Minggu, 13 Juli 2025

BENTUK PERSEROAN KOPERASI DAN PERSEROAN TERBATAS MENURUT EKONOMI ISLAM

 Oleh: Muhammad Baiquni Syihab

A.    Pendahuluan

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) belum mempunyai fatwa yang berkaitan dengan bentuk perseroan sebagai bentuk kerjasama bisnis yang dilakukan antar individu dalam masyarakat ekonomi. Padahal fatwa ulama berkaitan dengan hal ini cukup dibutuhkan oleh masyarakat muslim secara khusus. Bentuk perseroan yang memerlukan fatwa hukum dari ulama tersebut adalah bentuk perseroan konvensional yang saat ini umum dipakai oleh masyarakat Indonesia juga masyarakat dunia, yaitu Perseroan Terbatas (PT.), Commanditaire Vennootschop (CV.), Koperasi dan Firma. Oleh sebab tidak adanya fatwa tersebut, masyarakat tidak mengenal bentuk persekutuan (perseroan) kecuali yang telah dilegalkan oleh negara ini. Demikian juga masyarakat ekonomi menganggap bentuk-bentuk perseroan ini adalah legal dan syah menurut Islam yang merupakan agama yang mayoritas dianut masyarakat Indonesia. Oleh karena itu penelitian terkait kedua bentuk perseroan yang popular dipakai masyarakat ini perlu diangkat, terutama terkait kelegalannya dihadapan fiqih.

 

Berbagai referensi Islam, baik kitab fiqih klasik maupun kontemporer telah memuat didalamnya pembahasan bentuk-bentuk perseroan yang memiliki landasan hukum Islam, baik itu Al-Qur’an, hadits Nabi Saw maupun Ijma Sahabat Nabi Saw. Oleh sebab muamalah bisnis seorang muslim kelak tidak akan menjadi persoalan di yaumul hisab, tidak lain jika muamalah bisnisnya tersebut sesuai dengan ketentuan hukum Islam dan tidak bertentangan dengannya. Sementara bentuk Perseroan Terbatas dan Koperasi yang umum digunakan masyarakat dalam bermuamalah ekonomi tidak terdapat rujukannya dalam kitab-kitab fiqih tersebut.

Adapun aturan hukum Islam (fiqih) menetapkan bahwa bagi seorang muslim bila hendak melakukan kerjasama bisnis dengan yang lainnya (perseroan), baik orang lain tersebut muslim maupun non muslim untuk memenuhi rukun dan syarat dalam Islam (Ash-Shawi, 2015), yaitu: Aqidain (dua pihak yang berakad). Dalam hal kerjasama bisnis aqidain tersebut adalah pengelola (mudharib) dan pemodal (shahibul maal). Adapun syarat bagi keduanya adalah: Baligh (dewasa) atau setidaknya telah mumayyiz (mampu membedakan). Merdeka atau orang tersebut tidak berstatus budak milik seseorang. Berakal atau orang tersebut tidak dalam kondisi hilang akal seperti gila atau mabuk. Pelaku tidak dalam keadaan dipaksa atau tekanan.

Ma’qud ‘alaih (Objek Bisnis), dalam hal kerjasama bisnis, objek bisnis harus memenuhi syarat bahwa bisnis yang dijalankan bukan bisnis yang haram seperti bisnis rumah bordil dan bisnis-bisnis haram lainnya.

Shighat atau Ijab Qabul, bahwa antara pemodal dan pengelola harus telah bersepakat baik dalam bentuk ucapan langsung maupun tulisan. Mereka bersepakat dalam masalah nisbah bagi hasil usaha dan hal-hal teknis lainnya

Bila dua pihak (dua orang atau lebih) tersebut telah memenuhi rukun dan syarat diatas sebelum menjalankan bisnisnya bersama-sama. Maka kerjasama bisnis dalam Islam pada dasarnya telah mereka penuhi, sehingga otomatis mereka telah membangun sebuah perusahaan (perseroan Islam) dengan bentuk yang mereka sepakati diawal.

Aturan rukun dan syarat dalam membentuk sebuah kerjasama bisnis dalam Islam tersebut harus dipenuhi baik oleh muslim maupun non-muslim untuk kesesuaian dalam hidup berdampingan. Sebab kondisi dimana pun dan kapan pun muslim dan non muslim memiliki keniscayaan hidup bersebelahan untuk kesejahteraan dalam menjalankan roda perekonomian bersama. Tidak dapat tercapai keseimbangan jika dalam satu wilayah yang sama orang muslim mengikuti aturan ekonomi Islam sementara non muslim tidak mengikuti aturan yang sama sebagaimana yang diterapkan pada muslim, sedangkan mereka satu sama lain saling berinteraksi ekonomi, hal ini tentu tidak akan membuat interaksi ekonomi diantara mereka dalam satu frekuensi.

Adapun bentuk-bentuk perusahaan (kerjasama) yang tersebut dalam hukum Islam di berbagai referensinya, setidaknya terdiri dari 5 buah bentuk: Perseroan Mudharabah, Perseroan Inan, Perseroan Abdan, Perseroan Wujuh, Perseroan Mufawadhah (Ash-Shawi, 2015). Dari kelima bentuk yang perseroan dalam kitab-kitab fiqih tersebut tidak termuat nama perseroan modern seperti Koperasi dan Perseroan Terbatas, dan ini yang menjadi latar belakang penelitian ini.

Berkaitan dengan penelitian yang dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya, tidak penulis temukan pembahasan kelegalan Perseroan Terbatas dan Koperasi menurut kajian hukum Islam. Peneliti hanya menemukan pembahasan keduanya berkaitan dengan hukum Indonesia, yaitu UU. No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi. Seperti tema penelitian bertema tanggung jawab perdata Perseroan Terbatas sebagai badan hukum (Supriyatin Ukilah dan Nina, 2020), atau tema perlindungan hukum pemegang saham minoritas perseroan tebatas tertutup dan keadilan berdasar pancasila (Mustaqim & Satory, 2019). Sedangkan yang berkaitan dengan Koperasi seperti pembahasan aspek hukum koperasi sebagai payung hukum BMT di Indonesia (Nurhasanah, 2016).

Dengan demikian maka penelitian ini tentang Perseroan Terbatas dan Koperasi yang ditinjau menurut hukum Islam perlu diangkat.

 

B.     METODE

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Sumber data kualitatif adalah tampilan yang berupa kata-kata lisan atau tulisan yang dicermati oleh peneliti, dan benda-benda yang diamati sampai detilnya (Suharsimi Arikunto, 2014). Berkaitan dengan tema penelitian ini maka data kami ambil dari sumber data primer dari bentuk Perseroan Terbatas dan Perseroan Koperasi. Yaitu Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu untuk memahami lebih mendalam mengenai kesesuaian bentuk perseroan koperasi dan perseroan terbatas dengan ketentuan bentuk perseroan dalam ekonomi Islam. Dikarenakan alat analisisnya adalah bentuk perseroan dalam ekonomi Islam, maka penjabaran mengenai bentuk-bentuk perseroan dalam ekonomi Islam akan dijabarkan beserta ilustrasi perhitungan modal dan keuntungan yang datanya diambil dari berbagai referensi buku muamalah Islam..

Pertama, kami menjabarkan teori dan bentuk perseroan dalam ekonomi Islam menurut rujukan kitab fiqih beserta simulasi permodalan dan distribusi hasil usahanya, yaitu dari bentuk Perseroan Mudharabah, Perseroan Inan, Perseroan Abdan, Perseroan Wujuh dan Perseroan Mufawadhah.

Kedua, kami menjabarkan bentuk perusahaan perseroan terbatas menurut undang-undang yang berlaku yaitu UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi. Menganalisis pasal perpasal dalam undang-undang tersebut khususnya yang berkaitan dengan aturan persekutuan manusianya.

Ketiga, mencocokkan kesesuaian koperasi dan perseroan terbatas dengan perseroan ekonomi Islam.

 

C.    Hasil dan Pembahasan;

Bentuk-Bentuk Perseroan dalam Ekonomi Islam

1.      Perseroan Mudharabah

Mudharabah bagi pemerhati ekonomi Islam tentu tidak asing lagi, yaitu sebuah bentuk kerjasama (syirkah) antara dua pihak dimana salah satu pihak berstatus sebagai pengelola (mudharib) dan yang lainnya berstatus sebagai pemodal (shahibul maal) di mana mereka bersepakat dalam hal bisnis dan pembagian keuntungan, sedangkan kerugian hanya dibebankan pada pemilik modal saja dan tidak pada pengelola. Apabila kita gambarkan dengan skema adalah sebagai berikut:

 

Gambar Mudharabah bentuk 1

 

A

sebagai pengelola

Akad Usaha

B

sebagai pemodal

Laba

            %

%

Sumber: diolah dari pengertian mudharabah (Syafe’i, 2001)

 

Istilah mudharabah kebanyakan digunakan oleh masyarakat Persi (Irak), sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan istilah qiradh. Mudharabah dan qiradh adalah dua istilah untuk maksud yang sama. Menurut bahasa, qiradh diambil dari kata alqardhu yang berarti potongan, sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Dengan kata lain, mudharabah adalah meleburnya badan (tenaga) di satu pihak, dengan harta dari pihak lain. Sehingga yang satu bekerja, sedangkan yang lain harta, kemudian akan disepakati oleh kedua belah pihak prosentase tertentu dari hasil keuntungan yang diperoleh, semisal 33,3% dari laba atau 50% dari hasil keuntungan.

Namun demikian bagi pemerhati ekonomi Islam terutama mahasiswa ekonomi Islam akan bertemu dengan kebingungan tatkala dihadapkan pada konsep musyarokah, sebab konsep musyarokah ditemukan dalam perbankan syariah sebagai salah satu pembiayaannya, namun tidak didapati dalam bentuk-bentuk kerjasama bisnis dalam Islam menurut Fiqih sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan sebelum ini.

Kebingungan tersebut diawali karena tidak difahaminya secara mendalam apa itu mudharabah dan apa itu musyarokah dengan segala bentuk dan ketentuannya. Bahwa mudharabah adalah sebagaimana penjelasan diatas, sedangkan musyarokah (pembiayaan) adalah istilah yang diperkenalkan oleh dunia perbankan syariah untuk menyebut bentuk kerjasama mudharabah yang bentuknya sedikit berbeda dengan skema diatas namun tetap dalam bentuk perseroan mudharabah menurut kajian fiqih tentang syirkah (perseroan).

Syaikh Taqyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Nizhomul Iqtishod fil Islam menjelaskan bahwa perseroan mudharabah dapat pula berbentuk sebagaimana gambar berikut:

 

Gambar Mudharabah bentuk 2

A

sebagai pengelola

Akad Usaha

 

 

B

sebagai pemodal

Laba

C

sebagai pemodal

Sumber: diolah dari pengertian mudharabah (An Nabhani, 2001)

 

Bentuk mudharabah sebagaimana gambar diatas menjelaskan bahwa disebut mudharabah juga apabila terdapat 3 orang (atau lebih) yang berakad dimana 2 orang (atau lebih) bertatus sebagai pemodal saja dengan masing-masing modalnya dan 1 orang lainnya (atau lebih) sebagai pengelola saja. Dimana pembagihasilan keuntungan berdasarkan kesepakatan dan kerugian yang hanya ditanggung oleh pemodal saja.

Mudharabah dengan bentuk lainnya adalah sebagaimana gambar berikut:

 

Gambar Mudharabah bentuk 3

A

sebagai pengelola dan Pemodal

Akad Usaha

 

B

sebagai pemodal

Laba

Pemodal

Pengelola dan Pemodal

Sumber: diolah dari definisi mudharabah (An Nabhani, 2001)

Bentuk mudharabah sebagaimana gambar diatas juga menjelaskan bahwa disebut mudharabah apabila 2 orang (atau lebih) yang berakad dimana 1 orang (atau lebih) bertatus sebagai pemodal dan satu orang lainnya bertatus sebagai pengelola dan pemodal sekaligus.

Ilustrasinya untuk mudharabah ini sebagai berikut: Terdiri dari 2 orang yaitu A dan B membentuk kerjasama bisnis (syirkah) mudharabah, dimana A menyertakan modalnya sebesar Rp.1 Miliar. dan B menyertakan modalnya sebesar Rp. 2 Miliar dan yang bertindak sebagai pengelola (yang menjalankan bisnis) adalah A. mereka bersepakat bagi hasil antara pengelola dan pemodal 60% : 40%. Bila keuntungan yang dihasilkan dari usaha bisnis mereka Rp.1 Miliar maka bagian masing keduanya adalah: 60% untuk pengelola = Rp.600.000.000 dan 40% untuk pemodal = Rp.400.000.000, dan total modalnya : 1 M + 2 M = 3 M

Maka bagian untuk A sebagai pengelola adalah Rp.600.000.000, dan bagian untuk A sebagai pemodal adalah Rp.400.000.000 x 1 M/3 M = Rp.133.333.333

Maka total bagian untuk A sebagai pengelola dan pemodal adalah Rp.600.000.000 + Rp.133.333.333 = Rp.733.333.333

Adapun bagian untuk B adalah: 2 M/3 M x 400.000.000 = Rp.266.666.666

B hanya mendapat bagian sebesar Rp.266.666.666 dari total keuntungan bersih Rp.1000.000.000 sebab B hanya bertindak sebagai pemodal saja. Sedangkan A bertindak selain sebagai pemodal, ia juga bertindak sebagai pengelola. Sehingga ia mendapat 2 bagian.

 

Adapun musyarokah yang dalam dunia perbankan syariah dibedakan dengan mudharabah, sebenarnya sama saja dengan mudharabah, dan tidak ada bedanya. Hanya saja musyarokah adalah mudharabah dari bentuk yang terakhir, atau bentuk gambar 3 diatas.

Sebab musyarokah berasal dari kata syirkah yang berarti kerjasama bisnis. Jadi pada dasarnya semua bentuk perseroan dalam Islam dapat disebut sebagai musyarokah. Namun dalam dunia perbankan syariah, untuk membedakan antara bentuk mudharabah satu dengan bentuk mudharabah lainnya menggunakan kata mudharabah dan musyarokah. Apa penyebabnya bisa jadi bermacam-macam alasan, bisa jadi sebagai upaya untuk memudahkan masyarakat membedakan jenis-jenis pembiyaan syariah yang bersifat uncertainty contract, atau bisa jadi dunia perbankan syariah kurang memahami bahwa mudharabah memiliki bentuk lebih dari satu macam.

 

2.      Perseroan Inan

Perusahaan (syirkah) Inan adalah bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dimana masing-masing pihak berstatus sebagai pengelola sekaligus pemodal. Disebut sebagai inan karena kedua belah pihak sama-sama terlibat mengelola harta mereka, sebagaimana dua penunggang kuda yang sama-sama mengendalikan kuda mereka dan sama-sama menariknya sehingga kedua tali kekang mereka serasi.

 

Gambar Perseroan Inan

 

A

sebagai pengelola dan pemodal

Akad Usaha

 

B

sebagai pengelola dan pemodal

Laba

Sumber: diolah dari definisi Inan (Syafe’i, 2001)

 

Ilustrasinya untuk perseroan Inan ini sebagai berikut:

Terdiri dari 2 orang yaitu A dan B membentuk kerjasama bisnis (syirkah) Inan, dimana A menyertakan modalnya sebesar Rp.1 Miliar dan B menyertakan modalnya sebesar Rp. 2 Miliar, dan yang bertindak sebagai pengelola (yang menjalankan bisnis) adalah mereka berdua secara bersama-sama (A dan B) dengan perbandingan peran 50%:50%. Mereka bersepakat bagi hasil antara pengelola dan pemodal 60% : 40%. Bila keuntungan bersih yang dihasilkan dari usaha bisnis mereka Rp.1 Miliar maka bagian masing-masing keduanya adalah: 60% untuk pengelola : Rp.600 juta dan 40% untuk pemodal : Rp.400 juta. Total modalnya : 1 M + 2 M = Rp.3.000.000.000

Bagian untuk A sebagai pengelola adalah 50% x Rp.600 juta = Rp.300 juta. Bagian untuk A sebagai pemodal adalah Rp.400 juta x 1 M/3 M = Rp.133.333.333. Maka total bagian untuk A sebagai pengelola dan pemodal adalah Rp.300 juta + Rp.133.333.333 = Rp.433.333.333

Bagian untuk B sebagai pengelola adalah 50% x Rp.600.000 = Rp.300.000. Bagian untuk B sebagai pemodal adalah Rp.400 juta x 2 M/3 M = Rp.266.666.666. Maka total bagian B sebagai pengelola dan pemodal adalah Rp.300 juta + 266.666.666 = Rp. 566.666.666

Jadi pada intinya perbedaan antara perseroan mudharabah dengan perseroan Inan adalah, bahwa didalam perseroan Inan setiap perseronya adalah investor sekaligus pengelola (baik direktur maupun manajer). Tentu saja didalam perseroan mudharabah tidak demikian, sebab dalam perseroan mudharabah terdapat didalamnya salah pihak saja yang bertindak investor saja atau pengelola saja.

 

3.      Perseroan Abdan

Bentuk perusahaan Abdan adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dimana masing-masing pihak berstatus sebagai pengelola, namun masing-masing pihak juga tidak menyertakan modal mereka secara materil. Sebab tenaga pengelolaan masing-masing pihak sudah dianggap sebagai modal dalam usaha, sebab baik tenaga dan keahlian dianggap memiliki sifat sebagaimana modal materi yang bisa darinya diperoleh penghasilan bila dikelola.

 

Gambar Perseroan Abdan

A

sebagai pengelola

Akad

B

sebagai pengelola

Laba

Sumber: diolah dari definisi abdan (An Nabhani, 2001)

Ilustrasinya untuk perseroan Abdan ini sebagai berikut:

Terdiri dari 2 orang yaitu A dan B membentuk kerjasama bisnis (syirkah) Abdan, dimana A merupakan seorang dokter dan B adalah seorang marketing. Mereka bersepakat bisnis dalam masalah pengobatan, yang keuntungannya dibagihasilkan 60% untuk dokter dan 40% untuk marketing. Bila keuntungan hasilnya sebesar Rp.1 M maka bagian masing-masing adalah:

Bagian A : 60% x Rp.1 M = Rp.600 juta

Bagian B : 40% x Rp.1 M = Rp.400 juta

 

4.      Perseroan Wujuh

Perbedaan bentuk perusahaan wujuh dengan yang lainnya adalah bahwa perusahaan wujuh dibentuk karena adanya kedudukan, nama baik dan kepercayaan masyarakat terhadap masing-masing pelaku bisnis tersebut. Syirkah wujuh sebenarnya menekankan kepercayaan berdasarkan kredibilitas, bukan berdasarkan kedudukan dan jabatan materil. Dengan kata lain bahwa perseroan wujuh adalah perseroan yang terbentuk karena perusahaan terdiri dari lebih 1 pengelola, sehingga pembagihasilan antara sesama pengelola didasarkan pada kredibilitas dan kontribusi masing-masing

Bentuk-bentuk perusahaan wujuh

a.       1 orang memberikan modalnya kepada 2 orang atau lebih secara mudharabah. Kerjasama mereka ber-2 dibentuk dengan melihat kedudukan sosial salah seorang diantara mereka atau kedudukan sosial mereka masing-masing. Pembagian keuntungan diantara mereka berbeda-beda atas dasar kedudukan sosial mereka.

 

Gambar Wujuh Bentuk 1

A

sebagai pemodal

Akad Usaha

 

 

B

sebagai pengelola

Laba

C

sebagai pengelola

Sumber: diolah dari definisi wujuh

 

b.      Yaitu dua orang yang membeli secara tangguh atas barang, dengan ketentuan hak atas kepemilikan terhadap barang yang dibeli seperti fifty-fifty atau satu banding dua dan atau seterusnya. Kemudian barang tersebut dijual secara tunai sehingga menghasilkan laba. Maka laba yang dibagi diantara mereka berdasarkan porsi hak kepemilikan atas barang tersebut.

 

Gambar Wujuh Bentuk 2

A

sebagai pengelola

Akad Usaha

 

 

Laba

C

sebagai pengelola

Sumber: diolah dari definisi wujuh

 

5.      Perseroan Mufawadhah

Perusahaan mufawadhah adalah kerjasama 2 mitra bisnis sebagai gabungan dari semua bentuk-bentuk perusahaan (syirkah) Islam, yaitu gabungan antara mudharabah, inan, abdan dan wujuh.

 

Gambar Perseroan Mufawadhah

 

A

sebagai pengelola

Akad

E

sebagai pengelola dan Pemodal

 

 

Laba

B

sebagai pengelola

C

sebagai pemodal

 

D

sebagai pengelola dan Pemodal

Sumber: diolah dari definisi mufawadhah

 

Ilustrasinya untuk perseroan mufawadhah ini sebagai berikut: 6 orang melakukan perserikatan bisnis dengan jenis Perseroan Mufawadhah. Dengan akad pengelola 60% dan pemodal 40% Dengan ketentuan sebagai berikut: 5 orang memiliki modal dengan masing-masing: Orang pertama = 1 Miliar, orang kedua = 1,5 Miliar, orang ketiga = 1 Miliar, orang keempat = 1,7 Miliar, orang kelima = 1 Miliar.

Bekerja sama dengan 3 orang sebagai pengelola: orang kedua sebagai direktur utama dengan porsi keuntungan = 50%, orang ketiga = manajer A : 30%, orang keenam = manajer B : 20%. Jika keuntungan = 10 Miliar, maka perolehan masing-masing orang dalam perseroan tersebut adalah:

Sebagai Pemodal: Orang pertama = 1 M/6,2 M x 4 M = 645.161.288. Orang kedua = 1,5 M/6,2 M x 4 M = 967.741.932. Orang ketiga = 1 M/6,2 M x 4 M = 645.161.288. Orang keempat 1,7 M/6,2 M x 4 M = 1.096.744.192. Orang kelima 1 M/6,2 M x 4 M = 645.161.288

Sebagai Pengelola: Orang kedua 50/100 x 6M  = 3 M. Orang ketiga 30/100 x 6 M = 1,8 M. Orang keenam 20/100 x 6 M = 1,2 M.

Bagian masing-masing Orang: Orang pertama Rp. 645.161.288, Orang kedua Rp. 3.967.741.932, Orang ketiga Rp. 2.445161.288, Orang keempat Rp. 1.096.744.192, Orang kelima Rp. 645.161.288, Orang keenam Rp. 1.200.000.000

 

D.    Tidak Islaminya Sebuah Bentuk Perseroan

Pada bagian ini pembahasannya adalah bukan terletak pada operasional perusahaan atau jenis produk perusahaan, karena sudah tentu sebuah perusahaan menjadi tidak Islami apabila produk yang diproduksi atau diperdagangkan adalah barang-barang atau jasa-jasa yang tergolong haram.

Pada bab ini pembahasannya adalah pada bentuk perusahaan, yaitu hubungan antara manusia-manusia yang terlibat dalam kerjasama bisnis yang mengikat mereka. Sebagaimana pembahasan dalam bentuk-bentuk perusahaan Islam, diketahui bahwa perbedaan antara satu bentuk perusahaan (perseroan) dengan bentuk perusahaan lainnya adalah pada hubungan antara orang atau pihak satu dengan pihak lainnya. Jadi, kategori dari bentuk perusahaan yang tidak Islami disini adalah pada hubungan satu pihak dengan pihak lainnya yang tidak memenuhi ketentuan Islam dalam berserikat dalam bisnis, dan jelas pembahasannya bukan pada produk yang dihasilkannya.

Sebagaimana ketentuan Islam dalam membentuk sebuah perusahaan Islami, keberadaan rukun dan syarat adalah perkara mutlak yang menentukan apakah sebuah bentuk perusahaan dapat dikatakan Islami atau tidak. Dan rukun-rukun tersebut sebagaimana telah dibahas dalam bentuk-bentuk perusahaan Islami, yaitu: Aqidain (dua pihak yang berakad), Ma’qudalaih (objek bisnis) dan Shighotijabqabul (kesepakatan bisnis)

Rukun dan syarat adalah perkara yang hampir harus ada menurut Islam dalam setiap saat berhubungan sesama manusia maupun saat berhubungan dengan Allah secara transendental. Seperti pernikahan, jual-beli, salat, puasa dan lain sebagainya. Perkara menjadi tidak syah, tidak halal dilakukan, dan batil hukumnya bila tidak terpenuhi rukun dan syaratnya menurut Islam. Sebagai contoh, apabila dua insan berbeda jenis tidak berani melakukan hubungan suami istri dikarenakan rukun atau syarat pernikahan mereka sebelumnya dirasa ada yang kurang, maka seharusnya ada perasaan yang sama bila dirasa rukun dan syarat tersebut kurang dalam kerja sama bisnis dan jual beli di antara mereka.

 

E.     Bentuk-Bentuk Perseroan Tidak Islami

1.      Perseroan Terbatas (PT)

Sebelum melihat di mana letak ketidakislamian bentuk Perseroan Terbatas (PT), tentu akan lebih tepat bila kita mengetahui konsep asli dari PT tersebut agar pembaca mengetahui. Sumber murni tentang  PT tidak ditemukan kecuali dalam draft UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Indonesia, 2007).

Namun dalam tulisan ini tidak penulis masukkan semua pasal yang ada dalam UU tersebut, melainkan hanya pasal-pasal yang penulis anggap perlu diketahui dan penulis anggap berhubungan langsung dengan standar ekonomi Islam dalam rukun dan syarat sebagai penentu keabsahan sebuah bentuk perusahaan. Pasal-pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut (Indonesia, 2007):

Pasal 1 Ayat 1: Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 1 ayat 2: Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris.

Pasal 1 ayat 4: Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.

Pasal 1 ayat 5: Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Pasal 1 ayat 6: Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.

Pasal 3 ayat 1: Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.

Pasal 96 ayat 1: Ketentuan tentang besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS.

Pasal 113: Ketentuan tentang besarnya gaji atau honorarium dan tunjangan bagi anggota Dewan Komisaris ditetapkan oleh RUPS.

Pasal 149 ayat 2: Dalam hal likuidator memperkirakan bahwa utang Perseroan lebih besar daripada kekayaan Perseroan, likuidator wajib mengajukan permohonan pailit Perseroan, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain, dan semua kreditor yang diketahui identitas dan alamatnya, menyetujui pemberesan dilakukan di luar kepailitan.

Dari pasal-pasal diatas dapat digambarkan bahwa bentuk PT sebagaimana gambar dibawah ini:

 

Gambar Perseroan Terbatas

PEMODAL

PEMODAL

 

PEMODAL

 

PEMODAL

 

PEMODAL

 

PEMODAL

 

Dewan Komisaris

Direktur

Sumber: diolah dari peraturan UU. No. 40 tahun 2007 tentang PT

 

Bentuk gambar di atas penulis gambarkan berdasarkan pada UU No. 40 tahun 2007 diatas yang telah dibandingkan dengan bentuk perseroan dalam Islam.

 

F.     PEMBAHASAN; Kesesuaian dengan Perseroan Islam

a.       Tidak Terdapat Pengelola dalam PT

Gambar di atas menjelaskan bahwa yang disebut sebagai persero (syarik) adalah hanya pihak-pihak yang berada dalam lingkaran saja, yaitu para pemodal. Selain pemodal maka tidak tergolong sebagai persero dalam Perseroan (syirkah) Terbatas. Sebab dalam pasal 1 ayat 1 tentang definisi PT diatas menyebutkan bahwa PT adalah persekutuan pemodal/modal (baca: bukan persekutuan pemodal dan pengelola).

Selain itu, dalam pasal 96 ayat 1 dan pasal 113 UU. No. 40 tahun 2007 menguatkan, bahwa yang disebut persero dalam perseroan terbatas hanya pemodal saja. Sebab dalam pasal-pasal diatas menegaskan bahwa direktur dan dewan komisaris bukan persero dalam perseroan terbatas. Oleh sebab kompensasi yang diterima oleh direktur dan dewan komisaris adalah gaji/upah yang ditetapkan dalam Rapat Umum para Pemegang Saham (Pemodal).

Ini menunjukkan bahwa direktur dan dewan komisaris adalah pekerja yang diupah oleh pemberi kerja. Status pekerja yang biasa disebut juga karyawan tentu bukanlah bagian dari persero sebuah perseroan. Sehingga direktur tidak dapat disebut sebagai pengelola. Melainkan hanya pekerja atau karyawan sebuah perusahaan (perseroan). Dengan demikian pada dasarnya didalam PT hanya ada pemodal, namun tidak terdapat pengelola yang seharusnya ada dalam perseroan Islam.

Adapun yang seharusnya adalah, apabila direktur ingin disebut sebagai pengelola yang merupakan salah satu dari aqidain dalam perseroan (syirkah) Islam, bahwa kompensasi yang diterima oleh direktur harus berbentuk bagi hasil, dan bukan gaji atau upah. Sebab kompensasi gaji itu lah yang menegaskan bahwa direktur hanya berstatus sebagai karyawan. Sekali lagi, bahwa status seseorang dalam sebuah bangunan kerjasama bisnis itu ditentukan oleh jenis kompensasinya.

Tentu saja gaji dan bagi hasil adalah kompensasi dengan konsekuensi yang berbeda. Bila gaji bagi karyawan, maka berapapun penghasilan (laba) perusahaan tentu tidak akan berpengaruh pada gaji karyawan. Sedangkan bagi hasil bagi pengelola, dipengaruhi oleh penghasilan perusahaan. Semakin tinggi penghasilan perusahaan maka semakin tinggi pula penghasilan pengelola, demikian juga semakin rendah penghasilan perusahaan maka semakin rendah pula penghasilan pengelola. Sebab bagi hasil tersebut terjadi antara pemodal dan pengelola.

Hal di atas menjelaskan bahwa dalam PT terdapat 1 kekurangan rukun perseroan yang seharusnya ada pada perseroan dalam Islam, yaitu aqidain (dua pihak yang berakad). Bahwa dalam PT tidak terdapat pengelolanya. Sehingga ini menjadi alasan bahwa PT tidak dapat digolongkan sebagai perseroan yang sah menurut Islam.

 

b.      Tidak Terdapat Aqad dalam PT

Selain di atas, ternyata PT sebagai perseroan masih memiliki kekurangan lainnya yang membuatnya tidak dapat digolongkan sebagai perusahaan yang Islami. Yaitu aqad. Bahwa didalam PT tidak terdapat akad. Ini berarti sekali lagi PT tidak memenuhi rukun syirkah didalam Islam.

Pada perusahaan Islam, keharusan adanya akad adalah antar seluruh persero, baik di antara para pengelola, di antara para pemodal maupun di antara para pengelola dan para pemodal.

Aqad adalah kesepakatan yang harus ada sebelum perusahaan dijalankan baik kesepakatan pemodal dan pengelola, juga kesepakatan kebijakan dan arah laju perusahaan, dalam arti bahwa perusahaan tersebut akan di bawa kemana, maupun kesepakatan dalam pembagihasilan keuntungan usaha perusahaan.

Pemodal di dalam PT disebut sebagai sebagai para pemegang saham, dan umumnya perusahaan besar tersebut berbentuk PT, seperti PT. Sampoerna, PT. Indofood, PT. BNI, PT. BSM, PT. BMI, dan lain sebagainya adalah perusahaan-perusahaan besar dengan jumlah pemegang saham lebih dari 100 orang, bisa ribuan pemegang saham, bahkan hingga puluhan ribu pemegang saham yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Bahkan pemegang saham di perusahaan tersebut sudah bukan lagi nama orang perorang, melainkan sudah level sebuah perusahaan. Artinya, bisa jadi pemegang saham PT. BNI adalah PT. Sampoerna yang PT.Sampoerna sendiri terdapat didalamnya pemegang saham lain, dan demikian pula sebaliknya, pemegang saham PT. Sampoerna adalah PT. BNI yang PT. BNI sendiri terdapat didalamnya para pemegang saham lain. Seperti halnya salah satu pemegang saham PT. BMI nyatanya adalah Islamic Development Bank (IDB).

Akad dalam perusahaan Islam adalah keharusan, dalam arti bahwa seseorang tidak boleh turut menjadi bagian sebuah perusahaan kecuali bila telah disetujui oleh seluruh orang (persero) yang terdapat didalam perseroan tersebut, dan tanpa ada persetujuan oleh seluruh persero maka perseroan tersebut tidak dapat dan tidak boleh dijalankan. Sehingga pilihannya hanya dua, yaitu pihak yang tidak disetujui tersebut tidak turut bergabung didalamnya, atau pihak yang tidak menyetujui keluar dari tubuh perseroan.

Ilustrasi akad dalam perseroan dalam Islam adalah sebagai berikut: Ahmad, Busyro, Cristian, Devi, Efi, Farid, dan Gandi adalah pemodal di P.Md (Perseroan Mudharabah), dan Hamdi dan Intan adalah pengelolanya. Pada suatu waktu Jodi ingin bergabung kedalam perusahaan tersebut untuk menjadi salah satu pemodalnya dengan menyetorkan sejumlah dana. Maka ketentuan Islam dalam aqad adalah, bahwa Jodi harus mendapat izin dan persetujuan dari seluruh persero, yaitu Ahmad, Busyro, Cristian, Devi, Efi, Farid, Gandi, Hamdi dan Intan.

Jika Farid dan Hamdi tidak menyukai Jodi sehingga tidak mengizinkan dan menyetujui Jodi bergabung kedalam perusahaan, sedangkan Ahmad, Cristian, Devi, Efi, Gandi dan Intan menyetujui. Maka pilihan dalam Islam hanya dua, yaitu: Pertama, Jodi tidak turut bergabung kedalam perusahaan sehingga kesempatan ada tambahan dana dari Jodi menjadi hilang, atau Kedua, perusahaan tersebut mendapatkan Jodi sebagai pemodal baru, namun perusahaan tersebut harus kehilangan Farid beserta modalnya dan juga kehilangan Hamdi beserta kemampuannya dalam mengelola perusahaan.

Demikanlah kedudukan akad di dalam perusahaan Islam, yaitu menjadikan setiap individu persero diperhitungkan kepala per kepalanya tanpa melihat seberapa besar kontribusi dana dari masing-masing kepala tersebut. Hal yang demikian itu tentu tidak terdapat dan tidak terjadi dalam sistem perusahaan dengan bentuk Perseroan Terbatas, sebab, walaupun Farid dan Hamdi seperti contoh di atas tidak menyukai Jodi, namun tetap tidak mampu menghalangi Jodi untuk turut bergabung dengan membeli saham perusahaan tersebut. Terlebih lagi selain itu, bahwa di dalam PT jumlah pemodalnya berjumlah ratusan hingga ribuan pemegang saham, lalu bila demikian bagaimana mungkin orang baru yang ingin bergabung kedalam perusahaan tersebut bisa mendapat persetujuan dan izin dari setiap pemegang saham yang jumlahnya ribuan tersebut? Tentu menjadi sebuah kesukaran yang luar biasa bila tidak ingin dianggap mustahil.

 

c.       Masalah RUPS

RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) disebutkan dalam pasal 1 ayat 4 UU No. 40 tahun 2007 tentang PT adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris.

Artinya RUPS adalah ruang yang diberikan khusus hanya kepada persero sebuah perseroan. Dimana karyawan tidak termasuk sebagai bagian persero. Sebab karyawan tidak ubahnya seperti biaya listrik, dibayar karena mampu menghidupkan lampu. Demikian pula karyawan dibayar karena memberikan jasanya. Tidak ada hubungannya dengan persero-persero dalam perseroan yang mendapatkan laba atau rugi.

Demikian pula Direktur dan Dewan Komisaris dibayar dan digaji karena pekerjaannya, dan tentu saja gaji Direktur dan Dewan Komisaris tidak ada hubungannya dengan besar kecil laba atau ruginya perseroan atau perusahaan. Direktur dan Dewan Komisarir akan tetap dibayar gajinya walaupun perusahaan mengalami kerugian. Demikianlah mengapa Direktur dan Dewan Komisaris pada hakekatnya tergolong sebagai karyawan, dan bukan pengelola (mudharib). Sebab salah satu agenda dalam RUPS sebagaimana tersebut dalam UU No. 40 tahun 2007 pasal 96 ayat 1 dan pasal 113 membahas masalah besaran gaji untuk Direktur dan Dewan Komisaris.

Sebagaimana namanya, RUPS adalah rapat yang hanya dihadiri oleh para persero dalam Perseroan Terbatas, yaitu yang hanya terdiri dari para pemodal (pemegang saham). Diadakan untuk menentukan arah tujuan dan garis besar haluan perusahaan.

Hal pokok yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pemegang saham yang hadir dalam RUPS mungkin bisa seluruh para pemegang saham atau hanya sebagiannya, namun suara yang diperhitungkan ketika hendak memutuskan suatu perkara untuk menentukan garis besar haluan perusahaan tidak dihitung berdasarkan kepala perkepala, artinya satu kepala dihitung satu suara, melainkan dilihat besaran kepala tersebut dalam menyertakan modalnya atau dilihat dari berapa banyak ia memegang saham. Sehingga untuk kriteria tertentu dari pemegang saham tidak akan bisa turut ambil bagian dalam memberikan suaranya menentukan haluan perusahaan. Sebab bisa jadi kebolehan hadirnya pemegang saham hanya diberikan pada pemegang saham dengan jumlah tertentu, sehingga pemegang saham dengan kriteria di luar ketentuan tertentu walaupun hadir dalam RUPS tetap tidak diakui dan dihitung suaranya.

Tentu saja aturan RUPS dalam PT menyalahi ketentuan dan aturan Islam dalam sistem perseroan. Dalam Islam perseroan adalah persekutuan persero. Dan yang disebut persero adalah orang atau manusia yang memiliki nyawa untuk hidup. Sehingga yang diperhitungkan adalah orangnya, tanpa melihat besar kecilnya modal yang ia sertakan dalam perusahaan. Dan persero dalam perseroan Islam juga bukan dan tidak boleh dalam wujud dan bentuk sebuah perusahaan dengan nama dan bentuk apapun, melainkan hanya orang/manusia. Sehingga tidak sah bila pemegang saham sebuah perusahaan adalah perusahaan lain.

Apabila dikatakan bahwa yang menghadiri RUPS adalah orang yang mewakili sebuah perusahaan tertentu, maka tentunya hukum perwakilan dalam Islam pun harus dipenuhi. Yaitu yang mewakilkan dan yang diwakilkan harus sah menurut Islam, yaitu manusia dengan syarat-syarat tertentu yang detailnya dapat diakses dalam kitab-kitab fiqih, kemudian ijab Kabul dan objek yang diwakilkan harus memenuhi ketentuan Islam. Namun begitu telah ditegaskan bahwa yang bertindak sebagai pelaku menurut Islam haruslah orang, bukan perusahaan.

 

d.      Kesimpulan Hukum dan Analisis PT

Oleh karena Perseroan Terbatas tidak memenuhi rukun aqad dalam pembentukan perseroan yang Islami, maka Perseroan Terbatas bukan termasuk perseroan yang islami, jelas mempraktekkannya haram. Namun begitu, bekerja di sebuah perusahaan berbentuk PT perlu sebuah kajian khusus lagi diluar kesempatan ini, sebab masalah bekerja (ijaratul ajir) adalah masalah lain yang tidak ada kaitannya dengan bentuk perusahaan.

Aqad memang terlihat tampak remeh, namun ekonomi Islam memandangnya begitu urgen. Aqad juga terlihat tampak mempersulit hubungan kerja juga permodalan perusahaan, sebab bila melihat kembali ilustrasi aqad dalam sub-bab pembahasan aqad diatas memang nyatanya demikian. Namun keberadaan aqad sebagai rukun syirkah ternyata membawa hikmah yang begitu besar, yang hikmah tersebut hanya dapat dilihat oleh orang yang memperhatikan ekonomi Islam secara mendalam.

Keharusan dipenuhinya aqad akan membuat sebuah perusahaan mengalami kesulitan dalam memperbesar modalnya, sebab modal mengikuti pemiliknya yang terikat dengan hubungan sesama manusia. Sehingga keberadaan aqad akan membuat perusahaan secara kolektif hanya berukuran kecil karena hanya disokong oleh modal yang relatif kecil. Namun yang perlu dicermati adalah dampaknya, bahwa jumlah perusahaan akan menjamur dengan rata disetiap wilayah, dikarenakan orang yang tidak bisa bergabung dengan sebuah perusahaan, sedangkan ia memiliki modal, akan bergabung dengan perusahaan lain yang ukurannya lebih kecil atau ia akan membangun sebuah perusahaan baru. Dengan demikian jumlah perusahaan akan bertambah.

Keberadaan perusahaan tentu membutuhkan tenaga kerja, dengan begitu manusia yang masuk dalam angkatan kerja yang terus bertambah akan terserap secara proporsional seiring bertambahnya perusahaan-perusahaan baru. Oleh karenanya masalah kesulitan lapangan kerja yang mengakibatkan pengangguran akan dapat teratasi dengan baik.

Bila kita melihat problem ekonomi yang ada saat ini, kebanyakan ekonom telah memahami dan menyadari bahwa masalah pengangguran adalah akibat kurangnya lapangan kerja. Namun sedikit sekali ekonom yang membahas dan memperhatikan dengan teliti apa yang menyebabkan lapangan kerja tersebut sedikit. Sebab masalah bentuk perusahaan seperti PT., CV., Firma dan Koperasi adalah bentuk perseroan yang sudah final karena dianggap benar, sehingga mencurigai adanya masalah dalam bentuk-bentuk perusahaan tersebut adalah sebuah langkah yang salah.

Ekonomi Islam dari sumbernya memang tidak menganalisis dampak buruk dan dampak baik yang akan terjadi seandainya manusia menerapkan atau tidak menerapkan aturan ekonomi menurut ekonomi Islam. Sumber ekonomi Islam hanya mengharuskan manusia mengikuti aturannya (rukun dan syarat). Kemampuan analisis dampak baik dan buruk hanya dimiliki oleh orang yang cermat memperhatikan realitas ekonomi dan jujur terhadap realitas ekonomi.

Bahwa aqad sebagai rukun syirkah (perseroan) mampu menahan sebuah perusahaan menjadi besar dengan mudah dan cepat. Padahal kita mengetahui bahwa sedikitnya jumlah perusahaan diakibatkan karena mati kalah bersaing dengan perusahaan besar, dan perusahaan besar tidak mungkin menjadi besar kecuali karena perusahaan tersebut berbentuk PT (Perseroan Terbatas) yang meniadakan aqad beserta rukun perseroan dalam Islam lainnya.

Selain dari sumber asalnya kami menilai Perseroan Terbatas yaitu UU No. 40 tahun 2007, pembahasan ini juga diperkuat dengan berbagai analisis dari peneliti-peneliti sebelumnya yang membahas perseroan terbatas, seperti yang dikemukakan oleh (Kurniawan, 2014), (Mustaqim & Satory, 2019), (Indah Siti Aprilia, 2020), (Putu et al., 2022), (Tenripadang et al., 2010), (Supriyatin Ukilah dan Nina, 2020), (Sinaga, 2018) dan (Tunggal & Wahyuni, 2017)

 

2.      Perseroan Koperasi

Sebelum melihat dimana letak ketidakIslamian bentuk Koperasi, tentu akan adil bila kita mengetahui konsep asli dari Koperasi tersebut agar pembaca mengetahui. Dan sumber murni tentang Koperasi tidak kita temui kecuali dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang koperasi (Republik Indonesia, 1992).

Namun dalam tulisan ini tidak kami masukkan semua pasal yang ada dalam UU tersebut, melainkan hanya pasal-pasal yang kami anggap perlu diketahui dan kami anggap berhubungan langsung dengan standar ekonomi Islam dalam rukun dan syarat sebagai penentu keabsahan sebuah bentuk perusahaan.

 

Pasal-pasal dalam UU No.25 Tahun 1992 tentang Koperasi tersebut adalah

Pasal 1 ayat 1: Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan

Pasal 1 ayat 4: Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan Koperasi

Pasal 5 ayat 1: Koperasi melaksanakan prinsip Koperasi sebagai berikut; c) pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota. d) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal.

Pasal 17 ayat 1: Anggota Koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa Koperasi.

Pasal 19 ayat 3: Keanggotaan Koperasi tidak dapat dipindahtangankan

Pasal 23: Rapat Anggota menetapkan; a) Anggaran Dasar. c) Pemilihan, pengangkatan, pemberhentian pengurus dan pengawas. f) pembagian sisa hasil usaha

Pasal 24 ayat 2: Apabila tidak diperoleh keputusan dengan cara musyawarah ,maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak

Pasal 24 ayat 3: Dalam dilakukan pemungutan suara, setiap anggota mempunyai hak satu suara

Pasal 25: Rapat Anggota berhak meminta keterangan dan pertanggungjawaban Pengurus dan Pengawas mengenai pengelolaan Koperasi

Pasal 30 ayat 1: pengurus bertugas: a) mengelola Koperasi dan usahanya. b) mengajukan rancangan rencana kerja serta rancangan rencana anggaran pendapatan dan belanja Koperasi

Pasal 30 ayat 2: pengurus berwenang: memutuskan penerimaan dan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar

Pasal 32 ayat 1: Pengurus Koperasi dapat mengangkat pengelola yang diberi wewenang dan kuasa untuk mengelola usaha

Pasal 33: Hubungan antara Pengelola usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 dengan Pengurus Koperasi merupakan hubungan kerja atas dasar perikatan

Pasal 34 ayat 1: Pengurus, baik bersama-sama, maupun sendiri-sendiri, menanggung kerugian yang di derita Koperasi, karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaiannya

Pasal 34 ayat 2: Di samping penggantian kerugian tersebut, apabila tindakan itu dilakukan dengan kesengajaan, tidak menutup kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan.

Pasal 39 ayat 1: Pengawas bertugas: a) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelola Koperasi

Pasal 41 ayat 1: Modal Koperasi terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman

Pasal 41 ayat 3: Modal Pinjaman dapat berasal dari : a) Anggota. b) Koperasi lainnya dan/atau anggotanya. c) Bank dan lembaga keuangan lainnya, d) Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya

Pasal 45 ayat 1: Sisa hasil usaha Koperasi merupakan pendapatan Koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurangi dengan biaya, penyusutan ,dan kewajiban lainnya termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.

Pasal 45 ayat 2: Sisa hasil usaha setelah dikurangi dana cadangan ,dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan Koperasi, serta digunakan untuk pendidikan Perkoperasian dan keperluan lain dari Koperasi, sesuai dengan keputusan Rapat Anggota

Pasal 55: Dalam hal terjadi pembubaran Koperasi, anggota hanya menanggung kerugian sebatas simpanan pokok, simpanan wajib dam modal penyertaan yang dimilikinya

 

G.    PEMBAHASAN; Kesesuaian Koperasi dengan Perseroan Islam

Secara rinci kekeliruan Koperasi menurut ekonomi Islam sebagai berikut:

a.       Tidak Ada Pengelola dalam Koperasi

Dalam pasal 30 ayat 1a dan 1b telah disebutkan bahwa pengelola dalam koperasi disebut sebagai pengurus (bisa anggota koperasi maupun bukan), sebab pengurus memiliki wewenang dan kewajiban yang sama sebagaimana juga wewenang dan kewajiban pengelola dalam persyarikatan Islam yaitu memimpin dan mengelola perusahaan hingga perusahaan mendapatkan untung atau rugi.

Pengelola disebut pengelola yang syah dalam perseroan Islam tidak lain karena kompensasi yang ia dapatkan,  yaitu hasil yang dibagi berdasarkan persentase yang ditetapkan antara pengelola dan pemodal (shahibul maal) dari bagian keuntungan, dan ini disebut bagi hasil, bukan gaji (baca: nominal tetap), juga kompensasi bagi pengurus bukan sekedar ucapan terima kasih dan rasa hormat dari para pemodal yang mengangkatnya dalam rapat anggota (pemodal).

Pada keseluruhan UU. No. 25 tahun 1992 tersebut tidak dijelaskan secara gamblang bentuk kompensasi yang diterima oleh pengurus. Sedikit berbeda dalam UU. No. 17 tahun 2012 tentang Koperasi yang legalitasnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, justru memuat pasal yang menerangkan kompensasi yang diterima oleh pengurus yaitu berupa gaji dan tunjangan. Secara Islam, jelas kompensasi untuk pengurus (pengelola) dalam UU. No. 17 tahun 2012 tersebut adalah salah.

Berdasarkan pasal 30 ayat 1 UU. No. 25 tahun 1992 bisa difahami bahwa kompensasi bagi pengurus sebagai pengelola memiliki beberapa kemungkinan. Bisa berupa gaji atau bagi hasil antara pemodal dan pengurus (pengelola), sebab pengurus berhak mengajukan rencana anggaran pendapatan dan belanja koperasi. Biaya gaji atau biaya bagi hasil untuk pengurus tersebutlah yang kemudian bisa dimasukkan dalam anggaran belanja koperasi oleh yang mengajukannya. Jika ditetapkan gaji sebagai kompensasi pengurus maka tidak syah menurut Islam, namun jika berupa bagi hasil maka hal ini dapat dibenarkan dengan ketentuan bahwa pasal 5 ayat 1c tidak berlaku.

Keberadaan pasal 5 ayat 1c menjadikan sistem bagi hasil dalam sistem SHU (Sisa hasil Usaha) menurut penulis tidak memenuhi kriteria Islami, sebab bagi hasil yang terjadi menuntut anggota sebagai pemodal mendapat hak yang lebih besar dari sekedar porsi modalnya, yaitu tergantung juga besarnya jasa usaha anggota yang diberikan pada koperasi. Padahal dala perseroan Islam menetapkan bagi hasil untuk pemodal hanya berdasar porsi modalnya masing-masing.

Pasal 5 ayat 1c ini juga memerlukan penjelasan lebih spesifik, bahwa jika seorang anggota memberikan jasa usahanya pada Koperasi dengan arti anggota sebagai peminjam dana Koperasi dan kemudian memberikan jasa bunga maka ketentuan pasal ini jelas menyalahi ketentuan riba yang diharamkan dalam Islam, sehingga pemberian SHU untuk anggota tersebut menjadi lebih besar dari sekedar porsi modalnya menjadi sebab yang tidak berdasar. jika seorang anggota memberikan jasa usahanya pada Koperasi dengan arti ia menerima dana Koperasi dan kemudian dikelolausahakan dengan kewajiban kompensasi bagi hasil antara ia dan pemodal, maka saat itu sacara otomatis ia berstatus sebagai pengurus (pengelola), dan ia harus berserikat bersama pengurus lainnya dalam pengelolaan. Perkara yang demikian ini yang tidak mungkin terjadi pada Koperasi berdasarkan UU. No. 25 tahun 1992.

Dengan demikian pengurus pada dasarnya bukanlah bagian dari perserikatan koperasi, melainkan hanya sebagai karyawan. Biaya karyawan adalah gaji, dan gaji harus dibayar dan dikeluarkan sebagaimana juga biaya listrik, tidak perduli apakah usaha (koperasi) mendapatkan untung atau rugi. Dengan demikian pengurus bukanlah bagian dari perseroan ini.

Pada pasal 55 dan pasal 34 ayat 1 juga menjelaskan ketidaksesuaiannya dengan sistem perseroan Islam. Pada kedua pasal tersebut menjelaskan kerugian yang lebih besar dari modal hanya ditanggung oleh pengurus

 

b.      Tidak Terdapat Ijab Qabul

Bila didalam koperasi tidak terdapat pengelola (mudharib), tentu saja yang ada pada koperasi hanyalah para pemodal, atau para anggota koperasi tidak lain adalah para pemodal itu sendiri.

Penambahan anggota koperasi baru maupun pemberhentian anggota lama dari koperasi ditentukan oleh pengurus sebagaimana disebutkan dalam pasal 30 ayat 2. Sedikit berbeda dengan PT., sebab didalam PT tidak ada pihak yang memutuskan siapa-siapa saja yang boleh menjadi pemodal baru atau memberhentikan pemodal lama, di dalam PT siapa saja yang ingin menjadi pemodal atau berhenti jadi pemodal diserahkan pada pasar modal.

Bisa dikatakan pengurus adalah wakil para anggota (pemodal), sehingga keputusan diserahkan kepada pengurus. Pada masalah penentuan pemodal, sistem koperasi lebih baik dari PT, sebab sistem koperasi lebih selektif ketimbang sistem PT. oleh karena tim penyeleksi koperasi adalah para pengurus. Namun demikian kedua sistem tersebut (PT dan Koperasi) adalah sistem yang salah menurut sistem Islam. Betapa tidak, sistem PT bebas lepas, sedangkan sistem Koperasi dalam hal penentuan anggota baru ditentukan hanya oleh segelintir orang dari anggota koperasi yang kemudian disebut dengan istilah pengurus. Padahal ketentuan Islam dalam masalah persero (syarik) sebagaimana dalam pembahasan akad, ditentukan oleh keridhoan dan kerelaan oleh setiap persero dan oleh setiap kepala persero. Sehingga dengan demikian tidak cukup bila keputusan penambahan dan pemberhentian anggota diputuskan oleh pengurus.

Pada perseroan ekonomi Islam, akadlah (ridho dan kerelaan) yang menentukan siapa saja yang bisa bergabung dalam perseroan dan siapa saja yang keluar dari perseroan. Seseorang bergabung dalam perseroan hanya jika disetujui oleh semua anggota, dan seseorang berpisah dari perseroan bila tidak sefaham satu dengan yang lainnya hingga kemudian membentuk perseroan baru yang lain dari yang sebelumnya.

 

c.       Masalah Permodalan

Permasalahan dalam permodalan syirkah ini (koperasi) adalah pasal 41 ayat 1 dan ayat 3. Bahwa koperasi diperbolehkan menambah modal dengan jalan berhutang, baik berhutang dari para anggotanya, koperasi lain, dari perbankan atau lembaga keuangan non bank, atau dengan menerbitkan obligasi.

Menurut ekonomi Islam, menambah modal usaha dengan jalan hutang bagi sebuah perusahaan berbentuk syirkah tidak dibenarkan, sedangkan menambah modal dengan jalan hutang bagi perusahaan pribadi atau atas nama pribadi orang perorang dibenarkan dan dibolehkan. Jadi, boleh tidak bolehnya berhutang pada dasarnya adalah kejelasan siapa penghutang dan siapa yang berhutang. Sebab rukun dan syarat ariyah (pinjam meminjam) dalam fiqih telah ditetapkan dan harus dipenuhi demi syahnya sebuah muamalah.

Bila peminjam dana adalah atas nama perusahaan berbentuk syirkah maka tidak dibenarkan, itu tidak lain karena tidak jelasnya siapa peminjamnya. Sebab syirkah terdiri dari beberapa orang, sehingga tidak menjelaskan siapa peminjamnya.

Selain bahwa dana hutang tersebut turut disertakan dalam usaha bisnis yang menghasilkan keuntungan. Padahal keuntungan tersebut nantinya akan dibagi-bagikan untuk para pemodal dihitung berdasarkan jumlah modalnya masing-masing. Sedangkan modal yang berasal dari hutang tersebut tidak ada pemiliknya/tidak ada pemodalnya, sebab ia berasal dari pinjaman, sementara ia turut berkontribusi menghasilkan keuntungan.

Perbedaan pemodal dengan pemberi pinjaman adalah, pemodal beserta modalnya turut menanggung untung dan rugi usaha sehingga modal tersebut bisa bertambah karena untung juga bisa berkurang karena rugi, sedangkan pemberi pinjaman tidak mendapat untung juga tidak menanggung kerugian dari usaha orang yang diberikan pinjaman, dan apapun keadaannya dana pinjaman harus dikembalikan utuh 100%.

Kebolehan menambah modal dengan jalan hutang dalam PT dan Koperasi ini yang bisa membuat jumlah hutang sebuah perusahaan lebih besar dari modalnya. Apabila demikian terjadi maka sejatinya perusahaan telah collaps, karena modalnya kemudian digunakan untuk membayar hutang. Modal habis dan hutangpun masih tersisa tak terbayar, pemberi pinjaman pun tidak tahu kepada siapa ia akan meminta dananya supaya bisa kembali. Sebab peminjamnya bukan nama atas nama pribadi, melainkan nama perusahaan berbentuk syirkah yang telah tutup.

Permasalahan ini yang menjadi sebab munculnya pasal 34 ayat 1 dan pasal 55, pasal yang memberikan aman bagi pemodal karena ia tidak menanggung kerugian lebih dari modal yang telah di setor, sehingga kerugian yang lebih dari total modal ditanggung oleh pengurus. Hal demikian bertentangan dengan perseroan Islam yang menetapkan bahwa kerugian hanya ditanggung oleh pemodal, sedangkan pengelola hanya menanggung kerugian waktu dan tenaganya dalam menjalankan usaha, namun tidak menanggung dalam hal harta sepeserpun.

 

d.      Masalah Koperasi Syariah

Bagaimana gambaran koperasi syariah, UU No. 25 Tahun 1992 tentang koperasi ini tidak memberikan penjelasan apapun. Sehingga kami menangkap bahwa yang dimaksud dengan koperasi syariah dalam realitanya seperti KSPPS (Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah) adalah koperasi yang dijalankan dengan menjual barang atau jasanya dengan akad-akad muamalah ekonomi Islam, seperti mudharabah, murabahah, ijarah dan lain sebagainya, dan bukan dengan simpan pinjam yang ribawi. Namun tetap dalam bentuk perusahaannya yaitu Koperasi berdasar undang-undang yang berlaku.

Bila benar demikian maka sebenarnya tidak ada perbedaan antara koperasi syariah dengan koperasi pada umumnya. Sebab permasalahan dalam koperasi ini adalah bentuk perusahaannya, yaitu bentuk keterikatan antar orang-orang yang tergabung dalam Perseroan (syirkah) ini. adapun produk jualannya (barang dan jasa) adalah masalah lain. Walaupun produk jualan berjudul syariah tersebut memang perlu dicermati lebih lanjut di kesempatan lain.

Analisis diatas, selain berdasar dari sumber asalnya kami menilai Perseroan Koperasi, yaitu UU No. 25 tahun 1992 Tentang Koperasi, pembahasan ini juga diperkuat dengan berbagai analisis dari peneliti-peneliti sebelumnya yang membahas perseroan Koperasi, seperti yang dikemukakan oleh (Wisnuwardhani, 2018), (Intan Nurrachmi dan setiawan, 2020), (Deva et al., 2022), (Banjarnahor et al., 2022), (Nurhasanah, 2016), (Meilina et al., 2020) dan (Aji Basuki Rohmat, 2015)

 

H.    Kesimpulan

Koperasi adalah bentuk perseroan yang serupa dengan Perseroan Terbatas tetapi berbeda dalam rinciannya, namun keduanya memiliki kesamaan bahwa didalamnya tidak terdapat pengelola (mudharib). Walaupun mungkin direktur dan pengurus adalah sebutan bagi pihak yang menjalankan perseroan, namun dikarenakan kompensasi bagi mereka bukanlah bagi hasil dari hasil usaha perusahaan maka keduanya tidak sesuai dengan ketentuan perseroan dalam ekonomi Islam.

Hasil penelitian yang demikian adalah hal yang jarang terbahas, bahkan lepas dari perhatian fatwa DSN MUI. Padahal MUI masih menjadi rujukan masyarakat dan negara dalam mengimplementasikan ekonomi Islam, namun tidak mengeluarkan fatwa tentang bentuk perseroan ini.

Keterbatas penelitian ini tidak membahas terkait bentuk perseroan lainnya yang berlaku di hukum Indonesia, seperti CV dan Firma. Oleh karenanya peneliti lain dapat memasuki pembahasan perusahaan tersebut.

Tidak ada komentar: