipertukarkan. Adapun barang-barangnya sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi SAW.
“Emas dijual dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal dengan semisal, dalam jumlah yang sama dan tunai, tangan dengan tangan. Dan jika jenis-jenis ini berbeda, maka juallah sekehendak hati kalian, jika dilakukan serta diserahkan seketika” (HR. Muslim)
Riba Fadhl terjadi dalam transaksi pembelian dari tangan ke tangan dan penjualan komoditas. Apapun yang diterima sebagai suatu “kelebihan” oleh salah satu dari kedua belah pihak dalam transaksi ini adalah riba fadhl. Permasalahan riba fadhl menyangkut aspek keadilan dalam pertukaran komoditas dengan nilai yang sama.
Pembahasan riba fadhl ini muncul dalam hadits-hadits yang melarang pertukaran komoditas yang sama yaitu emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dengan barley atau anggur dengan anggur dan sebagainya.
Dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali dalam keadaan serupa dengan serupa dan janganlah kamu menambahkan di atas lainnya, jangan kamu menjual perak dengan perak kecuali dalam keadaan serupa dan jangan pula menambahkan di atas lainnya, dan janganlah kamu menjual yang jauh untuk yang sudah siap” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Musnad Ahmad)
Dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (serupa dengan serupa dan dari tangan ke tangan). Barangsiapa yang membayar lebih atau mengambil lebih, ia telah melakukan riba. Pengambil dan pembayar sama-sama berdosa.” (HR. Muslim dan Musnad Ahmad).
Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Menjual gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, adalah perbuatan riba, kecuali kalau dijualnya dari tangan ketangan (transaksi diselesaikan pada saat itu juga)” (HR. Bukhari).
Menurut Abu Said Khudri, Rasulullah telah bersabda, “Janganlah menjual dua sha’ (timbangan) kurma dengan satu sha’, juga jangan menukar dua dirham untuk satu dirham (karena itu adalah riba)” (HR. Bukhari).
Diriwayatkan oleh Abu Bakar bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah menjual emas dengan emas dan perak dengan perak dalam jumlah yang sama, tetapi juallah emas dengan perak atau perak dengan emas sesuka kamu” (Bukhari).
Diriwayatkan oleh Abu Said Khudri bahwa Rasulullah berkata: "janganlah menjual emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali dalam jumlah yang sama, juga janganlah menjual sesuatu dengan barang yang sama dalam jumlah yang lebih sedikit, dan juga jangan menjual sesuatu yang ada dengan sesuatu yang tidak tampak" (HR. Bukhari).
Terdapat beberapa pendapat berkaitan dengan masalah komoditas apa saja yang terkait dengan riba. Mengapa hanya enam komoditas yang disebutkan. Berdasarkan karakteristik emas dan perak sebagai komoditas uang (commodity money), secara umum disimpulkan bahwa semua komoditas yang dipergunakan sebagai uang masuk ke dalam cakupan riba fadhl, sedangkan terhadap komoditas empat lainnya banyak perbedaan di kalangan para fuqaha. Imam Hanafi, Hanbali, Imami, dan Zaidi berpendapat bahwa karena keempat komoditas itu dijual dengan timbangan atau ukuran, maka semua barang yang dapat dijual berpotensi terkena riba fadhl. Imam Syafi'i berpendapat empat jenis yang lainnya (gandum, barley, kurma, dan garam) mewakili jenis bahan makanan, sedangkan menurut Imam Maliki, termasuk pula makanan yang benar-benar dapat dimakan setelah diawetkan atau dapat disimpan lama.
Sementara itu, ketiadaan illat yang terdapat dalam enam komoditi membawa an Nabhani berkesimpulan bahwa riba tidak akan terjadi di dalam praktek jual beli dan salam, selain pada enam barang yaitu kurma, qamh, sya’ir,[9] garam, emas dan perak. Ijma’ dan hadits ang berkenaan dengan ini hanya menyatakan komoditas tertentu yaitu enam jenis, yang di dalamnya terdapat praktek riba, sehingga tidak bisa ditetapkan selain terhadap barang-barang tersebut. Hal ini juga sesuai dengan kaidah,
“Hukum asal barang adalah mubah (halal) selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya”.
Sebuah hal yang kita tangkap dalam hadits-hadits di atas adalah sulitnya melakukan pertukaran komoditi yang sama dengan nilai yang sejenis. Penyeimbangan nilai dalam pertukaran ini hanyalah bersifat perkiraan. Akibatnya, pertukaran komoditas yang sejenis berpeluang memunculkan ketidakadilan. Untuk menjamin keadilan, Rasulullah tidak menggalakkan perdagangan barter tetapi memberikan solusi melalui pertukaran dengan uang yang selanjutnya dapat dipertukarkan kembali dengan komoditas yang diinginkan. Dengan demikian, fungsi uang sebagai alat tukar diharapkan mampu berperan menghilangkan ketidakseimbangan nilai tukar barang.
Abu Said Khudri meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah telah menunjuk seseorang sebagai Gubernur Khaibar. la membawa kurma dengan kualitas yang tinggi pada Rasulullah dan bertanya, "Apakah Khaibar menghasilkan kurma seperti ini di seluruh ladangnya?" la menjawab, "Tidak. Demi Tuhan, kami membeli satu saa jenis kurma ini untuk ditukar dengan dua saa kurma jenis yang lain." Rasulullah berkata, "Janganlah mengulangi lagi perbuatan itu, juallah (kurma kualitas rendah ini) dengan dirham dan kemudian belilah kurma yang berkualitas tinggi, (Kalau kurma harus ditukar dengan kurma) maka harus sama beratnya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Nasa’i).
Abu Sa'id berkata bahwa suatu hari Bilal datang pada Rasul dengan membawa kurma yang jenisnya hijau. Rasul lain bertanya, “Dari mana kamu memperoleh ini?” Bilal menjawab, “Kami memiliki kurma yang berkualitas rendah, kemudian kami memberikan dua sha’ kurma yang berkualitas seperti itu untuk ditukar dengan satu sha’ kurma yang berkualitas tinggi dengan tujuan untuk diberikan pada Rasulullah yang mulia.” Mendengar hal ini, Rasulullah berseru, “A wa, a wa (ungkapan yang menyalahkan), ini benar-benar riba. Janganlah kamu lakukan lagi, jika kamu ingin memperoleh kurma yang berkualitas tinggi, maka juallah terlebih dahulu kurma-kurma yang berkualitas rendah itu untuk memperoleh uang, kemudian belilah kurma yang berkualitas tinggi.” (HR. Muslim dan Musnad Ahmad).
Dengan demikian, baik riba nasi’ah maupun riba fadhl sama-sama tergolong riba yang dimaksudkan ayat “...dan Allah telah mengharamkan riba...” (QS Al Baqarah : 275). Riba nasi’ah berhubungan dengan pinjaman dan dilarang pada bagian kedua ayat tersebut, riba fadhl berkaitan dengan perdagangan dan terkadung dalam implikasi bagian pertama ayat itu.[10]
E. Bunga dan Riba Adalah Sama
Bunga adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (qard) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase. Sedangkan riba adalah ziyadah tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut riba nasi’ah.[11]
Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah saw., dengan demikian praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.[12]
F. Fungsi Bunga Bank dalam Perekonomian
Bunga/Interest (riba) adalah salah satu dari pokok kegiatan perekonomian negara yang sistem pengelolaan negaranya cenderung pada idiologi Kapitalisme, sulit dipungkiri bahwa ini juga termasuk Indonesia. Bunga dapat kita katakana adalah instrument keuangan negara paling penting atau alat kebijakan moneter utama Indonesia, yaitu sebagai alat untuk mengatur jumlah uang beredar. Jika harga-harga mengalami kenaikan akibat jumlah uang beredar tinggi, maka pemerintah akan menaikkan suku bunga bank, baik dalam bentuk obligasi pemerintah, SBI (sertifikat bank Indonesia), dan Surat Utang Negara (SUN) lainnya, agar kemudian tingkat jumlah uang beredar menjadi turun yang diharapkan akan berlanjut pada harga-harga pun akan menjadi turun. Sebab dengan menaikkan tingkat suku bunga diharapkan masyarakat tertarik untuk memasukan uang ke dalam bank, sehingga uang yang sebelumnya beredar di masyarakat terhisap masuk kedalam bank.
Namun selanjutnya masalah akan muncul sebagai efek samping, yaitu karena penyedotan jumlah uang beredar tersebut disertai dengan iming-iming bunga, maka konsekuensi logis kedepannya adalah penambahan jumlah uang beredar baru (dengan pencetakan uang baru) akibat janji pemerintah yang akan memberikan bunga pada pinjamannya guna mengurangi jumlah uang beredar.
Bank sebagaimana yang diketahui adalah lembaga intermediasi keuangan, yaitu lembaga yang memiliki fungsi pokok menghimpun dana dan kemudian menyalurkannya. Lebih tegasnya adalah mengumpulkan dana dari pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dan kemudian memberikannya pada pihak-pihak yang membutuhkan dana tersebut, dengan kata lain bank adalah lembaga yang membuat uang dapat berputar, dan membuat roda perekonomian terus berjalan.
Gambar Intermediasi Bank
Sehingga memang wajar jika sebagian pemikir ekonomi tidak dapat membayangkan (pesimis) kemunduran ekonomi yang terjadi seandainya lembaga keuangan seperti perbankan tidak ada.
Dan tentu hal pertama yang terjadi bila perbankan tidak ada adalah kelangkaan uang beredar, sebab pemilik dana akan menyimpan uangnya di tempat-tempat pribadi mereka, di rumah-rumah mereka, di brankas-brankas pribadi mereka, dan di tempat-tempat lain yang tidak mudah diambil alih orang lain. Keadaan seperti itu akan membuat pihak perusahaan yang membutuhkan modal untuk menjalankan usahanya tidak dapat beroperasi. Sebab perusahaan yang memutuhkan dana akan mengalami kesulitan berat dalam mendapatkan dana tersebut. Kelanjutan bencana ekonomi berikutnya tentu dapat ditebak, pekerja kehilangan pekerjaannya. Oleh sebab itu jika logika ekonomi dari pemikir ekonomi menyampaikan demikian, maka keberadaan perbankan sampai pada pembahasan ini jelas tidak dapat dibantah urgensitasnya.
Kemudian dengan apa perbankan mampu membuat pemilik dana bersedia menempatkan dana mereka di perbankan?, padahal bagi pemilik dana, tentu lebih disukai oleh mereka bila dana tersebut berada dibawah pengawasan mereka langsung, dan bukan dititipkan pada pihak lain yang penuh dengan resiko dan akan hilangnya kesempatan pemanfaatannya oleh mereka.
Oleh karena itu setidaknya ada dua cara yang dipakai bank untuk membuat pemilik dana bersedia menaruh dananya di bank sehingga perusahaan dan pihak-pihak yang membutuhkan dana tidak kesulitan dalam mencari posisi keberadaan dana yang mereka butuhkan itu, yaitu:
1) Memberikan imbalan, bahwa seandainya pemilik dana bersedia menaruh dananya di bank, maka bank akan memberikan kompensasi berupa sejumlah tambahan dana dari dana yang disimpannya tersebut. Tambahan dana itu dalam perbankan konvensional disebut dengan bunga. Sedangkan dalam perbankan syariah menggunakan bagi hasil, dan bagi hasil memiliki sifat yang berbeda dengan bunga.
Adapun bunga adalah kompensasi yang diberikan bank konvensional kepada pemilik dana dengan menggunakan persentase tertentu yang dikalikan dengan jumlah dana yang disetorkan nasabah pada bank. Sedangkan bagi hasil adalah kompensasi yang diberikan bank syariah kepada pemilik dana dengan menggunakan persentase tertentu yang dikalikan dengan jumlah keuntungan yang didapat bank syariah untuk suatu periode tertentu.
2) Memberikan jaminan, bahwa seandainya pemilik dana bersedia menaruh dananya di bank, maka bank menjamin dana tersebut tidak akan hilang, pasti akan dikembalikan pokok simpanannya beserta imbalannya, dan pemilik dana tidak akan dirugikan sedikitpun.
Namun, keberadaan bunga pada bank juga memberikan dampak “positif”, sebab bank menjadi tempat dimana perusahaan-perusahaan besar datang untuk mendapatkan modal dengan mudah (selain pasar modal), dengan demikian kegiatan ekonomi terus berjalan.
Adapun Bank Syariah pada dasarnya adalah perbankan yang sistem operasional utamanya berbasis kerjasama mudharabah, artinya dalam hal saat mengumpulkan dana bank akan menggunakan bentuk kerjasama mudharabah, dan demikian pula saat bank menyalurkan dana yang terkumpul tersebut, juga menggunakan bentuk kerjasama mudharabah ditambah dengan berbagai produk lainnya.
Adapun mudharabah adalah bentuk kerjasama bisnis yang memiliki konsekuensi bagi hasil, artinya bagi untung dan bagi rugi. Keuntungan dibagi bersama dan kerugian dibagi bersama, kerugian dana ditanggung pemodal, dan kerugian waktu dan tenaga ditenggung sang pengelola.
Pada saat bank mengumpulkan dana, masyarakat akan disebut sebagai pemilik dana pihak ketiga (giro, tabungan dan deposito mudharabah) dan dananya disebut DPK. Sedangkan lembaga keuangan yang menyetorkan dananya pada bank tersebut disebut sebagai pemilik dana pihak kedua (Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank, dsb.), semuanya berstatus sebagai Shahibul Maal (pemodal). Status mereka sebagai pemodal dalam kajian fiqih mudharabah memiliki konsekuensi bahwa seandainya sebuah usaha mengalami kerugian, maka kerugian materil ditanggung oleh mereka, sedangkan kerugian waktu dan tenaga ditanggung pengelola yang dalam hal ini adalah bank.
Dengan demikian nasabah (masyarakat maupun lembaga keuangan lain) yang menyimpan dana mereka di bank syariah dengan perjanjian mudharabah, pada dasarnya tidak memerlukan jaminan bahwa dana mereka aman dan tidak akan hilang oleh sebab kerugian usaha bank, sebab mereka memegang perjanjian mudharabah sepenuhnya (bagi untung – bagi rugi). Sehingga dalam hal ini bank syariah sejatinya tidak perlu menjadi bank peserta LPS.
Namun pada dasarnya masyarakat tidak akan bersedia menaruh dananya di bank syariah jika dana tersebut memiliki resiko hilang (akibat rugi usaha bank), walaupun sistem operasional utama bank syariah adalah mudharabah yang berbasis bagi hasil dan berasal dari kajian sunnah. Oleh karena itu bank syariah juga merasa diri perlu menjadi peserta LPS agar pemilik dana bersedia menaruh dananya di bank. Inilah bentuk inkonsistensi tersebut. Memberikan bagi hasil tanpa bagi rugi, hanya untuk membuat masyarakat bersedia menaruh dananya di bank syariah.
Sementara bagi hasil adalah imbalan yang diberikan oleh bank pada nasabah pemilik dana dengan mengkalikan persentase tertentu dengan keuntungan bank syariah yang tidak tentu, sehingga hasilnya pun tidak tentu. Sedangkan bunga adalah imbalan yang mengkalikan persentase tertentu dengan saldo nasabah sendiri, sehingga hasilnya pun pasti. Mungkin hal inilah yang membuat nasabah bank syariah tidak cepat berkembang menjadi besar seperti bank konvensional, sebab dari sisi imbalan yang diberikan pada pemilik dana, bunga lebih pasti daripada bagi hasil. Dan perjanjian bunga lebih memastikan akan kembalinya dana pokok nasabah daripada perjanjian bagi hasil.
Kecuali mereka (masyarakat dan lembaga keuangan lainnya) memegang perjanjian dengan bank syariah hanya dengan bentuk perjanjian titipan (Wadhiah), maka memang bank perlu menjadi peserta LPS, karena sifatnya sekedar titipan.
Adapun Wadhiah adalah bentuk perjanjian bank dengan pemilik dana berupa sekedar titipan yang dana tersebut oleh bank bisa saja dipakai untuk mengembangkan usaha dan keuntungan bank. Namun dalam wadhiah tidak ada kewajiban bank syariah memberikan imbalan pada pemilik asli dari dana tersebut. Juga pemilik dana tidak memiliki hak menuntut untuk diberi imbalan. Kalaupun bank memberikan imbalan, itu hanya dalam bentuk bonus, namun bukan hak nasabah juga bukan kewajiban bank. Oleh karena itu, karena sifat imbalannya yang tidak pasti, perjanjian wadhiah tidak dapat dijadikan sebagai alat utama bagi bank syariah sebagai pemikat agar pemilik dana bersedia menaruh dananya di bank.
Sehingga disimpulkan bahwa perubahan perbankan konvensional menjadi bank syariah tetap pada sifat dasarnya sebagai perbankan, yaitu lembaga intermediasi yang berperan untuk membuat uang dapat terus berputar dari masyarakat ke masyarakat lainnya. Bank syariah dan bank konvensional sama sebagai nasabah BI (bank sentral), karena sama-sama memiliki simpanan di BI, juga sama-sama sebagai lembaga yang memiliki tugas untuk membuat masyarakat terdorong mengeluarkan uang dari tempat yang tidak mudah dijangkau oleh pihak-pihak yang membutuhkan uang.
Adapun Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) adalah lembaga intermediasi sebagaimana perbankan, perbedaannya hanya pada sistem rekrut keuangannya, bahwa LKNB adalah lembaga non depositori. Yaitu lembaga keuangan yang tidak diperkenankan mengumpulkan dana dengan membuka produk simpanan berupa tabungan, giro dan deposito.
Oleh karena sifatnya sebagai lembaga keuangan non depositori, fungsi intermediasi LKNB menjadi lebih panjang daripada alur intermediasi perbankan sebagai lembaga depositori. Artinya, apabila bank mendapatkan dananya berasal dari masyarakat maka penyalurannya pun langsung pada masyarakat yang membutuhkan dana tersebut, atau disalurkan langsung pada perusahaan yang membutuhkan dana. Namun tidak demikian yang terjadi pada LKNB seperti perusahaan asuransi dan pegadaian.
Lembaga keuangan non bank seperti perum pegadaian misalnya, baik dengan sistem operasional syariah maupun konvensional, walaupun dana yang dikuasai langsung disalurkan pada masyarakat yang membutuhkan, namun pada dasarnya dana yang mereka kuasai tersebut bukan berasal dari pihak yang langsung memiliki dana tersebut. Melainkan didapatkan dari perbankan, yang tentu saja dana perbankan tersebut bukan asli milik perbankan juga, tapi dari masyarakat. Dengan demikian alur intermediasi keuangan LKNB jelas lebih panjang. Namun tetap berfungsi sebagai lembaga intermediasi keuangan juga. Gambar fungsi intermediasinya sebagai berikut:
Gambar Intermediasi Pegadaian
Sedangkan perusahaan asuransi yang berbasis syariah maupun konvensional juga tidak jauh berbeda, dan tidak ubahnya seperti pegadaian, hanya saja tampak terbalik arus intermediasinya. Dana yang didapatkan benar langsung berasal dari masyarakat, namun penyalurannya tidak langsung pada pihak masyarakat yang membutuhkan dana, melainkan disalurkan pada perbankan, pasar modal atau bahkan disalurkan ke pegadaian. Dengan demikian alur intermediasi keuangan asuransi juga lebih panjang. Namun asuransi tetap sebagai lembaga intermediasi keuangan yang turut perperan dalam perputaran uang. Gambar fungsi intermediasinya sebagai berikut:
Gambar Intermediasi Asuransi
Hal yang menjadi titik tekan adalah, bahwa LKNB pada dasarnya lembaga intermediasi keuangan yang hanya sekedar membantu intermediasi keuangan perbankan. Sehingga dapat dikatakan bahwa LKNB adalah derivasi dari perbankan. Sebab pada dasarnya intermediasi keuangan yang utama adalah perbankan, dan LKNB hanya bermain mengikuti arus intermediasi didalamnya.
G. Dampak Bunga Riba Terhadap Perekonomian
Sebagaimana yang diketahui bahwa uang dicetak oleh bank central, dalam hal ini adalah Bank Indonesia (BI). Dan BI mencetak uang itu tidak lain karena dua alasan:
1) Mengganti uang lama dengan uang cetakan baru, hal itu bisa diakibatkan karena lusuh dan mengganti model lama. Dalam hal ini uang lama dan lusuh dimusnahkan dan kemudian diganti dengan uang cetakan baru.
2) Membiayai sektor-sektor penggerak roda perekonomian. Adapun contoh sektor penggerak roda perekonomian itu salah satunya adalah membayar bunga kepada bank umum. Sebab bank umum telah menempatkan dananya pada BI, dan oleh sebab itu BI memberikan imbalan kepada bank umum dalam bentuk bunga. Adapun bank umum menempatkan dananya pada BI tersebut selain disebabkan regulasi terkait transfer antar nasabah beda bank, juga karena kebijakan BI dalam mengatur jumlah uang beredar di masyarakat dengan menaik-turunkan suku bunga BI (BI-rate).
Sebagai contoh Bank Indonesia (BI) mencatat, jumlah uang beredar secara luas sebesar Rp2.849,8 triliun pada Februari 2012, naik 17,8% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp2.420,2 triliun.
Sebagaimana yang diketahui bahwa bila uang beredar bertambah maka akan mengakibatkan turunnya nilai uang itu sendiri, dan inilah yang disebut dengan inflasi. Artinya inflasi bukanlah peristiwa naiknya harga barang, melainkan turunnya nilai uang.
Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Irving Fisher dalam teorinya tentang inflasi. Yaitu inflasi adalah turunnya nilai mata uang karena bertambahnya jumlah uang beredar. kami gambarkan dalam skala kecil untuk memudahkan pembaca memahami kronologinya. Dimisalkan ada 10 orang dengan masing-masing memegang kekayaan:
Pemegang Uang |
Jumlah Rupiah |
Persentase uang beredar |
Orang Pertama |
Rp.5, |
0,5% |
Orang Kedua |
Rp.10, |
1% |
Orang Ketiga |
Rp.15 |
1,5% |
Orang Keempat |
Rp 25, |
2,5% |
Orang Kelima |
Rp.50, |
5,0% |
Orang Keenam |
Rp.75, |
7,5% |
Orang Ketujuh |
Rp.120, |
12% |
Orang Kedelapan |
Rp.150, |
15% |
Orang Kesembilan |
Rp.250, |
25% |
Orang kesepuluh |
Rp.300, |
30% |
Jumlah |
Rp. 1000 |
100% |
Dengan demikian jumlah uang beredar pada 10 orang tersebut adalah Rp.1000,. Apabila dikemudian hari orang ke-8 (delapan) yang memegang uang Rp.150 mendapat tambahan uang sebesar Rp.100 yang berasal jatuh dari langit, maka kemudian kini ia memegang uang Rp.250. Maka nominal jumlah uang beredar diantara 10 orang tadi bertambah menjadi Rp.1100. maka proporsi persentase uang beredar diantara mereka saat ini adalah sebagai berikut:
Pemegang Uang |
Jumlah Rupiah |
Persentase uang beredar |
Keterangan |
Orang Pertama |
Rp. 5, |
0,45% |
Menurun |
Orang Kedua |
Rp.10, |
0,90% |
Menurun |
Orang Ketiga |
Rp.15, |
1,36% |
Menurun |
Orang Keempat |
Rp 25, |
2,27% |
Menurun |
Orang Kelima |
Rp.50, |
4,54% |
Menurun |
Orang Keenam |
Rp.75, |
6,81% |
Menurun |
Orang Ketujuh |
Rp.120, |
10,90% |
Menurun |
Orang Kedelapan |
Rp.250, |
22,72% |
Naik |
Orang Kesembilan |
Rp.250, |
22,72% |
Menurun |
Orang kesepuluh |
Rp.300, |
27,27% |
Menurun |
Jumlah |
Rp.1100 |
100% |
Perhatikan pada orang kedelapan, dari angka-angka diatas dapat terlihat bahwa sembilan orang selain orang kedelapan diatas, proporsi persentase nilai uang yang dipegangnya mengalami penurunan. Adapun satu-satunya pihak yang proporsi persenta seuang yang dipegangnya bertambah adalah orang kedelapan saja, yang tidak lain adalah orang yang mendapat tambahan uang yang berasal dari langit tadi.
Permasalahan yang perlu diperhatikan adalah pada saat jumlah uang beredar sebesar Rp. 1000, pada saat itu seseorang akan mampu membeli seliter beras dengan harga (misalkan) Rp.10,- (1% dari jumlah uang beredar). Namun ketika jumlah uang beredar bertambah menjadi Rp.1100, maka harga seliter beras akan dengan sendirinya menyesuaikan dengan jumlah uang beredar yang baru, yaitu harga seliter beras akan mengikuti kisaran harga Rp.11. (tetap pada harga 1% dari jumlah uang beredar).
Sehingga Dapat terungkap sebuah hukum ekonomi bahwa, dalam keadaan cateris paribus harga suatu barang ditentukan oleh persentase tertentu dari jumlah uang beredar. Seberapapun banyak dan sedikitnya jumah uang beredar, maka harga suatu barang akan mengikuti naik turunnya jumlah uang beredar tersebut.
Dengan demikian yang terkena dampak dari pertambahan jumlah uang beredar tersebut adalah orang-orang yang memegang uang dibawah harga baru dari seliter beras Rp.11, yaitu orang-orang yang memegang kekayaan uang Rp.10. Sebab ia kini tidak lagi sanggup membeli seliter beras. Terlebih lagi orang pertama yang memegang kekayaan uang Rp.5 yang sebelumnya memang ia tidak sanggup membeli beras, setelah jumlah uang beredar bertambah justru harga beras semakin tidak mungkin terbeli olehnya.
Semua itu disebabkan karena sebagian nilai tukar uang yang ada pada uang yang mereka berdua pegang dan ketujuh orang lainnya telah berpindah tangan terakumulasi pada orang ke-8. Namun demikian yang sangat merasakan dampaknya adalah kedua orang tersebut yang memegang uang dibawah nominal Rp 11. sebab orang pertama dan orang kedua yang sebelum penambahan jumlah uang beredar memiliki proporsi sebesar 0,5% dan 1%, kini setelah uang beredar bertambah di tangan orang ke-8, proporsi mereka (nilai tukarnya) turun menjadi 0,45% dan 0,90 %. Sedangkan harga beras tetap 1% dari jumlah uang beredar.
Contoh diatas yang menceritakan akan penambahan jumlah uang beredar pada orang ke-8 yang pada awalnya ia memegang Rp.150 kemudian mendapat tambahan Rp.100 dari sumber yang tidak logis menjadi Rp.250. dalam kehidupan nyata sekarang ini, hal yang tidak logis tersebut tidak lain adalah riba atau bunga. Yaitu daya tarik sebagai iming-iming dari perbankan kepada orang ke-8 yang kaya raya namun memiliki sifat pelit dan gemar menyimpan uang kekayaannya di rumah tepat di kasurnya, yaitu agar orang ke-8 tadi mau menyimpan uangnya di bank agar kemudian perbankan dapat mengedarkannya pada orang lain (memutarnya).Sebab jika perilaku orang ke-8 tadi dibiarkan, maka juga akan mengancam stabilitas ekonomi masyarakat, karena akan mengakibatkan langkanya uang yang kemudian akan berdampak pada mahalnya uang bila dibandingkan jumlah barang. Sehingga solusi yang memiliki efek samping ini tetap harus dijalankan, yaitu mengiming-imingi orang ke-8 dengan bunga agar mau menaruh uangnya di bank, dan bukan di rumahnya.
Bukti lain bahwa nilai uang dari tahun ke tahun semakin menurun adalah, Sejarah mencatat pertumbuhan digit nominal mata uang Rupiah, bahwa setelah redenominasi tahun 1965 pecahan Rp 1, dan Rp 2 berangsur hilang dari peredaran pada tahun 1970-an, dan pada sepuluh tahun kemudian Rp 5, dan Rp 10, pun hilang di tahun 1980-an, kemudian Rp 25, dan Rp 50, kembali hilang di tahun 1990-an. Hal ini menunjukkan bahwa uang yang hilang dari peredaran tersebut sebenarnya satu persatu kehilangan daya tukarnya.
Kemudian pada 2012 pecahan Rp 100,- dan Rp 200,- perlahan mulai kehilangan daya belinya. Maka dapat dipastikan bahwa awal mula pencetakan uang Rp 1000 dalam bentuk koin (yang sebselumnya selalu berbentuk kertas) dan Rp 2000 adalah bentuk persiapan saat Rp 100, Rp 200 atau Rp 500 ditarik dari peredaran karena kehilangan daya tukar, digantikan dengan uang Rp.1000 dengan bentuk koin sebagai wujud uang recehan di masyarakat. Dan suatu waktu juga dimungkinkan bahwa BI akan mencetak uang dengan lembaran kertas yang nominalnya lebih besar semisal Rp 200.000 atau Rp 500.000 (pada tahun 2017 belum dicetak) untuk menggantikan lembaran uang terkecil yang nilainya satu persatu menghilang.
Dengan demikian ini adalah bentuk pertumbuhan digit nominal pada mata uang Rupiah. Sebab nilai suatu barang terus digantikan oleh digit nominal uang yang semakin panjang.
Dengan demikian kita faham, bahwa banyaknya problem ekonomi khususnya di Indonesia ini disebabkan perenggutan kekayaan secara batil oleh satu pihak kepada banyak pihak lain melalui mekanisme bunga.
H. Kesimpulan Maqasid Syar’i Pelarangan Riba
Maqasid pelarangan riba adalah sebagaimana diungkapkan dalam QS. Al Baqoroh: 279, yaitu agar tidak ada pihak yang menzalimi dan yang dizalimi dalam harta. Adapun realitas dan argumentasi hikmahnya sebagaimana yang kami jelaskan diatas, secara argumentatif akan diberikan kepada kaum muslimin juga pada kaum kuffar, sebab pelarangan riba dalam dunia pemerintahan Islam berlaku bagi kaum muslimin juga kaum kafir dzimmi.
Bahwa Umar bin Khatab mengusir Yahudi Fidak, Yahudi Khaibar dan Nasrani Najran dari Jazirah Arab, sebab mereka melanggar persyaratan yang diberikan Rasulullah saw kepada non muslim jika ingin hidup berdampingan dengan orang muslim untuk tidak memakan riba.[13]
Bahwa maqasid (tujuan) dari pelarangan riba ini ada dalam pembahasan skala prioritas Dhoruriyat, lebih tepatnya pada Hifdzul Maal.
Bahwa pelarangan riba dimaksudkan agar seseorang tidak dapat mengambil harta orang lain secara batil, sebab harta orang lain yang diambil tersebut dilepaskan dalam kondisi ia sedang kepayahan. Namun demikian ada hadits Nabi Saw. yang menyebutkan demikian:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris/akuntan) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut juga mencela pihak korban dari riba, bukan hanya penikmat riba. Dengan demikian maqasid dari pelarangan riba ini benar-benar tegas, yaitu agar semua masyakarat menjauhi riba, dengan demikian agar tidak ada yang menzalimi juga tidak ada yang dizalimi. Hingga riba sama sekali tidak pernah sedikitpun ada di sebuah masyarakat.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Hafidz. 2003. Ushul Fiqih Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’i. Bogor: al-Azhar Press.
Abdurrahman ad-Dimasyqi, Syaikh al-’Allamah Muhammad, Fiqh Empat Mazhab, Hasyimi Press, Bandung, 2004.
Adhi, Muhammad Ramdhan. 2005. Globalisasi Skenario Mutakhir Kapitalisme. Bogor: al-Azhar Press.Algaoud, Latifa M. dan Lewis, Mervyn K, Perbankan Syari’ah Prinsip, Praktik, dan Prospek, Serambi, Jakarta, 2003.
Ahmad al-Haritsi, Jaribah bin. 2006. Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab. Jakarta: Khalifa.Al-Mushlih, Abdullah dan Ash-Shawi, Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Darul Haq, Jakarta, 2004.
Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, Jakarta: Khalifa.
Budiono. 2009. Ekonomi Indonesia Mau Kemana? Kumpulan esai Ekonomi, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Deliarnov. 2005. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Due, John F. dan Friedlaender, Ann F. Keuangan Negara Perekonomian Sektor Publik. Erlangga. Jakarta: 1983.
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga
Fakih, Mansour. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.
Hamid, Edy Suandi. Tanpa Tahun. Sistem Ekonomi Utang Luar Negeri dan Isu-isu Ekonomi Politik Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
__________. 1999. Perekonomian Indonesia Masalah dan Kebijakan Kontemporer. Yogyakarta: UII Press.
__________. dan Hendrie anto M.B. 2000. Ekonomi Indonesia Memasuki Millenium III. Yogyakarta: UII Press.
Irawan dan M. Suparmoko. 2008. Ekonomika Pembangunan. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang.
Karim, Adiwarman A, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
__________. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Perkins, John. 2007. Pengakuan Bandit Ekonomi; Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga. Jakarta Selatan: Ufuk Press.
Qardhawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Rafick, Ishak. 2008. Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997-2007 Mafia Ekonomi dan Jalan Baru Membangun Indonesia. Jakarta: PT. Cahaya Insan Suci.
Rahardjo, M. Dawam. 1999. Tantangan Indonesia Sebagai Bangsa (Esai-esai Kritis Tentang Ekonomi, Sosial dan Politik). Yogyakarta: UII Press.
Raharjo, Mugi. 2009. Ekonomi Moneter. Surakarta: UNS Press.
Reksoprayitno, Soediyono. 2000. Pengantar Ekonomi Makro. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Rothermund, Dietmar. 2008. Great Depression Depresi Besar Ekonomi Amerika 1929-1939 dan Dampaknya Terhadap Kehancuran Ekonomi dunia. Yogyakarta: Imperium.Subagyo, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, STIE YKPN, Yogyakarta, 2002.
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Ekonisia, Yogyakarta, 2005.
Sula, Muhammmad Syakir, Asuransi Syariah Konsep dan Sistem Operasional, GIP, Jakarta, 2004.
Susilo, Y. Sri, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, 2000.
Syafe’I, Rachmat, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Yuwono, Ismantoro Dwi. 2009. Boediono dan Neoliberalisme. Yogyakarta: Bio Pustaka.
Zallum, Abdul Qadim. 2002. Sistem Keuangan di Negara Khilafah. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
[1] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama Semarang, 1994, hal. 310
[2] Ibid., hal. 318
[3] Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih, Al-Azhar, hal. 98. Lihat juga Ibn Qudamah al-Maqdisi, Rawdhah an-Nadhir wa Junnah Al-Manadhir, Dar al kitab al arabi, Beirut, hal. 283-291.
[4] Ibid., 104
[5] Imam Taqiyuddin Abubakar al Husaini, Kifayatul Akhyar, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 17 (Heri Sudarsono – Bank dan Lembaga Keuangan Syariah) mengatakan riba menurut syara’ berarti tambahan pada emas, perak dan beberapa makanan
[6] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1996, hal. 83
[7] Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1996, hal. 324-326
[8] Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal. 22
[9] Qamh dan Sya’ir sering diterjemahkan dengan gandum. Yang jelas, kedua tanaman tersebut tidak ada di Indonesia, sehingga sulit mencari padanan istilah yang tepat.
[10] Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 25
[11] Fatwa MUI Nomor 1 tahun 2004 tentang Bunga
[12] Ibid.
[13] Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin Khatab, Khalifa, Jakarta, 2005., hal. 373
Tidak ada komentar:
Posting Komentar